6
“Apa yang kamu lakukan, Bas?”
Pertanyaan dari suara bariton membuat aku dan Bastian menoleh hampir bersamaan. Bastian yang hampir membungkuk, mengurungkan niatnya. Dan kesempatan itu kugunakan cepat untuk mengambil semua kertas yang terserak. Memasukkan kembali ke dalam map dengan asal. Setelahnya aku langsung berlari dan mengambil tempat di belakang pria yang barusan bertanya. Samudra.
Walaupun masih takut melihat wujud Samudra, tapi aku lebih takut dengan laki-laki seperti Bastian. Aku takut ia nekat menyentuhku secara ia sudah terbiasa melakukannya tanpa merasa berdosa.
Bastian mendengkus melihatku berlindung di belakang tubuh Om-nya. Kemudian pergi tanpa berkata-kata.
Aku memejam sembari melepaskan napas lega. Kemudian mengekori Samudra yang membuka pintu ruangan di belakang tubuh kami.
Untunglah Bastian tidak sempat mengambil dan membaca surat perjanjian kontrak pernikahan ini. Kalau sempat, mau ditaruh di mana wajah kami? Ia pasti akan mengolok kami sepanjang waktu. Menyebarkan berita kepada seluruh keluarga, dan lebih parahnya punya kunci untuk menekanku agar membatalkan pernikahan dengan Samudra dan memaksa menikah dengannya.
Aku langsung menutup pintu begitu kami berada di dalam ruangan. Lagi-lagi kuhela napas lega. Bersyukur Samudra datang tepat waktu di saat aku terdesak. Semoga saja dia tidak melihat posisi kami tadi.
“Masih berniat melanjutkan pernikahan dengan Bastian?” tanya Samudra yang kini duduk di sofa. Wajahnya datar seperti biasa.
Keningku mengernyit. “Kenapa Om bertanya begitu?”
Jangan-jangan ia melihat perbuatan Bastian tadi dan berpikiran buruk tentang kami.
Pria itu terlihat menarik napas panjang. “Aku pikir kamu sangat mencintainya,” ujarnya masih dengan datar juga.
Aku memejam dengan kuat.
Cinta?
‘Ya, aku sangat mencintainya. Tapi itu dulu. Sebelum tahu jika ia sudah berselingkuh di belakangku.’
Ingin kukatakan itu, tetapi nyatanya hanya dalam hati aku mampu mengatakannya. Sudah tidak penting membahas Bastian. Yang terpenting sekarang membahas hubungan kami. Pernikahan dan perjanjian ini.
“Aku sudah membuat surat perjanjiannya, Om.” Kuputuskan mengalihkan pembicaraan. Lalu meletakkan map di meja. “Aku buat rangkap dua agar kita masing-masing bisa menyimpannya.”
Samudra tidak menjawab. Ia hanya melirikku sebentar dan langsung meraih map yang aku taruh, lalu mengeluarkan pena setelah mencari lembaran halaman paling akhir di mana kami harus membubuhkan tanda tangan.
Ya, aku lupa tadi kertas-kertas itu berserakan di lantai, dan aku memasukkan dengan asal tanpa disusun kembali. Pantas jika Samudra harus mencari halaman terakhirnya dulu. Aku menahan pria itu saat merasa ada kejanggalan.
“Tunggu, Om!” Aku menahannya saat ia ingin langsung menandatangani surat itu.
Samudra menghentikan gerakan tangannya, kemudian menengadah menatapku. Aku bahkan masih berdiri karena masih canggung harus duduk berhadapan dengannya.
“Kenapa? Tidak jadi membuat surat perjanjian?” Kedua alisnya terangkat.
“Bu-bukan itu.” Aku menggoyangkan tangan. “Apa Om tidak mau membaca dulu semuanya? Siapa tahu ada poin yang Om tidak setuju.”
Samudra diam sesaat, tetapi tak lama kembali menggerakkan penanya. “Aku setuju semua, asal satu syarat itu sudah kamu masukkan,” ujarnya tenang.
“Bagaimana kalau belum aku masukkan? Makanya Om baca dulu semua.”
“Kamu masukkan di poin terakhir, kan? Bahkan dengan memejam pun aku bisa membacanya.” Ia langsung membubuhkan tandatangannya bahkan di dua berkas sekaligus dengan ringannya. Dan itu semakin meyakinkanku, jika pernikahan ini baginya tidak penting sama sekali.
**
Aku memilin jari-jemari dengan resah. Telapak tangan sejak tadi sudah basah oleh keringat dingin. Berkali-kali kutarik napas dalam dan membuangnya kasar. Berharap berbagai gemuruh di dada ternetralisir.
Berkali-kali MUA yang tengah mendandaniku membetulkan posisi kepala ini yang selalu menunduk. Rasa gugup tak dapat kututupi. Bahkan sejak semalam aku tidak dapat memejamkan mata.
Ini hari pernikahanku. Aku begitu stress memikirkannya. Membayangkan jika setelah ini aku tidak akan lagi tidur sendiri di kamarku, dada terasa sesak. Setelah hari ini, aku harus tinggal dan hidup bersama pria yang baru kutemui dua kali. Itu pun dalam durasi yang tidak lama. Hanya berkenalan dan menandatangani surat perjanjian.
Walaupun terlihat tidak seberbahaya yang aku pikirkan, bisa saja itu hanya citra yang ia tampilkan di awal. Bisa saja setelah menikah nanti baru keluar aslinya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Olokan ibu dan saudara tiriku selama menunggu hari ini membuatku benar-benar tersiksa. Aku terus membayangkan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah benar-benar menikah dengan pria itu.
Belum lagi jika memikirkan pandangan dan gunjingan tamu undangan yang akhirnya tahu jika pengantin prianya sudah diganti.
Aku kembali memejam. Entah apa yang akan mereka pikirkan melihatku bersanding dengan makhluk jadi-jadian? Terlebih teman-teman yang sudah kuundang dan tahu jika aku akan menikah dengan Bastian Hanggara. Pemuda tampan yang menjadi pujaaan banyak wanita. Mereka bahkan iri karena aku yang hanya gadis biasa-biasa ini bisa bersanding dengan pemuda seperti Bastian.
Tapi kini? Aku sudah tidak sanggup duluan membayangkan apa yang akan mereka pikirkan.
“Nona Mentari,” panggilan suara wanita yang lumayan dekat telinga membuat mata ini terbuka.
“Sudah selesai, Nona,” ujar wanita tiga puluhan yang entah sudah berapa lama mendandaniku.
Aku menatap bayangan di cermin. Di mana terdapat pengantin wanita cantik yang bahkan tidak kukenali. Begitu mahir para perias itu menyulap diri ini menjadi sangat asing bahkan untuk diriku sendiri.
“Nona Tari suka?” Salah seorang di antara mereka bertanya seraya membetulkan letak sigger yang sebenarnya sudah bertengger cantik di kepalaku.
Aku tersenyum puas. Aku sangat suka hasil kerja mereka yang sempurna hingga aku terlihat seperti ratu betulan. Hanya saja senyumku memudar saat menyadari dengan siapa aku menikah. Aku bahkan yakin jika kami nantinya hanya akan menjadi tontotan konyol.
Bagaimana tidak? Mempelaiku seorang pria tua dengan rambut panjang dan keriting seperti seorang rocker. Belum lagi bulu-bulu di wajahnya yang tidak pernah bersentuhan dengan pisau cukur.
Ya Tuhan … apa aku tidak berhak mendapat laki-laki yang lebih baik?
“Nona, sudah ditunggu untuk acara akad nikah.” Salah satu panitia masuk ke ruangan ini dan mengabarkan agar aku segera keluar.
Kembali aku memejamkan mata. Kali ini hanya sebentar. Lalu menarik napas panjang sebelum benar-benar keluar.
Aku mulai berjalan anggun dan pelan di atas hamparan karpet merah, karena kain kebaya yang kupakai lumayan sempit. Dua orang panitia wanita dari WO mengiringiku di sisi kiri dan kanan. Dan dua lainnya membantu mengangkat ujung kebaya yang panjang menyapu lantai.
Aku bukan tidak tahu jika semua tetamu undangan yang duduk di kanan dan kiri jalanan berkarpet merah, tengah menatapku saat ini. Ya, aku tengah menjadi pusat perhatian dengan kemunculan diri ini untuk melaksanakan acara inti pernikahan. Kukepalkan kedua tangan untuk menyemangati diri. Aku harus kuat menghadapi apa pun yang akan terjadi setelah ini. Termasuk mendengar olokan semua tamu undangan yang akan mentertawakan pernikahan ini.
Kedua panitia yang membersamaiku mengisyaratkan agar aku menghentikan langkah di sebuah persimpangan aula ini. Salah satunya menunjuk ke depan. Memintaku agar menunggu dan menatap ke sana. Ke arah berlawanan, di mana di atas karpet merah juga, sedang berjalan sesosok pria tinggi tegap dengan kostum pengantin. Ia berjalan gagah menuju tempatku berdiri.
Aku mematung di sini dengan mata yang tetiba membola sempurna, bahkan ingin loncat dari rongganya. Bukan hanya itu, mulutku tak sadar terbuka lebar. Jantung terasa berhenti berdetak.
Bagaimana tidak? Sosok pria berkostum pengantin yang berjalan ke arahku itu, bukan makhluk jadi-jadian yang selalu aku takutkan siang dan malam. Melainkan pria tampan dan matang yang terlihat sangat sempurna.
Tidak ada rambut gondrong keriting yang tak terurus. Tidak ada bulu-bulu liar yang bahkan menutupi hampir sebagian wajahnya. Yang ada di hadapanku dan baru saja sampai itu hanya sosok pria berusia tiga puluh tujuh tahun yang sangat gagah dalam balutan kostum pengantin serupa denganku.
Ya Tuhan ….
Tubuhku nyaris limbung jika saja empat orang panitia yang sejak tadi membersamaiku tidak menahan tubuh ini.
Bab 7“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama
11“Tidak apa-apa, Bu. Mentari hanya belum terbiasa saja. Kami menikah bahkan masih dalam hitungan jam. Semua butuh proses.” Penjelasan Om Samudra memecah keheningan pasca pertanyaan Nenek Widya untukku.Aku menelan ludah. Menatap nanar pria itu dengan hati yang menghangat. Entah untuk ke berapa kalinya ia membelaku di hadapan orang tua. Dan satu hal kuyakini, jika ia sebaik itu, aku yakin mau mengabulkan permintaanku.Aku tahu Novita memang salah. Akan tetapi ini untuk kebaikan ayah. Bukankah ayahku mertuanya juga?“O … hmmm, Mas.” Hampir saja aku memanggilnya Om lagi. Kutatap pria yang juga menatapku dengan harapan tinggi ia akan berbaik hati memenuhi permintaanku.“Bolehkan aku meminta Mas mencabut laporan itu?” Dengan segenap permohonan aku meminta.Pria itu menatapku dalam diam. Ekspresinya? Sama seperti biasa. Datar seperti jalan tol. Aku menunggu dengan sabar.“Tari, Samudra melakukan itu semua karena kamu. Karena wanita itu sudah mencelakakan kamu. Dan Nenek rasa itu pantas un
12“Dasar anak tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Calon penghuni neraka!” Sumpah serapah Tante Yulia langsung berhamburan begitu melihatku memapah Ayah turun dari mobil. Wanita yang awalnya mondar-mandir di teras itu langsung menyongsong kami dengan wajah merah padam dan ingin langsung menyerang.Ia bahkan tidak peduli ayah yang terlihat lemah hingga harus kupapah. Wanita itu hampir saja meraih rambutku saat seseorang berlari berputar dari pintu samping kemudi dan langsung berdiri di sampingku.Gerakkan Tante Yulia tertahan. Matanya yang merah menyala menatapku dan pria di sampingku silih berganti. Dadanya bergerak cepat. Mungkin menahan amarah yang tidak bisa terluapkan.“Berani anda menyentuh Mentari seujung rambut pun, saya tidak segan melaporkan anda sekalian, Nyonya.” Kalimat itu terucap datar dan pelan, tetapi sukses membuat Tante Yulia meradang hebat. Terlebih saat pria di sampingku melanjutkan.“Anda dan putri tercinta anda bisa sekalian reuni di penjara.”Tante Yulia memea
13“Blacklist, dan sebarkan ke semua cyrcle agar tidak ada yang menerima.”Samar-samar kudengar kalimat itu berasal dari sebuah ruangan yang aku yakin kamar pribadi Om Samudra.“Jika ada yang masih berani membantu, cepat beritahu aku. Lenyapkan saja sekalian!”Mataku membola sempurna. Kedua tangan menutup mulut yang nyaris memekik kaget.Lenyapkan? Apa maksdunya?Kutahan napas, dan berusaha menormalkan detak jantung yang tetiba meloncat-loncat. Untuk kedua kalinya kudengar kalimat itu. Oh, tidak. Waktu itu aku hanya membaca seepotong pesan yang aku yakin dari anak buah Om Samudra karena ia memanggil bos. Sekarang aku bahkan mendengar langsung dari mulut pria itu walaupun hanya menguping.Kuusap dada perlahan sebelum berniat pergi dari depan kamar pria itu. Aku harus pergi sebelum ia menyadari jika aku menguping pembicaraannya di telepon. Sebenarnya bukan sengaja menguping jika aku akhirnya mendengar. Aku sedang mencarinya untuk menanyakan perihal laptop yang tergeletak di meja dekat a
14Suasana ruang makan terasa hening. Tidak ada suara yang terdengar selain denting sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring. Padahal di sini aku dan pria yang bergelar suami tengah makan.Sejak penolakanku tempo hari, kami jarang berinteraksi. Om Samudra sibuk dengan dunianya yang entah apa. Jarang berkeliaran di dalam rumah. Sesekali juga pergi ke luar. Aku tidak pernah bertanya ke mana pria itu pergi atau apa yang dilakukannya karena itu akan melanggar perjanjian yang kubuat sendiri.Untunglah aku pun sibuk dengan dunia sendiri. Seharian menulis setelah membereskan pekerjaan rumah layaknya seorang istri. Meski tidak tertera dalam perjanjian, aku usahakan menghandel pekerjaan rumah. Padahal Om Samudra biasa memesan jasa cleaning servis online untuk membersihkan rumahnya, tetapi rasanya membosankan jika hanya duduk seharian.Karenanya di hari kedua tinggal di sana, aku menyampaikan kepada pria itu agar tidak lagi memesan cleaning service online. Aku berjanji akan mengerja