Share

MEMPELAI PENGGANTI

Bab 3

“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.

“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”

“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”

“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”

Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.

“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras. “Lagi pula, kenapa aku yang digantikan? Jika memang tujuannya menyatukan dua keluarga, aku dan Novita juga bisa menikah besok.”

Ucapan itu menciptakan lengkung senyum di tiga wajah wanita. Novita, ibunya dan ibu Bastian. Aku bisa melihatnya, dan paham jika Tante Esther lebih menyukai Novita. Saudara tiriku itu memang berhasil lulus kuliah dan kini tengah bekerja kantoran, serta aktif sekali bersosialisasi sana sini.

Sementara aku? Ah, sempat kupikir Bastian tidak rela untuk melepaskanku. Ternyata pria berengsek itu hanya tidak mau kalah saing, egonya tidak mengizinkan dia untuk itu. Jika dia yang digantikan, pastilah orang-orang tahu siapa yang bersalah di sini.

Bagaimana aku bisa tidak menyadari hal tersebut sebelumnya?

“Ini perjodohan antara keluarga Hanggara dan keluarga Baskara,” tegas Nenek Widya. “Harus keturunan asli yang dijodohkan. Bukan anak tiri. Nenek tidak mau keturunan Hanggara menikah bukan dengan keturunan asli keluarga Baskara. Ingat, Novita hanya cucu tiri kakeknya Mentari.”

Hening beberapa saat setelah penjelasan panjang Nenek Widya. Raut tidak terima masih tercetak jelas di wajah Bastian.

Pria itu berjalan gusar ke sana kemari dengan bola mata bergerak liar. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Pertanda ia masih mencari alasan untuk membuat keputusan neneknya berubah.

Sementara aku?

Aku sejak tadi hanya menyimak, merasakan dada ini tidak pernah diberi kesempatan untuk menghirup banyak oksigen. Rasa sesak terus menjejali dada.

Bagaimana tidak? Setelah diminta tetap menikah dengan Bastian yang jelas-jelas sudah berkhianat, kini diberi pilihan lain yang sama sekali bukan solusi.

Nenek Widya ingin aku tetap menikah dengan keturunannya. Dan Samudra Hanggara yang kini dipilihnya menjadi mempelai pengganti Bastian.

Bagaimana mungkin aku menikah dengannya, sedangkan rupa lelaki itu saja aku tidak pernah tahu. Dan menurut cerita Bastian, Samudra itu lelaki payah yang tidak pernah dianggap ada dalam keluarga Hanggara.

Ini istilahnya lepas dari mulut harimau masuk mulut ular. Bisa saja Samudra Hanggara itu seorang psikopat kejam, atau pembunuh berdarah dingin, atau kanibal. Sekalipun ia adalah putra Nenek Widya, tapi keberadaannya disembunyikan oleh keluarga.

Atau bisa juga ia seseorang yang memiliki orientasi seks menyimpang, ingin menjadi transgender tetapi ditentang keluarganya. Bisa saja, kan? Secara dia memang tidak pernah terlihat dalam keluarga.

Aku bergidik ngeri. Ya Tuhan, kenapa nasibku seburuk ini? Bukankah ini artinya Nenek Widya ingin menumbalkanku? Andai saja kondisi Ayah–

“Tari.” Sentuhan di punggung tangan membuat mataku yang semula terpejam, membuka. Ternyata Bastian sudah duduk di sampingku. “Ayo, ajukan keberatanmu pada Nenek. Kamu tidak mau kan, menikah dengan Omku yang payah itu? Yang tidak kamu kenal itu?”

Aku menelan ludah seraya menatap wajahnya yang serius. Sungguh, aku tidak mau menikah dengan Samudra, tapi aku lebih tidak mau menikah dengan bajingan di depanku ini.

“Dia itu sangat payah. Kamu tidak akan hidup bahagia dengannya, Tari. Dia tidak akan bisa memenuhi nafkahmu baik lahir maupun bathin.” Bastian meyakinkanku dengan sangat serius.

“Om Sam tidak punya pekerjaan. Dia juga bukan laki-laki sejati. Di usianya yang hampir 40 tahun itu, Om Sam belum pernah mengenal wanita sama sekali. Apa kamu mau hidup dengan laki-laki payah itu selamanya?” Bastian terus memprovokasi. “Ayo sampaikan keberatanmu sama Nenek. Katakan kamu akan tetap menikah denganku saja.”

“Bastian!” Nenek Widya menegur, kali ini lebih keras. Wajah ayunya memerah. “Jaga mulutmu! Urus saja masalahmu dengan wanita itu.”

Telunjuk Nenek Widya mengarah ke wajah Novita yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, seperti baru mendapat lotre.

Sementara Bastian berdecak seraya membuang pandangan.

“Tari, keputusan Nenek sudah final. Kamu tetap akan menikah dengan salah satu anggota keluarga Hanggara untuk memenuhi amanah para tetua. Dan karena Bastian sudah membuat ulah, maka pamannya yang akan menggantikan.” Nenek Widya menancapkan lagi pengaruhnya dengan titah tak terbantahkan.

“Kamu tidak perlu mendengarkan ucapan Bastian. Tapi jika semua yang diucapkan Bastian itu benar, tugasmu nanti sebagai istri membuat Samudra lebih baik.”

Aku menggigit bibir sambil memejam. Apalagi yang bisa kulakukan? Bahkan jika aku ingin menolak semua ini, kesehatan ayah taruhannya.

**

Aku berjalan gontai menyusuri lorong rumah besar keluarga Hanggara. Tujuanku salah satu ruangan di mana ayah beristirahat.

Apa ada yang bernasib lebih buruk dariku? Sudahlah hidup tertekan sejak ayah menikahi ibunya Novita dan membawanya ke rumah, putus kuliah, dikhianati calon suami, kini harus menghadapi kenyataan akan menikah dengan laki-laki yang bahkan wujudnya saja aku tidak pernah tahu.

Ibu, kenapa dulu kamu tidak membawaku serta saja ke surga?

Aku berniat meraih gagang pintu ruangan tempat Ayah istirahat, saat seseorang menabrak pundak ini dengan kasar. Rentetan olokan pun langsung memenuhi indra pendengaran.

“Hei, lihatlah siapa ini? Calon pengantin dari laki-laki payah!” Novita yang datang bersama ibunya langsung mengejekku dengan mengatai tepat di depan wajahku.

Tawa kedua wanita itu membahana setelahnya.

“Selamat menjadi istri dari om-om payah, Mentariku sayang,” lanjut Novita lagi diakhiri cekikikan.

Aku mengepalkan tangan.

“Kasihan ya, kamu. Seumur hidup tidak akan pernah merasakan apa itu surga dunia. Ahh ….” Sebuah desahan menjijikkan mengakiri olokan saudara tiriku itu.

“Sudah, jangan diledek terus saudaramu, Vita. Kasihan, sudahlah tidak jadi dengan Bastian, eh dapatnya laki-laki tua yang payah.” Ibu tiriku ikut-ikutan mengucapkan kalimat yang tidak kalah pedas.

Tanganku semakin mengepal. Kini diserai rahang yang mengeras.

“Oh iya, Ma. Aku lupa, nanti Tari mengemis minta ditiduri lagi sama Bastian. Calon suamiku kan, hebat. Dia sangat perkasa.”

Darah tetiba mendidih. Kepalan tangan semakin kuat. Napas kutahan karena sesuatu terasa ingin meledak.

“Jangan sampai itu terjadi, jangan sampai Tari merasakan bagaimana hebatnya Bastian. Walaupun Bastian sendiri sudah mengatakan tidak sudi menikahi wanita yang pastinya tidak bisa lebih hebat dariku di ranjang, bisa saja diam-diam tari merayu—”

“Tutup mulut busukmu, dasar murahan!” Aku sudah tidak tahan lagi. Tidak menunggu sampai Novita menyelesaikan kalimatnya, kuterjang dia dengan kasar. Namun, belum sempat aku meremas mulut lemesnya, ibu tiriku bertindak lebih dulu. Wanita itu menarik tanganku, dan mendorong tubuh ini dengan kuat hingga aku terjengkang.

Aku memekik sambil memejam karena yakin tubuh ini akan membentur dinding koridor tak lama lagi. Namun, sesuatu yang terasa kokoh dan hangat tetiba menahan punggung ini hingga aku tidak jadi terjatuh.

Hening beberapa saat. Aku membuka mata karena heran, dan yang pertama kulihat adalah wajah pucat dua wanita di hadapanku.

Ada apa?

Kuikuti arah pandangan mereka hingga mendapati sesosok manusia tinggi besar dengan wajah dipenuhi bulu liar dan rambut gondrong yang diikat asal, berada tak jauh dengan tubuh ini. Bahkan bisa dibilang sangat dekat.

Masih hening saat pupil mataku bergerak perlahan menyusuri sosok itu. Dari wajahnya yang menyeramkan, hingga tangannya yang ternyata sedang … memegangiku.

Oh Tuhan, jantungku seolah berhenti berdetak sebelum kemudian ingin loncat dari rongganya. Bagaimana tidak, manusia besar itu ternyata sedang–

“Ah!” Aku sontak memekik saat menyadari berada dalam pelukannya. Kaget, dan tentu saja takut. Kemudian tiba-tiba duniaku menggelap.

Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Komen (35)
goodnovel comment avatar
Mardalena Daud
lanjutkan cerita nya dong
goodnovel comment avatar
Ammatulliah Bae
lanjut terys saya suka ceritanya
goodnovel comment avatar
Aidha Irha Syhafitri Syhafitri
kira" siapa yg nolongin jangan bilang calon suaminya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status