Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan.
Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya seraya tersenyum manis. Entah makanan yang mana yang dimaksudkan. Dan, tumben sekali sikapnya sangat ramah. "Apa mau Ibu ambilin satu-satu?" Ibu lantas menyendokkan nasi, sayur dan ikan di piring. Kami bertiga masing-masing mendapatkan satu piring berisi makanan lengkap dengan sayur dan lauk. Tidak lupa juga, ayam goreng krispi yang begitu menggiurkan. "Ini beneran untuk kami, Bu?" tanya Lani dengan mata berbinar. "Ya, tentu saja. Memangnya kenapa?" Ibu bertanya kembali pada Lani. Tentu saja Lani merasa aneh karena biasanya diberi makan tidak sebanyak ini. "Jadi kita nggak akan makan semangkuk nasi untuk bertiga lagi, ya, Bu?" "Enggak, sekarang kalian makan ini dulu. Dihabiskan, ya, biar kenyang." Ibu mengelus rambut Lani, lalu beralih menatap Andi. "Ayo, Ndi, dimakan. Nanti keburu telat, loh." "Cepat kalian habiskan, setelah itu berangkat sekolah. Nanti piringnya biarkan saja di tempat cuci piring, Vin. Tidak usah dicuci." Ibu berkata padaku, lalu berlalu. Andi menoleh lalu berbisik, "Kak, itu beneran ibu, 'kan?" "Menurutmu?" Andi hanya nyengir sambil menggaruk pelipisnya. Mungkin ia juga merasa ada yang berbeda dengan sikap ibu kami. Tapi, aku sedikit senang dengan perlakuannya. Barang kali saja, Ibu memang sudah berubah dan menjadi lebih baik pada kami. Semoga saja anggapanku ini benar. Selama dua minggu ini Ibu bersikap baik pada kami. Selama itu pula, kami diperlakukan layaknya seorang anak oleh Ibu. Setiap hari aku masih mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Ibu selalu menyuruhku istirahat saja. Karena sudah terbiasa, tentu aku lebih suka mengerjakannya. Papa Erik pun bersikap baik pada kami. Meski jarang berbicara pada kami, tapi tidak pernah berucap kasar. Begitu pun Alena yang tidak lagi memerintah sesuka hati. Sepertinya mereka berdua juga sudah mulai menerima kami. Ah, semoga saja. Hari ini ada acara perpisahan di sekolah. Ibu datang di acara itu, bersama dengan ketiga adikku. Aku lulus SMP dengan nilai tertinggi, dan ada Ibu yang hadir dalam acara kelulusanku. Aku sungguh bahagia. Kami berfoto berlima, meminta temanku memfotokannya lewat ponsel Ibu. "Nanti kita cetak fotonya, ya, Kak. Buat kenang-kenangan," pinta Andi. "Boleh-boleh. Nanti kita cetak fotonya dulu sebelum pulang. Gimana?" saran Ibu dan kami pun menyetujui. Benar saja, saat perjalanan pulang, Ibu mengajak kami mampir di studio foto dan mencetak foto kami. Hasilnya sangat bagus. Ibu mencetaknya menjadi dua. Katanya, satu foto akan ditaruh di kamarnya, dan satunya lagi untuk kami. Sampai di rumah, Ibu meminta kami istirahat. Kami pun tidur siang setelah selesai makan. "Sudah kau urus surat pindahnya?" "Sudah, Mas." "Kapan pindahnya?" "Besok pagi, Mas." "Baguslah. Sudah cukup, aku ikut merawat mereka. Sekarang waktunya kamu kembalikan pada yang lebih memiliki kewajiban." Samar-samar, kudengar percakapan Ibu dan Papa Erik yang entah membicarakan apa. Malam harinya, Ibu membawa dua buah tas besar. Ibu memintaku untuk memasukkan baju-baju ke dalam tas itu. Saat aku bertanya, Ibu tidak menjawabnya. Namun saat Ibu hendak ke luar dari kamarku, Ibu menoleh, "Mulai besok kalian akan tinggal di rumah ayah kalian." Deg! "Maksud Ibu?" Ibu berbalik lagi dan menatapku. "Iya, ke rumah ayah kalian. Sudah waktunya kalian pindah. Kamu sudah lulus sekolah, Andi pun sudah mendapatkan ijazah SD. Dan Ibu juga sudah mengurus surat pindah sekolah Lani." "Jadi Ibu ingin pisah sama kami?" tanyaku heran. Kupikir akan selamanya kami tinggal bersama. Kebaikan Ibu akhir-akhir ini, rupanya hanya untuk sementara. Sebelum akhirnya ia meninggalkan kami bersama Ayah. "Kan kamu sudah Ibu beritahu waktu itu, Vin. Kalian memang akan pindah ke rumah ayah kalian. Dan sekarang waktunya. Fajar juga sudah terbiasa tidak minum ASI, dia sudah mau minum susu formula." Enteng sekali Ibu berucap. "Apa Ibu tega meninggalkan kami hidup bersama Ayah dan istri barunya?" tanyaku lirih. Mataku memanas, bulir bening itu jatuh begitu saja. Rasanya baru kemarin kami merasakan kasih sayang Ibu. Namun, kini semuanya harus berakhir. Kenapa begitu tega pada kami. Padahal Ibu tahu bagaimana keadaan Ayah. Yang aku tahu, waktu itu Ibu meminta berpisah karena Ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ya, ayahku memang orang yang kekurangan. Namun aku tahu, Ayah sudah berusaha bekerja keras untuk kami. Meskipun uang yang didapat tidak seberapa. "Bukan tega nggak tega. Kalian itu 'kan memang tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab Ibu, apa lagi Papa Erik. Jadi ya mau nggak mau, kalian harus ikut ayah kalian." Kupandangi Ibu, yang kini duduk di tepi ranjang. Ia pun menatapku seraya berkata, "Ibu adalah seorang istri yang ingin berbakti pada suami. Sudah sepatutnya Ibu akan menjadi istri yang baik yang tidak memberikan beban untuk suaminya. " Demi laki-laki itu, ibu tega pada kami dan membuang kami. Berdalih karena ingin menjadi istri yang baik, dan menuruti suami. Tapi dia lupa, bahwa kami adalah tanggung jawabnya. Ya, meski tidak sepenuhnya kewajiban Ibu. Tapi tidak bisakah ia memilih kami? Apa peran Papa Erik sangat berharga untuk hidupnya? Apakah hidup bersama kami tidak cukup membuat Ibu bahagia? "Ayah kalianlah yang memiliki kewajiban untuk menghidupi dan membiayai kehidupan kalian. Ibu dan Papa Erik hanya cukup sampai di sini menampung kalian. Ibu harap kamu bisa mengerti, Vina." Ibu bilang, ayahlah yang harus bertanggung jawab untuk hidup kami. Aku tahu itu. Tapi dia juga tahu keadaan Ayah. Terlebih, dulu Ibu yang ingin kami ikut dengannya. Dia selalu bilang kalau Ayah tidak akan mampu memberi kami makan. Waktu itu Ayah mengalah saat kami dibawa Ibu. Ia sadar diri karena memang kesulitan mencari uang untuk makan. Sedangkan Ibu, waktu itu bekerja di pabrik. Lalu sekarang setelah mendapatkan suami baru, ingin agar kami kembali pada Ayah. Apakah salah jika aku menganggapnya egois? "Apa Ibu juga tega sama Fajar? Dia masih sangat butuh Ibu." "Fajar juga tanggung jawab ayahmu, bukan Ibu." Ibu menjawab dengan sangat enteng. Entah terbuat dari apa hati ibuku itu. Mengapa tidak memikirkan anak seusia Fajar yang masih sangat membutuhkan dirinya. "Baiklah jika memang itu bisa membuat Ibu bahagia. Aku akan mengemasi baju-baju kami."Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal
"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.
Melihat matanya, kelihatannya dia benar-benar tulus padaku. Mungkin ia memang tidak ingin aku mengikuti jejaknya. Mbak Fika bekerja di warung kopi yang tadi siang kukunjungi, yang ternyata bukan sekedar warung kopi. Di sana lebih dikenal sebagai warung remang-remang yang banyak dikunjungi pria hidung belang yang mencari perempuan. Benar-benar ngeri mendengar cerita Mbak Fika yang bekerja di sana. Beruntung Mbak Fika lebih dulu melarangku masuk. Dulu dia terpaksa bekerja di sana karena mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan cepat. Sampai-sampai meninggalkan lapak jualannya yang katanya sepi pembeli karena ia kurang semangat berjualan. Latar belakang kehidupannya pun tak jauh berbeda dariku. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat pelit. Hal itu membuatnya tidak tahan dan pergi dari rumah. Kata Mbak Fika, ayahnya pernah menemuinya, tapi sang istri melarang mengajaknya tinggal di rumah lagi. Karena menurutnya, Mbak Fika sudah bis