Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.
Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.
Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.
Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.
“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”
Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.
“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”
“Sial!” Bastian mengumpat.
Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan sebuah kekhilafan seperti yang selalu diucapkan lelaki itu.
Dan satu tekadku yang tidak akan dapat diubah lagi, pembatalan pernikahan.
**
“Memalukan!”
Plak!
Umpatan kasar disertai sebuah tamparan mendarat di pipi Bastian, sementara aku sengaja menutup mataku saat adegan itu terjadi.
Aku mengerti Om Benny pasti terpukul dan marah mengetahui jika anak kesayangannya melakukan hal nista beberapa hari menjelang hari pernikahannya.
“Apa yang kamu lakukan, Benny? Jangan memukul anakku!” Wanita setengah bule yang sejak tadi memeluk Bastian bereaksi keras saat tamparan mendarat dan meninggalkan jejak kemerahan di pipi pemuda itu. Wanita itu mengusap pipi Bastian dengan lembut sembari menatap suaminya dengan mata terbelalak.
“Anakmu pantas mendapatkanya, Esther! Lihat apa yang sudah diperbuatnya? Ia membuat malu keluarga kita dengan meniduri calon iparnya sendiri!” Om Benny berbalik menghadap wanita setengah bule yang masih saja memeluk dan membelai pipi Bastian. “Penikahan ini terancam batal. Mau ditaruh di mana muka kita, hah?”
Aku tahu Tante Esther sangat menyayangi Bastian. Bahkan masih memperlakukannya berlebihan seperti anak kecil. Karenanya ia tidak terima suaminya sendiri memukul Bastian.
“Sudah bilang ia hanya khilaf. Apa kamu tidak mendengarnya?” balas Tante Esther tidak mau kalah. “Lagi pula sejak awal aku kurang setuju anakku menikahi gadis biasa-biasa saja. Mentari tidak sebanding dengan anak kita. Ia bahkan tidak memiliki pekerjaan dan komunitas. Ia terlalu rumahan untuk anak kita yang merupakan calon penerus Hanggara Enterprise!”
Aku menggigit bibir dengan kuat. Kepala menunduk dalam. Ucapan ibunya Bastian menorehkan luka baru di atas luka yang sudah ada.
Ya, aku memang hanya gadis biasa. Keadaan menjadikanku demikian.
Meskipun sebelumnya bisa dibilang keluargaku hidup nyaman dan jauh berkecukupan, semuanya sudah tak berbekas. Ditambah lagi, karena tekanan ibu tiriku, ayah terpaksa memberhentikan kuliahku dengan alasan keuangan perusahaan sedang tidak stabil.
“Tapi Mentari itu cucu kandung keluarga Baskara yang sudah menolong keluarga kita dulu!”
“Itu kan, dulu! Lagi pula, ayahmulah yang berhutang budi dengan keluarga Baskara, kenapa harus Bastian yang membayar dengan menikahi gadis biasa?”
“Esther, kamu—"
“Sudah, sudah!” Nenek Widya menengahi perdebatan suami istri tersebut. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa. “Esther, kamu tidak berhak bicara seperti itu. Kamu hanya menantu di sini. Dan ingat, kamu pun dulu bukan siapa-siapa sebelum Benny menikahimu.”
Tante Esther terperangah mendapat teguran dari ibu mertuanya, kemudian serta merta terdiam. Wajahnya memerah seiring tatapan wanita yang walaupun banyak keriput di kulitnya, juga rambut yang hampir memutih semua, tetapi wibawanya sebagai nyonya nomor satu keluarga Hanggara itu masih sangat kuat. Ucapannya tak pernah terbantah. Bahkan Om Benny, ayahnya Bastian sangat patuh terhadap ibunya itu.
“Mentari,” panggil Nenek Widya mengalihkan pandangan padaku.
Aku hanya mendongak sebentar, mengangguk, kemudian kembali menunduk.
Wajah dan gaya elegan khas wanita ningratnya membuatku tak pernah berani menatapnya terlalu lama.
“Atas nama keluarga Hanggara, Nenek minta maaf sama kamu. Maafkan perbuatan cucu Nenek yang terkutuk itu.”
Aku kembali menelan ludah. Jari tangan saling memilin. Tidak seharusnya Nenek Widya meminta maaf untuk perbuatan cucunya yang menjijikkan. Itu sama sekali bukan salahnya.
“Nenek sangat malu. Bastian sudah mencoreng nama keluarga. Nenek sangat mengerti perasaan kamu, Tari.”
Aku mengangguk lagi.
Satu hal yang kusyukuri, sejak awal nenek Widya sangat menyayangiku. Bahkan beliau salah satu alasan aku menerima dengan senang hati perjodohan ini. Meskipun dalam hati aku tahu kalau aku tengah digunakan oleh keluargaku agar posisi dan keuangan kami kembali stabil.
“Tapi, Tari. Pembatalan pernikahan yang kamu ajukan, kami tidak bisa mengabulkannya,” lanjut Nenek Widya lemah.
Serta-merta kepala ini mendongak dan memberanikan diri menatap wanita sepuh yang biasanya selalu berada di pihakku.
Bagaimana bisa nenek Widya menolak permintaanku? Padahal ia sendiri mengatakan mengerti perasaanku dan mengutuk perbuatan Bastian? Apa beliau benar-benar akan memaksaku melanjutkan pernikahan ini?
Sungguh, aku tidak sudi melanjutkan pernikahan dengan laki-laki yang mudah tidur dengan sembarang wanita tanpa ikatan yang sah. Aku jijik.
“Kita semua sudah merencanakan pernikahan ini jauh-jauh hari. Bahkan persiapan sudah sembilan puluh persen,” lanjut Nenek Widya. “Kita tidak mungkin membatalkannya. Pernikahan harus tetap dilaksanakan.”
Aku menggeleng dengan dada yang terasa sesak. Bahkan orang yang aku kira selama ini berada di pihakku, nyatanya sama saja dengan yang lainnya. Tidak memikirkan kebaikanku.
Kuedarkan pandangan untuk mencari tahu bagaimana raut wajah semua orang di ruangan ini.
Ya, keluargaku dan keluarga Bastian sedang berkumpul pasca aku menangkap basah si pengkhianat itu dan Novita di kamarnya.
Aku bisa melihat Bastian dan seringai penuh kemenangan di depan sana. Di sampingnya, ada ibunya yang merengut. Sementara ayah Bastian dan ayahku sama-sama memasang wajah berharap.
Dan terakhir, sepasang ibu dan anak yang seolah keberatan dengan keputusan nenek Widya. Novita dan ibunya.
“Tari, pikirkan lagi, Nak. Pernikahan ini adalah amanah kakekmu dan kakek Bastian. Impian kedua keluarga. Kita sudah merencanakan jauh-jauh hari. Tak terhitung uang yang sudah digelontorkan untuk persiapan ini.” Ayah yang duduk di sampingku, meraih tangan ini dan menggenggamnya kuat sebagai isyarat agar aku tidak membatalkan pernikahan ini. “Apa kamu tega mencoreng nama baik keluarga kita dan keluarga Hanggara?”
“Tapi bukan Tari yang mencoreng nama baik keluarga, Yah. Bastian dan anak tiri Ayah yang melakukannya.” Aku berusaha menyampaikan keberatan.
“Ayah tahu, Nak. Kamu anak yang baik.” Ayahku meremas tanganku dengan lembut. “Tidakkah kamu mau berkorban sedikit saja untuk kami? Bukankah Bastian sudah mengatakan jika ia hanya khilaf dan tetap mau menikahimu? Mengalahlah sedikit saja sekali ini, Nak. Demi nama baik keluarga kita. Ayah yakin semua akan baik-baik saja setelah ini. Bastian akan menjadi suami yang baik untukmu.”
“Ayah–” Ucapanku tercekat, menolak memercayai ini. Aku menggeleng dengan mata yang sudah basah.
Setelah semua yang kulalui demi keluarga ini, mengapa aku masih saja dituntut untuk kembali mengalah?”
Rasa nyeri kembali mengukir hati. Bagaimana bisa ayah malah memintaku berkorban setelah apa yang dilakukan Bastian dan Novita? Kenapa ayah malah seolah ingin menjerumuskanku ke dalam pernikahan penuh neraka dengan laki-laki yang sudah jelas tidak setia?
Aku tahu saat ini keuangan keluarga kami sedang tidak stabil. Sokongan keluarga Hanggara sangat dibutuhkan untuk kelangsungan perusahaan keluarga kami, tapi apa harus dengan mengorbankan hidup dan perasaanku?
“Mas, kamu bicara apa?” Kudengar ibu tiriku mendesis setelah menarik tangan Ayah agar menghadapnya. “Kenapa Mentari harus tetap menikah dengan Bastian, sedangkan anak kita yang lain akan menderita karena pernikahan itu? Ingat, Mas. Bastian sudah merenggut kesucian Novita. Ia harus bertanggung jawab! Kalau kamu menikahkan Bastian dan Mentari, lalu bagaimana nasib Novita?”
Ayah menggeram. Wajahnya tampak memerah. “Jangan menyalahkanku!” balas pria itu. “Pernikahan ini sudah diatur sejak lama.”
“Tapi Novita sudah tidak suci lagi! Bastian harus bertanggung jawab sama Novita.” Ibu tiriku bersikeras tanpa memedulikan sekitar. Suaranya makin keras.
“Tapi–”
“Aku hamil, Yah.” Seruan Novita menyela perdebatan Ayah dan ibunya tiba-tiba. “Aku mengandung anak Bastian.”
“Apa!?” Kata itu serempak keluar dari semua mulut di ruangan ini sebelum aura ketegangan menyelimuti.
“Novita!”
Kutatap tajam wajah pucat Bastian yang baru saja berseru, tampak terkejut dan tidak percaya. Sementara wajah Novita terlihat dramatis di mataku, berusaha mendulang simpati.
Namun, tiba-tiba saja aku menoleh ke arah ayahku saat kurasakan tangan beliau yang tengah menggenggam tanganku melemas.
“Ayah!” pekikku seketika saat melihat tubuh ayahku jatuh terkulai. Tak sadarkan diri.
**
Aura penuh ketegangan semakin menyelimuti ruangan di mana kami masih berkumpul. Minus ayah tentu saja karena kondisi kesehatannya menurun.
Awalnya aku menolak ikut melanjutkan pertemuan ini. Aku memilih menemani ayah yang istirahat di sebuah ruangan pasca pingsan tadi. Namun, Nenek Widya memaksaku tetap ikut, karena pertemuan ini menyangkut pernikahanku.
Dengan mata yang terus basah karena tidak tega melihat kesehatan ayah yang menurun, aku terpaksa tetap mengikuti pertemuan itu. Pertemuan yang akan menentukan masa depanku.
“Baiklah, mengingat Pak Bumi Baskara yang kesehatannya menurun, kita harus mengambil keputusan dengan cepat.” Nenek Widya mulai membuka rapat keluarga ini dengan gaya anggun tapi tegas seperti biasa.
Tidak ada yang menyahut. Semua orang menunggu dalam diam.
“Dan setelah Nenek menelaah semua permasalahan, juga efek dari semua yang telah terjadi, maka ….” Nenek Widya melanjutkan, tetapi menggantung kalimat di ujung.
Kami semua menunggu dengan tegang. Kulirik Bastian yang terus tersenyum penuh kemenangan. Lalu, Novita dan ibunya yang terus melemparkan tatapan mengintimidasi padaku.
“Maka, Nenek memutuskan ….”
Aku menahan napas, menanti kelanjutan ucapan Nenek Widya dengan tidak sabar.
“Pernikahan ini tetap berjalan.”
Pundakku meluruh lemah. Bastian tersenyum lebar. Sementara ibunya semakin merengut, dan dua wanita di sana—Novita dan ibunya— ingin melayangkan protes atas putusan itu, hingga ….
“Tapi dengan mempelai yang diganti.” Kelanjutan ucapan Nenek Widya membuatku serta-merta menoleh heran. Pun dengan Bastian yang senyumnya hilang seketika.
“Maksud Nenek?” lontar Bastian tidak sabar.
“Pernikahan akan tetap berlangsung, tetapi Mentari bukan menikah denganmu, Bastian. Melainkan dengan anak laki-lakiku, Samudra Hanggara.”
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d
Bab 5“Arghhhh ….” Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Lalu meremas kertas di atas meja, membuangnya ke tempat sampah yang bahkan sudah penuh dengan benda serupa. Entah sudah berapa banyak kertas-kertas tak bersalah itu kuremas kasar dan dilempar begitu saja. Rasanya sangat sulit menyusun kalimat untuk poin-poin perjanjian pernikahan itu.Ya, aku kini tengah menyusun surat perjanjian kontrak dengan laki-laki bernama Samudra Hanggara yang tiba-tiba saja menjadi calon suamiku.Apa harus hidup selawak ini?Kemarin calon suamiku masih Bastian pemuda tampan yang dipuja banyak wanita, hari ini tiba-tiba semua berubah. Tiba-tiba saja mempelaiku berganti menjadi laki-laki tua yang menurut ibu dan saudara tiriku makhluk jadi-jadian dari planet lain.Aku mengusap wajah dengan kasar. Entah kalimat apa lagi yang harus kutulis dalam surat perjanjian itu. Bayangan wujud Samudra yang ‘ajaib’ membuatku tidak bisa fokus, padahal biasanya aku pandai merangkai kata. Dan anehnya aku harus menyusun sura
6“Apa yang kamu lakukan, Bas?”Pertanyaan dari suara bariton membuat aku dan Bastian menoleh hampir bersamaan. Bastian yang hampir membungkuk, mengurungkan niatnya. Dan kesempatan itu kugunakan cepat untuk mengambil semua kertas yang terserak. Memasukkan kembali ke dalam map dengan asal. Setelahnya aku langsung berlari dan mengambil tempat di belakang pria yang barusan bertanya. Samudra.Walaupun masih takut melihat wujud Samudra, tapi aku lebih takut dengan laki-laki seperti Bastian. Aku takut ia nekat menyentuhku secara ia sudah terbiasa melakukannya tanpa merasa berdosa.Bastian mendengkus melihatku berlindung di belakang tubuh Om-nya. Kemudian pergi tanpa berkata-kata.Aku memejam sembari melepaskan napas lega. Kemudian mengekori Samudra yang membuka pintu ruangan di belakang tubuh kami.Untunglah Bastian tidak sempat mengambil dan membaca surat perjanjian kontrak pernikahan ini. Kalau sempat, mau ditaruh di mana wajah kami? Ia pasti akan mengolok kami sepanjang waktu. Menyebarka
Bab 7“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama