91Mentari membuang muka. Kalau saja kepenasaran tidak menjejali hati dan kepalanya, sudah dipastikan ia akan langsung keluar dari ruangan itu. Namun, semua yang ingin ia tahu harus mendapat jawaban saat ini juga.Karenanya ia harus bertahan di dalam ruangan yang sama dengan Samudra dalam kondisi pria itu setengah telanjang.“Tari, ada apa?” Samudra mengulang pertanyaan sembari berjalan mendekat. Sama sekali tidak ada raut malu di wajahnya meski berpenampilan terbuka. Dan bukan hanya itu, saat Mentari memutuskan untuk meliriknya setelah beberapa lama, tidak juga ia dapati raut kesal atau marah seperti yang ia duga sebelumnya.Ekspresinya biasa saja. Datar. Seperti yang biasa ia lihat setiap saat, walaupun belakangan ini lebih banyak mimik ia dapati. Tidak selempeng di awal-awal pertemuan mereka.“Tari?” tanya Samudra lagi karena wanita itu lagi-lagi membuang muka.Tidak tahu saja Samudra jika Mentari sekuat tenaga menahan napas karena aroma sabuh dan sampo dari tubuhnya yang menguar m
92 Ini bukan pertama kalinya Mentari melihat tubuh Samudra tak berpenutup sama sekali. Dulu, saat pria itu merenggut mahkotanya juga ia sudah melihat. Namun tentu saja dalam kondisi yang berbeda. Bila dulu di bawah pencahayaan lampu kamar yang temaram, dengan matanya yang terus terpejam setelah lelah meronta. Kini, ia menyaksikan di bawah pencahayaan yang terang benderang dengan kondisinya yang benar-benar sadar dan dengan posisi mereka sama-sama berdiri. Semua apa yang terdapat di sana, tak ada yang luput dari penglihatannya. Semua terlihat jelas. Bahkan tanda lahir hitam di paha kiri sang pria. Mulut Mentari masih menganga dengan mata yang seakan sulit untuk berkedip saat tiba-tiba tulang-tulang terasa dilolosi dari persendian. Tubuhnya lemas dan hampir ambruk jika saja tak ada yang sigap menopangnya. Lagi-lagi, dunia seakan berhenti berputar saat sepasang mata Mentari bertubrukan dengan tatapan lain yang jaraknya sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan embusan napas pemilik tatapa
93Mentari mengerjap, lalu merenggangkan otot-ototnya dengan merentangkan kedua tangan. Pandangan diedarkan ke sekeliling ruangan saat matanya sudah terbuka lebar. Dahinya mengernyit saat mendapati dirinya terbangun bukan di ruangan sempit di balik rak buku itu, melainkan di … kamarnya sendiri.Wanita itu mencoba bangkit walaupun seluruh tubuhnya terasa remuk redam. Terutama di bagian pangkal kaki yang terasa ngilu bahkan saat ia bergerak sedikit saja.Ingatannya berputar. Mencoba megingat-ingat kapan dirinya pindah ke sana. Namun, sama sekali tidak ada bagian memorinya yang menyimpan ingatan itu.Semalam ia memang terjaga. Entah jam berapa. Niatnya ingin menagih janji Samudra tentang penjelasan itu. Nyatanya bukan penjelasan yang ia dapatkan, melainkan serangan susulan yang membuatnya tidak bisa berkutik dan lagi-lagi terkapar kalah.Dan itu terus berulang hingga berkali-kali. Bahkan rasanya ia hanya diberi kesempatan memejam sebentar saja. Sebelum kembali mendapat serangan panas.Mu
94Samudra mengeratkan pelukan di tubuh mungil itu hingga mereka bukan sekadar saling menempel, tapi rasanya sudah sangat menyatu. Didaratkan ciuman di pucuk kepala Mentari setelah puas menghidu aroma yang menguar dari sana dan membuat candu. Berharap apa yang ia lakukan dapat memberikan efek positif hingga Mentari yakin apa yang akan ia ceritakan tidak akan mengecewakan wanita itu.“Jadi, kamu tidak ingin mendengar apa pun lagi?” tanyanya setelah puas mencium kepala itu. Lalu sedikit melonggarkan pelukan.Pertanyaannya tidak langsung mendapatkan jawaban. Butuh jeda beberapa lama hingga wanita itu melerai pelukan dan mendongak.“Cerita saja, Mas. Aku tetap ingin mendengar semuanya,” ujarnya pelan.Posisinya yang mendongak tepat di bawah wajah Samudra membuat pria itu tidak bisa menahan diri untuk tidak mendaratkan kecupan di bibir ranum yang sedikit terbuka itu. Sang pria tidak butuh menunggu waktu lama, dan tidak butuh juga meminta izin, langsung menempelkan wajah mereka hingga dua p
95Pipi Mentari terasa memanas, dan ia yakin sudah memerah. Wanita itu memalingkan wajah untuk menyembunyikannya.Apa ia tersanjung dengan ucapan Samudra? Mungkin. Tapi tetap saja masih jual mahal. Tidak ingin terlihat terlalu senang. Bisa saja apa yang dikatakan Samudra barusan tidak seindah yang sebenarnya.Apa coba alasan pria itu mencintainya. Bahkan sejak dirinya masih kecil. Sepertinya di luar nalar. Memang pria itu sudah remaja atau mungkin sudah dewasa saat ia masih seusia dalam foto-foto itu. Pastinya sudah baligh dan memiliki rasa suka terhadap lawan jenis. Namun, tidak masuk akal jika suka terhadap dirinya yang saat itu masih berusia lima tahun. Buang ingus saja masih dibantu orang dewasa. Benar-benar di luar nalar.Samudra sendiri langsung meraih tangan Mentari, lalu menggenggam dan menciumnya bolak-balik bergantian antara punggung jari-jemari tangan kiri dan kanannya.“Belum percaya rasanya jika Luna-ku kini sudah bisa Mas miliki sepenuhnya,” ujar Samudra dengan tatapan p
98Mentari masih tertegun di tempatnya. Menatap tubuh tinggi besar yang menunduk dan bahunya berguncang di depannya. Berbagai perasaan mulai berkecamuk dalam hati wanita itu. Bukan hanya karena cerita Samudra yang sama sekali tidak disangkanya, tetapi juga karena sang pria menangis di hadapannya tanpa rasa malu sama sekali.Bukankah itu menunjukkan jika apa yang dialami suaminya di masa lalu sangat menyakitkan?Pria tinggi besar yang penampilannya di awal pertemuan mereka sangat menakutkan, kini bahkan berlinang air mata di hadapannya. Bukankah biasanya seorang pria terlalu malu untuk menitikkan air mata? Apalagi di depan wanita.Mentari beringsut mendekat setelah beberapa lama hanya memaku di tempatnya. Perempuan itu mengulurkan tangannya, kemudian merengkuh tubuh besar yang bahkan kedua tangannya nyaris tidak bertemu saat ingin memeluknya.Terpaksa ia semakin merapatkan diri agar dapat memeluk tubuh itu. Mendekapnya hangat dalam pelukan seoraang istri. Berharap dekapannya dapat memb
97Samudra menggaruk tengkuk sambil meringis. Sebenarnya ia tidak mau membuat Mentari semakin terluka jika mengetahui wanita yang dinikahi ayahnya merayunya. Namun, ketidaksengajaan malah membuka semuanya.“Mas bilang apa tadi?” tanya Mentari dengan kepala yang meneleng. “Tante Yulia merayumu?”Samudra meringis. Lalu berusaha merengkuh pundak sang istri. Namun, Mentari mengangkat tangan tanda meminta sang pria menghentikan aksinya.Terdengar embusan napas kasar keluar dari mulut pria itu. Apalagi tatapan istrinya kini menghujam tanpa kedip.“Intinya saja, Sayang. Mas itu ganteng, kan? Dan Mas mau kegantengan ini hanya dinikmati istriku seorang” jawabnya seraya mencolek dagu Mentari yang masih menatapnya tajam. Tak henti-hentinya keisengan datang.“Itulah makanya selama ini Mas membiarkan saja wajah ini seperti hutan belantara yang membuat kamu bahkan tidak mau menatap wajah ini di pertemuan pertama. Kenapa kamu saat itu? Takut, atau bahkan terpesona?” goda Samudra seraya merendahkan k
98Mentari membuka mata yang awalanya terpejam. Lalu mengembuskan napas pelan. Setelahnya menoleh ke sebelah kanan, di mana sosok pria berpeluh juga telentang di sana. Mata pria itu terpejam, gurat lelah kentara tetapi sepasang bibirnya mengulas senyum. Napasnya perlahan teratur, tidak lagi tersengal seperti beberapa saat lalu.Mentari memiringkan tubuh hingga sepenuhnya menghadap sosok yang berbaring tenang itu. Perlahan tangannya terulur menyentuh wajah sang pria. Dielusnya lembut rahang kokoh kehijauan sisa cukuran yang paling disukainya.Ya, ia sangat suka menyentuh bagian itu di mana bulu-bulu yang memaksa tumbuh terasa geli jika dielus. Terlebih jika bergesekkan dengan bagian-bagian tubuh sensitifnya hingga menimbulkan sensasi indah yang tidak bisa dilukiskan.Mentari tersipu sendiri membayangkan setiap adegan panas yang sudah dilaluinya bersama Samudra. Ah, seindah ini ternyata hubungan suami istri dalam ikatan sah. Ia bersumpah sudah jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dengan su