25Aku berjalan menuju lemari pakaian karena katanya Nenek sudah menyiapkan baju ganti untukku. Kubuang jauh rasa grogi dan bersikap seperti biasa.Ini pertama kalinya aku satu kamar dengan seorang pria. Tentu saja aku takut dan grogi. Apalagi pria ini juga baru aku kenal beberapa hari menjelang pernikahan. Sama sekali asing bagiku.Kubuka salah satu pintu lemari untuk mencari baju itu. Ternyata aku harus membuka beberapa pintu sebelum menemukan apa yang aku cari. Namun, mata ini rasanya tak henti membelalak saat kudapati pakaian seperti apa yang ada di sana.Aku bergegas menutup kembali pintu itu dengan cepat. Dadaku mendadak berdebar keras. Satu hal lagi kutahu dari mana baju yang kupakai di malam pengantin itu. Pasti Nenek yang memberikannya, karena aku tidak pernah membawa baju seperti itu. Baju yang orang-orang sebut sebagai baju dinas malam.“Kenapa?” Sebuah pertanyaan menyapa. Mungkin karena mendengar pintu lemari ditutup terlalu keras.Aku tidak menjawab. Melainkan segera berl
26Siapa Luna?Ja-di … sebenarnya Om Samudra punya kekasih?Aku menahan panas, juga membuat diri seolah tidur senatural mungkin. Selain sudah terlanjur bersandiwara, mungkin dengan begini aku bisa tahu siapa wanita bernama Luna.Ya, pria sematang dan setampan dia memang tidak masuk akal kenapa belum menikah di usia nyaris 40 tahun tanpa sebab. Jika bukan karena orientasi seks yang menyimpang, pastinya menungggu kekasih lama yang mungkin belum kembali. Atau mungkin tidak direstui?Ya, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Pastilah Om Samudra menunggu kekasihnya kembali, karena itu ia belum menikah. Atau sedang menunggu restu orang tua. Dan pernikahan ini, ia sanggupi hanya karena baktinya kepada ibunya.Itu sebenarnya bukan urusanku. Hanya saja, aku tidak suka jika ia menyentuhku sebagai orang lain. Karena kuyakini perlakukan manisnya padaku selama ini bukan karena menganggapku sebagai Mentari. Mungkin selama ini ia menganggap aku ini Luna-nya yang belum kembali. Agar ia bisa bersi
27“Mau langsung pulang atau mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Om Samudra saat kami dalam perjalanan pulang.“Nanti turunin aku di kafé Cendrawasih saja, Om.” Aku menjawab seraya mengamati layar ponsel.“Kafé Cendrawasih?” Nada suaranya terdengar heran tapi aku tidak melihat wajahnya karena fokus dengan ponsel. Pun ia yang tengah mengemudi.“Iya.”“Kamu mau ngajak ngopi dulu?”“Eh?” Aku menoleh. “Aku ada janji.”“Janji?”“Ya?”“Dengan?”Aku diam. Aku memang ada janji dengan editor yang tempo hari menawari naskahku untuk dibukukan. Dan itu aku rasa bukan urusan Om Samudra. Bukankah sesuai kesepakatan kami tidak akan mengurusi hidup masing-masing? Seperti aku yang tidak akan ikut campur perihal pekerjaan dan juga kehidupan asmaranya. Aku bahkan tidak peduli jika ia menjalin hubungan dengan seseorang baik wanita atau pria di belakangku.“Janji dengan siapa? Kenapa tidak pernah bilang?” Ia menoleh dan menatapku sebentar.“Urusan pekerjaan.”“Pekerjaan? Bukannya pekerjaanmu menulis d
28 “Om, titip Mentari dulu, ya. Saya tidak akan lama.” Aku menatap jauh keluar jendela saat mendengar suara pria itu bicara dengan ayah. Tadi, ia menyusulku turun saat aku keluar dari mobilnya. Kemudian menarik tangan ini agar aku masuk lagi ke dalam kendaraan roda empat itu. “Kamu tunggu di kantor ayahmu saja, ya.” Ia bicara lagi saat mobilnya sudah melaju membelah jalanan. “Aku akan antar kamu ke sana.” Aku tidak menjawab dan memilih melemparkan pandangan keluar jendela. Lihat, betapa ia ingin menyembunyikan diri ini agar tidak terlihat kekasihnya. Padahal, aku bisa saja memaksa ikut pulang, toh aku ini istri sahnya, bukan? Keberadaanku tidak harus disembunyikan. Dunia tahu jika aku istrinya. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau berdebat. Biarkan ia dengan perilakunya, lagi-lagi apa pun yang ia lakukan bukan urusanku. “Tari.” Aku mendengar langkahnya mendekat setelah ia bicara dengan ayah. “Nanti aku jemput lagi, ya. Tidak akan lama. Paling satu jaman. Kamu di sini dulu dengan aya
29“Mau ikut pulang sama Ayah, atau bagaimana?”Aku bergeming. Tidak tahu harus menjawab apa. Ikut ayah? Sepertinya menyenangkan, aku rindu kamarku sendiri. Tempat ternyaman selama 22 tahun hidupku. Di sana aku lebih banyak menghabiskan waktu. Namun, jika aku pulang bersama ayah, itu artinya harus bertemu dengan Tante Yulia.Apa yang akan dikatakan wanita itu melihatku pulang bersama ayah? Pasti ia akan mengatakan yang tidak-tidak tentang pernikahanku. Bukan tidak mungkin berspekulasi buruk yang ujung-ujungnya akan mentertawakanku habis-habisan.Pulang sendiri ke apartemen pria itu?Tidak mungkin. Bukankah ia tidak mau aku menampakkan diri di sana selama tamunya belum pergi? Aku yakin saat ini tamunya belum pergi, karena itulah ia ingkar janji.“Tari, mau ikut pulang sama ayah?” Ayah mengulang pertanyaan karena aku masih diam.Aku menggeleng lemah. “Aku pulang naik taxi saja, Yah. Ayah pulang saja istirahat. Pasti capek.” Aku tersenyum untuk menutupi kegundahan hati.Setelahnya kami b
30PoV Samudra“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan coba beberapa saat lagi.”“Shit!” Aku mengumpat resah. Entah untuk ke berapa kalinya panggilanku hanya dijawab operator. Entah ke mana dia.Kuusap kasar wajah, sebelum melajukan mobil menuju perusahaan bapak mertuaku.Aku tahu ini sudah sangat terlambat. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya di sana. Padahal tadi aku berjanji hanya pergi sebentar dan akan segera menjemputnya kembali. Ini bukan hanya terlambat, tapi sangat terlambat.Apa ia marah dan sengaja mematikan telepon?Ya Tuhan … maafkan aku Mentari, aku tidak sengaja.Jalanan yang macet karena jam sibuk para pekerja pulang kantor, membuatku semakin terlambat sampai ke kantor Pak Bumi Baskara. Sialnya, aku sudah tak mendapatinya di sana.Menurut petugas keamanan, Pak Bumi sudah pulang sekitar pukul 16.30 tadi. Dan setelah kutanyakan, anak perempuannya juga ikut keluar bersamanya.Apa Mentari ikut pulang bersama ayahnya? Kenapa ia tidak menghubungiku dulu? Apa
31PoV Samudra“Aku ikut, Om.”Tak kuhiraukan ucapan anak dari kakakku itu. Aku berjalan tergesa menuju mobil setelah mendapatkan keterangan dari ayah mertua tempat-tempat yang mungkin didatangi Mentari.“Aku juga mau mencari Mentari, Om. Om pikir Om saja yang mengkhawatirkannya?”Aku mengepalkan tangan dengan kuat. Bisa-bisanya Bastian masih mengatakan hal itu. Di mana ia simpan otaknya? Bukankah di sini ada istri dan metuanya juga?Namun, tidak ada waktu untuk meladeni anak itu. Fokusku sekarang adalah Mentari. Karenanya aku bersikap tetap tenang walaupun ia terus menyulut emosi.Terlebih ini rumah mertua, tak elok rasanya harus ribut apalagi sampai adu jotos. Aku juga bukan tidak tahu jika istri dan anak tiri Pak Bumi sejak tadi berbisik-bisik. Pasti mengghibah menghilangnya Mentari.Mungkin jika tidak ada aku, mereka sudah bersorak girang melihat pernikahan kami yang sudah terlihat tidak harmonis sejak dini. Bukankah itu memang keinginan mereka? Melihat Mentari lebih menderita ada
32“Apa yang sebenarnya kamu lakukan, Sam? Apa anak laki-lakiku memang sapayah yang orang katakan?”Aku memijat pelipis yang sejak tadi terus berdenyut. Entah apa yang dikatakan Bastian kepada ibu, hingga wanita yang sangat kuhormati itu terus mengomel tanpa henti seolah aku ini anak kecil yang melanggar perintah orang tua.Mungkin ibu lupa jika anak bungsunya ini sudah hampir empat puluh tahun.“Bu, ibu lebih percaya aku atau Bastian?” tanyaku lembut. Bagaimanapun aku harus tetap menghormatinya. Jangan sampai kemarahannya ditanggapi dengan emosi juga walaupun kepalaku saat ini terasa ingin meledak.Sejak tadi bukan hanya ibu yang meneleponku. Ayah mertua yang juga mengkhawatirkan anaknya, sudah menginterogasiku juga. Belum lagi pengendara motor yang tadi terjatuh akibat menabrak bagian belakang mobilku.Aku sudah memberi mereka sebuah kartu tadi. Karena tidak membawa uang tunai dan aku juga tidak memiliki banyak waktu, tanpa pikir panjang aku langsung memberikannya. Isinya cukup untu
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau