9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama
11“Tidak apa-apa, Bu. Mentari hanya belum terbiasa saja. Kami menikah bahkan masih dalam hitungan jam. Semua butuh proses.” Penjelasan Om Samudra memecah keheningan pasca pertanyaan Nenek Widya untukku.Aku menelan ludah. Menatap nanar pria itu dengan hati yang menghangat. Entah untuk ke berapa kalinya ia membelaku di hadapan orang tua. Dan satu hal kuyakini, jika ia sebaik itu, aku yakin mau mengabulkan permintaanku.Aku tahu Novita memang salah. Akan tetapi ini untuk kebaikan ayah. Bukankah ayahku mertuanya juga?“O … hmmm, Mas.” Hampir saja aku memanggilnya Om lagi. Kutatap pria yang juga menatapku dengan harapan tinggi ia akan berbaik hati memenuhi permintaanku.“Bolehkan aku meminta Mas mencabut laporan itu?” Dengan segenap permohonan aku meminta.Pria itu menatapku dalam diam. Ekspresinya? Sama seperti biasa. Datar seperti jalan tol. Aku menunggu dengan sabar.“Tari, Samudra melakukan itu semua karena kamu. Karena wanita itu sudah mencelakakan kamu. Dan Nenek rasa itu pantas un
12“Dasar anak tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Calon penghuni neraka!” Sumpah serapah Tante Yulia langsung berhamburan begitu melihatku memapah Ayah turun dari mobil. Wanita yang awalnya mondar-mandir di teras itu langsung menyongsong kami dengan wajah merah padam dan ingin langsung menyerang.Ia bahkan tidak peduli ayah yang terlihat lemah hingga harus kupapah. Wanita itu hampir saja meraih rambutku saat seseorang berlari berputar dari pintu samping kemudi dan langsung berdiri di sampingku.Gerakkan Tante Yulia tertahan. Matanya yang merah menyala menatapku dan pria di sampingku silih berganti. Dadanya bergerak cepat. Mungkin menahan amarah yang tidak bisa terluapkan.“Berani anda menyentuh Mentari seujung rambut pun, saya tidak segan melaporkan anda sekalian, Nyonya.” Kalimat itu terucap datar dan pelan, tetapi sukses membuat Tante Yulia meradang hebat. Terlebih saat pria di sampingku melanjutkan.“Anda dan putri tercinta anda bisa sekalian reuni di penjara.”Tante Yulia memea
13“Blacklist, dan sebarkan ke semua cyrcle agar tidak ada yang menerima.”Samar-samar kudengar kalimat itu berasal dari sebuah ruangan yang aku yakin kamar pribadi Om Samudra.“Jika ada yang masih berani membantu, cepat beritahu aku. Lenyapkan saja sekalian!”Mataku membola sempurna. Kedua tangan menutup mulut yang nyaris memekik kaget.Lenyapkan? Apa maksdunya?Kutahan napas, dan berusaha menormalkan detak jantung yang tetiba meloncat-loncat. Untuk kedua kalinya kudengar kalimat itu. Oh, tidak. Waktu itu aku hanya membaca seepotong pesan yang aku yakin dari anak buah Om Samudra karena ia memanggil bos. Sekarang aku bahkan mendengar langsung dari mulut pria itu walaupun hanya menguping.Kuusap dada perlahan sebelum berniat pergi dari depan kamar pria itu. Aku harus pergi sebelum ia menyadari jika aku menguping pembicaraannya di telepon. Sebenarnya bukan sengaja menguping jika aku akhirnya mendengar. Aku sedang mencarinya untuk menanyakan perihal laptop yang tergeletak di meja dekat a
14Suasana ruang makan terasa hening. Tidak ada suara yang terdengar selain denting sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring. Padahal di sini aku dan pria yang bergelar suami tengah makan.Sejak penolakanku tempo hari, kami jarang berinteraksi. Om Samudra sibuk dengan dunianya yang entah apa. Jarang berkeliaran di dalam rumah. Sesekali juga pergi ke luar. Aku tidak pernah bertanya ke mana pria itu pergi atau apa yang dilakukannya karena itu akan melanggar perjanjian yang kubuat sendiri.Untunglah aku pun sibuk dengan dunia sendiri. Seharian menulis setelah membereskan pekerjaan rumah layaknya seorang istri. Meski tidak tertera dalam perjanjian, aku usahakan menghandel pekerjaan rumah. Padahal Om Samudra biasa memesan jasa cleaning servis online untuk membersihkan rumahnya, tetapi rasanya membosankan jika hanya duduk seharian.Karenanya di hari kedua tinggal di sana, aku menyampaikan kepada pria itu agar tidak lagi memesan cleaning service online. Aku berjanji akan mengerja
15“Om mau apa?” pekikku seraya meronta ingin diturunkan. Bagaimana ia begitu lancang langsung menggendongku tanpa izin?Ya Tuhan, amankan jantungku. Jangan sampai ia tahu kalau jantungku melompat-lompat seolah sedang aerobik.Dia tidak menjawab, dengan santainya mengeratkan bopongan. Terus membawaku entah ke mana.“Om Sam, kamu mau apa?” Lagi aku memekik. Kali ini meronta lebih kuat. “Apa kamu tidak menyimakku tadi?”Ia masih tidaka peduli. Terus membawa tubuhku.“Aku bilang tadi, kalau aku sedang haid!” Lagi aku memekik. Kali ini lebih keras.Hening.Langkah kakinya terhenti. Tidak ada suara yang terdengar kecuali detak jantungku yang menggebu bahkan mungkin menabrak-nabrak dadanya saking kencang berdetak.Kami terlibat saling tatap intens dalam jangka waktu lumayan lama. Dan tentu saja dalam jarak yang lumayan dekat karena aku berada di dadanya. Ia terlihat kaget, terlebih aku. Bahkan bukan hanya kaget, tapi campuran takut, malu dan entah apalagi.Kami masih terlibat saling tatap,
16 Aku berjalan menuju kamar pribadi Om Samudra setelah selesai membersihkan diri. Dengan riang, aku melenggok menuju ruangan yang lumayan jauh dari kamarku. Tak sabar mengajak Nenek Widya makan bersama mencicipi hasil masakanku. Meski hanya masakan sederhana yang mungkin belum pernah dicicipi wanita sepuh itu, aku bangga menunjukannya karena ini buatanku. Semoga Nenek suka. Mumpung ibu mertua berkunjung kan, tidak ada salahnya aku menjamu. Karenanya selagi Nenek Widya bicara dengan anaknya, di kamar pribadinya. Kugunakan waktu untuk mengolah beberapa masakan. “Lalu, mau sampai kapan kamu seperti ini, Sam?” Kakiku mendadak berhenti melangkah beberapa jengkal dari kamar yang pintunya terbuka sedikit. Itu suara Nenek Widya. Meski tidak terlalu keras, tetapi telingaku dapat menangkapnya. “Sudah waktunya Hanggara Enterprise mendapat sentuhan tangan kamu. Apalagi sekarang kamu sudah berkeluarga. Sudah waktunya menunjukkan pada dunia jika putra bungsuku juga mampu.” Suara Nenek meningg