Seperti yang sudah direncanakan, aku belanja bahan-bahan untuk membuat nasi bungkus. Beras dan sayur-sayuran serta perbumbuan sudah terkumpul dan kutaruh di lapak. Mbak Fika ikut menyusul ke pasar karena dia yang lebih paham bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan. Sampai di rumah, kami membagi tugas. Dibantu Andi, aku membuat puding terlebih dahulu, setelah itu mengupas pisang dan singkong untuk dibuat keripik. Mbak Fika dan Lani mengupas bumbu dan membersihkan sayuran, untuk memudahkan nanti saat hendak memasaknya. Tadi Kak Nur buru-buru pergi karena ada banyak pelanggan di salon, katanya. Waktu dzuhur tiba dan kita istirahat, melaksanakan shalat bergantian karena tempatnya tidak cukup jika berjamaah. "Ayo kita makan dulu, nanti lanjut bikin keripiknya di satu tungku saja. Tungku yang satu untuk memasak nasi dan lauk," saran Mbak Fika. "Aku nidurin Fajar dulu ya, Mbak. Dia nggak mau sama Andi dan maunya sama aku." Aku menggendong Fajar yang mulai rewel dan ingin
Mbak Fika mengajakku pulang, katanya ada tamu. Sesampainya di rumah, ada dua orang ibu-ibu yang menunggu di teras. Aku mendekatinya dan kami bersalaman. Pintu rumah sudah terbuka, berarti Andi dan Lani sudah pulang. Kuajak tamu-tamu itu masuk. "Ada tamu kenapa nggak diajak masuk, Ndi?" Andi dan Lani ternyata tengah menggoreng keripik di dapur. "Aku sudah mengajaknya tapi mereka tidak mau, Kak," jawab Andi. Mbak Fika mengatakan jika mereka berdua adalah tetangga yang rumahnya dekat dengan Bu Ida. Kak Nur yang menyuruh mereka ke sini untuk membantu pembuatan keripik. Syukurlah ada yang mau membantu. Jadi aku bisa memasak untuk nasi kucing dan membuat adonan gorengan saja. *** Sudah seminggu Mbak Fika berada di salon Kak Nur untuk merawatnya. Kemarin aku menjenguknya lagi bersama adik-adikku, Kak Nur malah marah gara-gara aku mengajak mereka jalan kaki. Tadinya aku menyuruh Andi naik sepeda bersama Lani, aku yang jalan kaki menggendong Fajar. Tetap
36 Meski dengan rambut panjangnya yang dikuncir, Kak Nur nampak berbeda. Ia juga tidak menggunakan make-up di wajahnya. Meski begitu, tidak bisa menghilangkan tampilan wajahnya yang terlihat seperti perempuan, karena alisnya yang dicukur sebagian. "Kamu kenapa, Vin? Tersepona melihatku?" tanya Kak Nur, masih dengan suara khasnya. Bukannya menjawab, aku malah reflek tertawa, dan menutup mulutku dengan tangan. "Nggak ada yang lucu, ya. Ayo cepat berangkat, nanti nggak kebagian kue ulang tahun kalau terlambat!" ujar Kak Nur yang sudah menghidupkan mesin motornya. Aku segera naik ke atas motor Mbak Fika, sedangkan Lani dan Fajar bersama Kak Nur. Motor melaju dengan pelan, karena Mbak Fika tidak mau rambutnya terkena angin dan berantakan. Beruntung aku memakai kerudung, jadi tidak terlalu khawatir dengan angin yang akan merusak tatanan rambut. Kami berhenti di depan rumah Bu Lisna, di mana banyak kendaraan yang sudah terparkir di sana. Tentu saja lebih banyak m
Wajah Alena sama terkejutnya denganku. Dia menatapku, dari atas sampai bawah. Memang aku menggunakan pakaian tertutup dan kerudung. Mungkin itu yang membuatnya melihatku seperti itu. Aku juga menelisik penampilannya yang saat ini terlihat sangat tidak sesuai dengan umurnya. Dress merah ketat sepaha tanpa lengan, dengan bagian punggung yang bolong dan bagian depan memperlihatkan belahan d4d4. Lebih terbuka dari pakaian Mbak Fika saat aku pertama kali bertemu dengannya. Tidak kusangka akan bertemu dengannya di acara ini. Apa mungkin Ibu juga ada di sini? Ah, entah kenapa aku berharap bertemu dengannya. Bukankah harusnya aku tidak peduli lagi dengan Ibu yang katanya sudah berbahagia. Namun, sebagai seorang anak tentu ada sedikit rasa rindu yang terselip. Meski rindu itu kini dibalut rasa sakit dan kecewa. "Hah. Vina? Kamu ngapain ke sini? Jangan-jangan kamu komplotan si maling ini, ya?" Alena menunjuk Mbak Fika, membuat Mbak Fika menarik tangan Alena yang menunjuk kepadanya
"Sudah yuk, kita pulang. Nanti kita mampir beli es krim." Aku membujuk Lani agar berhenti menangis. Ia memelukku dan masih sesenggukan. "Kenapa Ibu nggak mau sama Lani, Kak? Apa karena Lani anak nakal dan suka minta uang jajan?" Aku mengusap punggungunya. "Hei, siapa bilang Lani anak nakal? Lani adik perempuan Kakak yang sangat baik dan manis. Udah ah, jangan nangis lagi. Malu sama Fajar, dia aja udah diem tuh!" Fajar sudah diam karena ditenangkan oleh Kak Nur dan Mbak Fika. "Gimana kalau kita mampir ke taman dulu? Nanti di sana ada seluncuran dan ayunan. Sebelum itu, kita beli es krim dulu. Yuk!" Mbak Fika mendekati Lani, Lani pun mengangguk. Syukurlah. Kini Lani ikut naik motor Mbak Fika bersamaku, sedangkan Kak Nur bersama Fajar. Kami menuju tempat penjual es krim, dan memilih es krim vanilla dan coklat. Setelah itu pergi ke taman yang tak jauh dari sekolah Lani. "Itu sekolah Lani, Kak. Di depan itu biasanya kami bermain petak umpet." Lani menunjuk sekolahnya dan berceri
"Kak, Kak Andi tahu nggak, tadi kita bertemu dengan siapa?" Tiba-tiba Lani berkata pada Andi. Jangan sampai Lani bercerita tentang kejadian tadi. Aku hanya tidak ingin Andi semakin memendam dendam dan rasa benci. "Bertemu siapa, Lan?" Saat Lani hendak menjawab, aku menyelanya, "Itu lo, katanya temannya di sekolah." Lani menoleh padaku, seolah bertanya kenapa berbohong. Aku hanya mengedipkan mata padanya, memberitahunya untuk tidak mengatakan apa pun. Bagiku cukup untuk kami tidak mengingat atau bertemu dengan Ibu ataupun Alena. Tidak perlu untuk menyimpan semua menjadi rasa benci dan dendam. Karena semua itu hanya akan menghancurkan hati kami. "Oh, yang rambutnya unik itu ya?" "Nah, iya itu!" sahutku asal. Entah rambut unik seperti apa yang dimaksud. Lani menatapku, tetapi aku mengalihkan pembicaraan dengan memuji rasa dari kue-kue yang ada di hadapan kami. *** "Semua sudah komplit ya, Pak. Jumlahnya dua ratus bungkus. Seratus keripik singkong, seratus keripik pisa
"Kenapa, Kak?" "Nanti kita cari hari baik dulu sebelum pindahan. Biar bagaimanapun kita ini orang Jawa. Wong Jowo ojo nganti ilang jawane," tutur Kak Nur. Aku mengangguk dan nurut saja apa kata Kak Nur, karena kurang paham mengenai hal-hal semacam itu. Kami pulang dan mengajak Mbak Fika dan yang lain untuk membawa alat bersih-bersih. "Kita bersihkan dulu rumahnya, nanti setelah Kak Nur cari hari baik untuk pindah, kita baru pindah," ujarku saat Andi bertanya. "Jadi kita akan pindah dari rumah ini, Kak? Kapan?" Lani pun ikut bertanya dan aku mengangguk. "Udah, ayo cepat kita bawa sapu, sapu lidi, alat pel, dan sabun pembersih lantai. Soal kapan pindahnya, nanti kita pikirkan lagi. Yang penting bersih-bersih dulu." Mbak Fika ikut menimpali, sambil menenteng kain lap. Kami berangkat kembali ke rumah kontrakan, karena jarak dari rumah lama tidak terlalu jauh. Berbeda dusun, tetapi masih bersebelahan. Malah rumah kontrakan ini lebih dekat dengan sekolah Lani, serta dekat d
Kami masih saling pandang, lalu menghabiskan makanan kami. "Vin, hantu," ucap Mbak Fika lirih. Ia merapat dekat padaku. "Mana ada hantu, Mbak. Ayo kita bersihkan dan langsung shalat," ajakku. "Biar aku lihat dulu ada apa di belakang itu." Kak Nur berdiri dan menuju pintu belakang. Aku ikut di belakangnya, dan tidak ada siapa-siapa saat pintu dibuka. "Aneh! Padahal tadi seperti suara sesuatu yang jatuh," gumamku. "Mungkin tadi ada kucing tapi sekarang sudah pergi. Sudah jangan dipikirkan, lebih baik sekarang kalian istirahat," perintah Kak Nur. Aku dan yang lainnya shalat setelah membersihkan bekas makan, kecuali Kak Nur, yang jagain Fajar saat kami melaksanakan shalat. Beruntung di rumah ini ada sumur yang sudah ada pompa airnya. Jadi untuk air, kita tidak perlu membayar lagi. Dan untuk listrik, ternyata sudah memakai listrik prabayar. "Vin, aku tidur sama kamu ya, nggak berani tidur sendirian." Mbak Fika masuk ke kamarku, setelah aku membawa Fajar dan meletakkannya di ka
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyaku dengan cepat."Kondisi pasien sangat kritis. Saat ini harus segera dilakukan operasi karena asam lambungnya sudah parah dan terjadi perdarahan. Operasi harus dilakukan dengan segera, jika tidak, maka akan memicu perdarahan kembali," papar dokter."Tapi, apakah dia bisa membaik setelah operasi?" tanyaku lagi."Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, tapi tentu saja, semua kembali lagi pada Sang Pencipta. Kita berdoa bersama untuk kesembuhan pasien, dan memasrahkan semua pada-Nya." Dokter menjelaskan."Baiklah, jika itu yang terbaik, kami setuju, Dok."Dokter mengangguk dan meminta perawat untuk segera mengatur jadwal operasi. Ibu dipindahkan dari ruangannya menuju ke ICU untuk perawatan lebih intensif sebelum operasi dilakukan. Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan terlebih dahulu, mengingat Ibu juga terkena demam berdarah."Semoga Bu Ratih segera membaik," ujar Mbak Fika."Kita doakan untuk kesembuhannya. Semoga operasinya berjalan dengan l
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita