Home / Pernikahan / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 7. Kepura-puraan Ibu

Share

Bab 7. Kepura-puraan Ibu

Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan.

Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam.

Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami.

Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?'

"Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya seraya tersenyum manis. Entah makanan yang mana yang dimaksudkan. Dan, tumben sekali sikapnya sangat ramah. "Apa mau Ibu ambilin satu-satu?"

Ibu lantas menyendokkan nasi, sayur dan ikan di piring. Kami bertiga masing-masing mendapatkan satu piring berisi makanan lengkap dengan sayur dan lauk. Tidak lupa juga, ayam goreng krispi yang begitu menggiurkan.

"Ini beneran untuk kami, Bu?" tanya Lani dengan mata berbinar.

"Ya, tentu saja. Memangnya kenapa?" Ibu bertanya kembali pada Lani. Tentu saja Lani merasa aneh karena biasanya diberi makan tidak sebanyak ini.

"Jadi kita nggak akan makan semangkuk nasi untuk bertiga lagi, ya, Bu?"

"Enggak, sekarang kalian makan ini dulu. Dihabiskan, ya, biar kenyang." Ibu mengelus rambut Lani, lalu beralih menatap Andi. "Ayo, Ndi, dimakan. Nanti keburu telat, loh."

"Cepat kalian habiskan, setelah itu berangkat sekolah. Nanti piringnya biarkan saja di tempat cuci piring, Vin. Tidak usah dicuci." Ibu berkata padaku, lalu berlalu.

Andi menoleh lalu berbisik, "Kak, itu beneran ibu, 'kan?"

"Menurutmu?"

Andi hanya nyengir sambil menggaruk pelipisnya. Mungkin ia juga merasa ada yang berbeda dengan sikap ibu kami. Tapi, aku sedikit senang dengan perlakuannya. Barang kali saja, Ibu memang sudah berubah dan menjadi lebih baik pada kami. Semoga saja anggapanku ini benar.

Selama dua minggu ini Ibu bersikap baik pada kami. Selama itu pula, kami diperlakukan layaknya seorang anak oleh Ibu. Setiap hari aku masih mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Ibu selalu menyuruhku istirahat saja. Karena sudah terbiasa, tentu aku lebih suka mengerjakannya.

Papa Erik pun bersikap baik pada kami. Meski jarang berbicara pada kami, tapi tidak pernah berucap kasar. Begitu pun Alena yang tidak lagi memerintah sesuka hati. Sepertinya mereka berdua juga sudah mulai menerima kami. Ah, semoga saja.

Hari ini ada acara perpisahan di sekolah. Ibu datang di acara itu, bersama dengan ketiga adikku. Aku lulus SMP dengan nilai tertinggi, dan ada Ibu yang hadir dalam acara kelulusanku. Aku sungguh bahagia. Kami berfoto berlima, meminta temanku memfotokannya lewat ponsel Ibu.

"Nanti kita cetak fotonya, ya, Kak. Buat kenang-kenangan," pinta Andi.

"Boleh-boleh. Nanti kita cetak fotonya dulu sebelum pulang. Gimana?" saran Ibu dan kami pun menyetujui.

Benar saja, saat perjalanan pulang, Ibu mengajak kami mampir di studio foto dan mencetak foto kami. Hasilnya sangat bagus. Ibu mencetaknya menjadi dua. Katanya, satu foto akan ditaruh di kamarnya, dan satunya lagi untuk kami.

Sampai di rumah, Ibu meminta kami istirahat. Kami pun tidur siang setelah selesai makan.

"Sudah kau urus surat pindahnya?"

"Sudah, Mas."

"Kapan pindahnya?"

"Besok pagi, Mas."

"Baguslah. Sudah cukup, aku ikut merawat mereka. Sekarang waktunya kamu kembalikan pada yang lebih memiliki kewajiban." Samar-samar, kudengar percakapan Ibu dan Papa Erik yang entah membicarakan apa.

Malam harinya, Ibu membawa dua buah tas besar. Ibu memintaku untuk memasukkan baju-baju ke dalam tas itu. Saat aku bertanya, Ibu tidak menjawabnya. Namun saat Ibu hendak ke luar dari kamarku, Ibu menoleh, "Mulai besok kalian akan tinggal di rumah ayah kalian."

Deg!

"Maksud Ibu?"

Ibu berbalik lagi dan menatapku. "Iya, ke rumah ayah kalian. Sudah waktunya kalian pindah. Kamu sudah lulus sekolah, Andi pun sudah mendapatkan ijazah SD. Dan Ibu juga sudah mengurus surat pindah sekolah Lani."

"Jadi Ibu ingin pisah sama kami?" tanyaku heran. Kupikir akan selamanya kami tinggal bersama. Kebaikan Ibu akhir-akhir ini, rupanya hanya untuk sementara. Sebelum akhirnya ia meninggalkan kami bersama Ayah.

"Kan kamu sudah Ibu beritahu waktu itu, Vin. Kalian memang akan pindah ke rumah ayah kalian. Dan sekarang waktunya. Fajar juga sudah terbiasa tidak minum ASI, dia sudah mau minum susu formula." Enteng sekali Ibu berucap.

"Apa Ibu tega meninggalkan kami hidup bersama Ayah dan istri barunya?" tanyaku lirih. Mataku memanas, bulir bening itu jatuh begitu saja. Rasanya baru kemarin kami merasakan kasih sayang Ibu. Namun, kini semuanya harus berakhir.

Kenapa begitu tega pada kami. Padahal Ibu tahu bagaimana keadaan Ayah. Yang aku tahu, waktu itu Ibu meminta berpisah karena Ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ya, ayahku memang orang yang kekurangan. Namun aku tahu, Ayah sudah berusaha bekerja keras untuk kami. Meskipun uang yang didapat tidak seberapa.

"Bukan tega nggak tega. Kalian itu 'kan memang tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab Ibu, apa lagi Papa Erik. Jadi ya mau nggak mau, kalian harus ikut ayah kalian."

Kupandangi Ibu, yang kini duduk di tepi ranjang. Ia pun menatapku seraya berkata, "Ibu adalah seorang istri yang ingin berbakti pada suami. Sudah sepatutnya Ibu akan menjadi istri yang baik yang tidak memberikan beban untuk suaminya. "

Demi laki-laki itu, ibu tega pada kami dan membuang kami. Berdalih karena ingin menjadi istri yang baik, dan menuruti suami. Tapi dia lupa, bahwa kami adalah tanggung jawabnya. Ya, meski tidak sepenuhnya kewajiban Ibu. Tapi tidak bisakah ia memilih kami? Apa peran Papa Erik sangat berharga untuk hidupnya? Apakah hidup bersama kami tidak cukup membuat Ibu bahagia?

"Ayah kalianlah yang memiliki kewajiban untuk menghidupi dan membiayai kehidupan kalian. Ibu dan Papa Erik hanya cukup sampai di sini menampung kalian. Ibu harap kamu bisa mengerti, Vina."

Ibu bilang, ayahlah yang harus bertanggung jawab untuk hidup kami. Aku tahu itu. Tapi dia juga tahu keadaan Ayah. Terlebih, dulu Ibu yang ingin kami ikut dengannya. Dia selalu bilang kalau Ayah tidak akan mampu memberi kami makan.

Waktu itu Ayah mengalah saat kami dibawa Ibu. Ia sadar diri karena memang kesulitan mencari uang untuk makan. Sedangkan Ibu, waktu itu bekerja di pabrik. Lalu sekarang setelah mendapatkan suami baru, ingin agar kami kembali pada Ayah. Apakah salah jika aku menganggapnya egois?

"Apa Ibu juga tega sama Fajar? Dia masih sangat butuh Ibu."

"Fajar juga tanggung jawab ayahmu, bukan Ibu." Ibu menjawab dengan sangat enteng. Entah terbuat dari apa hati ibuku itu. Mengapa tidak memikirkan anak seusia Fajar yang masih sangat membutuhkan dirinya.

"Baiklah jika memang itu bisa membuat Ibu bahagia. Aku akan mengemasi baju-baju kami."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status