Share

Bab 3. Ibu Tega Sekali

Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah.

"Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!"

"Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!"

"Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya.

"Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku. "Kakak jangan sedih, ya."

"Maafkan Kakak ya, Ndi. Gara-gara Kakak menaruh es itu di kulkas, kalian tidak jadi makan es kacang hijaunya."

"Kita bisa beli lain kali, Kak," ujar Andi lagi.

Lani yang masih belum mengerti apa yang terjadi, malah ikut menangis. "Kenapa kamu menangis, Lan?" Lani hanya menggeleng, dan Andi mengusap air mata adik perempuanku itu.

"Lani sedih kalau Kak Vina menangis. Rasanya pengen ikut nangis." Ah, adikku, Kakak yang mendengar ucapanmu malah ingin nangis lagi.

"Sudah jangan nangis, Kakak nggak nangis, kok. Nih, nggak ada air matanya, 'kan?" Aku berjongkok dan mendekatkan wajahku, membuat Lani menaruh kedua telapak tangannya di pipiku.

"Apa kamu nangis gara-gara nggak jadi makan kacang hijau itu? Kalau iya, Kakak akan belikan."

"Enggak, Kak."

"Ya sudah, kalau gitu sekarang kalian mandi dulu gih!"

"Iya, Kak."

Suara tangisan Fajar dari dalam kamar, membuat kedua adikku mengurungkan niatnya untuk mandi. Kami pun masuk ke dalam kamar untuk melihatnya. Benar saja, Fajar bangun dan aku menenangkannya.

"Kenapa Fajar tidur di sini, Kak? Bukankah biasanya dia tidur di kamar bersama Ibu dan Papa Erik?" tanya Andi.

"Ibu yang menaruhnya di sini. Kata Ibu, Fajar sudah disapih dan mulai sekarang, kita tidur berempat," jawabku.

"Tapi, kamar kita sempit, Kak."

"Nanti biar Kakak tidur di bawah saja, ya. Kakak bisa pakai karpet." Ya, kamar kami memang tidak terlalu besar, berbeda dengan dua kamar yang lain. Ada satu kasur kapuk yang tidak terlalu empuk, yang biasa kami tempati. Berbeda dengan kasur di dua kamar yang lain, yang menggunakan kasur busa yang besar dan empuk.

"Tapi, apa dia bisa tidur tanpa Ibu di sampingnya?" tanya Andi lagi, yang khawatir dengan Fajar. Keadaan hidup kami yang berbeda dengan anak-anak lain, membuat Andi khawatir dengan keadaan saudaranya.

"Kakak juga nggak tahu, semoga saja nanti malam dia tidak rewel," sahutku, "cepat mandi, nanti gantian Kakak juga mau mandiin Fajar."

Aku menyuruh adik-adikku untuk mandi karena waktu sudah sore. Setelah itu, aku juga memandikan Fajar. Setelah ketiganya selesai mandi, aku meminta mereka bermain di dalam kamar karena aku juga harus mandi. Namun saat sampai di kamar mandi, Alena terdengar sudah berada di sana. Mau tak mau, aku harus menunggu ia selesai.

Entah apa yang dilakukan Tuan Puteri di dalam sana. Hampir satu jam aku menunggu, ia tidak keluar juga dari kamar mandi. Alena memang sangat lelet saat mandi. Terpaksa aku mengetuk pintu karena sudah hampir Maghrib dan aku belum juga mandi.

"Len, aku mau mandi, cepatlah sedikit." Tak berselang lama, kamar mandi pun terbuka. Alena menggunakan handuk dan keluar. "Lama banget di dalam," keluhku.

"Suka-sukalah, kamar mandi aku! Numpang ya harus ngalah!" ketusnya. Tak mau meladeni, aku pun segera masuk ke kamar mandi. Bukan karena tak berani padanya. Namun, terlalu malas meladeninya. Terlebih, suara adzan sudah terdengar.

Selesai salat Maghrib, aku melipat dan menyetrika baju-baju yang tadi siang kucuci, sementara adik-adikku sedang menonton serial kartun kesukaan mereka di televisi. Aktifitas menyetrika pun kulakukan di depan televisi, sambil menjaga mereka.

Ibu sedang di dapur, menata sajian makan malam seperti biasa. Tak berselang lama, Papa Erik dan Alena tampak berjalan menuju ke ruang makan. Terdengar suara Ibu menawarkan berbagai lauk kepada putri kesayangan mereka dengan ramah. Terdengar pula Alena ingin disuapi oleh ibuku.

Aku berdiri, lalu mengintip kebersamaan mereka. Ibu benar-benar menyuapi Alena dengan telaten, sementara Papa Erik menyuapi Ibu. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Sudah seperti satu keluarga utuh yang bahagia.

Mereka terdengar sangat bahagia, sesekali tertawa dan saling memuji. "Masakan Mama memang sangat nikmat, Papa nggak salah milihin Mama buat aku. Makasih ya Pa, Ma," ucap Alena dengan mulut penuh makanan.

"Iya dong, Sayang, Papa akan lakukan apapun untuk kamu. Kamu bahagia, 'kan, hidup sama Papa?"

"Bahagia banget!"

"Sudah, Alena, makan dulu nanti baru bicara. Nggak baik makan sambil bicara seperti itu. Ayo makan lagi yang banyak, biar anak Mama sehat." Ibu tersenyum dan terlihat bahagia menyuapi Alena.

Mataku memanas. Ibu bilang ingin agar anaknya sehat. Apakah cuma Alena yang dipikirkan? Lalu kami ini apa? Apa kami bukan anaknya? Kami seperti debu yang tidak kelihatan. Ibu, kenapa engkau setega ini pada kami. Apa salah kami, Bu?

"Kakak," panggil Andi. Aku pun buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipi, lalu kembali melanjutkan aktifitasku.

Seusai makan malam, Papa Erik masuk ke dalam kamarnya, begitu pun dengan Alena.

"Vina, ayo makan, ajak adik-adikmu." Ibu memanggil, dan kami pun menuju meja makan untuk makan malam. Seperti biasa, Ibu menyisakan nasi dalam satu mangkuk untuk kami bertiga. Ada juga sayur nangka dan ikan asin.

"Nggak ada lauk, Bu?" tanyaku.

"Sudahlah, makan aja apa yang ada. Masih untung bisa makan." Ibu berlalu setelah kami berada di meja makan.

Padahal tadi kulihat Ibu menggoreng ayam. Sampai hati tidak menyisakan untuk kami. Sementara Fajar, sudah makan dengan nasi tim buatan Ibu tadi sehabis Maghrib.

"Kak, aku tadi lihat Kak Alena membawa potongan paha ayam ke kamarnya." Aku yang menyendok nasi, menoleh ke arah Lani.

"Mungkin kamu salah lihat, Lan," sahut Andi.

"Enggak salah, kok. Malah Kak Alena menggigitnya sambil menoleh padaku," terang Lani.

Ya Allah, kasihan sekali kamu Dek, Dek. Mungkin Alena sengaja memperlihatkan ayam goreng itu pada Lani. "Besok kalau ada uang, kita beli, ya? Sekarang makan ini dulu."

"Iya, Kak." Untungnya adikku bisa diberi pengertian.

Selesai makan, aku membereskan bekasnya dan membawa ke tempat cucian piring. Kalau tidak aku bersihkan sekarang, besok akan membuat pekerjaan bertambah. Padahal aku harus bangun pagi untuk sekolah juga.

"Kalian pergilah tidur, Kakak mau nyuci piring." Kedua adikku patuh dan menuju ke kamar.

Kudekati Ibu yang kini berada di depan televisi. "Bu."

"Ada apa?" Ibu menjawab tanpa menoleh. Tangannya asyik mengganti program yang ada di layar televisi.

"Apa Ibu yakin Fajar tidur bersama kami?"

"Kenapa lagi memangnya? Dia sudah Ibu suapin, pasti nggak rewel. Itu, Ibu juga sudah siapin termos, kamu bawa ke kamar beserta susu formulanya. Nanti kalau Fajar bangun, langsung buatkan susu ke dalam botolnya. Lagi pula dia harus terbiasa tidak bergantung pada Ibu mulai sekarang."

"Maksud Ibu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status