“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.
“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”
“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”
“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”
Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.
“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras. “Lagi pula, kenapa aku yang digantikan? Jika memang tujuannya menyatukan dua keluarga, aku dan Novita juga bisa menikah besok.”
Ucapan itu menciptakan lengkung senyum di tiga wajah wanita. Novita, ibunya dan ibu Bastian. Aku bisa melihatnya, dan paham jika Tante Esther lebih menyukai Novita. Saudara tiriku itu memang berhasil lulus kuliah dan kini tengah bekerja kantoran, serta aktif sekali bersosialisasi sana sini.
Sementara aku? Ah, sempat kupikir Bastian tidak rela untuk melepaskanku. Ternyata pria berengsek itu hanya tidak mau kalah saing, egonya tidak mengizinkan dia untuk itu. Jika dia yang digantikan, pastilah orang-orang tahu siapa yang bersalah di sini.
Bagaimana aku bisa tidak menyadari hal tersebut sebelumnya?
“Ini perjodohan antara keluarga Hanggara dan keluarga Baskara,” tegas Nenek Widya. “Harus keturunan asli yang dijodohkan. Bukan anak tiri. Nenek tidak mau keturunan Hanggara menikah bukan dengan keturunan asli keluarga Baskara. Ingat, Novita hanya cucu tiri kakeknya Mentari.”
Hening beberapa saat setelah penjelasan panjang Nenek Widya. Raut tidak terima masih tercetak jelas di wajah Bastian.
Pria itu berjalan gusar ke sana kemari dengan bola mata bergerak liar. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Pertanda ia masih mencari alasan untuk membuat keputusan neneknya berubah.
Sementara aku?
Aku sejak tadi hanya menyimak, merasakan dada ini tidak pernah diberi kesempatan untuk menghirup banyak oksigen. Rasa sesak terus menjejali dada.
Bagaimana tidak? Setelah diminta tetap menikah dengan Bastian yang jelas-jelas sudah berkhianat, kini diberi pilihan lain yang sama sekali bukan solusi.
Nenek Widya ingin aku tetap menikah dengan keturunannya. Dan Samudra Hanggara yang kini dipilihnya menjadi mempelai pengganti Bastian.
Bagaimana mungkin aku menikah dengannya, sedangkan rupa lelaki itu saja aku tidak pernah tahu. Dan menurut cerita Bastian, Samudra itu lelaki payah yang tidak pernah dianggap ada dalam keluarga Hanggara.
Ini istilahnya lepas dari mulut harimau masuk mulut ular. Bisa saja Samudra Hanggara itu seorang psikopat kejam, atau pembunuh berdarah dingin, atau kanibal. Sekalipun ia adalah putra Nenek Widya, tapi keberadaannya disembunyikan oleh keluarga.
Atau bisa juga ia seseorang yang memiliki orientasi seks menyimpang, ingin menjadi transgender tetapi ditentang keluarganya. Bisa saja, kan? Secara dia memang tidak pernah terlihat dalam keluarga.
Aku bergidik ngeri. Ya Tuhan, kenapa nasibku seburuk ini? Bukankah ini artinya Nenek Widya ingin menumbalkanku? Andai saja kondisi Ayah–
“Tari.” Sentuhan di punggung tangan membuat mataku yang semula terpejam, membuka. Ternyata Bastian sudah duduk di sampingku. “Ayo, ajukan keberatanmu pada Nenek. Kamu tidak mau kan, menikah dengan Omku yang payah itu? Yang tidak kamu kenal itu?”
Aku menelan ludah seraya menatap wajahnya yang serius. Sungguh, aku tidak mau menikah dengan Samudra, tapi aku lebih tidak mau menikah dengan bajingan di depanku ini.
“Dia itu sangat payah. Kamu tidak akan hidup bahagia dengannya, Tari. Dia tidak akan bisa memenuhi nafkahmu baik lahir maupun bathin.” Bastian meyakinkanku dengan sangat serius.
“Om Sam tidak punya pekerjaan. Dia juga bukan laki-laki sejati. Di usianya yang hampir 40 tahun itu, Om Sam belum pernah mengenal wanita sama sekali. Apa kamu mau hidup dengan laki-laki payah itu selamanya?” Bastian terus memprovokasi. “Ayo sampaikan keberatanmu sama Nenek. Katakan kamu akan tetap menikah denganku saja.”
“Bastian!” Nenek Widya menegur, kali ini lebih keras. Wajah ayunya memerah. “Jaga mulutmu! Urus saja masalahmu dengan wanita itu.”
Telunjuk Nenek Widya mengarah ke wajah Novita yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, seperti baru mendapat lotre.
Sementara Bastian berdecak seraya membuang pandangan.
“Tari, keputusan Nenek sudah final. Kamu tetap akan menikah dengan salah satu anggota keluarga Hanggara untuk memenuhi amanah para tetua. Dan karena Bastian sudah membuat ulah, maka pamannya yang akan menggantikan.” Nenek Widya menancapkan lagi pengaruhnya dengan titah tak terbantahkan.
“Kamu tidak perlu mendengarkan ucapan Bastian. Tapi jika semua yang diucapkan Bastian itu benar, tugasmu nanti sebagai istri membuat Samudra lebih baik.”
Aku menggigit bibir sambil memejam. Apalagi yang bisa kulakukan? Bahkan jika aku ingin menolak semua ini, kesehatan ayah taruhannya.
**
Aku berjalan gontai menyusuri lorong rumah besar keluarga Hanggara. Tujuanku salah satu ruangan di mana ayah beristirahat.
Apa ada yang bernasib lebih buruk dariku? Sudahlah hidup tertekan sejak ayah menikahi ibunya Novita dan membawanya ke rumah, putus kuliah, dikhianati calon suami, kini harus menghadapi kenyataan akan menikah dengan laki-laki yang bahkan wujudnya saja aku tidak pernah tahu.
Ibu, kenapa dulu kamu tidak membawaku serta saja ke surga?
Aku berniat meraih gagang pintu ruangan tempat Ayah istirahat, saat seseorang menabrak pundak ini dengan kasar. Rentetan olokan pun langsung memenuhi indra pendengaran.
“Hei, lihatlah siapa ini? Calon pengantin dari laki-laki payah!” Novita yang datang bersama ibunya langsung mengejekku dengan mengatai tepat di depan wajahku.
Tawa kedua wanita itu membahana setelahnya.
“Selamat menjadi istri dari om-om payah, Mentariku sayang,” lanjut Novita lagi diakhiri cekikikan.
Aku mengepalkan tangan.
“Kasihan ya, kamu. Seumur hidup tidak akan pernah merasakan apa itu surga dunia. Ahh ….” Sebuah desahan menjijikkan mengakiri olokan saudara tiriku itu.
“Sudah, jangan diledek terus saudaramu, Vita. Kasihan, sudahlah tidak jadi dengan Bastian, eh dapatnya laki-laki tua yang payah.” Ibu tiriku ikut-ikutan mengucapkan kalimat yang tidak kalah pedas.
Tanganku semakin mengepal. Kini diserai rahang yang mengeras.
“Oh iya, Ma. Aku lupa, nanti Tari mengemis minta ditiduri lagi sama Bastian. Calon suamiku kan, hebat. Dia sangat perkasa.”
Darah tetiba mendidih. Kepalan tangan semakin kuat. Napas kutahan karena sesuatu terasa ingin meledak.
“Jangan sampai itu terjadi, jangan sampai Tari merasakan bagaimana hebatnya Bastian. Walaupun Bastian sendiri sudah mengatakan tidak sudi menikahi wanita yang pastinya tidak bisa lebih hebat dariku di ranjang, bisa saja diam-diam tari merayu—”
“Tutup mulut busukmu, dasar murahan!” Aku sudah tidak tahan lagi. Tidak menunggu sampai Novita menyelesaikan kalimatnya, kuterjang dia dengan kasar. Namun, belum sempat aku meremas mulut lemesnya, ibu tiriku bertindak lebih dulu. Wanita itu menarik tanganku, dan mendorong tubuh ini dengan kuat hingga aku terjengkang.
Aku memekik sambil memejam karena yakin tubuh ini akan membentur dinding koridor tak lama lagi. Namun, sesuatu yang terasa kokoh dan hangat tetiba menahan punggung ini hingga aku tidak jadi terjatuh.
Hening beberapa saat. Aku membuka mata karena heran, dan yang pertama kulihat adalah wajah pucat dua wanita di hadapanku.
Ada apa?
Kuikuti arah pandangan mereka hingga mendapati sesosok manusia tinggi besar dengan wajah dipenuhi bulu liar dan rambut gondrong yang diikat asal, berada tak jauh dengan tubuh ini. Bahkan bisa dibilang sangat dekat.
Masih hening saat pupil mataku bergerak perlahan menyusuri sosok itu. Dari wajahnya yang menyeramkan, hingga tangannya yang ternyata sedang … memegangiku.
Oh Tuhan, jantungku seolah berhenti berdetak sebelum kemudian ingin loncat dari rongganya. Bagaimana tidak, manusia besar itu ternyata sedang–
“Ah!” Aku sontak memekik saat menyadari berada dalam pelukannya. Kaget, dan tentu saja takut. Kemudian tiba-tiba duniaku menggelap.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d
Bab 5“Arghhhh ….” Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Lalu meremas kertas di atas meja, membuangnya ke tempat sampah yang bahkan sudah penuh dengan benda serupa. Entah sudah berapa banyak kertas-kertas tak bersalah itu kuremas kasar dan dilempar begitu saja. Rasanya sangat sulit menyusun kalimat untuk poin-poin perjanjian pernikahan itu.Ya, aku kini tengah menyusun surat perjanjian kontrak dengan laki-laki bernama Samudra Hanggara yang tiba-tiba saja menjadi calon suamiku.Apa harus hidup selawak ini?Kemarin calon suamiku masih Bastian pemuda tampan yang dipuja banyak wanita, hari ini tiba-tiba semua berubah. Tiba-tiba saja mempelaiku berganti menjadi laki-laki tua yang menurut ibu dan saudara tiriku makhluk jadi-jadian dari planet lain.Aku mengusap wajah dengan kasar. Entah kalimat apa lagi yang harus kutulis dalam surat perjanjian itu. Bayangan wujud Samudra yang ‘ajaib’ membuatku tidak bisa fokus, padahal biasanya aku pandai merangkai kata. Dan anehnya aku harus menyusun sura
6“Apa yang kamu lakukan, Bas?”Pertanyaan dari suara bariton membuat aku dan Bastian menoleh hampir bersamaan. Bastian yang hampir membungkuk, mengurungkan niatnya. Dan kesempatan itu kugunakan cepat untuk mengambil semua kertas yang terserak. Memasukkan kembali ke dalam map dengan asal. Setelahnya aku langsung berlari dan mengambil tempat di belakang pria yang barusan bertanya. Samudra.Walaupun masih takut melihat wujud Samudra, tapi aku lebih takut dengan laki-laki seperti Bastian. Aku takut ia nekat menyentuhku secara ia sudah terbiasa melakukannya tanpa merasa berdosa.Bastian mendengkus melihatku berlindung di belakang tubuh Om-nya. Kemudian pergi tanpa berkata-kata.Aku memejam sembari melepaskan napas lega. Kemudian mengekori Samudra yang membuka pintu ruangan di belakang tubuh kami.Untunglah Bastian tidak sempat mengambil dan membaca surat perjanjian kontrak pernikahan ini. Kalau sempat, mau ditaruh di mana wajah kami? Ia pasti akan mengolok kami sepanjang waktu. Menyebarka
Bab 7“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama
11“Tidak apa-apa, Bu. Mentari hanya belum terbiasa saja. Kami menikah bahkan masih dalam hitungan jam. Semua butuh proses.” Penjelasan Om Samudra memecah keheningan pasca pertanyaan Nenek Widya untukku.Aku menelan ludah. Menatap nanar pria itu dengan hati yang menghangat. Entah untuk ke berapa kalinya ia membelaku di hadapan orang tua. Dan satu hal kuyakini, jika ia sebaik itu, aku yakin mau mengabulkan permintaanku.Aku tahu Novita memang salah. Akan tetapi ini untuk kebaikan ayah. Bukankah ayahku mertuanya juga?“O … hmmm, Mas.” Hampir saja aku memanggilnya Om lagi. Kutatap pria yang juga menatapku dengan harapan tinggi ia akan berbaik hati memenuhi permintaanku.“Bolehkan aku meminta Mas mencabut laporan itu?” Dengan segenap permohonan aku meminta.Pria itu menatapku dalam diam. Ekspresinya? Sama seperti biasa. Datar seperti jalan tol. Aku menunggu dengan sabar.“Tari, Samudra melakukan itu semua karena kamu. Karena wanita itu sudah mencelakakan kamu. Dan Nenek rasa itu pantas un