99Mentari mengembuskan napas kasar sesaat setelah kakinya turun dari mobil. Matanya memejam untuk beberapa lama hingga sentuhan lembut di tangan yang dilanjut dengan genggaman hangat membuatnya membuka mata.Wanita itu menoleh dan langsung disambut anggukan penuh makna dari sang suami. Setelahnya mereka berjalan bersisian menuju bangunan menjulang yang di depananya terdapat identitas jelas jika mereka akan memasuki area Hanggara Enterprise.Hawa dingin langsung menyambut mereka begitu seorang security membuka pintu lobi dan mengangguk ramah. Cuaca di luar ruangan sudah lumayan panas padahal matahari belum terlalu tinggi.Samudra mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya, lalu ditunjukkan ke arah petugas yang menanyakan keperluan mereka.Samudra memang nyaris tidak pernah ke sana karena sejak masih tinggal bersama keluarganya pun tidak pernah diperkenankan ikut. Takut membuat malu keluarga, selalu itu alasan mereka. Karenanya, tidak akan banyak yang tahu, atau mungkin tidak ada yang
100Mentari ingin maju karena tidak tahan mendengar ucapan wanita yang baginya kini tak memiliki hubungan apa pun karena sang ayah sudah pergi. Tapi, cekalan di pergelangan tangannya membuat ia menahan diri. Diliriknya pemilik tangan yang mencekal itu. Tatapan teduh sang suami yang langsung ia dapati. Anggukan yang menyertai tatapan itu membuat api yang sudah berkobar di dadanya meredam.“Roy.” Suara Benny terdengar setelah beberapa saat keheningan tercipta. Pria itu ternyata memanggil laki-laki tiga puluhan yang tadi mengantar Samudra dan Mentari masuk.Tangan Benny mengerak mengisyaratkan agar pria yang dipanggil Roy mempersilakan keduanya duduk. Pria muda yang ternyata asisten Benny itu berjalan dan berdiri di samping sofa yang muat untuk dua orang. Lalu mengangguk hormat seraya mengulurkan tangan mempersilakan Samudra dan mentari duduk.Samudra balas mengangguk tanda mempesilakan Mentari duduk lebih dulu, lalu menyusul dirinya kemudian.“Minta Wina ambil minuman, Roy,” perintah Be
101“Bang, bisa tidak kalau Bu Yulia keluar dulu dari sini?” Samudra buka suara setelah menyusul istrinya berdiri dan merengkuh pundaknya yang bergetar hebat menahan amarah.“Bukankah fokus pertemuan ini perihal kondisi perusahaan Pak Bumi? Kalau begini terus, aku khawatir istriku tidak akan bisa mengikuti sampai tuntas,” lanjut Samudra seraya menatap sang kakak meminta pengertiannya.“Istriku masih pemulihan sebenarnya, bukan hanya fisik, tapi juga psikisnya. Ditinggal ayahnya, lalu mendapat penyerangan mengerikan, sangat berpengaruh terhadap kesehatannya, sedangkan pertemuan ini butuh ketenangan bukan?” Samudra terus memaparkan penjelasan masuk akal.“Dan kalau ia seperti ini terus, aku bisa membawanya pulang,” pungkasnya seraya mengedarkan pandang ke semua orang di ruangan itu.Benny terlihat menggeleng. Entah karena apa. Kemudian mengembuskan napas kasar.“Bu Yulia, maaf bisa anda tinggalkan dulu ruangan ini?” tanyanya setelah beralih memandang besannya. “Atau anda bisa tetap di s
102Samudra yang melihatnya gegas menahan tubuh sang istri yang mulai oleng. Memeluknya dan menarik kepala sang wanita agar rebah di pundaknya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Samudra seraya mengusap peluh di pelipis istrinya. Raut khawatir tergambar jelas di wajah sang pria.Mentari sendiri sibuk menetralkan dadanya yang tetiba sesak. Bagaimana bisa sang ayah berhutang begitu banyak terhadap orang lain dan kini mewariskan kepadanya?“Tari, maaf jika kamu terkejut dengan semua ini. Tapi, Om harus mengatakan ini, bukan? Nasib perusahaan ayahmu harus dipikirkan. Kasihan karyawan yang nasibnya tidak jelas jika terlalu lama digantung. Mereka butuh kejelasan secepatnya.”Mentari yang masih menyandar di pundak Samudra, menelan ludah dengan susah payah. Kalimat Benny barusan benar adanya. Bukankah para karyawan juga memiliki keluarga yang harus mereka hidupi?“Bukan tanpa alasan jika Om menunggu hingga suamimu menyatakan kamu siap mendengar semua ini, karena ternyata semua aset ayahmu sudah atas
103Mentari masih memperhatikan orang-orang yang tertawa di depannya dengan geli sampai mereka benar-benar menghentikannya. Sepertinya ketenangan Samudra harus ia tiru di saat seperti ini. Ia tahu pasti sedang berhadapan dengan orang-orang macam apa. Karenanya, memutuskan menunggu dengan sabar hingga ketiganya menghabiskan sisa tawa mereka.“Apa yang Om Ben dan kalian semua tertawakan?” tanya wanita itu seraya mengedarkan pandangan di antara keluarga Hanggara itu satu per satu?Benny terlihat mengusap sudut matanya. Mungkin karena terlalu geli ia sampai mengeluarkan air mata. Kemudian pria itu memperbaiki posisi duduk dan sedikit mengibaskan jasnya untuk mempertahankan kewibaan mungkin. Wajahnya dibuat tenang lagi.“Tari, maaf-maaf kalau saya harus tertawa mendengar kalian bicara. Membuka lagi perusahaan dan membiarkan suamimu menghandelnya? Itu … sesuatu yang paling lawak yang pernah Om dengar, Tari.” Benny masih terlihat menahan senyum.Wajah Mentari merengut mendengar ungkapan Benn
104 Mentari ikut tertawa pada akhirnya. Hingga tiga orang yang awalnya tertawa geli menghentikan aksi mereka, lalu menatap heran dirinya yang kini tertawa sedirian. Guncangan lembut di tangan wanita itu membuat ia menoleh ke samping kanannya. “Tari.” Panggilan lembut sang suami membuatnya akhirnya menghentikan tawa. Lalu mengembus napas. Apa ia seperti orang tidak waras? Tak apa. Sekali-kali di depan orang-orang seperti mereka tidak ada salahnya mengikuti alur. Habisnya Mentari kesal sejak tadi orang-orang itu terus saja mentertawakan ia dan Samudra seolah mereka memang tengah melawak. Rasanya akan membuat frustrasi jika perangai mereka dihadapi dengan terlalu serius. “Apa Om Ben dan keluarga pernah mendengar nama Samudra Publisher?” tanya Mentari setelah semua orang kembali tenang. Terlihat kening Benny berkerut walaupun tidak ada tanya yang menyertai. “Tidak mungkin ya, kalau tidak pernah mendengar nama itu. Secara itu adalah salah satu nama perusahaan penerbitan terbesar di n
105“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Mentari begitu menyadari mobil yang ia dan Samudra tumpangi berbelok bukan ke tempat semestinya. Kendaraan roda empat yang dikemudikan sang suami berbelok ke area bangunan menjulang tinggi di mana di depannya terdapat papan nama besar bertuliskan Diamond Hotel.Mentari memanjangkan lehernya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling mobil di mana mereka berhenti tepat di depan pintu lobi. Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Samudra hanya tersenyum misterius. Setelah itu mengajak Mentari untuk turun.Mentari yang masih bingung, tak urung ikut turun karena pintu di sampingnya sudah dibuka seorang petugas yang berdiri di samping mobil. Samudra yang sudah lebih dulu turun, langsung mengulurkan tangannya setelah memberikan kunci mobil kepada petugas itu.Masih dengan wajah bingung, Mentari menerima uluran tangan sang suami. Dikaitkan tangannya di lengan sang pria sebelum mengikuti saja langkah Samudra yang ternyata berjalan menuju meja resepsionis.
Suami106“Mas ….” Panggil Mentari dengan telunjuk mempermainkan dada berpeluh suaminya. “Kenapa harus boros-boros begini?” lanjutnya dengan wajah sendu, sesaat setelah Samudra menceritakan jika sang ayah menitipkan dirinya kepada Samudra di saat-saat terakhir hidupnya.Mentari baru tahu jika sang ayah merasa tidak pantas lagi untuk hidup setelah menyia-nyiakan dirinya dan sang ibu karena kepincut janda muda bernama Yulia. Saat itu pernikahan kedua orang tuanya masih baik-baik saja saat ayahnya mulai menjalin hubungan dengan Yulia. Dapat dipastian jika kepergian sang ibu karena tekanan bathin mengetahui pengkhianatan suaminya.Dan karena semua penyesalannya itulah sang ayah memilih tak ingin lagi berjuang untuk bertahan hidup. Ia memilih menyerah dan berharap bisa menyusul istri yang sudah disakitinya untuk meminta maaf. Dengan semua harapan besar yang dilimpahkan di pundak Samudra akhirnya sang ayah benar-benar pergi. Meninggalkan warisan benang kusut yang harus ia urai dengan rumit.