Sore ini kami sudah berada di lapak Mbak Fika. Kak Nur mengangkut barang-barang, dan Mbak Fika memboncengku dan adik-adikku menuju ke sini. Perlengkapan kompor dan gas sudah terpasang oleh Kak Nur, sementara buah-buahan dan bahan lainnya, sudah kutata rapi. "Tidak usah nunggu besok, jualan mulai malam ini juga sudah bisa. Noh, kompornya sudah menyala. Semuanya sudah siap!" Kak Nur memberitahu. "Iya, Vin. Mulai aja jualannya malam ini. Tapi karena belum beli es batu, jualan kopi dan minuman hangat aja dulu. Sekalian beli mie instan dan telur di mini market, untuk persediaan. Barang kali aja ada yang minta mie rebus," saran Mbak Fika. Ya, ada benarnya juga. Aku bergegas ke minimarket yang dekat dari alun-alun, membeli mie cup, mie instan serta telur. Saat membayar belanjaan, uangku tinggal beberapa lembar. Semuanya hampir habis untuk modal jualan. Beruntung tadi ada yang menawarkan gelas dan mangkuk dari seorang penjual bakso yang orangnya akan pulang kampung. Jadi h
"Heh, Gadis Kecil! Sini loe!" panggil ketiga perempuan yang bersikap galak dengan tampang menyeringai. Tentu saja aku takut jika mereka berbuat hal yang buruk pada kami. Tempat ini cukup sepi saat malam hari. Lalu siapa mereka. Apa aku membuat masalah dengan mereka? Ya Allah, harusnya tadi kami tidak usah pulang saja dan menginap di lapak. "Heh! Budeg loe, ya, dipanggil-panggil, juga!" ujar salah satu dari mereka yang berambut pirang. Meski jalanan ini sepi, tapi lampu penerang jalan cukup terang. Jadi aku bisa melihat dengan jelas penampilan mereka saat ini. "I-iya, Mbak. Ada apa, ya?" Meski ada rasa takut, tapi sebisa mungkin harus terlihat berani. Aku mendekat dan menyuruh adik-adikku ke belakang tubuhku. "Kuperingatkan, jangan deket-deket sama Arya. Dia itu gebetan gue!" ucap perempuan berambut hitam sebahu dan bertubuh lebih tinggi dariku. "Ngerti nggak?" Temannya yang lain yang memiliki rambut pendek, mencolek daguku. "I-iya," jawabku singkat.
Aku semakin khawatir karena Andi belum ada nampak. Berkali-kali aku dan Mbak Fika serta Kak Nur bolak balik ke jalanan. Namun, mereka tidak juga kelihatan. Kupanggil nama ketiga adikku, tapi tetap tidak ada sahutan. Tak terasa air mata mengalir dengan derasnya. Lutut kujatuhkan ke tanah, menopang tubuh yang terasa lemah ini. Meratapi nasib dan hidup yang terus saja mendapatkan cobaan. Bahuku bergetar seiring dengan isakan yang makin keras. Bukan. Bukan aku menyalahkan takdir. Namun, aku menyalahkan diri sendiri yang tak pandai menjaga mereka. Bayangan Fajar yang menangis, Lani yang suka merengek, serta Andi yang selalu berusaha kuat. Selama ini aku kuat karena mereka bertiga. Aku tak sanggup jika kehilangan mereka. Cukuplah kehilangan sosok orang tua, tapi tidak untuk kehilangan adik-adikku. Kumohon padamu Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan mereka. Aku sanggup menanggung hidup mereka, asal mereka tetap bersamaku. "Kita akan cari mereka, Vin. Kamu jangan ber
Rasanya terlalu sulit menyuruh Andi melupakan sakit hatinya. Ya, diperlakukan tidak adil itu memang sakit. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengaku sebagai yatim piatu. Meski memang kita seperti anak yatim piatu, tanpa punya keluarga. "Kak, nanti aku mau ke rumah Pak Haji Rosyid. Di sana ada pekerjaan merawat kambing, katanya aku boleh bekerja di sana." "Pak Haji Rosyid? Yang mana orangnya? Kok Kakak nggak tau ya, kamu bisa kenal orang di sini?" tanyaku yang heran dengan penuturan Andi. Sejak kapan dia kenal dengan orang yang dimaksud itu, sedangkan yang kutahu, dia selalu bersamaku. "Aku bertemu di alun-alun semalam, katanya rumahnya tak jauh dari sini. Pak Haji Rosyid memiliki ternak kambing yang banyak dan butuh orang untuk menjaga dan membersihkan kandang. Boleh, 'kan, aku kerja di sana?" Aku tidak menjawab karena sibuk memasukkan cairan puding ke dalam cetakan. "Kak, boleh, 'kan?" tanya Andi lagi. Aku menolehnya, lalu menghela napas kasar.
Ponsel pemberian Kak Nur kuambil dari tas, lalu mulai membuka kontak nomor di dalamnya. Tidak banyak, hanya ada beberapa kontak nomor di ponsel ini. Selain nomor Bu Halimah, Kak Nur, dan Mbak Fika, ada juga nomor penjual buah yang kusimpan. Agak ragu melakukan panggilan pada nomor Bu Halimah. Namun, ada rasa rindu padanya dan juga rasa penasaran dengan kabar Ibu. Setelah beberapa kali membuka ponsel dengan memencet menu, keluar, menu, keluar, akhirnya kuputuskan melakukan panggilan. Panggilan tersambung dan terdengar suara di ujung telepon, "Hallo. Assalamualaikum, ini siapa ya?" "Ha-hallo, wa alaikum salam, Bu Halimah?" "Iya, ini siapa?" "Ini Vina, Bu," jawabku. Tak terasa air mata ini mengalir mendengar suara tetangga yang selama ini baik padaku. "Ya Allah, Vina? Alhamdulillah kamu telepon Ibu, Nak. Ibu khawatir sekali denganmu. Gimana keadaan kamu dan adik-adik? Jadi kamu sudah tinggal sama Ayah kamu?" Berbagai pertanyaan dilontarkan padaku.
"Fajar nggak mau makan, Kak. Dari tadi disuapi nggak mau." Aku menghentikan aktifitas mencuci baju, lalu melihat keadaan Fajar. Beberapa hari ini dia tidak bersemangat dan tidak begitu aktif. Entah apa yang terjadi, semoga dia baik-baik saja. Kudekati adik bungsuku yang tengah berbaring di kasur lantai. Bibirnya pucat dan matanya sayu."Ya Allah, badannya panas," ucapku, saat menyentuh kening Fajar. Sejak bangun tidur, aku langsung memasak dan mencuci baju. Belum sempat mengecek keadaan Fajar. Aku meminta Andi mengambilkan air hangat untuk mengompres Fajar, lalu mengambil baju yang sudah sobek, kusobek lagi menjadi bagian yang lebih kecil sebagai pengganti handuk. "Fajar sakit ya, Kak?" Lani mendekat dan ikut duduk di sampingku. "Iya, Lan, badannya panas banget. Kakak harus bawa Fajar berobat, kamu di rumah sama Kak Andi ya." Aku tidak mau kalau sampai menunggu lebih lama lagi. Panas tubuhnya tidak turun dan semakin terasa panas saat disentuh. Aku
"Gimana keadaan Fajar, Kak?" "Panasnya masih tinggi, Ndi. Padahal sudah minum obat juga, Kakak bingung dan kasihan melihatnya." Kutatap wajah Fajar yang berada dalam gendonganku. Ia masih merengek dan memanggil nama Ibu. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja?" Memang sebaiknya ke rumah sakit saja. Tapi ... bagaimana dengan biayanya? Uangku tinggal sedikit, tidak tahu lagi harus seperti apa. "Vin! Vina!" Terdengar suara Kak Nur, kulihat wajahnya panik, ia langsung mendekat dan memegang Fajar. "Gimana keadaan Fajar? Kenapa nggak telepon Kakak kalau Fajar sakit sih, Vin? Kamu nggak nganggep aku ini kakakmu, ya!" "Maaf, Kak." Aku memang tidak ingin merepotkannya. Selama ini sudah banyak merepotkan Kak Nur dan Mbak Fika. "Maaf, maaf! Kamu ini benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ada keadaan seperti ini kok diam saja! Sudah, ayo bawa ke rumah sakit!" Kak Nur menarik tanganku, yang masih memegangi Fajar. "Tapi, Kak ...." Aku menarik tanganku. Aku malu ji
Aku tidak habis pikir, kenapa Bu Hajah meminta Andi membawa Lani ke rumahnya. Aku seperti merasakan ada niat lain dari Bu Hajah. Apa lagi Lani begitu senang berada di rumah mewah itu. Kenapa tiba-tiba ada ketakutan yang kurasakan. Aku takut jika Bu Hajah ingin Lani tinggal bersamanya. Dari yang kulihat, Bu Hajah sangat bahagia saat bertemu dengan Lani waktu itu. Dan saat aku membawa Fajar kemarin, Andi juga membawa Lani ke sana. Semoga ini semua hanya perasaanku saja. "Kata Bu Hajah, biar kami ada yang jaga saat Kakak di rumah sakit. Makanya aku disuruh membawa Lani juga ke sana," papar Andi. "Ya sudah, tapi harus jaga sikap di rumah orang." "Iya, Kak." Aku dan Mbak Fika meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit lagi. Sesampainya di sana, aku segera menyerahkan foto copy Kartu Keluarga itu setelah sebelumnya di foto copy lagi atas saran Mbak Fika. Katanya agar memudahkan saat tiba-tiba dibutuhkan. Setelah memberikan foto copy Kartu Keluarga untuk
Lani masih mengingat semuanya. Ingatan itu rupanya masih membekas dan dia memang ketakutan saat itu. Beruntung Kak Nur datang tepat waktu dan menyelamatkan kami. Masa-masa itu memang begitu menyakitkan untuk kami. Namun, akan tetap menyakitkan jika kita tidak mengambil hikmah dari semua kejadian itu."Dan dari kejadian itu, kita dipertemukan dengan Kak Nur yang sampai sekarang bersama kita. Kalau tidak ada kejadian itu, kita tidak mungkin bertemu dengan Kak Nur dan juga akhirnya bertemu Mbak Fika. Terus, sekarang ada Nuri kecil yang sangat cantik. Iya, kan?"Lani hanya mengangguk meski terlihat terpaksa dan pandangannya tertuju padaku, sementara Fajar hanya diam mendengarkan. "Aku juga senang karena bertemu dengan Kak Nur, lalu kita tinggal di rumahnya. Baik sekali Kak Nur ya, Kak, dia malah tidur di tempat lain agar kita bisa tidur nyaman di rumahnya. Beruntungnya punya Kak Nur." Ayah menjadi menangis tersedu-sedu, mungkin karena mendengar ucapan Lani yang merasa beruntung memiliki
Seminggu sudah kelahiran Nuri. Selama itu juga, aku tidur di rumah Mbak Fika. Hari ini ada acara syukuran aqiqah dan pemberian nama resmi untuk bayi cantik itu. Kami semua mempersiapkan acara hari ini dengan baik.Mbak Fika sudah bisa berjalan dengan baik dan terkadang ingin melakukan pekerjaan rumah ketika Nuri sedang tidur. Namun, aku selalu melarangnya karena dia masih harus banyak istirahat."Ini berkat untuk pekerja keripik, tolong diantar ke rumah lama, ya. Sekalian juga untuk beberapa tetangga sekitar. Sudah kuhitung semuanya, nanti kalau ada yang kurang, kamu ambil lagi." Kak Nur mengambil beberapa berkat dan Andi mengantarkannya ke rumah lama Kak Nur yang kini sudah kubeli."Oh iya, kamu antarkan berkat ini pada ayahmu ya, Vin, mumpung Andi pergi. Besok-besok aku ingin bertemu dengannya, tapi nggak bisa untuk hari ini." Kak Nur juga memberikan tiga nasi berkat padaku. "Bawa motorku saja.""Ya sudah, aku tinggal ke sana dulu, Kak." Aku pun membawa tiga berkat itu untuk nantiny
"Maafkan Ayah, Fika. Selama ini Ayah sudah menelantarkanmu, tidak peduli dengan keadaanmu. Ayah merasa sangat bersalah, Nak." Ayahnya Mbak Fika sedang berbicara dengan Mbak Fika. Aku dan Kak Nur pun ikut mendengarkan karena Mbak Fika yang menginginkannya, sementara Kak Arya dan adik-adik tengah duduk di karpet yang berada di sudut ruangan ini, sembari bermain dan memakan camilan."Aku sudah memaafkan Ayah karena aku tahu Ayah tidak seburuk itu. Aku juga tahu semua karena hasutan Ibu. Iya, kan? Tapi aku tidak mau membencinya. Biar bagaimanapun, dia adalah ibu kandungnya Nila, dan aku sangat menyayangi adikku meski kami beda ibu. Aku harap Ayah tidak bertengkar dengan Ibu Yunita saat sampai rumah nanti. Ayah adalah seorang imam dalam keluarga. Jadi, tugas Ayah adalah menasehatinya. Jangan sampai gara-gara aku, rumah tangga kalian bermasalah. Aku tidak mau Nila merasakan keluarga yang tak utuh." Mbak Fika menolehku, mungkin dia takut jika Nila akan menjadi korban keegoisan kedua orang
Keadaan terasa canggung saat ada ayah dan ibu tiri Mbak Fika, serta seorang anak kecil. Mungkin anak kecil itu adalah adik Mbak Fika yang tak lain juga adiknya Alena. Mereka duduk setelah Kak Nur dan Andi memberikan kursi pada mereka.Bu Yunita hanya melihatku sekilas, mungkin dia tidak mengenaliku. Maklum, saat dulu bertemu dengannya, kami hanya bertemu sebentar. Namun, aku tetap mengenali wajah dari ibunya Alena itu. Bu Yunita beralih memandang bayi yang saat ini kugendong."Cewek apa cowok bayinya?" tanyanya padaku."Bayinya cewek, Bu. Cantik banget." Aku menjawab dengan senyuman, memperlihatkan wajah bayi Nuri padanya."Oh." Bu Yunita hanya menjawab singkat seakan tidak peduli."Kamu sudah sehat?" Ayah Mbak Fika yang tidak kuketahui namanya itu tengah bertanya pada anaknya."Sudah, Yah. Ayah gimana kabarnya?" Mbak Fika terlihat senang dengan kedatangan orang tuanya. Maklum saja, sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Bahkan saat mengabari tentang pernikahanny
Aku mengabaikan kata-kata Mbak Indar barusan. Lebih baik aku mencari Fajar karena nanti akan kuajak menjenguk Mbak Fika dan bayinya. "Aku tinggal dulu ya, Mbak. Mau ke rumah sakit setelah ini.""Oh, iya, Vin. Aku nengok nanti kalau sudah pulang saja, ya, soalnya nanti sore mau pergi hajatan ke rumah kerabat." Mbak Indar menyahut."Iya, Mbak.""Eh, itu oleh-olehnya jangan lupa dibawa," ujar Mbak Indar mengingatkan.Kuambil papper bag yang berada di warung dan membawanya ke rumah. "Apa ya, isinya?"Kubuka isi di dalamnya, ternyata sebuah jilbab dan gamis, serta bross. Cantik sekali. Tak henti-hentinya aku mengagumi bross cantik berbentuk bunga di hadapanku. Namun, ini pasti mahal. Kenapa Kak Arya memberikan ini padaku.Kubiarkan dulu jilbab dan gamis itu karena aku harus mencari Fajar. Namun, belum sempat mencarinya, tiba-tiba Fajar berlari dari arah jalanan. Di belakangnya ada Kak Arya. "Kakak ...!"Fajar menghambur ke pelukanku dengan plastik dan papper bag di tangannya yang entah ber
"Enggak, Mbak, ini untuk seseorang. Ya sudah, aku mandi dulu ya, mau berangkat ke rumah makan. Tolong jaga warungnya ya, Mbak.""Siap! Tenang saja!" Mbak Indar menjawab dengan semangat.Rumah sudah rapi saat aku masuk ke dalam. Mungkin Andi membersihkannya sebelum berangkat sekolah. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencuci baju kotor yang kubawa dari rumah sakit. Ada baju Mbak Fika juga. Meski Kak Nur melarang, aku tetap membawanya pulang dan mencucinya. Mereka adalah keluargaku, sudah seharusnya aku membantunya. Apa lagi, Mbak Fika tidak memiliki keluarga lain di sini, begitupun Kak Nur. Kalaupun ada, itu adalah teman-temannya yang waria. Sedangkan Mbak Fika, ayahnya tidak mau menjenguk meski saat menikah dulu."Kok Ayah di luar? Mau ke mana sudah rapi?" Aku menemui Ayah di rumahnya, tetapi Ayah menutup pintu, seperti hendak pergi. "Ayah mau cari pekerjaan, Vin. Ayah akan mencari nafkah untuk kalian." Aku mengajak Ayah masuk lagi."Ayah di rumah saja, ini aku bawakan makanan,"
Andi hanya diam seribu bahasa, lalu menolehku dengan tatapan datar. "Nggak penting untuk diingat."Aku mencekal tangannya saat dia hendak pergi. "Katakan, Ndi! Jangan menyembunyikannya dari Kakak!"Aku curiga Ibu ke sini dan bertemu dengan Andi. Kalau iya, sungguh aku juga merasa belum bisa terima dengan kehadirannya. Rasa sakit karena Ibu lebih memilih suami baru dan anak tirinya, serta meminta kami pergi, tentu saja masih segar dalam ingatan. Apa lagi sikapnya pada Alena yang bagaikan memperlakukan tuan puteri, membuatku cemburu dan sakit hati. Namun, kenapa Andi tidak mau bercerita padaku. Apakah karena dirinya tengah kecewa padaku yang menerima Ayah kembali."Kenapa? Apa Kakak juga akan membawanya ke rumah jika dia ke sini? Apa Kakak begitu butuh dia dalam hidup Kakak? Aku heran sama Kak Vina!""Jadi benar, Ibu ke sini menemuimu?" "Jangan sebut dia sebagai ibu! Sudah kukatakan kita tidak memiliki orang tua! Kita ini yatim piatu! Kita bisa hidup tanpa mereka, buat apa lagi menghar
Entah siapa laki-laki itu, aku tidak mengenalnya. Namun, sepertinya wajahnya tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya. "Namaku Roni."Aku pun membalas uluran tangannya. "Vina.""Aku mencarimu karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Amplop coklat, yang entah berisi apa. "Ada titipan untuk kamu dan adik-adikmu.""Apa ini? Dan maaf, Anda dari mana tahu nama saya, Mas?" Aku tidak langsung menerima apa yang diserahkan itu."Ini adalah titipan uang dari seseorang. Katanya, untuk kebutuhan kalian berempat." Laki-laki bernama Roni itu memaksaku menerima amplop darinya. "Tunggu dulu. Ini maksudnya untuk kebutuhan apa? Dan siapa yang memberikannya? Tolong jelaskan karena saya tidak mengerti," kataku heran. Kenapa tiba-tiba ada orang yang memberikan uang padaku untuk biaya kebutuhan kami, di saat kami sudah berkecukupan. Ini sungguh aneh menurutku. Tentu a
Suster yang melihat Kak Nur pingsan pun segera memanggil perawat laki-laki untuk membantu mengangkatnya. Kak Nur dibaringkan di ranjang dekat Mbak Fika, lalu diberi minyak kayu putih. Katanya, Kak Nur hanya kaget saja, tidak kenapa-napa. Bisa-bisanya kaget melihat bayinya sampai pingsan. Mungkin saja Kak Nur kaget karena bayinya masih berlumuran darah.Bayi mungil yang baru saja lahir itu ditaruh di dada ibunya untuk mendapatkan IMD (Inisiasi Munyusu Dini). Mbak Fika terlihat sangat bahagia melihat wajah cantik dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan itu.Setelah Mbak Fika dan bayinya selesai dibersihkan, aku menggendong bayi mungil yang kini sudah dibedong. "Kak Nur masih belum sadar, Mbak."Mbak Fika menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, dia pun mencebik. "Yang melahirkan siapa, yang pingsan siapa! Baru lihat darah gitu aja udah pingsan!" cemooh Mbak Fika. Aku tertawa mendengarnya."Alhamdulillah bayinya lahir dengan sehat dan normal. Gimana keadaan, Mbak Fika?""Aku merasa l