Share

Bab 3. Ibu Tega Sekali

Author: Aisyah Ais
last update Last Updated: 2024-07-16 17:28:15

Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah.

"Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!"

"Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!"

"Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya.

"Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku. "Kakak jangan sedih, ya."

"Maafkan Kakak ya, Ndi. Gara-gara Kakak menaruh es itu di kulkas, kalian tidak jadi makan es kacang hijaunya."

"Kita bisa beli lain kali, Kak," ujar Andi lagi.

Lani yang masih belum mengerti apa yang terjadi, malah ikut menangis. "Kenapa kamu menangis, Lan?" Lani hanya menggeleng, dan Andi mengusap air mata adik perempuanku itu.

"Lani sedih kalau Kak Vina menangis. Rasanya pengen ikut nangis." Ah, adikku, Kakak yang mendengar ucapanmu malah ingin nangis lagi.

"Sudah jangan nangis, Kakak nggak nangis, kok. Nih, nggak ada air matanya, 'kan?" Aku berjongkok dan mendekatkan wajahku, membuat Lani menaruh kedua telapak tangannya di pipiku.

"Apa kamu nangis gara-gara nggak jadi makan kacang hijau itu? Kalau iya, Kakak akan belikan."

"Enggak, Kak."

"Ya sudah, kalau gitu sekarang kalian mandi dulu gih!"

"Iya, Kak."

Suara tangisan Fajar dari dalam kamar, membuat kedua adikku mengurungkan niatnya untuk mandi. Kami pun masuk ke dalam kamar untuk melihatnya. Benar saja, Fajar bangun dan aku menenangkannya.

"Kenapa Fajar tidur di sini, Kak? Bukankah biasanya dia tidur di kamar bersama Ibu dan Papa Erik?" tanya Andi.

"Ibu yang menaruhnya di sini. Kata Ibu, Fajar sudah disapih dan mulai sekarang, kita tidur berempat," jawabku.

"Tapi, kamar kita sempit, Kak."

"Nanti biar Kakak tidur di bawah saja, ya. Kakak bisa pakai karpet." Ya, kamar kami memang tidak terlalu besar, berbeda dengan dua kamar yang lain. Ada satu kasur kapuk yang tidak terlalu empuk, yang biasa kami tempati. Berbeda dengan kasur di dua kamar yang lain, yang menggunakan kasur busa yang besar dan empuk.

"Tapi, apa dia bisa tidur tanpa Ibu di sampingnya?" tanya Andi lagi, yang khawatir dengan Fajar. Keadaan hidup kami yang berbeda dengan anak-anak lain, membuat Andi khawatir dengan keadaan saudaranya.

"Kakak juga nggak tahu, semoga saja nanti malam dia tidak rewel," sahutku, "cepat mandi, nanti gantian Kakak juga mau mandiin Fajar."

Aku menyuruh adik-adikku untuk mandi karena waktu sudah sore. Setelah itu, aku juga memandikan Fajar. Setelah ketiganya selesai mandi, aku meminta mereka bermain di dalam kamar karena aku juga harus mandi. Namun saat sampai di kamar mandi, Alena terdengar sudah berada di sana. Mau tak mau, aku harus menunggu ia selesai.

Entah apa yang dilakukan Tuan Puteri di dalam sana. Hampir satu jam aku menunggu, ia tidak keluar juga dari kamar mandi. Alena memang sangat lelet saat mandi. Terpaksa aku mengetuk pintu karena sudah hampir Maghrib dan aku belum juga mandi.

"Len, aku mau mandi, cepatlah sedikit." Tak berselang lama, kamar mandi pun terbuka. Alena menggunakan handuk dan keluar. "Lama banget di dalam," keluhku.

"Suka-sukalah, kamar mandi aku! Numpang ya harus ngalah!" ketusnya. Tak mau meladeni, aku pun segera masuk ke kamar mandi. Bukan karena tak berani padanya. Namun, terlalu malas meladeninya. Terlebih, suara adzan sudah terdengar.

Selesai salat Maghrib, aku melipat dan menyetrika baju-baju yang tadi siang kucuci, sementara adik-adikku sedang menonton serial kartun kesukaan mereka di televisi. Aktifitas menyetrika pun kulakukan di depan televisi, sambil menjaga mereka.

Ibu sedang di dapur, menata sajian makan malam seperti biasa. Tak berselang lama, Papa Erik dan Alena tampak berjalan menuju ke ruang makan. Terdengar suara Ibu menawarkan berbagai lauk kepada putri kesayangan mereka dengan ramah. Terdengar pula Alena ingin disuapi oleh ibuku.

Aku berdiri, lalu mengintip kebersamaan mereka. Ibu benar-benar menyuapi Alena dengan telaten, sementara Papa Erik menyuapi Ibu. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Sudah seperti satu keluarga utuh yang bahagia.

Mereka terdengar sangat bahagia, sesekali tertawa dan saling memuji. "Masakan Mama memang sangat nikmat, Papa nggak salah milihin Mama buat aku. Makasih ya Pa, Ma," ucap Alena dengan mulut penuh makanan.

"Iya dong, Sayang, Papa akan lakukan apapun untuk kamu. Kamu bahagia, 'kan, hidup sama Papa?"

"Bahagia banget!"

"Sudah, Alena, makan dulu nanti baru bicara. Nggak baik makan sambil bicara seperti itu. Ayo makan lagi yang banyak, biar anak Mama sehat." Ibu tersenyum dan terlihat bahagia menyuapi Alena.

Mataku memanas. Ibu bilang ingin agar anaknya sehat. Apakah cuma Alena yang dipikirkan? Lalu kami ini apa? Apa kami bukan anaknya? Kami seperti debu yang tidak kelihatan. Ibu, kenapa engkau setega ini pada kami. Apa salah kami, Bu?

"Kakak," panggil Andi. Aku pun buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipi, lalu kembali melanjutkan aktifitasku.

Seusai makan malam, Papa Erik masuk ke dalam kamarnya, begitu pun dengan Alena.

"Vina, ayo makan, ajak adik-adikmu." Ibu memanggil, dan kami pun menuju meja makan untuk makan malam. Seperti biasa, Ibu menyisakan nasi dalam satu mangkuk untuk kami bertiga. Ada juga sayur nangka dan ikan asin.

"Nggak ada lauk, Bu?" tanyaku.

"Sudahlah, makan aja apa yang ada. Masih untung bisa makan." Ibu berlalu setelah kami berada di meja makan.

Padahal tadi kulihat Ibu menggoreng ayam. Sampai hati tidak menyisakan untuk kami. Sementara Fajar, sudah makan dengan nasi tim buatan Ibu tadi sehabis Maghrib.

"Kak, aku tadi lihat Kak Alena membawa potongan paha ayam ke kamarnya." Aku yang menyendok nasi, menoleh ke arah Lani.

"Mungkin kamu salah lihat, Lan," sahut Andi.

"Enggak salah, kok. Malah Kak Alena menggigitnya sambil menoleh padaku," terang Lani.

Ya Allah, kasihan sekali kamu Dek, Dek. Mungkin Alena sengaja memperlihatkan ayam goreng itu pada Lani. "Besok kalau ada uang, kita beli, ya? Sekarang makan ini dulu."

"Iya, Kak." Untungnya adikku bisa diberi pengertian.

Selesai makan, aku membereskan bekasnya dan membawa ke tempat cucian piring. Kalau tidak aku bersihkan sekarang, besok akan membuat pekerjaan bertambah. Padahal aku harus bangun pagi untuk sekolah juga.

"Kalian pergilah tidur, Kakak mau nyuci piring." Kedua adikku patuh dan menuju ke kamar.

Kudekati Ibu yang kini berada di depan televisi. "Bu."

"Ada apa?" Ibu menjawab tanpa menoleh. Tangannya asyik mengganti program yang ada di layar televisi.

"Apa Ibu yakin Fajar tidur bersama kami?"

"Kenapa lagi memangnya? Dia sudah Ibu suapin, pasti nggak rewel. Itu, Ibu juga sudah siapin termos, kamu bawa ke kamar beserta susu formulanya. Nanti kalau Fajar bangun, langsung buatkan susu ke dalam botolnya. Lagi pula dia harus terbiasa tidak bergantung pada Ibu mulai sekarang."

"Maksud Ibu?"

Related chapters

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

    Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.

    Last Updated : 2024-07-16
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 5. Makanan Dari Tetangga

    "Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah

    Last Updated : 2024-07-16
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 6. Ancaman Papa Erik

    Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 7. Kepura-puraan Ibu

    Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 8. Tetangga Lebih Peduli

    Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 9. Itukah Ibu Tiri?

    Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 10. Teganya Mereka

    Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 11. Dia Seorang ....

    "Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A

    Last Updated : 2024-11-15

Latest chapter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 100

    Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 99

    Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 98

    Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 97

    Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 96

    Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 95

    Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 94

    Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 93

    Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 92

    "Dia yang kamu maksud itu adalah ayah kita, Ndi. Kamu nggak mau Ayah tinggal bersama kita, dan aku memang memintanya tinggal di rumah itu. Lagi pula Pak Mardi juga tinggal di sana, mereka hidup berdua. Lalu kenapa?" "Iya, Kak. Ayah memang pernah salah sama kita, tapi dia tetaplah ayah kita. Ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita, dan kita tidak bisa mengelak hal itu," sahut Lani.Andi menoleh pada Lani, lalu tersenyum kecut. "Jadi kamu juga sudah menerima dia, Lan? Baguslah! Pasti Fajar juga sudah kalian ajari untuk menghormatinya, kan? Ya, sekarang hanya aku yang dianggap sebagai anak yang durhaka karena tidak mau menerima dan memaafkan orang itu. Kalian adalah anak-anak yang baik, dan aku anak yang buruk.""Bukan begitu, Ndi." Aku mendekatinya."Bukan begitu lalu apa, Kak? Sudahlah, silakan saja kalian lakukan yang kalian mau. Aku benar-benar kecewa pada kalian! Kupikir hidup kita akan tenang, ternyata malah semakin rumit. Aku hanya ingin kita hidup berempat tanpa orang-or

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status