Share

Bab 3. Ibu Tega Sekali

Author: Aisyah Ais
last update Last Updated: 2024-07-16 17:28:15

Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah.

"Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!"

"Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!"

"Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya.

"Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku. "Kakak jangan sedih, ya."

"Maafkan Kakak ya, Ndi. Gara-gara Kakak menaruh es itu di kulkas, kalian tidak jadi makan es kacang hijaunya."

"Kita bisa beli lain kali, Kak," ujar Andi lagi.

Lani yang masih belum mengerti apa yang terjadi, malah ikut menangis. "Kenapa kamu menangis, Lan?" Lani hanya menggeleng, dan Andi mengusap air mata adik perempuanku itu.

"Lani sedih kalau Kak Vina menangis. Rasanya pengen ikut nangis." Ah, adikku, Kakak yang mendengar ucapanmu malah ingin nangis lagi.

"Sudah jangan nangis, Kakak nggak nangis, kok. Nih, nggak ada air matanya, 'kan?" Aku berjongkok dan mendekatkan wajahku, membuat Lani menaruh kedua telapak tangannya di pipiku.

"Apa kamu nangis gara-gara nggak jadi makan kacang hijau itu? Kalau iya, Kakak akan belikan."

"Enggak, Kak."

"Ya sudah, kalau gitu sekarang kalian mandi dulu gih!"

"Iya, Kak."

Suara tangisan Fajar dari dalam kamar, membuat kedua adikku mengurungkan niatnya untuk mandi. Kami pun masuk ke dalam kamar untuk melihatnya. Benar saja, Fajar bangun dan aku menenangkannya.

"Kenapa Fajar tidur di sini, Kak? Bukankah biasanya dia tidur di kamar bersama Ibu dan Papa Erik?" tanya Andi.

"Ibu yang menaruhnya di sini. Kata Ibu, Fajar sudah disapih dan mulai sekarang, kita tidur berempat," jawabku.

"Tapi, kamar kita sempit, Kak."

"Nanti biar Kakak tidur di bawah saja, ya. Kakak bisa pakai karpet." Ya, kamar kami memang tidak terlalu besar, berbeda dengan dua kamar yang lain. Ada satu kasur kapuk yang tidak terlalu empuk, yang biasa kami tempati. Berbeda dengan kasur di dua kamar yang lain, yang menggunakan kasur busa yang besar dan empuk.

"Tapi, apa dia bisa tidur tanpa Ibu di sampingnya?" tanya Andi lagi, yang khawatir dengan Fajar. Keadaan hidup kami yang berbeda dengan anak-anak lain, membuat Andi khawatir dengan keadaan saudaranya.

"Kakak juga nggak tahu, semoga saja nanti malam dia tidak rewel," sahutku, "cepat mandi, nanti gantian Kakak juga mau mandiin Fajar."

Aku menyuruh adik-adikku untuk mandi karena waktu sudah sore. Setelah itu, aku juga memandikan Fajar. Setelah ketiganya selesai mandi, aku meminta mereka bermain di dalam kamar karena aku juga harus mandi. Namun saat sampai di kamar mandi, Alena terdengar sudah berada di sana. Mau tak mau, aku harus menunggu ia selesai.

Entah apa yang dilakukan Tuan Puteri di dalam sana. Hampir satu jam aku menunggu, ia tidak keluar juga dari kamar mandi. Alena memang sangat lelet saat mandi. Terpaksa aku mengetuk pintu karena sudah hampir Maghrib dan aku belum juga mandi.

"Len, aku mau mandi, cepatlah sedikit." Tak berselang lama, kamar mandi pun terbuka. Alena menggunakan handuk dan keluar. "Lama banget di dalam," keluhku.

"Suka-sukalah, kamar mandi aku! Numpang ya harus ngalah!" ketusnya. Tak mau meladeni, aku pun segera masuk ke kamar mandi. Bukan karena tak berani padanya. Namun, terlalu malas meladeninya. Terlebih, suara adzan sudah terdengar.

Selesai salat Maghrib, aku melipat dan menyetrika baju-baju yang tadi siang kucuci, sementara adik-adikku sedang menonton serial kartun kesukaan mereka di televisi. Aktifitas menyetrika pun kulakukan di depan televisi, sambil menjaga mereka.

Ibu sedang di dapur, menata sajian makan malam seperti biasa. Tak berselang lama, Papa Erik dan Alena tampak berjalan menuju ke ruang makan. Terdengar suara Ibu menawarkan berbagai lauk kepada putri kesayangan mereka dengan ramah. Terdengar pula Alena ingin disuapi oleh ibuku.

Aku berdiri, lalu mengintip kebersamaan mereka. Ibu benar-benar menyuapi Alena dengan telaten, sementara Papa Erik menyuapi Ibu. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Sudah seperti satu keluarga utuh yang bahagia.

Mereka terdengar sangat bahagia, sesekali tertawa dan saling memuji. "Masakan Mama memang sangat nikmat, Papa nggak salah milihin Mama buat aku. Makasih ya Pa, Ma," ucap Alena dengan mulut penuh makanan.

"Iya dong, Sayang, Papa akan lakukan apapun untuk kamu. Kamu bahagia, 'kan, hidup sama Papa?"

"Bahagia banget!"

"Sudah, Alena, makan dulu nanti baru bicara. Nggak baik makan sambil bicara seperti itu. Ayo makan lagi yang banyak, biar anak Mama sehat." Ibu tersenyum dan terlihat bahagia menyuapi Alena.

Mataku memanas. Ibu bilang ingin agar anaknya sehat. Apakah cuma Alena yang dipikirkan? Lalu kami ini apa? Apa kami bukan anaknya? Kami seperti debu yang tidak kelihatan. Ibu, kenapa engkau setega ini pada kami. Apa salah kami, Bu?

"Kakak," panggil Andi. Aku pun buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipi, lalu kembali melanjutkan aktifitasku.

Seusai makan malam, Papa Erik masuk ke dalam kamarnya, begitu pun dengan Alena.

"Vina, ayo makan, ajak adik-adikmu." Ibu memanggil, dan kami pun menuju meja makan untuk makan malam. Seperti biasa, Ibu menyisakan nasi dalam satu mangkuk untuk kami bertiga. Ada juga sayur nangka dan ikan asin.

"Nggak ada lauk, Bu?" tanyaku.

"Sudahlah, makan aja apa yang ada. Masih untung bisa makan." Ibu berlalu setelah kami berada di meja makan.

Padahal tadi kulihat Ibu menggoreng ayam. Sampai hati tidak menyisakan untuk kami. Sementara Fajar, sudah makan dengan nasi tim buatan Ibu tadi sehabis Maghrib.

"Kak, aku tadi lihat Kak Alena membawa potongan paha ayam ke kamarnya." Aku yang menyendok nasi, menoleh ke arah Lani.

"Mungkin kamu salah lihat, Lan," sahut Andi.

"Enggak salah, kok. Malah Kak Alena menggigitnya sambil menoleh padaku," terang Lani.

Ya Allah, kasihan sekali kamu Dek, Dek. Mungkin Alena sengaja memperlihatkan ayam goreng itu pada Lani. "Besok kalau ada uang, kita beli, ya? Sekarang makan ini dulu."

"Iya, Kak." Untungnya adikku bisa diberi pengertian.

Selesai makan, aku membereskan bekasnya dan membawa ke tempat cucian piring. Kalau tidak aku bersihkan sekarang, besok akan membuat pekerjaan bertambah. Padahal aku harus bangun pagi untuk sekolah juga.

"Kalian pergilah tidur, Kakak mau nyuci piring." Kedua adikku patuh dan menuju ke kamar.

Kudekati Ibu yang kini berada di depan televisi. "Bu."

"Ada apa?" Ibu menjawab tanpa menoleh. Tangannya asyik mengganti program yang ada di layar televisi.

"Apa Ibu yakin Fajar tidur bersama kami?"

"Kenapa lagi memangnya? Dia sudah Ibu suapin, pasti nggak rewel. Itu, Ibu juga sudah siapin termos, kamu bawa ke kamar beserta susu formulanya. Nanti kalau Fajar bangun, langsung buatkan susu ke dalam botolnya. Lagi pula dia harus terbiasa tidak bergantung pada Ibu mulai sekarang."

"Maksud Ibu?"

Related chapters

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

    Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.

    Last Updated : 2024-07-16
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 5. Makanan Dari Tetangga

    "Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah

    Last Updated : 2024-07-16
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 6. Ancaman Papa Erik

    Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 7. Kepura-puraan Ibu

    Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 8. Tetangga Lebih Peduli

    Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 9. Itukah Ibu Tiri?

    Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 10. Teganya Mereka

    Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 11. Dia Seorang ....

    "Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A

    Last Updated : 2024-11-15

Latest chapter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 68

    Mata terasa berat, tetapi kupaksakan untuk membukanya. Aku teringat harus bangun pagi agar tidak mengantre di depan kamar mandi. Masih pukul 05.00 WIB. Gegas aku bangun dan mengecek Farla yang ternyata masih pulas. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, meninggalkan Farla sendirian di dalam kamar. Biasanya dia akan pulas tidur saat jam pagi seperti ini. Semoga saja dia masih anteng sampai aku kembali. Benar kata Yuni, penghuni kost ini belum ada yang bangun di jam segini. Jadi aku bisa leluasa menggunakan kamar mandi tanpa harus tergesa-gesa karena ditunggui. Beruntung ada ember yang bisa kupakai untuk mengambil air karena aku butuh untuk memandikan Farla. Air dalam ember kubawa dan kutaruh di depan pintu kamar, lalu mengecek Farla ternyata masih tidur. Syukurlah. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia tidur, dan mencari air panas untuk dia mandi nantinya. Pintu kukunci dan membawa termos untuk diisi di warung makan yang sudah buka."Permisi, Mbak, bisa beli air

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 67

    Setelah makan, rasanya mataku ngantuk sekali. Namun, kalau aku tidur, aku takut Farla terjatuh karena dia tidak mau tidur. Kalau sampai malam nanti aku belum bisa mendapatkan petunjuk tentang anak-anakku, aku harus bagaimana. Alena dan papanya masih belum pulang beberapa hari, tetapi kalau mereka sudah pulang lebih awal, bagaimana. Semoga saja mereka benaran tidak pulang dulu sebelum aku kembali. Aku berharap bertemu anak-anak, lalu membawa mereka bersamaku. Soal Mas Erik, aku akan memikirkannya nanti. Toh selama ini aku sudah menuruti semua kemauannya. *** Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Kubuka mata yang masih lengket, seambari meraba tempat di depanku. Aku terkejut saat menyadari Farla tidak ada di depanku. Saat aku menoleh, dia sudah berada di tanah dalam kondisi telentang dan menangis kencang. Ya Tuhan, nenek macam apa aku ini, membiarkan cucunya terjatuh dari gazebo karena ketiduran. Kuambil Farla dan mengusap-usap kepalanya. Beruntung dia jatuh di re

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 66

    "Dan sekarang kamu baru mencari mereka karena merasa menyesal?" Rina menatapku, aku begitu malu dengan diri sendiri."Aku sangat bodoh, Rin." "Syukurlah kamu menyadari kebodohan itu. Seharusnya kamu nggak memilih suami egois seperti dia, Tih. Laki-laki yang benar-benar mencintaimu, pasti akan mau menerima anak-anakmu. Jika aku jadi kamu, aku lebih memilih hidup bersama anakku dari pada dengan laki-laki egois. Apa lagi katamu dia ingin kamu menyayangi anaknya saja. Dan sekarang, kamu disalahkan dengan kesalahan yang diperbuat anaknya sendiri." Ya, aku memang terlalu bodoh. Dan kini baru menyadarinya di saat begitu sulit mencari keberadaan anak-anakku. "Lalu gimana rencanamu selanjutnya?" "Entahlah, aku bingung, Rin. Aku harus mencari mereka ke mana? Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku bingung." Aku menangis karena merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan kami di rumah Bu Lisna saat mengadakan ulang tahun putrinya. Bukankah wa

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 65

    Penjelasan Rina membuatku semakin dilanda kebingungan. Jika Vina dan adik-adiknya tidak pernah ke sini, lantas ke mana mereka. Hampir empat tahun sudah sejak aku meminta mereka pergi. Bagaimana mungkin mereka tidak ke sini, mereka hanya tahu rumah ayahnya. Selain Mas Ramlan, di sini tidak memiliki saudara lagi. Hanya ada saudara sepupu jauh Mas Ramlan, tetapi tidak terlalu akrab. Karena dulu saat aku masih tinggal di sini, keluarga kami dikucilkan. Maklum, orang miskin memang selalu dipandang hina. "Kamu yakin, Rin, tidak pernah melihat Vina? Atau mungkin kamu yang kurang memperhatikan? Vina dan adik-adiknya pergi ke sini sudah hampir empat tahun. Saat itu dia baru saja lulus dan tengah libur akhir sekolah." Aku bertanya lagi, untuk memastikan. "Kamu ngantar mereka kemari?" Rina malah balik bertanya dan aku menggeleng lemah. "Bentar deh, Tih. Kamu bilang, mereka ke sini saat libur akhir sekolah. Dan kamu nggak ngantar mereka? Jadi, mereka ke sini hanya berempat?" "Iya," jawabku.

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 64

    Perjalanan ini terasa sangat melelahkan ketika harus membawa bayi dalam gendongan. Farla mulai merengek, aku berhenti sebentar di bawah pohon mangga. Kuambil termos dan botol susu, membersihkannya sebentar dengan air panas lalu membuatkan susu untuk cucuku. "Jangan rewel ya, La, sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa main sama tante dan ommu." Aku tersenyum agar Farla merasa lebih tenang. Jujur aku merasa malu jika nanti anak-anakku melihatku membawa anaknya Alena, putri tiri yang dibanggakan, tetapi sudah tidak memiliki masa depan. Semoga Mas Ramlan mampu menyekolahkan Vina dan adik-adiknya. "Ojek, Pak, ojek!" Kuhentikan motor yang lewat. Seorang pengendara laki-laki memakai caping yang membawa karung berisi rumput di jok bagian belakang. "Saya bukan ojek, Bu, saya hanya pencari rumput." Orang itu berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motornya. "Tapi saya butuh ojek, Pak, apa Bapak bisa mengantar saya?" "Waduh, saya bawa karung begini, mana bisa, Bu," jawabnya seraya me

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 63

    Farla merengek dan kuambilkan botol susu yang sengaja kubuat sebelum naik bis tadi. Sengaja aku membuatkannya dua botol. Satu sudah diminum, satunya lagi kuberi air panas agar masih hangat saat akan menggunakannya lagi.Perjalanan cukup melelahkan, apa lagi harus memangku bayi. Perut juga terasa keroncongan karena sudah lebih dari dua jam bus melaju. Ya Tuhan, mungkinkah dulu anak-anakku juga merasakan seperti ini, sesak karena harus duduk berempat di kursi yang hanya dua. Bahkan kala itu aku tidak membawakan bekal atau sekedar air minum untuk mereka. Padahal perjalanan jauh seperti ini sungguh melelahkan dan membuat seringnya ingin minum atau makan sesuatu. Mungkinkah dulu mereka kelaparan saat dalam bus, atau bahkan Fajar menangis. Tak sanggup membayangkannya. "Ayo kita turun dulu, Bu, barang kali mau buang air kecil," ajak perempuan yang duduk di sampingku. "Iya, ayo." Aku pun mengikuti ajakannya untuk turun saat bis berhenti di SPBU. Karena merasa ingin buang air kecil, aku me

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 62

    Pagi ini Alena pulang setelah semalam entah berada di mana. Kemarin dia bertengkar hebat dengan suaminya, hingga mereka berdua pergi dan tidak pulang semalaman. Pintu kamar tidak ditutup dan dia merebahkan tubuhnya di kasur yang sprei, selimut, dan bantalnya berantakan. Sudah sebesar itu, tapi tak pernah mau beberes kamarnya sendiri. "Tolong kamu jagain Farla dulu, Len, aku mau ke kamar mandi, mulas sekali." Kuberikan Farla pada Alena karena mendadak perutku mulas. Mungkin karena semalam makan pakai sambal. "Apaan sih, Ma, aku ngantuk mau tidur!" "Cuman bentar, kok!" Aku berjalan cepat menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Tak kuhiraukan teriakan Alena yang memanggilku. Namun, tiba-tiba Farla menangis dengan kencang dan itu membuatku buru-buru keluar dari kamar mandi. "Farla!" teriakku saat melihat Farla tengkurap di lantai sambil menangis, sementara Alena berada di kasur dan tidak memedulikan darah dagingnya sendiri. Kuambil Farla, ternyata dahinya membiru dan benjol. Ku

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 61

    "Kenapa baru pulang, sih, Rit? Kamu tahu nggak, aku berjuang setengah mati menahan sakit karena melahirkan anakmu! Eh, kamu malah enak-enakan di rumah ibumu!" Alena memarahi suaminya yang baru datang setelah tiga hari melahirkan. Farit duduk lalu mengambil air minum dan meneguknya. Alena ikut duduk di samping suaminya dengan kepayahan, sesekali memegangi perutnya. Ia memang tidak mau menggunakan korset pada perutnya, padahal baru pertama kali melahirkan. "Aku kerja, Alena, bukan senang-senang. Lagian kamu udah lahiran ya udah, apalagi?" Farit menjawab dengan entengnya. Laki-laki berkulit putih itu bahkan tidak memedulikan bayinya yang kini dalam gendonganku. Tidak ingin melihat atau pun menanyakan jenis kelaminnya.Aku heran saja dengan keluarga Farit. Sejak ia menjadi suami Alena, tidak pernah sekalipun ibu atau saudaranya yang datang ke sini. Bahkan hingga saat ini, tidak ada yang menjenguk Alena atau menanyakan bayi yang baru berumur tiga hari ini."Anak kita cewek, kamu nggak

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 60

    Rupanya gadis kecil yang dulunya sangat manja dan selalu aku suapi dengan telaten, bisa menjadi seganas itu. Kelakuan Alena tak ubahnya wanita liar yang haus akan belaian. Sungguh, aku yang perempuan saja merasa malu melihatnya. Dengan perut yang sedikit membuncit itu, dia ... ah! Lebih baik aku gedor pintunya agar mereka beralih tempat. Ada kamar, bisa-bisanya melakukannya di ruang tamu. Apa mereka tidak malu jika ada orang lain yang melihat. Pintu kugedor keras beberapa kali, nama Alena pun kupanggil. Tidak ada sahutan dan pintu masih kugedor. "Alena! Buka pintunya! Cepat buka!" Beberapa kali kupanggil, akhirnya pintu dibuka dan Alena muncul dengan handuk yang melilit di tubuhnya. "Kok Mama udah balik, sih!" gerutunya kesal. "Memangnya kamu ingin aku pergi berapa lama? Sampai suaramu itu didengar tetangga dan diintip orang, begitu?" Mata Alena membulat, sepertinya dia kaget. "Apa nggak ada tempat lain? Kamar kamu masih luas, kan? Atau kalau nggak, sekalian aja di halaman bia

DMCA.com Protection Status