Share

Bqb 17. Siapa Mereka?

Penulis: Aisyah Ais
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-16 23:12:53

Sore ini kami sudah berada di lapak Mbak Fika. Kak Nur mengangkut barang-barang, dan Mbak Fika memboncengku dan adik-adikku menuju ke sini. Perlengkapan kompor dan gas sudah terpasang oleh Kak Nur, sementara buah-buahan dan bahan lainnya, sudah kutata rapi.

"Tidak usah nunggu besok, jualan mulai malam ini juga sudah bisa. Noh, kompornya sudah menyala. Semuanya sudah siap!" Kak Nur memberitahu.

"Iya, Vin. Mulai aja jualannya malam ini. Tapi karena belum beli es batu, jualan kopi dan minuman hangat aja dulu. Sekalian beli mie instan dan telur di mini market, untuk persediaan. Barang kali aja ada yang minta mie rebus," saran Mbak Fika.

Ya, ada benarnya juga. Aku bergegas ke minimarket yang dekat dari alun-alun, membeli mie cup, mie instan serta telur. Saat membayar belanjaan, uangku tinggal beberapa lembar. Semuanya hampir habis untuk modal jualan. Beruntung tadi ada yang menawarkan gelas dan mangkuk dari seorang penjual bakso yang orangnya akan pulang kampung. Jadi h
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 18. Di mana adikku?

    "Heh, Gadis Kecil! Sini loe!" panggil ketiga perempuan yang bersikap galak dengan tampang menyeringai. Tentu saja aku takut jika mereka berbuat hal yang buruk pada kami. Tempat ini cukup sepi saat malam hari. Lalu siapa mereka. Apa aku membuat masalah dengan mereka? Ya Allah, harusnya tadi kami tidak usah pulang saja dan menginap di lapak. "Heh! Budeg loe, ya, dipanggil-panggil, juga!" ujar salah satu dari mereka yang berambut pirang. Meski jalanan ini sepi, tapi lampu penerang jalan cukup terang. Jadi aku bisa melihat dengan jelas penampilan mereka saat ini. "I-iya, Mbak. Ada apa, ya?" Meski ada rasa takut, tapi sebisa mungkin harus terlihat berani. Aku mendekat dan menyuruh adik-adikku ke belakang tubuhku. "Kuperingatkan, jangan deket-deket sama Arya. Dia itu gebetan gue!" ucap perempuan berambut hitam sebahu dan bertubuh lebih tinggi dariku. "Ngerti nggak?" Temannya yang lain yang memiliki rambut pendek, mencolek daguku. "I-iya," jawabku singkat.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 19. Menyimpan Dendam

    Aku semakin khawatir karena Andi belum ada nampak. Berkali-kali aku dan Mbak Fika serta Kak Nur bolak balik ke jalanan. Namun, mereka tidak juga kelihatan. Kupanggil nama ketiga adikku, tapi tetap tidak ada sahutan. Tak terasa air mata mengalir dengan derasnya. Lutut kujatuhkan ke tanah, menopang tubuh yang terasa lemah ini. Meratapi nasib dan hidup yang terus saja mendapatkan cobaan. Bahuku bergetar seiring dengan isakan yang makin keras. Bukan. Bukan aku menyalahkan takdir. Namun, aku menyalahkan diri sendiri yang tak pandai menjaga mereka. Bayangan Fajar yang menangis, Lani yang suka merengek, serta Andi yang selalu berusaha kuat. Selama ini aku kuat karena mereka bertiga. Aku tak sanggup jika kehilangan mereka. Cukuplah kehilangan sosok orang tua, tapi tidak untuk kehilangan adik-adikku. Kumohon padamu Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan mereka. Aku sanggup menanggung hidup mereka, asal mereka tetap bersamaku. "Kita akan cari mereka, Vin. Kamu jangan ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 20. Mengais Rezeki

    Rasanya terlalu sulit menyuruh Andi melupakan sakit hatinya. Ya, diperlakukan tidak adil itu memang sakit. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengaku sebagai yatim piatu. Meski memang kita seperti anak yatim piatu, tanpa punya keluarga. "Kak, nanti aku mau ke rumah Pak Haji Rosyid. Di sana ada pekerjaan merawat kambing, katanya aku boleh bekerja di sana." "Pak Haji Rosyid? Yang mana orangnya? Kok Kakak nggak tau ya, kamu bisa kenal orang di sini?" tanyaku yang heran dengan penuturan Andi. Sejak kapan dia kenal dengan orang yang dimaksud itu, sedangkan yang kutahu, dia selalu bersamaku. "Aku bertemu di alun-alun semalam, katanya rumahnya tak jauh dari sini. Pak Haji Rosyid memiliki ternak kambing yang banyak dan butuh orang untuk menjaga dan membersihkan kandang. Boleh, 'kan, aku kerja di sana?" Aku tidak menjawab karena sibuk memasukkan cairan puding ke dalam cetakan. "Kak, boleh, 'kan?" tanya Andi lagi. Aku menolehnya, lalu menghela napas kasar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 21. Sepotong Ayam Goreng Untuk Berdua

    Ponsel pemberian Kak Nur kuambil dari tas, lalu mulai membuka kontak nomor di dalamnya. Tidak banyak, hanya ada beberapa kontak nomor di ponsel ini. Selain nomor Bu Halimah, Kak Nur, dan Mbak Fika, ada juga nomor penjual buah yang kusimpan. Agak ragu melakukan panggilan pada nomor Bu Halimah. Namun, ada rasa rindu padanya dan juga rasa penasaran dengan kabar Ibu. Setelah beberapa kali membuka ponsel dengan memencet menu, keluar, menu, keluar, akhirnya kuputuskan melakukan panggilan. Panggilan tersambung dan terdengar suara di ujung telepon, "Hallo. Assalamualaikum, ini siapa ya?" "Ha-hallo, wa alaikum salam, Bu Halimah?" "Iya, ini siapa?" "Ini Vina, Bu," jawabku. Tak terasa air mata ini mengalir mendengar suara tetangga yang selama ini baik padaku. "Ya Allah, Vina? Alhamdulillah kamu telepon Ibu, Nak. Ibu khawatir sekali denganmu. Gimana keadaan kamu dan adik-adik? Jadi kamu sudah tinggal sama Ayah kamu?" Berbagai pertanyaan dilontarkan padaku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 22

    "Fajar nggak mau makan, Kak. Dari tadi disuapi nggak mau." Aku menghentikan aktifitas mencuci baju, lalu melihat keadaan Fajar. Beberapa hari ini dia tidak bersemangat dan tidak begitu aktif. Entah apa yang terjadi, semoga dia baik-baik saja. Kudekati adik bungsuku yang tengah berbaring di kasur lantai. Bibirnya pucat dan matanya sayu."Ya Allah, badannya panas," ucapku, saat menyentuh kening Fajar. Sejak bangun tidur, aku langsung memasak dan mencuci baju. Belum sempat mengecek keadaan Fajar. Aku meminta Andi mengambilkan air hangat untuk mengompres Fajar, lalu mengambil baju yang sudah sobek, kusobek lagi menjadi bagian yang lebih kecil sebagai pengganti handuk. "Fajar sakit ya, Kak?" Lani mendekat dan ikut duduk di sampingku. "Iya, Lan, badannya panas banget. Kakak harus bawa Fajar berobat, kamu di rumah sama Kak Andi ya." Aku tidak mau kalau sampai menunggu lebih lama lagi. Panas tubuhnya tidak turun dan semakin terasa panas saat disentuh. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 23

    "Gimana keadaan Fajar, Kak?" "Panasnya masih tinggi, Ndi. Padahal sudah minum obat juga, Kakak bingung dan kasihan melihatnya." Kutatap wajah Fajar yang berada dalam gendonganku. Ia masih merengek dan memanggil nama Ibu. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja?" Memang sebaiknya ke rumah sakit saja. Tapi ... bagaimana dengan biayanya? Uangku tinggal sedikit, tidak tahu lagi harus seperti apa. "Vin! Vina!" Terdengar suara Kak Nur, kulihat wajahnya panik, ia langsung mendekat dan memegang Fajar. "Gimana keadaan Fajar? Kenapa nggak telepon Kakak kalau Fajar sakit sih, Vin? Kamu nggak nganggep aku ini kakakmu, ya!" "Maaf, Kak." Aku memang tidak ingin merepotkannya. Selama ini sudah banyak merepotkan Kak Nur dan Mbak Fika. "Maaf, maaf! Kamu ini benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ada keadaan seperti ini kok diam saja! Sudah, ayo bawa ke rumah sakit!" Kak Nur menarik tanganku, yang masih memegangi Fajar. "Tapi, Kak ...." Aku menarik tanganku. Aku malu ji

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 24

    Aku tidak habis pikir, kenapa Bu Hajah meminta Andi membawa Lani ke rumahnya. Aku seperti merasakan ada niat lain dari Bu Hajah. Apa lagi Lani begitu senang berada di rumah mewah itu. Kenapa tiba-tiba ada ketakutan yang kurasakan. Aku takut jika Bu Hajah ingin Lani tinggal bersamanya. Dari yang kulihat, Bu Hajah sangat bahagia saat bertemu dengan Lani waktu itu. Dan saat aku membawa Fajar kemarin, Andi juga membawa Lani ke sana. Semoga ini semua hanya perasaanku saja. "Kata Bu Hajah, biar kami ada yang jaga saat Kakak di rumah sakit. Makanya aku disuruh membawa Lani juga ke sana," papar Andi. "Ya sudah, tapi harus jaga sikap di rumah orang." "Iya, Kak." Aku dan Mbak Fika meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit lagi. Sesampainya di sana, aku segera menyerahkan foto copy Kartu Keluarga itu setelah sebelumnya di foto copy lagi atas saran Mbak Fika. Katanya agar memudahkan saat tiba-tiba dibutuhkan. Setelah memberikan foto copy Kartu Keluarga untuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 25

    "Maksudku ... Lani nggak diasuh sama mereka, 'kan?" "Ya enggaklah, Mbak. Lani tetap sama aku. Tapi untuk bantuan sebanyak ini ... aku rasa ini berlebihan." "Ya itu, maksud aku, Vin. Jangan-jangan ... mereka ingin kamu merelakan Lani tinggal bersama mereka. Kalau itu terjadi, kamu gimana?" Pertanyaan Mbak Fika membuatku gelisah. Bagaimana kalau perkiraanku itu benar. Bahkan Mbak Fika saja berpikir yang sama sepertiku. "Aku nggak mau lah, Mbak. Nggak akan aku bolehin. Apa pun yang terjadi, adik-adikku tidak boleh tinggal terpisah. Aku akan lakuin apa aja asal kami tetap tinggal bersama," jawabku. "Ya, aku setuju denganmu. Tapi kalau Lani sendiri yang menginginkannya, apa kamu akan melarangnya?" Entahlah, aku bingung menjawabnya. Bagaimana kalau Lani memang lebih suka tinggal bersama mereka? Tapi .... "Sudahlah, nanti kita pikirkan lagi," sela Mbak Fika. "Tapi uang ini terlalu banyak, apa aku kembalikan saja ya, Mbak?" "Kamu simpan dulu, s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19

Bab terbaru

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 68

    Mata terasa berat, tetapi kupaksakan untuk membukanya. Aku teringat harus bangun pagi agar tidak mengantre di depan kamar mandi. Masih pukul 05.00 WIB. Gegas aku bangun dan mengecek Farla yang ternyata masih pulas. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, meninggalkan Farla sendirian di dalam kamar. Biasanya dia akan pulas tidur saat jam pagi seperti ini. Semoga saja dia masih anteng sampai aku kembali. Benar kata Yuni, penghuni kost ini belum ada yang bangun di jam segini. Jadi aku bisa leluasa menggunakan kamar mandi tanpa harus tergesa-gesa karena ditunggui. Beruntung ada ember yang bisa kupakai untuk mengambil air karena aku butuh untuk memandikan Farla. Air dalam ember kubawa dan kutaruh di depan pintu kamar, lalu mengecek Farla ternyata masih tidur. Syukurlah. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia tidur, dan mencari air panas untuk dia mandi nantinya. Pintu kukunci dan membawa termos untuk diisi di warung makan yang sudah buka."Permisi, Mbak, bisa beli air

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 67

    Setelah makan, rasanya mataku ngantuk sekali. Namun, kalau aku tidur, aku takut Farla terjatuh karena dia tidak mau tidur. Kalau sampai malam nanti aku belum bisa mendapatkan petunjuk tentang anak-anakku, aku harus bagaimana. Alena dan papanya masih belum pulang beberapa hari, tetapi kalau mereka sudah pulang lebih awal, bagaimana. Semoga saja mereka benaran tidak pulang dulu sebelum aku kembali. Aku berharap bertemu anak-anak, lalu membawa mereka bersamaku. Soal Mas Erik, aku akan memikirkannya nanti. Toh selama ini aku sudah menuruti semua kemauannya. *** Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Kubuka mata yang masih lengket, seambari meraba tempat di depanku. Aku terkejut saat menyadari Farla tidak ada di depanku. Saat aku menoleh, dia sudah berada di tanah dalam kondisi telentang dan menangis kencang. Ya Tuhan, nenek macam apa aku ini, membiarkan cucunya terjatuh dari gazebo karena ketiduran. Kuambil Farla dan mengusap-usap kepalanya. Beruntung dia jatuh di re

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 66

    "Dan sekarang kamu baru mencari mereka karena merasa menyesal?" Rina menatapku, aku begitu malu dengan diri sendiri."Aku sangat bodoh, Rin." "Syukurlah kamu menyadari kebodohan itu. Seharusnya kamu nggak memilih suami egois seperti dia, Tih. Laki-laki yang benar-benar mencintaimu, pasti akan mau menerima anak-anakmu. Jika aku jadi kamu, aku lebih memilih hidup bersama anakku dari pada dengan laki-laki egois. Apa lagi katamu dia ingin kamu menyayangi anaknya saja. Dan sekarang, kamu disalahkan dengan kesalahan yang diperbuat anaknya sendiri." Ya, aku memang terlalu bodoh. Dan kini baru menyadarinya di saat begitu sulit mencari keberadaan anak-anakku. "Lalu gimana rencanamu selanjutnya?" "Entahlah, aku bingung, Rin. Aku harus mencari mereka ke mana? Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku bingung." Aku menangis karena merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan kami di rumah Bu Lisna saat mengadakan ulang tahun putrinya. Bukankah wa

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 65

    Penjelasan Rina membuatku semakin dilanda kebingungan. Jika Vina dan adik-adiknya tidak pernah ke sini, lantas ke mana mereka. Hampir empat tahun sudah sejak aku meminta mereka pergi. Bagaimana mungkin mereka tidak ke sini, mereka hanya tahu rumah ayahnya. Selain Mas Ramlan, di sini tidak memiliki saudara lagi. Hanya ada saudara sepupu jauh Mas Ramlan, tetapi tidak terlalu akrab. Karena dulu saat aku masih tinggal di sini, keluarga kami dikucilkan. Maklum, orang miskin memang selalu dipandang hina. "Kamu yakin, Rin, tidak pernah melihat Vina? Atau mungkin kamu yang kurang memperhatikan? Vina dan adik-adiknya pergi ke sini sudah hampir empat tahun. Saat itu dia baru saja lulus dan tengah libur akhir sekolah." Aku bertanya lagi, untuk memastikan. "Kamu ngantar mereka kemari?" Rina malah balik bertanya dan aku menggeleng lemah. "Bentar deh, Tih. Kamu bilang, mereka ke sini saat libur akhir sekolah. Dan kamu nggak ngantar mereka? Jadi, mereka ke sini hanya berempat?" "Iya," jawabku.

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 64

    Perjalanan ini terasa sangat melelahkan ketika harus membawa bayi dalam gendongan. Farla mulai merengek, aku berhenti sebentar di bawah pohon mangga. Kuambil termos dan botol susu, membersihkannya sebentar dengan air panas lalu membuatkan susu untuk cucuku. "Jangan rewel ya, La, sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa main sama tante dan ommu." Aku tersenyum agar Farla merasa lebih tenang. Jujur aku merasa malu jika nanti anak-anakku melihatku membawa anaknya Alena, putri tiri yang dibanggakan, tetapi sudah tidak memiliki masa depan. Semoga Mas Ramlan mampu menyekolahkan Vina dan adik-adiknya. "Ojek, Pak, ojek!" Kuhentikan motor yang lewat. Seorang pengendara laki-laki memakai caping yang membawa karung berisi rumput di jok bagian belakang. "Saya bukan ojek, Bu, saya hanya pencari rumput." Orang itu berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motornya. "Tapi saya butuh ojek, Pak, apa Bapak bisa mengantar saya?" "Waduh, saya bawa karung begini, mana bisa, Bu," jawabnya seraya me

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 63

    Farla merengek dan kuambilkan botol susu yang sengaja kubuat sebelum naik bis tadi. Sengaja aku membuatkannya dua botol. Satu sudah diminum, satunya lagi kuberi air panas agar masih hangat saat akan menggunakannya lagi.Perjalanan cukup melelahkan, apa lagi harus memangku bayi. Perut juga terasa keroncongan karena sudah lebih dari dua jam bus melaju. Ya Tuhan, mungkinkah dulu anak-anakku juga merasakan seperti ini, sesak karena harus duduk berempat di kursi yang hanya dua. Bahkan kala itu aku tidak membawakan bekal atau sekedar air minum untuk mereka. Padahal perjalanan jauh seperti ini sungguh melelahkan dan membuat seringnya ingin minum atau makan sesuatu. Mungkinkah dulu mereka kelaparan saat dalam bus, atau bahkan Fajar menangis. Tak sanggup membayangkannya. "Ayo kita turun dulu, Bu, barang kali mau buang air kecil," ajak perempuan yang duduk di sampingku. "Iya, ayo." Aku pun mengikuti ajakannya untuk turun saat bis berhenti di SPBU. Karena merasa ingin buang air kecil, aku me

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 62

    Pagi ini Alena pulang setelah semalam entah berada di mana. Kemarin dia bertengkar hebat dengan suaminya, hingga mereka berdua pergi dan tidak pulang semalaman. Pintu kamar tidak ditutup dan dia merebahkan tubuhnya di kasur yang sprei, selimut, dan bantalnya berantakan. Sudah sebesar itu, tapi tak pernah mau beberes kamarnya sendiri. "Tolong kamu jagain Farla dulu, Len, aku mau ke kamar mandi, mulas sekali." Kuberikan Farla pada Alena karena mendadak perutku mulas. Mungkin karena semalam makan pakai sambal. "Apaan sih, Ma, aku ngantuk mau tidur!" "Cuman bentar, kok!" Aku berjalan cepat menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Tak kuhiraukan teriakan Alena yang memanggilku. Namun, tiba-tiba Farla menangis dengan kencang dan itu membuatku buru-buru keluar dari kamar mandi. "Farla!" teriakku saat melihat Farla tengkurap di lantai sambil menangis, sementara Alena berada di kasur dan tidak memedulikan darah dagingnya sendiri. Kuambil Farla, ternyata dahinya membiru dan benjol. Ku

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 61

    "Kenapa baru pulang, sih, Rit? Kamu tahu nggak, aku berjuang setengah mati menahan sakit karena melahirkan anakmu! Eh, kamu malah enak-enakan di rumah ibumu!" Alena memarahi suaminya yang baru datang setelah tiga hari melahirkan. Farit duduk lalu mengambil air minum dan meneguknya. Alena ikut duduk di samping suaminya dengan kepayahan, sesekali memegangi perutnya. Ia memang tidak mau menggunakan korset pada perutnya, padahal baru pertama kali melahirkan. "Aku kerja, Alena, bukan senang-senang. Lagian kamu udah lahiran ya udah, apalagi?" Farit menjawab dengan entengnya. Laki-laki berkulit putih itu bahkan tidak memedulikan bayinya yang kini dalam gendonganku. Tidak ingin melihat atau pun menanyakan jenis kelaminnya.Aku heran saja dengan keluarga Farit. Sejak ia menjadi suami Alena, tidak pernah sekalipun ibu atau saudaranya yang datang ke sini. Bahkan hingga saat ini, tidak ada yang menjenguk Alena atau menanyakan bayi yang baru berumur tiga hari ini."Anak kita cewek, kamu nggak

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 60

    Rupanya gadis kecil yang dulunya sangat manja dan selalu aku suapi dengan telaten, bisa menjadi seganas itu. Kelakuan Alena tak ubahnya wanita liar yang haus akan belaian. Sungguh, aku yang perempuan saja merasa malu melihatnya. Dengan perut yang sedikit membuncit itu, dia ... ah! Lebih baik aku gedor pintunya agar mereka beralih tempat. Ada kamar, bisa-bisanya melakukannya di ruang tamu. Apa mereka tidak malu jika ada orang lain yang melihat. Pintu kugedor keras beberapa kali, nama Alena pun kupanggil. Tidak ada sahutan dan pintu masih kugedor. "Alena! Buka pintunya! Cepat buka!" Beberapa kali kupanggil, akhirnya pintu dibuka dan Alena muncul dengan handuk yang melilit di tubuhnya. "Kok Mama udah balik, sih!" gerutunya kesal. "Memangnya kamu ingin aku pergi berapa lama? Sampai suaramu itu didengar tetangga dan diintip orang, begitu?" Mata Alena membulat, sepertinya dia kaget. "Apa nggak ada tempat lain? Kamar kamu masih luas, kan? Atau kalau nggak, sekalian aja di halaman bia

DMCA.com Protection Status