Pagi ini aku bangun lebih awal untuk membuat gethuk. Berbekal pengalaman yang kudapat dari Nenek dulu, aku bisa membuatnya. Hanya perlu mengukus dan menumbuknya agar mendapatkan gethuk yang halus dan lembut. Ada dua jenis gethuk yang kubuat. Satu dengan toping serundeng, satunya lagi dengan toping gula merah cair dan kelapa parut. Beberapa keripik singkong juga sudah siap dalam kemasan. Kemarin aku dibantu Mbak Fika dan Kak Nur dalam membuatnya. Semua sudah aku tata rapi dalam plastik dan siap untuk dibawa ke pasar. Kak Nur bahkan sudah mencarikan lapak di pasar. Katanya agar aku tidak jualan di emperan. Padahal menurutku sama saja, yang penting jualannya laku. "Aku bantuin ya, Kak." Andi membantu membungkus gethuk-gethuk itu pada bungkusan daun pisang. Ada juga sebagian yang dibungkus dengan mika, karena daun pisangnya sudah habis. Kemarin Andi yang mencari daun pisang, tetapi ia hanya mendapat sedikit. "Alhamdulillah, semuanya sudah siap. Kakak tinggal mandi
"Dor!" Kedatangan Mbak Fika yang mengagetkan, membuatku terjingkat. Rupanya ia sengaja menaruh motornya jauh dari rumah agar bisa mengagetkanku. Jahil sekali dia. "Mbak Fika bikin kaget aja sih," gerutuku. "Ha ha ha, lagian kalian pagi-pagi kok udah mellow. Ayo kita berangkat ke sekolah, mana Lani?" Aku memanggil Lani dan ia keluar dengan tas di punggung dan sudah memakai seragam lengkap. Aku merasa bahagia melihat adikku akhirnya bisa sekolah. Andi dan Lani, mereka sudah naik ke atas motor dan Mbak Fika mengantarkan mereka. Jarak dari rumah menuju sekolah lumayan jauh, jadi aku harus mencari bagaimana caranya agar tidak bergantung pada Mbak Fika. Hari ini aku pergi ke pasar agak siang, karena tidak jualan gethuk. Ke pasar karena ingin berbelanja buah-buahan dan bahan-bahan untuk jualan lagi di lapaknya Mbak Fika. Sudah kuputuskan untuk tetap jualan di sana saat sore sampai malam, dan jualan di pasar saat pagi hari. Jadi saat siang aku masih bisa istira
Sore ini aku membuka lapak Mbak Fika. Andi tidak ikut dan memilih ke tempat Haji Rosyid saat sore hari, karena paginya ia sekolah. Sedangkan Lani, ia aku daftarkan sekolah TPQ karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengajarinya. "Kamu kok baru buka lapak lagi, Vin. Kamu sakit?" Saat membuka lapak, Kak Arya menghampiriku. "Enggak, memang baru ada waktu aja," jawabku singkat. Aku tidak mau terlalu dekat dengan Kak Arya, khawatir ada yang akan menghadangku lagi seperti tempo hari. "Aku bantuin menata dagangan, ya?" Kak Arya menawarkan diri, tetapi aku menolaknya dengan halus. "Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri, kok." "Ya udah deh, aku main sama Fajar aja kalau gitu. Ayo, Jar, ikut main sama Kakak." Lelaki bertubuh jangkung itu mendekati Fajar yang sedang asik bermain dengan mobil-mobilan hadiah dari Mbak Fika. "Jangan! Fajar nggak boleh main dulu, dia baru saja keluar dari rumah sakit." "Oh, Fajar habis sakit? Nggak papa kok, aku ajak Fajar mai
"Nanti saya pikirkan lagi, Pak." Sebenarnya ini menarik. Namun, banyak yang aku pertimbangkan. Membuat keripik singkong dan gethuk saja sudah memakan waktu yang cukup banyak. Apa lagi kalau harus membuat keripik pisang. Aku khawatir Fajar semakin tidak terurus kalau semua pekerjaan aku lakukan. Saat ini saja aku kasihan padanya karena harus ikut ke pasar pagi-pagi buta dan masih dalam keadaan dingin. Beruntung ada Kak Nur yang menjaganya saat aku berjualan. "Kenapa nggak dicoba saja?" "Aku takut nggak bisa membagi waktu untuk Fajar, Kak." "Gampang itu, nanti kita cari orang untuk membantu," usul Kak Nur. "Maksudnya membayar orang?" "Yups, betul!" "Uang dari mana? Kalau nggak laku gimana?" Tentu saja aku khawatir karena belum terlalu lama menjalani usaha keripik ini. Khawatir tidak bisa membayar orangnya. "Bisa, pasti bisa! Nggak akan tahu kalau nggak dicoba. Yang penting kita harus optimis. Nanti aku bantu cari orang yang mau bekerja. Tapi sebelu
Aku tersenyum mendengar apa yang diucapkan Mbak Fika. Tentu saja aku sangat senang jika dia mau berubah menjadi lebih baik. Dan akan lebih menggembirakan jika ia bisa keluar dari pekerjaannya saat ini, yang bekerja di warung kopi remang-remang. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan memulai semuanya. "Pasti aku bantu, Mbak. Aku sangat senang kalau Mbak Fika ingin berubah," ucapku tersenyum. "Ya, dan semua itu berkat dirimu, Vin. Aku belajar banyak hal darimu. Meski umurmu lebih muda dariku, tapi kegigihan dan keimananmu tidak diragukan. Aku bangga bisa bertemu dan menjadi bagian dari hidupmu, serta menjadi kakakmu. Makasih ya, kamu mau berteman denganku yang hina ini." Mbak Fika menangis, dan itu membuatku sedih. Baru kali ini melihatnya mellow. Aku memeluknya lagi, sambil mengusap punggungnya. "Udah ah, jangan nangis. Aku mau ke lapak, Mbak Fika mau kan, anterin aku?" "Tentu, dong, ayo berangkat!" Mbak Fika mengusap air matanya, lalu tersenyum dan kembali ce
Sepeda berwarna merah dengan boncengan belakang dan angkring di bagian depan itu nampak bagus dan bersih. "Sepeda ini dari Pak Haji Rosyid, Kak." "Lho, kok bisa dikasih sepeda?" tanyaku heran. Aku khawatir saja kalau seperti Bu Hajah Rahmi kemarin yang ternyata menginginkan Lani untuk menjadi anaknya. Dan sekarang Andi yang dekat dengan Pak Haji Rosyid. "Tadinya aku dikasih upah merawat kambing dan juga sepeda ini. Katanya itu sepeda milik anaknya yang sudah tidak terpakai. Tapi aku menolak saat diberikan secara percuma. Dan uang upah itu aku pakai untuk membayar sepeda ini," jelas Andi. Adikku itu nampak sangat senang. Sesekali ia mengusap sepeda yang berada di sampingnya. Mungkin dia senang karena bisa memiliki sepeda dengan uang hasil kerjanya sendiri. Meski sepeda model seperti ini biasanya identik dengan perempuan, tetapi ia tak malu memilikinya. "Aku mau dibonceng, Kak! Boleh?" Lani mendekati Andi. "Atu naik!" Fajar pun sama, ingin menaikin
Seperti yang sudah direncanakan, aku belanja bahan-bahan untuk membuat nasi bungkus. Beras dan sayur-sayuran serta perbumbuan sudah terkumpul dan kutaruh di lapak. Mbak Fika ikut menyusul ke pasar karena dia yang lebih paham bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan. Sampai di rumah, kami membagi tugas. Dibantu Andi, aku membuat puding terlebih dahulu, setelah itu mengupas pisang dan singkong untuk dibuat keripik. Mbak Fika dan Lani mengupas bumbu dan membersihkan sayuran, untuk memudahkan nanti saat hendak memasaknya. Tadi Kak Nur buru-buru pergi karena ada banyak pelanggan di salon, katanya. Waktu dzuhur tiba dan kita istirahat, melaksanakan shalat bergantian karena tempatnya tidak cukup jika berjamaah. "Ayo kita makan dulu, nanti lanjut bikin keripiknya di satu tungku saja. Tungku yang satu untuk memasak nasi dan lauk," saran Mbak Fika. "Aku nidurin Fajar dulu ya, Mbak. Dia nggak mau sama Andi dan maunya sama aku." Aku menggendong Fajar yang mulai rewel dan ingin
Mbak Fika mengajakku pulang, katanya ada tamu. Sesampainya di rumah, ada dua orang ibu-ibu yang menunggu di teras. Aku mendekatinya dan kami bersalaman. Pintu rumah sudah terbuka, berarti Andi dan Lani sudah pulang. Kuajak tamu-tamu itu masuk. "Ada tamu kenapa nggak diajak masuk, Ndi?" Andi dan Lani ternyata tengah menggoreng keripik di dapur. "Aku sudah mengajaknya tapi mereka tidak mau, Kak," jawab Andi. Mbak Fika mengatakan jika mereka berdua adalah tetangga yang rumahnya dekat dengan Bu Ida. Kak Nur yang menyuruh mereka ke sini untuk membantu pembuatan keripik. Syukurlah ada yang mau membantu. Jadi aku bisa memasak untuk nasi kucing dan membuat adonan gorengan saja. *** Sudah seminggu Mbak Fika berada di salon Kak Nur untuk merawatnya. Kemarin aku menjenguknya lagi bersama adik-adikku, Kak Nur malah marah gara-gara aku mengajak mereka jalan kaki. Tadinya aku menyuruh Andi naik sepeda bersama Lani, aku yang jalan kaki menggendong Fajar. Tetap
Lani masih mengingat semuanya. Ingatan itu rupanya masih membekas dan dia memang ketakutan saat itu. Beruntung Kak Nur datang tepat waktu dan menyelamatkan kami. Masa-masa itu memang begitu menyakitkan untuk kami. Namun, akan tetap menyakitkan jika kita tidak mengambil hikmah dari semua kejadian itu."Dan dari kejadian itu, kita dipertemukan dengan Kak Nur yang sampai sekarang bersama kita. Kalau tidak ada kejadian itu, kita tidak mungkin bertemu dengan Kak Nur dan juga akhirnya bertemu Mbak Fika. Terus, sekarang ada Nuri kecil yang sangat cantik. Iya, kan?"Lani hanya mengangguk meski terlihat terpaksa dan pandangannya tertuju padaku, sementara Fajar hanya diam mendengarkan. "Aku juga senang karena bertemu dengan Kak Nur, lalu kita tinggal di rumahnya. Baik sekali Kak Nur ya, Kak, dia malah tidur di tempat lain agar kita bisa tidur nyaman di rumahnya. Beruntungnya punya Kak Nur." Ayah menjadi menangis tersedu-sedu, mungkin karena mendengar ucapan Lani yang merasa beruntung memiliki
Seminggu sudah kelahiran Nuri. Selama itu juga, aku tidur di rumah Mbak Fika. Hari ini ada acara syukuran aqiqah dan pemberian nama resmi untuk bayi cantik itu. Kami semua mempersiapkan acara hari ini dengan baik.Mbak Fika sudah bisa berjalan dengan baik dan terkadang ingin melakukan pekerjaan rumah ketika Nuri sedang tidur. Namun, aku selalu melarangnya karena dia masih harus banyak istirahat."Ini berkat untuk pekerja keripik, tolong diantar ke rumah lama, ya. Sekalian juga untuk beberapa tetangga sekitar. Sudah kuhitung semuanya, nanti kalau ada yang kurang, kamu ambil lagi." Kak Nur mengambil beberapa berkat dan Andi mengantarkannya ke rumah lama Kak Nur yang kini sudah kubeli."Oh iya, kamu antarkan berkat ini pada ayahmu ya, Vin, mumpung Andi pergi. Besok-besok aku ingin bertemu dengannya, tapi nggak bisa untuk hari ini." Kak Nur juga memberikan tiga nasi berkat padaku. "Bawa motorku saja.""Ya sudah, aku tinggal ke sana dulu, Kak." Aku pun membawa tiga berkat itu untuk nantiny
"Maafkan Ayah, Fika. Selama ini Ayah sudah menelantarkanmu, tidak peduli dengan keadaanmu. Ayah merasa sangat bersalah, Nak." Ayahnya Mbak Fika sedang berbicara dengan Mbak Fika. Aku dan Kak Nur pun ikut mendengarkan karena Mbak Fika yang menginginkannya, sementara Kak Arya dan adik-adik tengah duduk di karpet yang berada di sudut ruangan ini, sembari bermain dan memakan camilan."Aku sudah memaafkan Ayah karena aku tahu Ayah tidak seburuk itu. Aku juga tahu semua karena hasutan Ibu. Iya, kan? Tapi aku tidak mau membencinya. Biar bagaimanapun, dia adalah ibu kandungnya Nila, dan aku sangat menyayangi adikku meski kami beda ibu. Aku harap Ayah tidak bertengkar dengan Ibu Yunita saat sampai rumah nanti. Ayah adalah seorang imam dalam keluarga. Jadi, tugas Ayah adalah menasehatinya. Jangan sampai gara-gara aku, rumah tangga kalian bermasalah. Aku tidak mau Nila merasakan keluarga yang tak utuh." Mbak Fika menolehku, mungkin dia takut jika Nila akan menjadi korban keegoisan kedua orang
Keadaan terasa canggung saat ada ayah dan ibu tiri Mbak Fika, serta seorang anak kecil. Mungkin anak kecil itu adalah adik Mbak Fika yang tak lain juga adiknya Alena. Mereka duduk setelah Kak Nur dan Andi memberikan kursi pada mereka.Bu Yunita hanya melihatku sekilas, mungkin dia tidak mengenaliku. Maklum, saat dulu bertemu dengannya, kami hanya bertemu sebentar. Namun, aku tetap mengenali wajah dari ibunya Alena itu. Bu Yunita beralih memandang bayi yang saat ini kugendong."Cewek apa cowok bayinya?" tanyanya padaku."Bayinya cewek, Bu. Cantik banget." Aku menjawab dengan senyuman, memperlihatkan wajah bayi Nuri padanya."Oh." Bu Yunita hanya menjawab singkat seakan tidak peduli."Kamu sudah sehat?" Ayah Mbak Fika yang tidak kuketahui namanya itu tengah bertanya pada anaknya."Sudah, Yah. Ayah gimana kabarnya?" Mbak Fika terlihat senang dengan kedatangan orang tuanya. Maklum saja, sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Bahkan saat mengabari tentang pernikahanny
Aku mengabaikan kata-kata Mbak Indar barusan. Lebih baik aku mencari Fajar karena nanti akan kuajak menjenguk Mbak Fika dan bayinya. "Aku tinggal dulu ya, Mbak. Mau ke rumah sakit setelah ini.""Oh, iya, Vin. Aku nengok nanti kalau sudah pulang saja, ya, soalnya nanti sore mau pergi hajatan ke rumah kerabat." Mbak Indar menyahut."Iya, Mbak.""Eh, itu oleh-olehnya jangan lupa dibawa," ujar Mbak Indar mengingatkan.Kuambil papper bag yang berada di warung dan membawanya ke rumah. "Apa ya, isinya?"Kubuka isi di dalamnya, ternyata sebuah jilbab dan gamis, serta bross. Cantik sekali. Tak henti-hentinya aku mengagumi bross cantik berbentuk bunga di hadapanku. Namun, ini pasti mahal. Kenapa Kak Arya memberikan ini padaku.Kubiarkan dulu jilbab dan gamis itu karena aku harus mencari Fajar. Namun, belum sempat mencarinya, tiba-tiba Fajar berlari dari arah jalanan. Di belakangnya ada Kak Arya. "Kakak ...!"Fajar menghambur ke pelukanku dengan plastik dan papper bag di tangannya yang entah ber
"Enggak, Mbak, ini untuk seseorang. Ya sudah, aku mandi dulu ya, mau berangkat ke rumah makan. Tolong jaga warungnya ya, Mbak.""Siap! Tenang saja!" Mbak Indar menjawab dengan semangat.Rumah sudah rapi saat aku masuk ke dalam. Mungkin Andi membersihkannya sebelum berangkat sekolah. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencuci baju kotor yang kubawa dari rumah sakit. Ada baju Mbak Fika juga. Meski Kak Nur melarang, aku tetap membawanya pulang dan mencucinya. Mereka adalah keluargaku, sudah seharusnya aku membantunya. Apa lagi, Mbak Fika tidak memiliki keluarga lain di sini, begitupun Kak Nur. Kalaupun ada, itu adalah teman-temannya yang waria. Sedangkan Mbak Fika, ayahnya tidak mau menjenguk meski saat menikah dulu."Kok Ayah di luar? Mau ke mana sudah rapi?" Aku menemui Ayah di rumahnya, tetapi Ayah menutup pintu, seperti hendak pergi. "Ayah mau cari pekerjaan, Vin. Ayah akan mencari nafkah untuk kalian." Aku mengajak Ayah masuk lagi."Ayah di rumah saja, ini aku bawakan makanan,"
Andi hanya diam seribu bahasa, lalu menolehku dengan tatapan datar. "Nggak penting untuk diingat."Aku mencekal tangannya saat dia hendak pergi. "Katakan, Ndi! Jangan menyembunyikannya dari Kakak!"Aku curiga Ibu ke sini dan bertemu dengan Andi. Kalau iya, sungguh aku juga merasa belum bisa terima dengan kehadirannya. Rasa sakit karena Ibu lebih memilih suami baru dan anak tirinya, serta meminta kami pergi, tentu saja masih segar dalam ingatan. Apa lagi sikapnya pada Alena yang bagaikan memperlakukan tuan puteri, membuatku cemburu dan sakit hati. Namun, kenapa Andi tidak mau bercerita padaku. Apakah karena dirinya tengah kecewa padaku yang menerima Ayah kembali."Kenapa? Apa Kakak juga akan membawanya ke rumah jika dia ke sini? Apa Kakak begitu butuh dia dalam hidup Kakak? Aku heran sama Kak Vina!""Jadi benar, Ibu ke sini menemuimu?" "Jangan sebut dia sebagai ibu! Sudah kukatakan kita tidak memiliki orang tua! Kita ini yatim piatu! Kita bisa hidup tanpa mereka, buat apa lagi menghar
Entah siapa laki-laki itu, aku tidak mengenalnya. Namun, sepertinya wajahnya tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya. "Namaku Roni."Aku pun membalas uluran tangannya. "Vina.""Aku mencarimu karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Amplop coklat, yang entah berisi apa. "Ada titipan untuk kamu dan adik-adikmu.""Apa ini? Dan maaf, Anda dari mana tahu nama saya, Mas?" Aku tidak langsung menerima apa yang diserahkan itu."Ini adalah titipan uang dari seseorang. Katanya, untuk kebutuhan kalian berempat." Laki-laki bernama Roni itu memaksaku menerima amplop darinya. "Tunggu dulu. Ini maksudnya untuk kebutuhan apa? Dan siapa yang memberikannya? Tolong jelaskan karena saya tidak mengerti," kataku heran. Kenapa tiba-tiba ada orang yang memberikan uang padaku untuk biaya kebutuhan kami, di saat kami sudah berkecukupan. Ini sungguh aneh menurutku. Tentu a
Suster yang melihat Kak Nur pingsan pun segera memanggil perawat laki-laki untuk membantu mengangkatnya. Kak Nur dibaringkan di ranjang dekat Mbak Fika, lalu diberi minyak kayu putih. Katanya, Kak Nur hanya kaget saja, tidak kenapa-napa. Bisa-bisanya kaget melihat bayinya sampai pingsan. Mungkin saja Kak Nur kaget karena bayinya masih berlumuran darah.Bayi mungil yang baru saja lahir itu ditaruh di dada ibunya untuk mendapatkan IMD (Inisiasi Munyusu Dini). Mbak Fika terlihat sangat bahagia melihat wajah cantik dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan itu.Setelah Mbak Fika dan bayinya selesai dibersihkan, aku menggendong bayi mungil yang kini sudah dibedong. "Kak Nur masih belum sadar, Mbak."Mbak Fika menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, dia pun mencebik. "Yang melahirkan siapa, yang pingsan siapa! Baru lihat darah gitu aja udah pingsan!" cemooh Mbak Fika. Aku tertawa mendengarnya."Alhamdulillah bayinya lahir dengan sehat dan normal. Gimana keadaan, Mbak Fika?""Aku merasa l