Betapa beruntungnya tinggal di tempat ini. Selain tempatnya nyaman, warganya pun sangat baik dan ramah. Dan yang paling aku suka, mereka tidak sungkan untuk datang dan mengucapkan selamat datang pada kami. Bahkan ada yang membawa sayur mayur, jagung manis, dan kue lapis sebagai salam bertetangga. Memang kebanyakan warganya berprofesi sebagai petani dan juga buruh di perkebunan karet. Ada juga salah satu tetangga pembuat kue lapis, yang ternyata sudah kukenal saat berjualan di pasar. "Semoga betah ya, tinggal di sini. Jangan sungkan jika membutuhkan bantuan. Kami akan senang hati membantu. Memang di sini itu yang paling diutamakan adalah janda atau warga yang tidak memiliki laki-laki. Karena pasti membutuhkan perlindungan dari kami," ujar Pak RT saat kami datang ke rumahnya. "Baik, Pak, terima kasih." Setelah melihat banyak peluang untuk membuat warung makan, aku berencana akan membuat warung makan sederhana yang berada di depan rumah. Kak Nur sudah mengecek beberapa barang
Hari pertama pengerjaan warung makan sederhana yang kuinginkan, berjalan dengan lancar. Bapak-bapak di sekitar ikut membantu menurunkan bahan-bahan bangunan, juga membantu pengerjaannya. Ibu-ibu juga ikut membantu memasak dan berkumpul di rumahku. Ada juga beberapa tetangga yang membawakan bahan makanan seperti beras, gula, kopi, teh, sayur serta buah-buahan. Sungguh tetangga yang sangat baik dan memiliki tenggang rasa yang tinggi. Kupikir aku akan kerepotan, mengingat aku hanya berdua dengan Mbak Fika saja dan harus memasak pagi-pagi sekali. Ternyata sepulang belanja dari pasar, mereka sudah berkumpul di rumahku dan sudah ada yang membuatkan kopi dan gorengan. "Makan siang sudah siap, ayo kita bawa ke depan. Itu es sirup, gorengan, dan buahnya juga dibawa," perintah Bu Romlah. Kami membawa semua masakan dan membawanya pada bapak-bapak yang bekerja. Tadinya Kak Nur menyuruh tiga orang untuk mengerjakannya, tetapi dibantu para tetangga yang ada di sekitar, total ada sebelas o
Perempuan itu menatap sinis pada Mbak Fika, sambil melipat kedua tangannya. Ibu-ibu yang sedang menikmati rujak pun saling bisik-bisik dan menatap Mbak Fika, sementara dia sendiri terlihat kesal dengan ucapan wanita itu. Entah siapa dia, dan ada hubungan apa dengan Mbak Fika sebelumnya. Terlihat sekali ada kebencian dari sorot matanya saat melihat Mbak Fika. "Wanita ini mau bikin warung makan, pasti ada plus-plusnya! Secara, dia pernah bekerja di warung kopi remang-remang. Hebatnya dia keluar dari sana dan bikin warung sendiri. Pasti modalnya juga dari hasil nggak bener!" "Jaga bicaramu!" Mbak Fika terlihat tidak terima. Aku pun sama, tidak terima dengan ucapannya. Karena uang yang kupakai untuk membuat warung ini murni dari hasil kerja selama ini. Dari jualan keripik, gethuk, puding, dan juga jualan di lapak Mbak Fika. "Apa maksud kamu bicara begitu? Kamu sehat?" "Hei, aku sangat sehat sampai bisa berjalan kemari dan bertemu dengan perempuan pen99oda sepertimu!" bentak perempu
"Kenapa malah pada bengong? Ini rujaknya dianggurin, lebih baik kubawa pulang saja!" Celetukan Bu Romlah memecah keheningan. "Eh, jangan dong! Ayo kita nikmati rujaknya lagi. Jangan dengerin si Mira, dia kan memang biang rusuh di kampung kita." "Iya, orang dia juga lebih parah. Biasa dibawa pulang pergi sama laki-laki kampung sebelah. Padahal dia sudah punya suami dan anak." "Iya bener! Gara-gara si Mira acara rujakan jadi terganggu." Para ibu-ibu kembali duduk dan menikmati rujak. Mereka malah menyalahkan Mbak Mira karena membuat aktifitas rujakan mereka terganggu. Dari yang kudengar, Mbak Mira ini adalah perempuan yang suka bikin ulah. Semua tetangga hampir tidak akur dengannya, gara-gara sering dicemburukan sama suaminya. Menurut ibu-ibu, Mbak Mira juga perempuan gampangan dan tidak bisa menjaga diri. Mereka sering melihat laki-laki yang berbeda membawanya pergi, lalu pulang setelah seharian. Selain itu, dia juga jarang bersosialisasi dan berkumpul bersama ibu-ibu lainny
"Ini semuanya ada empat bungkus nasi rames, ditambah dengan lauk ayam goreng dan telur balado. Jadi semua totalnya berapa, Vin?" Bu Romlah duduk di depanku setelah memasukkan bungkusan makanan ke dalam plastik dan menghitungnya. "Tidak usah, Bu, hari pertama ini saya kasih gratis buat yang mau ke sini. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas bantuan warga di sini yang sudah meluangkan waktu membantu pengerjaan warung." Aku tersenyum dan merasa senang karena akhirnya bisa memiliki warung makan meski sederhana. "Lho, kok gitu? Apa nggak malah bikin kamu rugi nantinya? Ini banyak lho, Vin. Jangan deh, jangan dikasih gratis." Bu Romlah tetap memaksa memberikan selembar uang berwarna merah padaku. "Tidak usah, Bu, saya benaran menggratiskannya hari ini agar lebih berkah ke depannya." Aku berusaha menolak pemberian Bu Romlah. Namun, ibu ketua RT itu tetap memaksa. "Sama yang lain kamu boleh gratisin, tapi sama aku, jangan. Udah, ambil saja uang ini sebagai penglaris. Aku pulang du
Bu Hajah Rahmi tersenyum hangat saat aku menyapanya. Beliau juga menatap sekeliling warung ini, seraya mengangguk-angguk. Aku mempersilahkan beliau untuk duduk dan Andi membawakan minuman untuk tamu kami ini. "Silakan, Bu." Setelah beliau meminum air yang disuguhkan, aku pun menanyakan maksud kedatangannya, barang kali ada hal yang penting. Namun, Bu Hajah Rahmi hanya tersenyum dan berkata ingin bertemu dengan Lani. "Aku kangen sekali dengan Lani, sudah lama tidak melihatnya. Dia sehat, kan?" "Alhamdulillah Lani sehat, tadi sedang bermain dengan teman-temannya," jawabku. "Kamu hebat, Vina. Bisa memiliki usaha warung makan yang lumayan ramai seperti ini. Ternyata kamu memang kakak yang sangat bertanggung jawab meski usiamu masih sangat muda." Bu Hajah melihat-lihat sekitar. "Semua berkat kerja sama dengan adik-adik, serta Mbak Fika dan Kak Nur. Aku tidak mungkin bisa tanpa mereka." "Ya. Aku minta maaf dulu pernah meragukanmu. Oh ya, aku mau memberikan oleh-oleh untuk kalian
48 Aku merasakan sakit pada pinggang dan kepala juga terasa pusing. Samar-samar kudengar suara orang berbicara, dan juga ada aroma obat-obatan. Perlahan-lahan, kubuka mata yang rasanya begitu lengket. Ruangan bernuansa putih dengan gorden hijau di jendela dan tabung oksigen yang berada tak jauh dariku. Kulihat selang infus juga terpasang di tangan ini. Sepertinya aku di rumah sakit. Kuingat-ingat lagi apa yang terjadi, tetapi aku tidak mengingatnya. "Syukurlah kamu sudah sadar, aku khawatir sekali, Vin." Mbak Fika dan dari arah pintu, lalu memelukku. Wanita ini menangisiku, sesekali mengusap air matanya. "Mbak, aku kenapa? Ini di mana?" "Kamu pingsan dan aku membawamu ke rumah sakit. Aku takut sekali melihatmu pingsan seperti tadi." Mbak Fika masih saja menangis. "Sudah jangan menangis, kok cengeng banget! Orang yang sakit aja nggak nangis kok, malah kamu yang nangis." Kak Nur memegang bahu Mbak Fika. "Aku sedih, Din, kamu ngerti nggak sih! Orang lagi sedih kok di kata-kat
Pagi ini Andi datang dan membawakan baju ganti untukku. Dia juga membawa bubur sumsum yang dibelinya dari pasar, tepatnya dari penjual yang bersebelahan dengan lapak kami. Selain itu, dia juga membawa rantang berisi makanan yang dibawa dari rumah. Kata Andi, dia diminta Mbak Fika untuk menemaniku di rumah sakit, sedangkan Fajar ikut bersama Mbak Fika dan Kak Nur untuk mengantar Lani ke pertunjukan pentas seni. Sebenarnya aku ingin menemani Lani, tetapi kata dokter, kondisiku belum sehat karena mengalami anemia. Meski aku meminta pulang, dokter tidak mengizinkan. "Kamu sudah sarapan, Ndi?" tanyaku saat Andi membuka cup bubur. "Sudah, Kak, tadi aku beli buburnya banyak. Fajar juga sudah aku suapin bubur yang sama tadi, terus dibawakan baju ganti sama Mbak Fika. Katanya untuk jaga-jaga karena Fajar kadang ketumpahan air saat minum susu," papar Andi yang tampak bersemangat. "Makasih ya," ucapku saat ia membukakan tutup cup bubur sumsun itu. Aku duduk bersandar pada ranjang dengan
Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama
Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani
Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F
Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat
Dinginnya malam membuatku merapatkan tubuh pada selimut tebalku. Tubuhku terasa lelah dengan aktifitas yang kulakukan seharian ini. Mataku mulai sembab, tapi tak lagi kupedulikan. Yang ingin kulakukan hanyalah tidur, untuk menghilangkan penat di tubuh dan pikiran."Kak, ayo bangun! Sudah waktunya sahur." Terdengar suara Lani membangunkanku, tapi rasanya aku masih enggan membuka mata. Mata ini terasa lengket, pedas, dan terkatup rapat. Otakku masih merespons, tapi mataku belum bisa diajak bekerja sama."Vina, bangun, Nak, ayo sahur. Kalau nggak cepat bangun, nanti keburu imsak." Dengan sekali perintah, aku langsung membuka mata.Wanita cantik dengan daster kusam itu adalah ibuku. Dia tersenyum mengusap rambutku, kemudian menuntunku dari tempat tidur.Kutatap sekeliling, aku berada di rumah masa kecilku. Rumah berdinding kayu yang menjadi tempat aku tumbuh dan bermain. Suasananya sangat hangat, "Ayo, sini, Ibu sudah membuat telur dadar dan
Lani memanggil Ayah, kemudian menarik tangan Andi agar segera masuk ke rumah. Andi patuh, lalu duduk di kursi setelah Lani menyuruhnya. Aku pun ikut duduk di samping Andi sambil tersenyum.Ayah datang bersamaan dengan Fajar yang membawa toples berisi camilan. "Kalian kemari, ada apa, Nak?" tanyanya setelah duduk."Andi ngajak aku ke sini untuk tidur di sini, soalnya dia nggak mau sahur tanpa adik-adiknya," tuturku.Ayah menatap Andi dengan senyuman khasnya, sementara Andi terlihat cuek."Beneran, Kak?" Fajar bertanya dengan mulut penuh makanan."Kalau makan jangan sambil ngomong, kalau ngomong jangan sambil makan, Jar." Andi mengingatkan."He he he, iya, Kak." Fajar memasukkan camilan lagi ke dalam mulutnya, tidak lagi bertanya.Sementara itu, Ibu yang berada tak jauh dari tempatku berada, seperti ingin mendekat, tapi tidak berani. Mungkin saja khawatir akan membuat Andi marah seperti kemarin.Aku berdiri, melangkah menuju tempat Ibu berada. "Ayo, Bu, kita ke sana," ajakku. "Jangan,
Andi menatap dan menanyaiku, sepertinya dia khawatir aku mendengar semua curhatannya pada Yusuf."Barusan. Ada apa memangnya?" jawabku."Nggak apa-apa, kupikir sudah dari tadi.""Memang kenapa kalau Kakak udah pulang dari tadi?""Ya nggak apa-apa. Mana Lani dan Fajar?" Andi melihat sekeliling."Mereka nggak pulang malam ini, tidur di rumah Ayah dan Ibu." Jawabanku membuat Andi menyernyit."Maksud Kakak, mereka tinggal serumah? Di rumah yang ditinggali Ayah itu?" Aku tersenyum mendengar Andi mengucapkan kata "Ayah"."Iya. Nggak ada pilihan, Ibu butuh tempat tinggal dan teman ngobrol. Kupikir Ayah dan Pak Mardi bisa menjadi temannya karena mereka sudah sama-sama tua, nggak kayak di rumah ini yang semua isinya anak muda.""Tapi mereka sudah berpisah, Kak, nanti bisa jadi fitnah!" Andi terlihat kesal."Ya nggak apa-apa, kan ada Farla, Lani dan Fajar juga tidur di sana, kan? Tadi Mas Aan kusuruh bawain kasur lipat agar mereka bisa tidur dengan nyaman," debatku."Tapi, Kak!""Kamu kenapa si
Ibu menyeka air matanya dengan cepat, sementara Ayah melambaikan tangannya agar kami mendekat. Kami pun menghampiri Ayah dan Ibu."Kenapa hanya di sana? Tidak ada yang kami sembunyikan dari kalian, Nak. Kalian berhak tahu apa yang terjadi pada kami," tutur Ayah."Maaf, Yah, kami nggak mau mengganggu kalian," ujarku."Tidak, Nak, kalian tidak mengganggu. Kami senang karena kalian telah mempertemukan kami. Di depan kalian, Ibu ingin meminta maaf pada ayah kalian. Sebab Ibu punya banyak salah padanya. Gara-gara Ibu, hidup kita berantakan dan keluarga kita terpecah belah," papar Ibu yang menangkupkan kedua tangannya."Aku sudah melupakannya, bahkan tidak pernah menyimpan benci padamu, Tih. Justru aku yang minta maaf karena tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang berguna. Maafkanlah aku," ujar Ayah yang juga menangkupkan kedua tangannya.Kami terharu. Ayah dan Ibu sudah saling memaafkan, rasanya begitu lega melihat mereka berdua akur. Sebagai seorang anak, aku sangat bahagia. Kebahagia
Aku masih mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu. Dari pertanyaan Ibu itu, aku juga ingin mendapatkan jawabannya. Selama ini Ayah tidak pernah bercerita tentang anak kembarnya yang merupakan adikku. Juga tentang istrinya, dan tentang Ayah yang akhirnya tinggal di jalanan."Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Ratih. Bahkan saat aku menikah lagi, aku merasa sangat kesulitan menghadapi istri yang akhirnya memberikanku anak kembar. Aku tahu, lagi-lagi semua itu terjadi karena aku yang miskin ini, tapi kehidupanku bersamanya lebih buruk dari sebelumnya." Aku dan Lani masih mendengarkan Ayah bercerita, tepatnya menguping pembicaraan mereka."Iya, kamu benar, Mas. Pernikahan kedua memang terasa berbeda. Aku sendiri mengalaminya. Beradaptasi dengan orang baru itu sangat susah, dan kita mencoba untuk bisa mengimbanginya. Setelah hidup bersama lebih dari sepuluh tahun denganmu yang sudah sama-sama tahu sifat dan kepribadiannya, lalu harus menghadapi orang baru dengan kepribadian baru, itu sung