"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.
Melihat matanya, kelihatannya dia benar-benar tulus padaku. Mungkin ia memang tidak ingin aku mengikuti jejaknya. Mbak Fika bekerja di warung kopi yang tadi siang kukunjungi, yang ternyata bukan sekedar warung kopi. Di sana lebih dikenal sebagai warung remang-remang yang banyak dikunjungi pria hidung belang yang mencari perempuan. Benar-benar ngeri mendengar cerita Mbak Fika yang bekerja di sana. Beruntung Mbak Fika lebih dulu melarangku masuk. Dulu dia terpaksa bekerja di sana karena mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan cepat. Sampai-sampai meninggalkan lapak jualannya yang katanya sepi pembeli karena ia kurang semangat berjualan. Latar belakang kehidupannya pun tak jauh berbeda dariku. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat pelit. Hal itu membuatnya tidak tahan dan pergi dari rumah. Kata Mbak Fika, ayahnya pernah menemuinya, tapi sang istri melarang mengajaknya tinggal di rumah lagi. Karena menurutnya, Mbak Fika sudah bis
"Ini hp, Vina. Sesuai janjiku. Biar kamu bisa dihubungi. Tapi ya bisanya cuma hp butut, hape telulit." Kak Nur berkata dengan tawanya yang renyah. Kenapa dia baik banget pada kami, padahal kita tidak saling mengenal sebelumnya. Sudah ditampung di rumahnya, dikasih makanan, sekarang malah diberi ponsel. Meski hanya ponsel jadul, tapi ini begitu berharga untukku. "Seharusnya tidak perlu repot-repot belikan hp untuk aku, Kak. Pasti keluar uang banyak untuk kami. Sungguh kami sudah sangat bersyukur diberi tempat tinggal." "Sudah, nggak papa, cuma hp butut aja kok! Yang penting bisa buat nelpon ya. Ini sudah kuisikan pulsa sepuluh ribu, nanti kalau habis, diisi biar nomornya nggak hangus. Di dalam juga sudah kucatat nomorku, tulisannya gede-gede nih." Kak Nur menunjukkan padaku namanya dalam layar ponsel. Terlihat jelas nama itu, "Kak Nur Asolole" dengan huruf besar semua. Aku hampir tertawa melihatnya. Namun, kuurungkan karena khawatir membuat orangnya tersinggun
Sore ini kami sudah berada di lapak Mbak Fika. Kak Nur mengangkut barang-barang, dan Mbak Fika memboncengku dan adik-adikku menuju ke sini. Perlengkapan kompor dan gas sudah terpasang oleh Kak Nur, sementara buah-buahan dan bahan lainnya, sudah kutata rapi. "Tidak usah nunggu besok, jualan mulai malam ini juga sudah bisa. Noh, kompornya sudah menyala. Semuanya sudah siap!" Kak Nur memberitahu. "Iya, Vin. Mulai aja jualannya malam ini. Tapi karena belum beli es batu, jualan kopi dan minuman hangat aja dulu. Sekalian beli mie instan dan telur di mini market, untuk persediaan. Barang kali aja ada yang minta mie rebus," saran Mbak Fika. Ya, ada benarnya juga. Aku bergegas ke minimarket yang dekat dari alun-alun, membeli mie cup, mie instan serta telur. Saat membayar belanjaan, uangku tinggal beberapa lembar. Semuanya hampir habis untuk modal jualan. Beruntung tadi ada yang menawarkan gelas dan mangkuk dari seorang penjual bakso yang orangnya akan pulang kampung. Jadi h
"Heh, Gadis Kecil! Sini loe!" panggil ketiga perempuan yang bersikap galak dengan tampang menyeringai. Tentu saja aku takut jika mereka berbuat hal yang buruk pada kami. Tempat ini cukup sepi saat malam hari. Lalu siapa mereka. Apa aku membuat masalah dengan mereka? Ya Allah, harusnya tadi kami tidak usah pulang saja dan menginap di lapak. "Heh! Budeg loe, ya, dipanggil-panggil, juga!" ujar salah satu dari mereka yang berambut pirang. Meski jalanan ini sepi, tapi lampu penerang jalan cukup terang. Jadi aku bisa melihat dengan jelas penampilan mereka saat ini. "I-iya, Mbak. Ada apa, ya?" Meski ada rasa takut, tapi sebisa mungkin harus terlihat berani. Aku mendekat dan menyuruh adik-adikku ke belakang tubuhku. "Kuperingatkan, jangan deket-deket sama Arya. Dia itu gebetan gue!" ucap perempuan berambut hitam sebahu dan bertubuh lebih tinggi dariku. "Ngerti nggak?" Temannya yang lain yang memiliki rambut pendek, mencolek daguku. "I-iya," jawabku singkat.
Aku semakin khawatir karena Andi belum ada nampak. Berkali-kali aku dan Mbak Fika serta Kak Nur bolak balik ke jalanan. Namun, mereka tidak juga kelihatan. Kupanggil nama ketiga adikku, tapi tetap tidak ada sahutan. Tak terasa air mata mengalir dengan derasnya. Lutut kujatuhkan ke tanah, menopang tubuh yang terasa lemah ini. Meratapi nasib dan hidup yang terus saja mendapatkan cobaan. Bahuku bergetar seiring dengan isakan yang makin keras. Bukan. Bukan aku menyalahkan takdir. Namun, aku menyalahkan diri sendiri yang tak pandai menjaga mereka. Bayangan Fajar yang menangis, Lani yang suka merengek, serta Andi yang selalu berusaha kuat. Selama ini aku kuat karena mereka bertiga. Aku tak sanggup jika kehilangan mereka. Cukuplah kehilangan sosok orang tua, tapi tidak untuk kehilangan adik-adikku. Kumohon padamu Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan mereka. Aku sanggup menanggung hidup mereka, asal mereka tetap bersamaku. "Kita akan cari mereka, Vin. Kamu jangan ber
Rasanya terlalu sulit menyuruh Andi melupakan sakit hatinya. Ya, diperlakukan tidak adil itu memang sakit. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengaku sebagai yatim piatu. Meski memang kita seperti anak yatim piatu, tanpa punya keluarga. "Kak, nanti aku mau ke rumah Pak Haji Rosyid. Di sana ada pekerjaan merawat kambing, katanya aku boleh bekerja di sana." "Pak Haji Rosyid? Yang mana orangnya? Kok Kakak nggak tau ya, kamu bisa kenal orang di sini?" tanyaku yang heran dengan penuturan Andi. Sejak kapan dia kenal dengan orang yang dimaksud itu, sedangkan yang kutahu, dia selalu bersamaku. "Aku bertemu di alun-alun semalam, katanya rumahnya tak jauh dari sini. Pak Haji Rosyid memiliki ternak kambing yang banyak dan butuh orang untuk menjaga dan membersihkan kandang. Boleh, 'kan, aku kerja di sana?" Aku tidak menjawab karena sibuk memasukkan cairan puding ke dalam cetakan. "Kak, boleh, 'kan?" tanya Andi lagi. Aku menolehnya, lalu menghela napas kasar.
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita
"Dia yang kamu maksud itu adalah ayah kita, Ndi. Kamu nggak mau Ayah tinggal bersama kita, dan aku memang memintanya tinggal di rumah itu. Lagi pula Pak Mardi juga tinggal di sana, mereka hidup berdua. Lalu kenapa?" "Iya, Kak. Ayah memang pernah salah sama kita, tapi dia tetaplah ayah kita. Ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita, dan kita tidak bisa mengelak hal itu," sahut Lani.Andi menoleh pada Lani, lalu tersenyum kecut. "Jadi kamu juga sudah menerima dia, Lan? Baguslah! Pasti Fajar juga sudah kalian ajari untuk menghormatinya, kan? Ya, sekarang hanya aku yang dianggap sebagai anak yang durhaka karena tidak mau menerima dan memaafkan orang itu. Kalian adalah anak-anak yang baik, dan aku anak yang buruk.""Bukan begitu, Ndi." Aku mendekatinya."Bukan begitu lalu apa, Kak? Sudahlah, silakan saja kalian lakukan yang kalian mau. Aku benar-benar kecewa pada kalian! Kupikir hidup kita akan tenang, ternyata malah semakin rumit. Aku hanya ingin kita hidup berempat tanpa orang-or