Rasanya terlalu sulit menyuruh Andi melupakan sakit hatinya. Ya, diperlakukan tidak adil itu memang sakit. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengaku sebagai yatim piatu. Meski memang kita seperti anak yatim piatu, tanpa punya keluarga. "Kak, nanti aku mau ke rumah Pak Haji Rosyid. Di sana ada pekerjaan merawat kambing, katanya aku boleh bekerja di sana." "Pak Haji Rosyid? Yang mana orangnya? Kok Kakak nggak tau ya, kamu bisa kenal orang di sini?" tanyaku yang heran dengan penuturan Andi. Sejak kapan dia kenal dengan orang yang dimaksud itu, sedangkan yang kutahu, dia selalu bersamaku. "Aku bertemu di alun-alun semalam, katanya rumahnya tak jauh dari sini. Pak Haji Rosyid memiliki ternak kambing yang banyak dan butuh orang untuk menjaga dan membersihkan kandang. Boleh, 'kan, aku kerja di sana?" Aku tidak menjawab karena sibuk memasukkan cairan puding ke dalam cetakan. "Kak, boleh, 'kan?" tanya Andi lagi. Aku menolehnya, lalu menghela napas kasar.
Ponsel pemberian Kak Nur kuambil dari tas, lalu mulai membuka kontak nomor di dalamnya. Tidak banyak, hanya ada beberapa kontak nomor di ponsel ini. Selain nomor Bu Halimah, Kak Nur, dan Mbak Fika, ada juga nomor penjual buah yang kusimpan. Agak ragu melakukan panggilan pada nomor Bu Halimah. Namun, ada rasa rindu padanya dan juga rasa penasaran dengan kabar Ibu. Setelah beberapa kali membuka ponsel dengan memencet menu, keluar, menu, keluar, akhirnya kuputuskan melakukan panggilan. Panggilan tersambung dan terdengar suara di ujung telepon, "Hallo. Assalamualaikum, ini siapa ya?" "Ha-hallo, wa alaikum salam, Bu Halimah?" "Iya, ini siapa?" "Ini Vina, Bu," jawabku. Tak terasa air mata ini mengalir mendengar suara tetangga yang selama ini baik padaku. "Ya Allah, Vina? Alhamdulillah kamu telepon Ibu, Nak. Ibu khawatir sekali denganmu. Gimana keadaan kamu dan adik-adik? Jadi kamu sudah tinggal sama Ayah kamu?" Berbagai pertanyaan dilontarkan padaku.
"Fajar nggak mau makan, Kak. Dari tadi disuapi nggak mau." Aku menghentikan aktifitas mencuci baju, lalu melihat keadaan Fajar. Beberapa hari ini dia tidak bersemangat dan tidak begitu aktif. Entah apa yang terjadi, semoga dia baik-baik saja. Kudekati adik bungsuku yang tengah berbaring di kasur lantai. Bibirnya pucat dan matanya sayu."Ya Allah, badannya panas," ucapku, saat menyentuh kening Fajar. Sejak bangun tidur, aku langsung memasak dan mencuci baju. Belum sempat mengecek keadaan Fajar. Aku meminta Andi mengambilkan air hangat untuk mengompres Fajar, lalu mengambil baju yang sudah sobek, kusobek lagi menjadi bagian yang lebih kecil sebagai pengganti handuk. "Fajar sakit ya, Kak?" Lani mendekat dan ikut duduk di sampingku. "Iya, Lan, badannya panas banget. Kakak harus bawa Fajar berobat, kamu di rumah sama Kak Andi ya." Aku tidak mau kalau sampai menunggu lebih lama lagi. Panas tubuhnya tidak turun dan semakin terasa panas saat disentuh. Aku
"Loh, kenapa Fajar dibiarkan menangis, Bu?" "Biarkan saja! Dia minta nenen terus dari tadi!" Kulepas tas sekolah yang berada di punggung. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku mengambil alih adik bungsuku yang masih menangis di samping Ibu, sedangkan dia duduk berselonjor dengan santai di depan televisi. Meski perjalanan dari sekolah begitu melelahkan, aku tidak tega melihat adikku menangis begitu kencangnya tanpa ada yang menenangkan. Aku berusaha menenangkannya, tetapi tidak juga berhenti menangis. "Kenapa tidak Ibu susui?" "Dia itu mau Ibu sapih, Vin. Sudahlah, bawa adikmu main atau ajak beli jajan sana!" titah Ibu. Akhir-akhir ini, aku sering melihat Ibu agak berbeda. Sering marah dan tidak mau mengurusi Fajar. Sejak tinggal bersama suami barunya, Ibu jadi sering bersikap kasar pada kami anak-anaknya, tetapi menjadi lembut dan baik pada anak tiri yang begitu mereka manjakan. Sebagai anak kandung, jujur aku merasa tersisihkan, begitupun adik-adikku. Aku kasihan pa
Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami. Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu. "Kak!" Andi mengagetkanku. "Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!" "He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa." "Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga memba
Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah. "Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!" "Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!" "Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya. "Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku
Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.
"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah