"Gimana keadaan Fajar, Kak?" "Panasnya masih tinggi, Ndi. Padahal sudah minum obat juga, Kakak bingung dan kasihan melihatnya." Kutatap wajah Fajar yang berada dalam gendonganku. Ia masih merengek dan memanggil nama Ibu. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja?" Memang sebaiknya ke rumah sakit saja. Tapi ... bagaimana dengan biayanya? Uangku tinggal sedikit, tidak tahu lagi harus seperti apa. "Vin! Vina!" Terdengar suara Kak Nur, kulihat wajahnya panik, ia langsung mendekat dan memegang Fajar. "Gimana keadaan Fajar? Kenapa nggak telepon Kakak kalau Fajar sakit sih, Vin? Kamu nggak nganggep aku ini kakakmu, ya!" "Maaf, Kak." Aku memang tidak ingin merepotkannya. Selama ini sudah banyak merepotkan Kak Nur dan Mbak Fika. "Maaf, maaf! Kamu ini benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ada keadaan seperti ini kok diam saja! Sudah, ayo bawa ke rumah sakit!" Kak Nur menarik tanganku, yang masih memegangi Fajar. "Tapi, Kak ...." Aku menarik tanganku. Aku malu ji
Aku tidak habis pikir, kenapa Bu Hajah meminta Andi membawa Lani ke rumahnya. Aku seperti merasakan ada niat lain dari Bu Hajah. Apa lagi Lani begitu senang berada di rumah mewah itu. Kenapa tiba-tiba ada ketakutan yang kurasakan. Aku takut jika Bu Hajah ingin Lani tinggal bersamanya. Dari yang kulihat, Bu Hajah sangat bahagia saat bertemu dengan Lani waktu itu. Dan saat aku membawa Fajar kemarin, Andi juga membawa Lani ke sana. Semoga ini semua hanya perasaanku saja. "Kata Bu Hajah, biar kami ada yang jaga saat Kakak di rumah sakit. Makanya aku disuruh membawa Lani juga ke sana," papar Andi. "Ya sudah, tapi harus jaga sikap di rumah orang." "Iya, Kak." Aku dan Mbak Fika meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit lagi. Sesampainya di sana, aku segera menyerahkan foto copy Kartu Keluarga itu setelah sebelumnya di foto copy lagi atas saran Mbak Fika. Katanya agar memudahkan saat tiba-tiba dibutuhkan. Setelah memberikan foto copy Kartu Keluarga untuk
"Loh, kenapa Fajar dibiarkan menangis, Bu?" "Biarkan saja! Dia minta nenen terus dari tadi!" Kulepas tas sekolah yang berada di punggung. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku mengambil alih adik bungsuku yang masih menangis di samping Ibu, sedangkan dia duduk berselonjor dengan santai di depan televisi. Meski perjalanan dari sekolah begitu melelahkan, aku tidak tega melihat adikku menangis begitu kencangnya tanpa ada yang menenangkan. Aku berusaha menenangkannya, tetapi tidak juga berhenti menangis. "Kenapa tidak Ibu susui?" "Dia itu mau Ibu sapih, Vin. Sudahlah, bawa adikmu main atau ajak beli jajan sana!" titah Ibu. Akhir-akhir ini, aku sering melihat Ibu agak berbeda. Sering marah dan tidak mau mengurusi Fajar. Sejak tinggal bersama suami barunya, Ibu jadi sering bersikap kasar pada kami anak-anaknya, tetapi menjadi lembut dan baik pada anak tiri yang begitu mereka manjakan. Sebagai anak kandung, jujur aku merasa tersisihkan, begitupun adik-adikku. Aku kasihan pa
Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami. Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu. "Kak!" Andi mengagetkanku. "Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!" "He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa." "Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga memba
Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah. "Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!" "Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!" "Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya. "Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku
Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.
"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah
Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P