98Mentari masih tertegun di tempatnya. Menatap tubuh tinggi besar yang menunduk dan bahunya berguncang di depannya. Berbagai perasaan mulai berkecamuk dalam hati wanita itu. Bukan hanya karena cerita Samudra yang sama sekali tidak disangkanya, tetapi juga karena sang pria menangis di hadapannya tanpa rasa malu sama sekali.Bukankah itu menunjukkan jika apa yang dialami suaminya di masa lalu sangat menyakitkan?Pria tinggi besar yang penampilannya di awal pertemuan mereka sangat menakutkan, kini bahkan berlinang air mata di hadapannya. Bukankah biasanya seorang pria terlalu malu untuk menitikkan air mata? Apalagi di depan wanita.Mentari beringsut mendekat setelah beberapa lama hanya memaku di tempatnya. Perempuan itu mengulurkan tangannya, kemudian merengkuh tubuh besar yang bahkan kedua tangannya nyaris tidak bertemu saat ingin memeluknya.Terpaksa ia semakin merapatkan diri agar dapat memeluk tubuh itu. Mendekapnya hangat dalam pelukan seoraang istri. Berharap dekapannya dapat memb
97Samudra menggaruk tengkuk sambil meringis. Sebenarnya ia tidak mau membuat Mentari semakin terluka jika mengetahui wanita yang dinikahi ayahnya merayunya. Namun, ketidaksengajaan malah membuka semuanya.“Mas bilang apa tadi?” tanya Mentari dengan kepala yang meneleng. “Tante Yulia merayumu?”Samudra meringis. Lalu berusaha merengkuh pundak sang istri. Namun, Mentari mengangkat tangan tanda meminta sang pria menghentikan aksinya.Terdengar embusan napas kasar keluar dari mulut pria itu. Apalagi tatapan istrinya kini menghujam tanpa kedip.“Intinya saja, Sayang. Mas itu ganteng, kan? Dan Mas mau kegantengan ini hanya dinikmati istriku seorang” jawabnya seraya mencolek dagu Mentari yang masih menatapnya tajam. Tak henti-hentinya keisengan datang.“Itulah makanya selama ini Mas membiarkan saja wajah ini seperti hutan belantara yang membuat kamu bahkan tidak mau menatap wajah ini di pertemuan pertama. Kenapa kamu saat itu? Takut, atau bahkan terpesona?” goda Samudra seraya merendahkan k
98Mentari membuka mata yang awalanya terpejam. Lalu mengembuskan napas pelan. Setelahnya menoleh ke sebelah kanan, di mana sosok pria berpeluh juga telentang di sana. Mata pria itu terpejam, gurat lelah kentara tetapi sepasang bibirnya mengulas senyum. Napasnya perlahan teratur, tidak lagi tersengal seperti beberapa saat lalu.Mentari memiringkan tubuh hingga sepenuhnya menghadap sosok yang berbaring tenang itu. Perlahan tangannya terulur menyentuh wajah sang pria. Dielusnya lembut rahang kokoh kehijauan sisa cukuran yang paling disukainya.Ya, ia sangat suka menyentuh bagian itu di mana bulu-bulu yang memaksa tumbuh terasa geli jika dielus. Terlebih jika bergesekkan dengan bagian-bagian tubuh sensitifnya hingga menimbulkan sensasi indah yang tidak bisa dilukiskan.Mentari tersipu sendiri membayangkan setiap adegan panas yang sudah dilaluinya bersama Samudra. Ah, seindah ini ternyata hubungan suami istri dalam ikatan sah. Ia bersumpah sudah jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dengan su
99Mentari mengembuskan napas kasar sesaat setelah kakinya turun dari mobil. Matanya memejam untuk beberapa lama hingga sentuhan lembut di tangan yang dilanjut dengan genggaman hangat membuatnya membuka mata.Wanita itu menoleh dan langsung disambut anggukan penuh makna dari sang suami. Setelahnya mereka berjalan bersisian menuju bangunan menjulang yang di depananya terdapat identitas jelas jika mereka akan memasuki area Hanggara Enterprise.Hawa dingin langsung menyambut mereka begitu seorang security membuka pintu lobi dan mengangguk ramah. Cuaca di luar ruangan sudah lumayan panas padahal matahari belum terlalu tinggi.Samudra mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya, lalu ditunjukkan ke arah petugas yang menanyakan keperluan mereka.Samudra memang nyaris tidak pernah ke sana karena sejak masih tinggal bersama keluarganya pun tidak pernah diperkenankan ikut. Takut membuat malu keluarga, selalu itu alasan mereka. Karenanya, tidak akan banyak yang tahu, atau mungkin tidak ada yang
100Mentari ingin maju karena tidak tahan mendengar ucapan wanita yang baginya kini tak memiliki hubungan apa pun karena sang ayah sudah pergi. Tapi, cekalan di pergelangan tangannya membuat ia menahan diri. Diliriknya pemilik tangan yang mencekal itu. Tatapan teduh sang suami yang langsung ia dapati. Anggukan yang menyertai tatapan itu membuat api yang sudah berkobar di dadanya meredam.“Roy.” Suara Benny terdengar setelah beberapa saat keheningan tercipta. Pria itu ternyata memanggil laki-laki tiga puluhan yang tadi mengantar Samudra dan Mentari masuk.Tangan Benny mengerak mengisyaratkan agar pria yang dipanggil Roy mempersilakan keduanya duduk. Pria muda yang ternyata asisten Benny itu berjalan dan berdiri di samping sofa yang muat untuk dua orang. Lalu mengangguk hormat seraya mengulurkan tangan mempersilakan Samudra dan mentari duduk.Samudra balas mengangguk tanda mempesilakan Mentari duduk lebih dulu, lalu menyusul dirinya kemudian.“Minta Wina ambil minuman, Roy,” perintah Be
101“Bang, bisa tidak kalau Bu Yulia keluar dulu dari sini?” Samudra buka suara setelah menyusul istrinya berdiri dan merengkuh pundaknya yang bergetar hebat menahan amarah.“Bukankah fokus pertemuan ini perihal kondisi perusahaan Pak Bumi? Kalau begini terus, aku khawatir istriku tidak akan bisa mengikuti sampai tuntas,” lanjut Samudra seraya menatap sang kakak meminta pengertiannya.“Istriku masih pemulihan sebenarnya, bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya. Ditinggal ayahnya, lalu mendapat penyerangan mengerikan, sangat berpengaruh terhadap kesehatannya, sedangkan pertemuan ini butuh ketenangan bukan?” Samudra terus memaparkan penjelasan masuk akal.“Dan kalau ia seperti ini terus, aku bisa membawanya pulang,” pungkasnya seraya mengedarkan pandang ke semua orang di ruangan itu.Benny terlihat menggeleng. Entah karena apa. Kemudian mengembuskan napas kasar.“Bu Yulia, maaf bisa anda tinggalkan dulu ruangan ini?” tanyanya setelah beralih memandang besannya. “Atau anda bisa tetap di s
102Samudra yang melihatnya gegas menahan tubuh sang istri yang mulai oleng. Memeluknya dan menarik kepala sang wanita agar rebah di pundaknya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Samudra seraya mengusap peluh di pelipis istrinya. Raut khawatir tergambar jelas di wajah sang pria.Mentari sendiri sibuk menetralkan dadanya yang tetiba sesak. Bagaimana bisa sang ayah berhutang begitu banyak terhadap orang lain dan kini mewariskan kepadanya?“Tari, maaf jika kamu terkejut dengan semua ini. Tapi, Om harus mengatakan ini, bukan? Nasib perusahaan ayahmu harus dipikirkan. Kasihan karyawan yang nasibnya tidak jelas jika terlalu lama digantung. Mereka butuh kejelasan secepatnya.”Mentari yang masih menyandar di pundak Samudra, menelan ludah dengan susah payah. Kalimat Benny barusan benar adanya. Bukankah para karyawan juga memiliki keluarga yang harus mereka hidupi?“Bukan tanpa alasan jika Om menunggu hingga suamimu menyatakan kamu siap mendengar semua ini, karena ternyata semua aset ayahmu sudah atas
103Mentari masih memperhatikan orang-orang yang tertawa di depannya dengan geli sampai mereka benar-benar menghentikannya. Sepertinya ketenangan Samudra harus ia tiru di saat seperti ini. Ia tahu pasti sedang berhadapan dengan orang-orang macam apa. Karenanya, memutuskan menunggu dengan sabar hingga ketiganya menghabiskan sisa tawa mereka.“Apa yang Om Ben dan kalian semua tertawakan?” tanya wanita itu seraya mengedarkan pandangan di antara keluarga Hanggara itu satu per satu?Benny terlihat mengusap sudut matanya. Mungkin karena terlalu geli ia sampai mengeluarkan air mata. Kemudian pria itu memperbaiki posisi duduk dan sedikit mengibaskan jasnya untuk mempertahankan kewibaan mungkin. Wajahnya dibuat tenang lagi.“Tari, maaf-maaf kalau saya harus tertawa mendengar kalian bicara. Membuka lagi perusahaan dan membiarkan suamimu menghandelnya? Itu … sesuatu yang paling lawak yang pernah Om dengar, Tari.” Benny masih terlihat menahan senyum.Wajah Mentari merengut mendengar ungkapan Benn