Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah.
"Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!" "Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!" "Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya. "Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku. "Kakak jangan sedih, ya." "Maafkan Kakak ya, Ndi. Gara-gara Kakak menaruh es itu di kulkas, kalian tidak jadi makan es kacang hijaunya." "Kita bisa beli lain kali, Kak," ujar Andi lagi. Lani yang masih belum mengerti apa yang terjadi, malah ikut menangis. "Kenapa kamu menangis, Lan?" Lani hanya menggeleng, dan Andi mengusap air mata adik perempuanku itu. "Lani sedih kalau Kak Vina menangis. Rasanya pengen ikut nangis." Ah, adikku, Kakak yang mendengar ucapanmu malah ingin nangis lagi. "Sudah jangan nangis, Kakak nggak nangis, kok. Nih, nggak ada air matanya, 'kan?" Aku berjongkok dan mendekatkan wajahku, membuat Lani menaruh kedua telapak tangannya di pipiku. "Apa kamu nangis gara-gara nggak jadi makan kacang hijau itu? Kalau iya, Kakak akan belikan." "Enggak, Kak." "Ya sudah, kalau gitu sekarang kalian mandi dulu gih!" "Iya, Kak." Suara tangisan Fajar dari dalam kamar, membuat kedua adikku mengurungkan niatnya untuk mandi. Kami pun masuk ke dalam kamar untuk melihatnya. Benar saja, Fajar bangun dan aku menenangkannya. "Kenapa Fajar tidur di sini, Kak? Bukankah biasanya dia tidur di kamar bersama Ibu dan Papa Erik?" tanya Andi. "Ibu yang menaruhnya di sini. Kata Ibu, Fajar sudah disapih dan mulai sekarang, kita tidur berempat," jawabku. "Tapi, kamar kita sempit, Kak." "Nanti biar Kakak tidur di bawah saja, ya. Kakak bisa pakai karpet." Ya, kamar kami memang tidak terlalu besar, berbeda dengan dua kamar yang lain. Ada satu kasur kapuk yang tidak terlalu empuk, yang biasa kami tempati. Berbeda dengan kasur di dua kamar yang lain, yang menggunakan kasur busa yang besar dan empuk. "Tapi, apa dia bisa tidur tanpa Ibu di sampingnya?" tanya Andi lagi, yang khawatir dengan Fajar. Keadaan hidup kami yang berbeda dengan anak-anak lain, membuat Andi khawatir dengan keadaan saudaranya. "Kakak juga nggak tahu, semoga saja nanti malam dia tidak rewel," sahutku, "cepat mandi, nanti gantian Kakak juga mau mandiin Fajar." Aku menyuruh adik-adikku untuk mandi karena waktu sudah sore. Setelah itu, aku juga memandikan Fajar. Setelah ketiganya selesai mandi, aku meminta mereka bermain di dalam kamar karena aku juga harus mandi. Namun saat sampai di kamar mandi, Alena terdengar sudah berada di sana. Mau tak mau, aku harus menunggu ia selesai. Entah apa yang dilakukan Tuan Puteri di dalam sana. Hampir satu jam aku menunggu, ia tidak keluar juga dari kamar mandi. Alena memang sangat lelet saat mandi. Terpaksa aku mengetuk pintu karena sudah hampir Maghrib dan aku belum juga mandi. "Len, aku mau mandi, cepatlah sedikit." Tak berselang lama, kamar mandi pun terbuka. Alena menggunakan handuk dan keluar. "Lama banget di dalam," keluhku. "Suka-sukalah, kamar mandi aku! Numpang ya harus ngalah!" ketusnya. Tak mau meladeni, aku pun segera masuk ke kamar mandi. Bukan karena tak berani padanya. Namun, terlalu malas meladeninya. Terlebih, suara adzan sudah terdengar. Selesai salat Maghrib, aku melipat dan menyetrika baju-baju yang tadi siang kucuci, sementara adik-adikku sedang menonton serial kartun kesukaan mereka di televisi. Aktifitas menyetrika pun kulakukan di depan televisi, sambil menjaga mereka. Ibu sedang di dapur, menata sajian makan malam seperti biasa. Tak berselang lama, Papa Erik dan Alena tampak berjalan menuju ke ruang makan. Terdengar suara Ibu menawarkan berbagai lauk kepada putri kesayangan mereka dengan ramah. Terdengar pula Alena ingin disuapi oleh ibuku. Aku berdiri, lalu mengintip kebersamaan mereka. Ibu benar-benar menyuapi Alena dengan telaten, sementara Papa Erik menyuapi Ibu. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Sudah seperti satu keluarga utuh yang bahagia. Mereka terdengar sangat bahagia, sesekali tertawa dan saling memuji. "Masakan Mama memang sangat nikmat, Papa nggak salah milihin Mama buat aku. Makasih ya Pa, Ma," ucap Alena dengan mulut penuh makanan. "Iya dong, Sayang, Papa akan lakukan apapun untuk kamu. Kamu bahagia, 'kan, hidup sama Papa?" "Bahagia banget!" "Sudah, Alena, makan dulu nanti baru bicara. Nggak baik makan sambil bicara seperti itu. Ayo makan lagi yang banyak, biar anak Mama sehat." Ibu tersenyum dan terlihat bahagia menyuapi Alena. Mataku memanas. Ibu bilang ingin agar anaknya sehat. Apakah cuma Alena yang dipikirkan? Lalu kami ini apa? Apa kami bukan anaknya? Kami seperti debu yang tidak kelihatan. Ibu, kenapa engkau setega ini pada kami. Apa salah kami, Bu? "Kakak," panggil Andi. Aku pun buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipi, lalu kembali melanjutkan aktifitasku. Seusai makan malam, Papa Erik masuk ke dalam kamarnya, begitu pun dengan Alena. "Vina, ayo makan, ajak adik-adikmu." Ibu memanggil, dan kami pun menuju meja makan untuk makan malam. Seperti biasa, Ibu menyisakan nasi dalam satu mangkuk untuk kami bertiga. Ada juga sayur nangka dan ikan asin. "Nggak ada lauk, Bu?" tanyaku. "Sudahlah, makan aja apa yang ada. Masih untung bisa makan." Ibu berlalu setelah kami berada di meja makan. Padahal tadi kulihat Ibu menggoreng ayam. Sampai hati tidak menyisakan untuk kami. Sementara Fajar, sudah makan dengan nasi tim buatan Ibu tadi sehabis Maghrib. "Kak, aku tadi lihat Kak Alena membawa potongan paha ayam ke kamarnya." Aku yang menyendok nasi, menoleh ke arah Lani. "Mungkin kamu salah lihat, Lan," sahut Andi. "Enggak salah, kok. Malah Kak Alena menggigitnya sambil menoleh padaku," terang Lani. Ya Allah, kasihan sekali kamu Dek, Dek. Mungkin Alena sengaja memperlihatkan ayam goreng itu pada Lani. "Besok kalau ada uang, kita beli, ya? Sekarang makan ini dulu." "Iya, Kak." Untungnya adikku bisa diberi pengertian. Selesai makan, aku membereskan bekasnya dan membawa ke tempat cucian piring. Kalau tidak aku bersihkan sekarang, besok akan membuat pekerjaan bertambah. Padahal aku harus bangun pagi untuk sekolah juga. "Kalian pergilah tidur, Kakak mau nyuci piring." Kedua adikku patuh dan menuju ke kamar. Kudekati Ibu yang kini berada di depan televisi. "Bu." "Ada apa?" Ibu menjawab tanpa menoleh. Tangannya asyik mengganti program yang ada di layar televisi. "Apa Ibu yakin Fajar tidur bersama kami?" "Kenapa lagi memangnya? Dia sudah Ibu suapin, pasti nggak rewel. Itu, Ibu juga sudah siapin termos, kamu bawa ke kamar beserta susu formulanya. Nanti kalau Fajar bangun, langsung buatkan susu ke dalam botolnya. Lagi pula dia harus terbiasa tidak bergantung pada Ibu mulai sekarang." "Maksud Ibu?"Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.
"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah
Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P
Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s
Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani
Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F
Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat
Dinginnya malam membuatku merapatkan tubuh pada selimut tebalku. Tubuhku terasa lelah dengan aktifitas yang kulakukan seharian ini. Mataku mulai sembab, tapi tak lagi kupedulikan. Yang ingin kulakukan hanyalah tidur, untuk menghilangkan penat di tubuh dan pikiran."Kak, ayo bangun! Sudah waktunya sahur." Terdengar suara Lani membangunkanku, tapi rasanya aku masih enggan membuka mata. Mata ini terasa lengket, pedas, dan terkatup rapat. Otakku masih merespons, tapi mataku belum bisa diajak bekerja sama."Vina, bangun, Nak, ayo sahur. Kalau nggak cepat bangun, nanti keburu imsak." Dengan sekali perintah, aku langsung membuka mata.Wanita cantik dengan daster kusam itu adalah ibuku. Dia tersenyum mengusap rambutku, kemudian menuntunku dari tempat tidur.Kutatap sekeliling, aku berada di rumah masa kecilku. Rumah berdinding kayu yang menjadi tempat aku tumbuh dan bermain. Suasananya sangat hangat, "Ayo, sini, Ibu sudah membuat telur dadar dan
Lani memanggil Ayah, kemudian menarik tangan Andi agar segera masuk ke rumah. Andi patuh, lalu duduk di kursi setelah Lani menyuruhnya. Aku pun ikut duduk di samping Andi sambil tersenyum.Ayah datang bersamaan dengan Fajar yang membawa toples berisi camilan. "Kalian kemari, ada apa, Nak?" tanyanya setelah duduk."Andi ngajak aku ke sini untuk tidur di sini, soalnya dia nggak mau sahur tanpa adik-adiknya," tuturku.Ayah menatap Andi dengan senyuman khasnya, sementara Andi terlihat cuek."Beneran, Kak?" Fajar bertanya dengan mulut penuh makanan."Kalau makan jangan sambil ngomong, kalau ngomong jangan sambil makan, Jar." Andi mengingatkan."He he he, iya, Kak." Fajar memasukkan camilan lagi ke dalam mulutnya, tidak lagi bertanya.Sementara itu, Ibu yang berada tak jauh dari tempatku berada, seperti ingin mendekat, tapi tidak berani. Mungkin saja khawatir akan membuat Andi marah seperti kemarin.Aku berdiri, melangkah menuju tempat Ibu berada. "Ayo, Bu, kita ke sana," ajakku. "Jangan,
Andi menatap dan menanyaiku, sepertinya dia khawatir aku mendengar semua curhatannya pada Yusuf."Barusan. Ada apa memangnya?" jawabku."Nggak apa-apa, kupikir sudah dari tadi.""Memang kenapa kalau Kakak udah pulang dari tadi?""Ya nggak apa-apa. Mana Lani dan Fajar?" Andi melihat sekeliling."Mereka nggak pulang malam ini, tidur di rumah Ayah dan Ibu." Jawabanku membuat Andi menyernyit."Maksud Kakak, mereka tinggal serumah? Di rumah yang ditinggali Ayah itu?" Aku tersenyum mendengar Andi mengucapkan kata "Ayah"."Iya. Nggak ada pilihan, Ibu butuh tempat tinggal dan teman ngobrol. Kupikir Ayah dan Pak Mardi bisa menjadi temannya karena mereka sudah sama-sama tua, nggak kayak di rumah ini yang semua isinya anak muda.""Tapi mereka sudah berpisah, Kak, nanti bisa jadi fitnah!" Andi terlihat kesal."Ya nggak apa-apa, kan ada Farla, Lani dan Fajar juga tidur di sana, kan? Tadi Mas Aan kusuruh bawain kasur lipat agar mereka bisa tidur dengan nyaman," debatku."Tapi, Kak!""Kamu kenapa si
Ibu menyeka air matanya dengan cepat, sementara Ayah melambaikan tangannya agar kami mendekat. Kami pun menghampiri Ayah dan Ibu."Kenapa hanya di sana? Tidak ada yang kami sembunyikan dari kalian, Nak. Kalian berhak tahu apa yang terjadi pada kami," tutur Ayah."Maaf, Yah, kami nggak mau mengganggu kalian," ujarku."Tidak, Nak, kalian tidak mengganggu. Kami senang karena kalian telah mempertemukan kami. Di depan kalian, Ibu ingin meminta maaf pada ayah kalian. Sebab Ibu punya banyak salah padanya. Gara-gara Ibu, hidup kita berantakan dan keluarga kita terpecah belah," papar Ibu yang menangkupkan kedua tangannya."Aku sudah melupakannya, bahkan tidak pernah menyimpan benci padamu, Tih. Justru aku yang minta maaf karena tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang berguna. Maafkanlah aku," ujar Ayah yang juga menangkupkan kedua tangannya.Kami terharu. Ayah dan Ibu sudah saling memaafkan, rasanya begitu lega melihat mereka berdua akur. Sebagai seorang anak, aku sangat bahagia. Kebahagia
Aku masih mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu. Dari pertanyaan Ibu itu, aku juga ingin mendapatkan jawabannya. Selama ini Ayah tidak pernah bercerita tentang anak kembarnya yang merupakan adikku. Juga tentang istrinya, dan tentang Ayah yang akhirnya tinggal di jalanan."Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Ratih. Bahkan saat aku menikah lagi, aku merasa sangat kesulitan menghadapi istri yang akhirnya memberikanku anak kembar. Aku tahu, lagi-lagi semua itu terjadi karena aku yang miskin ini, tapi kehidupanku bersamanya lebih buruk dari sebelumnya." Aku dan Lani masih mendengarkan Ayah bercerita, tepatnya menguping pembicaraan mereka."Iya, kamu benar, Mas. Pernikahan kedua memang terasa berbeda. Aku sendiri mengalaminya. Beradaptasi dengan orang baru itu sangat susah, dan kita mencoba untuk bisa mengimbanginya. Setelah hidup bersama lebih dari sepuluh tahun denganmu yang sudah sama-sama tahu sifat dan kepribadiannya, lalu harus menghadapi orang baru dengan kepribadian baru, itu sung
Pertemuan kedua insan yang pernah menjalani kehidupan bersama itu tampak mengharukan. Ayah melepas caping yang tadi terpasang di kepalanya, lalu mendekati Ibu yang berada di kursi roda.Aku yang berada di belakang kursi roda, memang tidak dapat melihat ekspresi wajah Ibu. Namun, bahu Ibu bergetar dan tangannya terangkat ke udara, seakan ingin menyalami Ayah."Mas Ramlan," sapa Ibu.Ayah menatapku, aku tersenyum saja. Lani yang berada di sampingku pun ikut menoleh padaku dan tersenyum tipis. Ayah kemudian menyentuh tangan Ibu yang masih berada di udara, dan mereka berjabat tangan. "Benarkah ini kamu, Ratih?" tanyanya."Iya, ini aku. Aku wanita yang tidak bersyukur dan wanita yang pernah meninggalkanmu dulu. Aku wanita yang meminta cerai darimu, Mas Ramlan," jawab Ibu dengan suara bergetar."Bukan itu yang aku tanyakan, Ratih. Aku tidak menyangka kita bertemu lagi setelah sekian lama berpisah. Aku tidak pernah menyalahkanmu karena memilih bercerai dariku, Tih. Aku sangat tahu diri denga