“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.
Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.
Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.
Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.
Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.
“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”
Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan pria yang akan menikahiku. Ia benar-benar … ah, entahlah.
Aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan. Setelah beberapa hari ini stres memikirkan akan olokan orang tentang pernikahanku dengan makhluk jadi-jadian, kini malah dibuat jantungan dengan penampilan barunya yang di luar dugaan.
“Kamu baik-baik saja?” Om Samudra turut mendatangiku yang sedang menenangkan diri.
Dengan lemah aku mengangguk.
Tanpa sengaja, pandanganku jatuh pada dua wanita di samping ayah yang entah menurut perasaanku saja atau memang nyata, mereka terlihat lebih shock dariku. Wajah keduanya pucat dengan mulut menganga dan tatapan tak lepas dari wajah Om Samudra.
“Makh-luk jadi-jadian itu … kenapa tiba-tiba tampil begini, Ma?”
“Iya, Sayang. Mama juga kaget, kenapa ia jadi sangat gagah dan tampan?”
Samar-samar, aku mendengar obrolan ibu tiri dan Novita. Aku menangkap nada keterkejutan, serta sepertinya mereka tidak terima.
“Kesenengan Mentari kalau begini, Ma.” Novita tampak cemberut. “Yah, walaupun tetap lebih ganteng Bastian-ku sih.”
“Tapi, bagaimana bisa makhluk itu berubah dalam waktu singkat?”
Aku tidak mendengar obrolan mereka lebih lanjut karena aku sudah dibimbing kembali ke hadapan penghulu. Kali ini aku dipapah ayah dan Nenek Widya. Mungkin keduanya ingin memastikan jika aku tidak akan oleng lagi.
Ternyata bukan hanya ibu dan saudara tiriku yang menggunjing perihal perubahan penampilan calon suamiku. Sepanjang berjalan di atas karpet merah menuju tempatnya duduk, kasak-kusuk para tamu juga samar dapat tertangkap indra pendengaran ini.
“Ini mempelai prianya kenapa beda sama yang di foto undangan, ya?”
“Iya. Yang ini lebih ganteng, walau memang lebih tua.”
“Ah, umur bukan patokan. Lebih tua lebih bagus, pasti lebih dewasa dan bijak.”
“Beruntung banget ya, pengantin wanitanya. Dapat yang super begini.”
“Iya. Kalau dia pingsan atau malah nggak bangun lagi, aku mau kok gantiin.”
Diakhiri cekikikan, sayup para tamu yang kebanyakan dari kaum Hawa terus kasak-kusuk.
Kukepalkan kedua tangan yang terasa basah oleh keringat dingin, sebelum duduk di samping Om Samudra. Sumpah demi apa pun tubuhku kembali lemas.
Entah berada di mana lelembutku kini, yang pasti sejak duduk di samping pria itu, aku sudah merasa tidak fokus. Pikiranku berkelana entah ke mana.
Teringat surat perjanjian itu, teringat wujud Samudra saat pertama betemu dan berbagai prasangka yang aku ciptakan sendiri.
Bahkan saat ia menyebut namaku dalam kalimat ijab qobul pernikahan, aku tidak menyimaknya sama sekali. Aku seperti berada di dunia lain. Atau sedang bermimpi?
Aku baru tersadar saat seseorang menyentuh lembut tangan ini.
“Tari, cium tangan suamimu.” Pelan tapi gemas suara itu. Ayahku.
Sepertinya ayah kesal karena sedari tadi aku terus melamun. Lebih tepatnya tidak bisa fokus dengan keadaaan.
Walaupun ragu, akhirnya aku meraih tangan pria yang sudah terulur sejak tadi di depan wajah. Kutarik sedikit tangan yang hanya aku genggam ujung jarinya saja, lalu menempelkannya di ujung hidung. Tidak benar-benar menciumnya.
Aku ingin melepaskan tangan itu dan menarik diri, saat tengkukku ditahan seseorang. Setelahnya sebuah sentuhan lembut mampir di kening ini.
Mataku terbelalak saat menyadari Om Samudra tengah mencium keningku. Lumayan lama atas permintaan juru foto dan jura kamera guna mendapatkan hasil gambar yang bagus untuk dokumentasi.
Aku sampai harus menahan napas karena takut embusannya menerpa leher sang pria.
Usai mencium keningku, Om Samudra menatapku dengan pandangannya yang teduh.
Ah, bisa pingsan lagi aku. Kenapa bisa aku merasakan gelenyar aneh di perutku saat ia menatapku seperti itu?
**
Suasana resepsi pernikahanku malam ini terasa sangat meriah tapi santai. Mungkin karena lokasinya yang di pinggir kolam renang. Ini konsep pernikahan yang digagas Bastian dulu. Ia ingin acara yang tidak terlalu formal.
Aku dan Om Samudra memutuskan melanjutkan rencana yang sudah ada untuk menekan budget, mengingat waktu juga yang sudah mepet.
Bastian sendiri tidak terlihat sejak pagi. Mungkin ia tidak sanggup menerima olokan karena posisinya digantikan.
Syukurlah, memang lebih baik begini. Aku takut ia membuat onar jika berada di sini. Mengingat pemuda itu masih saja berusaha mempengaruhiku bahkan dalam detik-detik menjelang pernikahan ini.
Sepertinya Bastian belum bisa menerima jika dirinya yang digantikan. Mungkin ia merasa kehilangan muka di depan teman-teman dan semua orang yang sudah ia kirimi undangan.
“Aku masih aneh, kok mempelai prianya beda ya, sama yang di foto undangan?”
Kasak-kusuk dari para tamu masih saja kudengar malam ini. Kini, aku berjalan santai menyusuri pinggiran kolam renang sendiri dengan segelas minuman di tangan. Konsep resepsi yang santai, membuat kami yang berbaur dengan tamu undangan.
Om Samudra tengah asik berbincang dengan seseorang saat aku memutuskan mengambil minuman.
“Ganteng banget, ya. Tinggi lagi. Udah kayak model aja. Ya, meski udah rada berumur.”
“Model mah lewat. Ini lebih sempurna menurutku. Lihat dadanya yang bidang, pasti otot-ototnya menonjol di dalam sana.”
“Aku baru tahu kalau keluarga Hanggara masih punya stok pria ganteng selain Bastian.”
Tidak sadar kedua sudut bibirku tertarik hingga melengkungkan sebuah senyuman, saat mendengar kasak-kusuk tamu yang tidak menyadari jika pengantin wanita berada di dekat mereka.
Entahlah, aku juga heran kenapa pria itu dapat berubah wujud secepat itu.
Namun, yang pasti aku senang, perubahan wujudnya menolongku dari rasa malu yang sudah kubayangkan sebelumnya.
Aku berhenti melangkah. Bibir masih tersenyum seraya menatap lurus ke depan, di mana pria ber-tuksedo putih itu masih bicara serius dengan seseorang.
Senyum ini perlahan menghilang saat menyadari jika pernikahan kami hanya sebuah sandiwara. Hanya sebuah perjanjian semata, di mana aku sudah membuat poin-poin yang sebenarnya tidak masuk akal.
Ya, aku dan Om Samudra hanya menikah di atas kertas saja.
Senyumku benar-benar lenyap, saat suara yang entah datang dari mana menyapa telinga ini di sebelah kiri.
“Kelihatannya ada yang kegatelan, nih. Senyum-senyum terus lihatin makhluk jadi-jadian yang sudah berubah wujud itu.”
Aku ingin menoleh ke asal suara, tetapi suara dari arah berlawanan keburu menimpali.
“Jangan senang dulu, Mentari, hanya karena makhluk jadi-jadian itu sudah berubah wujud. Siapa tahu sebenarnya Samudra itu sudah menikah, atau bahkan memiliki banyak istri. Karenanya ia menyamar seperti kemarin.”
“Ya, bisa saja kamu hanya wanita ke sekian yang ia nikahi.”
“Tapi sih, Ma, menurutku percuma juga makhluk jadi-jadian itu berubah wujud kalau ternyata ia tetap tidak punya pekerjaan. Tetap pengangguran. Tetap tidak memiliki apa pun. Mentari tetap akan hidup sengsara, bukan? Calon ayah mertuaku tidak akan pernah memberi makhluk itu pekerjaan, apalagi warisan keluarga. Secara ia tidak becus bekerja di Hanggara Enterprise.”
“Ya, sayang. Pada akhirnya tetap Bastian dan bayi dalam kandunganmu yang akan menjadi pewaris Hanggara Enterprise setelah wanita tua itu mati. Nanti kamu harus bisa meyakinkan Bastian dan ayahnya agar tidak pernah menerima Samudra bekerja di perusahaan keluarga mereka.”
“Tentu akan kulakukan, Ma. Aku juga akan mempengaruhi ibu mertuaku agar suaminya tidak pernah memberi suami Mentari pekerjaan. Biar mereka berdua menjadi gembel.”
Tawa cekikikan keluar dari dua mulut yang sejak tadi mengolokku bergantian. Setelahnya wanita lebih tua yang tidak lain ibu tiriku, mengisyaratkan agar mereka meninggalkanku sendiri.
Novita tersenyum dengan gaya sok anggun, sebelum melenggok pergi. Namun, ia tidak benar-benar langsung pergi.
Tubuhnya menabrak pundakku yang berdiri di bibir kolam. Alhasil aku yang ribet dengan gaun pengantin ini, tak dapat menahan keseimbangan tubuh hingga akhirnya terpelanting dan terjun ke dalam hamparan air kolam itu.
Aku menjerit bersamaan tubuhku yang melayang, sebelum suaraku menghilang. Tubuhku kini berada di bawah permukaan air kolam.
Aku tidak bisa berenang.
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama
11“Tidak apa-apa, Bu. Mentari hanya belum terbiasa saja. Kami menikah bahkan masih dalam hitungan jam. Semua butuh proses.” Penjelasan Om Samudra memecah keheningan pasca pertanyaan Nenek Widya untukku.Aku menelan ludah. Menatap nanar pria itu dengan hati yang menghangat. Entah untuk ke berapa kalinya ia membelaku di hadapan orang tua. Dan satu hal kuyakini, jika ia sebaik itu, aku yakin mau mengabulkan permintaanku.Aku tahu Novita memang salah. Akan tetapi ini untuk kebaikan ayah. Bukankah ayahku mertuanya juga?“O … hmmm, Mas.” Hampir saja aku memanggilnya Om lagi. Kutatap pria yang juga menatapku dengan harapan tinggi ia akan berbaik hati memenuhi permintaanku.“Bolehkan aku meminta Mas mencabut laporan itu?” Dengan segenap permohonan aku meminta.Pria itu menatapku dalam diam. Ekspresinya? Sama seperti biasa. Datar seperti jalan tol. Aku menunggu dengan sabar.“Tari, Samudra melakukan itu semua karena kamu. Karena wanita itu sudah mencelakakan kamu. Dan Nenek rasa itu pantas un
12“Dasar anak tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Calon penghuni neraka!” Sumpah serapah Tante Yulia langsung berhamburan begitu melihatku memapah Ayah turun dari mobil. Wanita yang awalnya mondar-mandir di teras itu langsung menyongsong kami dengan wajah merah padam dan ingin langsung menyerang.Ia bahkan tidak peduli ayah yang terlihat lemah hingga harus kupapah. Wanita itu hampir saja meraih rambutku saat seseorang berlari berputar dari pintu samping kemudi dan langsung berdiri di sampingku.Gerakkan Tante Yulia tertahan. Matanya yang merah menyala menatapku dan pria di sampingku silih berganti. Dadanya bergerak cepat. Mungkin menahan amarah yang tidak bisa terluapkan.“Berani anda menyentuh Mentari seujung rambut pun, saya tidak segan melaporkan anda sekalian, Nyonya.” Kalimat itu terucap datar dan pelan, tetapi sukses membuat Tante Yulia meradang hebat. Terlebih saat pria di sampingku melanjutkan.“Anda dan putri tercinta anda bisa sekalian reuni di penjara.”Tante Yulia memea
13“Blacklist, dan sebarkan ke semua cyrcle agar tidak ada yang menerima.”Samar-samar kudengar kalimat itu berasal dari sebuah ruangan yang aku yakin kamar pribadi Om Samudra.“Jika ada yang masih berani membantu, cepat beritahu aku. Lenyapkan saja sekalian!”Mataku membola sempurna. Kedua tangan menutup mulut yang nyaris memekik kaget.Lenyapkan? Apa maksdunya?Kutahan napas, dan berusaha menormalkan detak jantung yang tetiba meloncat-loncat. Untuk kedua kalinya kudengar kalimat itu. Oh, tidak. Waktu itu aku hanya membaca seepotong pesan yang aku yakin dari anak buah Om Samudra karena ia memanggil bos. Sekarang aku bahkan mendengar langsung dari mulut pria itu walaupun hanya menguping.Kuusap dada perlahan sebelum berniat pergi dari depan kamar pria itu. Aku harus pergi sebelum ia menyadari jika aku menguping pembicaraannya di telepon. Sebenarnya bukan sengaja menguping jika aku akhirnya mendengar. Aku sedang mencarinya untuk menanyakan perihal laptop yang tergeletak di meja dekat a
14Suasana ruang makan terasa hening. Tidak ada suara yang terdengar selain denting sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring. Padahal di sini aku dan pria yang bergelar suami tengah makan.Sejak penolakanku tempo hari, kami jarang berinteraksi. Om Samudra sibuk dengan dunianya yang entah apa. Jarang berkeliaran di dalam rumah. Sesekali juga pergi ke luar. Aku tidak pernah bertanya ke mana pria itu pergi atau apa yang dilakukannya karena itu akan melanggar perjanjian yang kubuat sendiri.Untunglah aku pun sibuk dengan dunia sendiri. Seharian menulis setelah membereskan pekerjaan rumah layaknya seorang istri. Meski tidak tertera dalam perjanjian, aku usahakan menghandel pekerjaan rumah. Padahal Om Samudra biasa memesan jasa cleaning servis online untuk membersihkan rumahnya, tetapi rasanya membosankan jika hanya duduk seharian.Karenanya di hari kedua tinggal di sana, aku menyampaikan kepada pria itu agar tidak lagi memesan cleaning service online. Aku berjanji akan mengerja
15“Om mau apa?” pekikku seraya meronta ingin diturunkan. Bagaimana ia begitu lancang langsung menggendongku tanpa izin?Ya Tuhan, amankan jantungku. Jangan sampai ia tahu kalau jantungku melompat-lompat seolah sedang aerobik.Dia tidak menjawab, dengan santainya mengeratkan bopongan. Terus membawaku entah ke mana.“Om Sam, kamu mau apa?” Lagi aku memekik. Kali ini meronta lebih kuat. “Apa kamu tidak menyimakku tadi?”Ia masih tidaka peduli. Terus membawa tubuhku.“Aku bilang tadi, kalau aku sedang haid!” Lagi aku memekik. Kali ini lebih keras.Hening.Langkah kakinya terhenti. Tidak ada suara yang terdengar kecuali detak jantungku yang menggebu bahkan mungkin menabrak-nabrak dadanya saking kencang berdetak.Kami terlibat saling tatap intens dalam jangka waktu lumayan lama. Dan tentu saja dalam jarak yang lumayan dekat karena aku berada di dadanya. Ia terlihat kaget, terlebih aku. Bahkan bukan hanya kaget, tapi campuran takut, malu dan entah apalagi.Kami masih terlibat saling tatap,