98Mentari membuka mata yang awalanya terpejam. Lalu mengembuskan napas pelan. Setelahnya menoleh ke sebelah kanan, di mana sosok pria berpeluh juga telentang di sana. Mata pria itu terpejam, gurat lelah kentara tetapi sepasang bibirnya mengulas senyum. Napasnya perlahan teratur, tidak lagi tersengal seperti beberapa saat lalu.Mentari memiringkan tubuh hingga sepenuhnya menghadap sosok yang berbaring tenang itu. Perlahan tangannya terulur menyentuh wajah sang pria. Dielusnya lembut rahang kokoh kehijauan sisa cukuran yang paling disukainya.Ya, ia sangat suka menyentuh bagian itu di mana bulu-bulu yang memaksa tumbuh terasa geli jika dielus. Terlebih jika bergesekkan dengan bagian-bagian tubuh sensitifnya hingga menimbulkan sensasi indah yang tidak bisa dilukiskan.Mentari tersipu sendiri membayangkan setiap adegan panas yang sudah dilaluinya bersama Samudra. Ah, seindah ini ternyata hubungan suami istri dalam ikatan sah. Ia bersumpah sudah jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dengan su
99Mentari mengembuskan napas kasar sesaat setelah kakinya turun dari mobil. Matanya memejam untuk beberapa lama hingga sentuhan lembut di tangan yang dilanjut dengan genggaman hangat membuatnya membuka mata.Wanita itu menoleh dan langsung disambut anggukan penuh makna dari sang suami. Setelahnya mereka berjalan bersisian menuju bangunan menjulang yang di depananya terdapat identitas jelas jika mereka akan memasuki area Hanggara Enterprise.Hawa dingin langsung menyambut mereka begitu seorang security membuka pintu lobi dan mengangguk ramah. Cuaca di luar ruangan sudah lumayan panas padahal matahari belum terlalu tinggi.Samudra mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya, lalu ditunjukkan ke arah petugas yang menanyakan keperluan mereka.Samudra memang nyaris tidak pernah ke sana karena sejak masih tinggal bersama keluarganya pun tidak pernah diperkenankan ikut. Takut membuat malu keluarga, selalu itu alasan mereka. Karenanya, tidak akan banyak yang tahu, atau mungkin tidak ada yang
100Mentari ingin maju karena tidak tahan mendengar ucapan wanita yang baginya kini tak memiliki hubungan apa pun karena sang ayah sudah pergi. Tapi, cekalan di pergelangan tangannya membuat ia menahan diri. Diliriknya pemilik tangan yang mencekal itu. Tatapan teduh sang suami yang langsung ia dapati. Anggukan yang menyertai tatapan itu membuat api yang sudah berkobar di dadanya meredam.“Roy.” Suara Benny terdengar setelah beberapa saat keheningan tercipta. Pria itu ternyata memanggil laki-laki tiga puluhan yang tadi mengantar Samudra dan Mentari masuk.Tangan Benny mengerak mengisyaratkan agar pria yang dipanggil Roy mempersilakan keduanya duduk. Pria muda yang ternyata asisten Benny itu berjalan dan berdiri di samping sofa yang muat untuk dua orang. Lalu mengangguk hormat seraya mengulurkan tangan mempersilakan Samudra dan mentari duduk.Samudra balas mengangguk tanda mempesilakan Mentari duduk lebih dulu, lalu menyusul dirinya kemudian.“Minta Wina ambil minuman, Roy,” perintah Be
101“Bang, bisa tidak kalau Bu Yulia keluar dulu dari sini?” Samudra buka suara setelah menyusul istrinya berdiri dan merengkuh pundaknya yang bergetar hebat menahan amarah.“Bukankah fokus pertemuan ini perihal kondisi perusahaan Pak Bumi? Kalau begini terus, aku khawatir istriku tidak akan bisa mengikuti sampai tuntas,” lanjut Samudra seraya menatap sang kakak meminta pengertiannya.“Istriku masih pemulihan sebenarnya, bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya. Ditinggal ayahnya, lalu mendapat penyerangan mengerikan, sangat berpengaruh terhadap kesehatannya, sedangkan pertemuan ini butuh ketenangan bukan?” Samudra terus memaparkan penjelasan masuk akal.“Dan kalau ia seperti ini terus, aku bisa membawanya pulang,” pungkasnya seraya mengedarkan pandang ke semua orang di ruangan itu.Benny terlihat menggeleng. Entah karena apa. Kemudian mengembuskan napas kasar.“Bu Yulia, maaf bisa anda tinggalkan dulu ruangan ini?” tanyanya setelah beralih memandang besannya. “Atau anda bisa tetap di s
102Samudra yang melihatnya gegas menahan tubuh sang istri yang mulai oleng. Memeluknya dan menarik kepala sang wanita agar rebah di pundaknya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Samudra seraya mengusap peluh di pelipis istrinya. Raut khawatir tergambar jelas di wajah sang pria.Mentari sendiri sibuk menetralkan dadanya yang tetiba sesak. Bagaimana bisa sang ayah berhutang begitu banyak terhadap orang lain dan kini mewariskan kepadanya?“Tari, maaf jika kamu terkejut dengan semua ini. Tapi, Om harus mengatakan ini, bukan? Nasib perusahaan ayahmu harus dipikirkan. Kasihan karyawan yang nasibnya tidak jelas jika terlalu lama digantung. Mereka butuh kejelasan secepatnya.”Mentari yang masih menyandar di pundak Samudra, menelan ludah dengan susah payah. Kalimat Benny barusan benar adanya. Bukankah para karyawan juga memiliki keluarga yang harus mereka hidupi?“Bukan tanpa alasan jika Om menunggu hingga suamimu menyatakan kamu siap mendengar semua ini, karena ternyata semua aset ayahmu sudah atas
103Mentari masih memperhatikan orang-orang yang tertawa di depannya dengan geli sampai mereka benar-benar menghentikannya. Sepertinya ketenangan Samudra harus ia tiru di saat seperti ini. Ia tahu pasti sedang berhadapan dengan orang-orang macam apa. Karenanya, memutuskan menunggu dengan sabar hingga ketiganya menghabiskan sisa tawa mereka.“Apa yang Om Ben dan kalian semua tertawakan?” tanya wanita itu seraya mengedarkan pandangan di antara keluarga Hanggara itu satu per satu?Benny terlihat mengusap sudut matanya. Mungkin karena terlalu geli ia sampai mengeluarkan air mata. Kemudian pria itu memperbaiki posisi duduk dan sedikit mengibaskan jasnya untuk mempertahankan kewibaan mungkin. Wajahnya dibuat tenang lagi.“Tari, maaf-maaf kalau saya harus tertawa mendengar kalian bicara. Membuka lagi perusahaan dan membiarkan suamimu menghandelnya? Itu … sesuatu yang paling lawak yang pernah Om dengar, Tari.” Benny masih terlihat menahan senyum.Wajah Mentari merengut mendengar ungkapan Benn
104 Mentari ikut tertawa pada akhirnya. Hingga tiga orang yang awalnya tertawa geli menghentikan aksi mereka, lalu menatap heran dirinya yang kini tertawa sedirian. Guncangan lembut di tangan wanita itu membuat ia menoleh ke samping kanannya. “Tari.” Panggilan lembut sang suami membuatnya akhirnya menghentikan tawa. Lalu mengembus napas. Apa ia seperti orang tidak waras? Tak apa. Sekali-kali di depan orang-orang seperti mereka tidak ada salahnya mengikuti alur. Habisnya Mentari kesal sejak tadi orang-orang itu terus saja mentertawakan ia dan Samudra seolah mereka memang tengah melawak. Rasanya akan membuat frustrasi jika perangai mereka dihadapi dengan terlalu serius. “Apa Om Ben dan keluarga pernah mendengar nama Samudra Publisher?” tanya Mentari setelah semua orang kembali tenang. Terlihat kening Benny berkerut walaupun tidak ada tanya yang menyertai. “Tidak mungkin ya, kalau tidak pernah mendengar nama itu. Secara itu adalah salah satu nama perusahaan penerbitan terbesar di n
105“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Mentari begitu menyadari mobil yang ia dan Samudra tumpangi berbelok bukan ke tempat semestinya. Kendaraan roda empat yang dikemudikan sang suami berbelok ke area bangunan menjulang tinggi di mana di depannya terdapat papan nama besar bertuliskan Diamond Hotel.Mentari memanjangkan lehernya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling mobil di mana mereka berhenti tepat di depan pintu lobi. Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Samudra hanya tersenyum misterius. Setelah itu mengajak Mentari untuk turun.Mentari yang masih bingung, tak urung ikut turun karena pintu di sampingnya sudah dibuka seorang petugas yang berdiri di samping mobil. Samudra yang sudah lebih dulu turun, langsung mengulurkan tangannya setelah memberikan kunci mobil kepada petugas itu.Masih dengan wajah bingung, Mentari menerima uluran tangan sang suami. Dikaitkan tangannya di lengan sang pria sebelum mengikuti saja langkah Samudra yang ternyata berjalan menuju meja resepsionis.
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau