Suami106“Mas ….” Panggil Mentari dengan telunjuk mempermainkan dada berpeluh suaminya. “Kenapa harus boros-boros begini?” lanjutnya dengan wajah sendu, sesaat setelah Samudra menceritakan jika sang ayah menitipkan dirinya kepada Samudra di saat-saat terakhir hidupnya.Mentari baru tahu jika sang ayah merasa tidak pantas lagi untuk hidup setelah menyia-nyiakan dirinya dan sang ibu karena kepincut janda muda bernama Yulia. Saat itu pernikahan kedua orang tuanya masih baik-baik saja saat ayahnya mulai menjalin hubungan dengan Yulia. Dapat dipastian jika kepergian sang ibu karena tekanan bathin mengetahui pengkhianatan suaminya.Dan karena semua penyesalannya itulah sang ayah memilih tak ingin lagi berjuang untuk bertahan hidup. Ia memilih menyerah dan berharap bisa menyusul istri yang sudah disakitinya untuk meminta maaf. Dengan semua harapan besar yang dilimpahkan di pundak Samudra akhirnya sang ayah benar-benar pergi. Meninggalkan warisan benang kusut yang harus ia urai dengan rumit.
107 “Mandi, yuk!” ajak Samudra saat melihat perubahan wajah istrinya yang sangat kentara. Pria itu langsung berdiri tanpa mempedulikan tubuhnya yang polos tanpa busana. Setelahnya langsung mengangkat tubuh istrinya untuk dibawa ke kamar mandi. Tak ia pedulikan wanita yang berontak dalam bopongannya. Setengah berlari ia membawa tubuh itu ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandi bersama seperti biasa bila telah selesai bercinta. Setelah acara mandi selesai yang dihiasi kebisuan Mentari, Samudra berinisiatif membantu mengeringkan rambut sang istri dengan hairdryer. Tak dipedulikan juga wajah yang sejak tadi merengut kesal. Dan lirikan judesnya itu, ah… Samudra gemas dibuatnya. Ingin rasanya membawanya lagi ke peraduan. Tetapi mereka harus pergi. Samudra sangat tahu apa yang dipikirkan Mentari saat ini, tapi juga tak berniat memberi penjelasan apa pun. Karenanya membiarkan saja tingkah menggemaskan istri kecilnya yang dipenuhi kecemburuan itu. Ia tetap berpura-pura tidak tahu. Bah
108 Sekuat tenaga Mentari menahan agar tawanya tak sampai meledak. Sejak melihat makhluk ajaib itu dan hingga kini mereka bertiga berada di ruangan sang suami, tak hentinya rasa geli itu menggelitik. Ingin tertawa lepas, tetapi rasanya tidak etis. Padahal ia hanya ingin menertawakan dirinya sendiri yang selama ini sudah cemburu buta. Menganggap jika Samudra punya perempuan lain lagi yang selalu dipanggil dengan nama ‘Lu’. Jadi, bukan tanpa alasan sebenarnya jika ia selalu cemburu suaminya itu pulang dengan aroma parfum wanita yang menyengat. Belum lagi saat suatu hari ia pulang dan mendapati rumah dalam wangi semerbak senada. Mungkin saat itu si ‘Lu’ ini baru saja pulang dari apartemen mereka. Ending yang plot twist menurutnya. Bagaimana bisa ia mencemburui seseorang yang sejak tadi berjalan ke sana kemari dengan gemulai. Tangannya terus melambai-lambai memprotes karena Samudra yang baru datang setelah beberapa har,i dan melimpahkan semua pekerjaan kepadanya. Dari sini Mentari dapa
109 Mentari terbahak-bahak setelah duduk di dalam mobil. Sungguh wanita itu tidak bisa menahan gelinya bahkan selama perjalanan dari ruangan Samudra hingga ke parkiran. Namun, sekuat tenaga ia menahannya agar terlihat tetap elegan di depan seluruh karyawan suaminya. Rasanya tidak pantas jika ia terus tertawa seperti orang gila. Bagaimanapun kredibilitasnya sebagai istri pemilik tempat itu harus dijaga demi nama baik suaminya. Dan setelah di dalam mobil itu barulah tawanya meledak. Tumpah ruah. Mentari tertawa terbahak-bahak sepuas yang ia mau. Sampai-sampai matanya berair. Samudra membiarkan saja istrinya mengeluarkan rasa gelinya karena ia tahu sejak di ruangannya wanita itu sudah menahan tawa. Namun karena terlalu banyak dan keras ia tertawa, batuk yang akhirnya menyerang. Wanita itu terbatuk-batuk parah sampai juga mengeluarkan air mata. Samudra memberikan air dan menepuk-nepuk pundak wanita itu setelahnya. “Makanya jangan berlebihan. Apa-apa yang berlebihan itu tidak baik. Ka
110Setelah itu, hari-hari Mentari dipenuhi dengan kesibukan. Ditemani Samudra, ia harus mencari alamat orang-orang bawahan ayahnya yang memiliki kedudukan cukup vital di perusahaan. Ini sebagai langkah awal untuk mereka mulai membuka lagi perusahaan sang ayah.Di sini, satu hal yang baru Mentari ketahui jika sebelum sang ayah meninggal, Samudra sudah banyak bicara dengan mertuanya itu. Ternyata ayahnya pernah meminta Samudra untuk melanjutkan perusahaannya.Saat itu menurut Samudra, walaupun dengan bicara yang kurang lancar dan hanya berkomunikasi dengan tulisan yang juga kurang jelas, Bumi memberitahukan kepada Samudra tempat aman penyimpanan semua dokumen perusahaan. Semua data berisi arsip-arsip penting, juga data semua karyawan.Karenanya kini mereka mulai bergerak mencari satu per satu karyawan yang memiliki kedudukan cukup vital, terutama mereka yang sudah memiliki loyalitas tinggi dan cukup lama mengabdi.Entah di mana dan kapan Samudra mendapatkan semua dokumen itu. Satu lagi
111 “Dan Benny akan tertawa senang jika tahu kamu menyerah secepat ini, Sayang. Dia akan semakin memandang rendah kita.” Mentari membuka mata dan mengerjap. Betul juga. “Sayang, makanya sejak awal kan, Mas juga sudah bilang kalau ini tidak akan mudah untuk kita. Mas tanya kamu dulu, dan kamu bilang siap. Tentu saja Mas siap membantu. Lalu apa kamu ingin menyerah secepat ini? Bahkan kita baru saja memulai.” “Bagaimana kalau kita gagal, Mas? Tenaga dan waktu kita terbuang percuma. Belum lagi uang Mas yang habis terpakai.” Samudra menelusupkan tangan di bawah kepala Mentari hingga mencapai pundaknya. Merangkul dan mengusapnya lembut penuh perasaan. “Apa dulu saat kamu merintis jadi seorang penulis langsung memiliki banyak pembaca seperti sekarang?” tanya Samudra lembut. “Langsung diterima sebuah aplikasi? Langsung disukai karyamu? Langsung mendapat uang?” Mentari menoleh dan menatap sang suami yang wajahnya sangat dekat, pria itu pun menoleh dan mengangkat alisnya. “Tentu saja tid
112Pembukaan kembali kantor milik ayah Mentari. Tidak ada acara besar apalagi meriah. Tidak ada potong tumpeng atau sejenisnya. Hanya acara sederhana yang dibuka dengan doa bersama yang dipimpin seorang ustadz. Setelahnya mereka langsung fokus untuk bekerja. Memulai lagi dari nol sambil membenahi sana sini. Untunglah mereka yang mau kembali, kooperatif dan memiliki loyalitas tinggi. Terlebih melihat kesungguhan Samudra dan Mentari.Mentari sendiri terus mengekori sang suami ke mana dan apa pun yang dikerjakannya. Karena sejatinya ia memang tidak tahu apa-apa. Ia nol di dunia ini, bahkan kenyataannya ia memang tidak pernah mengenal dunia kerja sama sekali. Ia tidak pernah bekerja di mana pun selama hidupnya. Karenanya hanya bisa terus memperlihatkan apa pun yang dilakukan suaminya tanpa banyak bertanya dulu. Bukan apa-apa, ia hanya takut merecoki dan membuat konsentrasi suaminya tidak fokus.Sekarang yang dilakukannya berusaha hanya mempelajari dari apa yang ia lihat dulu. Kecuali ada
113“Apa yang Tante pikirkan?” Mentari tak habis pikir dengan tingkah ibu tirinya itu. Tak habis-habisnya wanita itu mengganggunya. Bahkan di hari pertama pembukaan perusahaan ini kembali.“Kamu tanya apa yang Tante pikirkan, Tari?” Yulia maju hingga jarak antara dirinya dan Mentari terkikis. Orang-orang yang tadi mengerubunginya, perlahan membubarkan diri. Membiarkan mereka saling berhadapan.Mentari memijat pelipisnya. “Tante, pleased! Tolong hormati almarhum ayah.” Sebenarnya Mentari tidak mau ribut.“Silakan pergi dari sini. Jangan mengacau, ini hari pertama aku dan suamiku membuka lagi perusahaan ayah. Jangan membuat masalah, Tante.”“Siapa yang ingin membuat masalah, Tari? Tante justru datang karena ingin membantu.” Raut wajah Yulia dibuat serius, bahkan sedikit memelas.“Tante yakin membangun lagi perusahaan yang sudah ditutup pastilah tidak mudah, karenanya mungkin Tante bisa menyumbang sedikit tenaga.”“Memangnya apa yang mau Tante lakukan di sini? Bukankah Tante tidak pernah
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau