Hari pertama pengerjaan warung makan sederhana yang kuinginkan, berjalan dengan lancar. Bapak-bapak di sekitar ikut membantu menurunkan bahan-bahan bangunan, juga membantu pengerjaannya. Ibu-ibu juga ikut membantu memasak dan berkumpul di rumahku. Ada juga beberapa tetangga yang membawakan bahan makanan seperti beras, gula, kopi, teh, sayur serta buah-buahan. Sungguh tetangga yang sangat baik dan memiliki tenggang rasa yang tinggi. Kupikir aku akan kerepotan, mengingat aku hanya berdua dengan Mbak Fika saja dan harus memasak pagi-pagi sekali. Ternyata sepulang belanja dari pasar, mereka sudah berkumpul di rumahku dan sudah ada yang membuatkan kopi dan gorengan. "Makan siang sudah siap, ayo kita bawa ke depan. Itu es sirup, gorengan, dan buahnya juga dibawa," perintah Bu Romlah. Kami membawa semua masakan dan membawanya pada bapak-bapak yang bekerja. Tadinya Kak Nur menyuruh tiga orang untuk mengerjakannya, tetapi dibantu para tetangga yang ada di sekitar, total ada sebelas o
Perempuan itu menatap sinis pada Mbak Fika, sambil melipat kedua tangannya. Ibu-ibu yang sedang menikmati rujak pun saling bisik-bisik dan menatap Mbak Fika, sementara dia sendiri terlihat kesal dengan ucapan wanita itu. Entah siapa dia, dan ada hubungan apa dengan Mbak Fika sebelumnya. Terlihat sekali ada kebencian dari sorot matanya saat melihat Mbak Fika. "Wanita ini mau bikin warung makan, pasti ada plus-plusnya! Secara, dia pernah bekerja di warung kopi remang-remang. Hebatnya dia keluar dari sana dan bikin warung sendiri. Pasti modalnya juga dari hasil nggak bener!" "Jaga bicaramu!" Mbak Fika terlihat tidak terima. Aku pun sama, tidak terima dengan ucapannya. Karena uang yang kupakai untuk membuat warung ini murni dari hasil kerja selama ini. Dari jualan keripik, gethuk, puding, dan juga jualan di lapak Mbak Fika. "Apa maksud kamu bicara begitu? Kamu sehat?" "Hei, aku sangat sehat sampai bisa berjalan kemari dan bertemu dengan perempuan pen99oda sepertimu!" bentak perempu
"Kenapa malah pada bengong? Ini rujaknya dianggurin, lebih baik kubawa pulang saja!" Celetukan Bu Romlah memecah keheningan. "Eh, jangan dong! Ayo kita nikmati rujaknya lagi. Jangan dengerin si Mira, dia kan memang biang rusuh di kampung kita." "Iya, orang dia juga lebih parah. Biasa dibawa pulang pergi sama laki-laki kampung sebelah. Padahal dia sudah punya suami dan anak." "Iya bener! Gara-gara si Mira acara rujakan jadi terganggu." Para ibu-ibu kembali duduk dan menikmati rujak. Mereka malah menyalahkan Mbak Mira karena membuat aktifitas rujakan mereka terganggu. Dari yang kudengar, Mbak Mira ini adalah perempuan yang suka bikin ulah. Semua tetangga hampir tidak akur dengannya, gara-gara sering dicemburukan sama suaminya. Menurut ibu-ibu, Mbak Mira juga perempuan gampangan dan tidak bisa menjaga diri. Mereka sering melihat laki-laki yang berbeda membawanya pergi, lalu pulang setelah seharian. Selain itu, dia juga jarang bersosialisasi dan berkumpul bersama ibu-ibu lainny
"Ini semuanya ada empat bungkus nasi rames, ditambah dengan lauk ayam goreng dan telur balado. Jadi semua totalnya berapa, Vin?" Bu Romlah duduk di depanku setelah memasukkan bungkusan makanan ke dalam plastik dan menghitungnya. "Tidak usah, Bu, hari pertama ini saya kasih gratis buat yang mau ke sini. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas bantuan warga di sini yang sudah meluangkan waktu membantu pengerjaan warung." Aku tersenyum dan merasa senang karena akhirnya bisa memiliki warung makan meski sederhana. "Lho, kok gitu? Apa nggak malah bikin kamu rugi nantinya? Ini banyak lho, Vin. Jangan deh, jangan dikasih gratis." Bu Romlah tetap memaksa memberikan selembar uang berwarna merah padaku. "Tidak usah, Bu, saya benaran menggratiskannya hari ini agar lebih berkah ke depannya." Aku berusaha menolak pemberian Bu Romlah. Namun, ibu ketua RT itu tetap memaksa. "Sama yang lain kamu boleh gratisin, tapi sama aku, jangan. Udah, ambil saja uang ini sebagai penglaris. Aku pulang du
Bu Hajah Rahmi tersenyum hangat saat aku menyapanya. Beliau juga menatap sekeliling warung ini, seraya mengangguk-angguk. Aku mempersilahkan beliau untuk duduk dan Andi membawakan minuman untuk tamu kami ini. "Silakan, Bu." Setelah beliau meminum air yang disuguhkan, aku pun menanyakan maksud kedatangannya, barang kali ada hal yang penting. Namun, Bu Hajah Rahmi hanya tersenyum dan berkata ingin bertemu dengan Lani. "Aku kangen sekali dengan Lani, sudah lama tidak melihatnya. Dia sehat, kan?" "Alhamdulillah Lani sehat, tadi sedang bermain dengan teman-temannya," jawabku. "Kamu hebat, Vina. Bisa memiliki usaha warung makan yang lumayan ramai seperti ini. Ternyata kamu memang kakak yang sangat bertanggung jawab meski usiamu masih sangat muda." Bu Hajah melihat-lihat sekitar. "Semua berkat kerja sama dengan adik-adik, serta Mbak Fika dan Kak Nur. Aku tidak mungkin bisa tanpa mereka." "Ya. Aku minta maaf dulu pernah meragukanmu. Oh ya, aku mau memberikan oleh-oleh untuk kalian
48 Aku merasakan sakit pada pinggang dan kepala juga terasa pusing. Samar-samar kudengar suara orang berbicara, dan juga ada aroma obat-obatan. Perlahan-lahan, kubuka mata yang rasanya begitu lengket. Ruangan bernuansa putih dengan gorden hijau di jendela dan tabung oksigen yang berada tak jauh dariku. Kulihat selang infus juga terpasang di tangan ini. Sepertinya aku di rumah sakit. Kuingat-ingat lagi apa yang terjadi, tetapi aku tidak mengingatnya. "Syukurlah kamu sudah sadar, aku khawatir sekali, Vin." Mbak Fika dan dari arah pintu, lalu memelukku. Wanita ini menangisiku, sesekali mengusap air matanya. "Mbak, aku kenapa? Ini di mana?" "Kamu pingsan dan aku membawamu ke rumah sakit. Aku takut sekali melihatmu pingsan seperti tadi." Mbak Fika masih saja menangis. "Sudah jangan menangis, kok cengeng banget! Orang yang sakit aja nggak nangis kok, malah kamu yang nangis." Kak Nur memegang bahu Mbak Fika. "Aku sedih, Din, kamu ngerti nggak sih! Orang lagi sedih kok di kata-kat
Pagi ini Andi datang dan membawakan baju ganti untukku. Dia juga membawa bubur sumsum yang dibelinya dari pasar, tepatnya dari penjual yang bersebelahan dengan lapak kami. Selain itu, dia juga membawa rantang berisi makanan yang dibawa dari rumah. Kata Andi, dia diminta Mbak Fika untuk menemaniku di rumah sakit, sedangkan Fajar ikut bersama Mbak Fika dan Kak Nur untuk mengantar Lani ke pertunjukan pentas seni. Sebenarnya aku ingin menemani Lani, tetapi kata dokter, kondisiku belum sehat karena mengalami anemia. Meski aku meminta pulang, dokter tidak mengizinkan. "Kamu sudah sarapan, Ndi?" tanyaku saat Andi membuka cup bubur. "Sudah, Kak, tadi aku beli buburnya banyak. Fajar juga sudah aku suapin bubur yang sama tadi, terus dibawakan baju ganti sama Mbak Fika. Katanya untuk jaga-jaga karena Fajar kadang ketumpahan air saat minum susu," papar Andi yang tampak bersemangat. "Makasih ya," ucapku saat ia membukakan tutup cup bubur sumsun itu. Aku duduk bersandar pada ranjang dengan
Alhamdulillah hari ini aku sudah bisa pulang ke rumah setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Kak Nur dan Mbak Fika membawa mobil untuk mengantarku pulang, katanya agar tidak kepanasan. Padahal jarak dari rumah sakit tidak terlalu jauh, menggunakan motor pun aku masih bisa. Akan tetapi, Kak Nur tetap meminjam mobil dan ia menyetir sendiri. Katanya, itu mobil milik bos pemilik salon tempat ia bekerja. Aku begitu terharu dengan perubahan laki-laki yang selalu membantuku itu. Sungguh tidak ada yang menyangka jika laki-laki dengan rambut cepak ini adalah mantan waria. Masih teringat bagaimana saat pertama kali aku bertemu dengan Kak Nur, yang kala itu menggunakan pakaian perempuan dengan riasan tebal. Pertemuan pertama yang tidak akan pernah aku lupakan. Tingkahnya yang kocak dan tidak serius, malah menyelamatkan aku dan ketiga adikku dari preman yang hendak berbuat buruk padaku. Ya, bunyi sirene polisi yang ia bunyikan dari ponsel, membuat para preman itu kabur dan Kak Nur datang
Mata terasa berat, tetapi kupaksakan untuk membukanya. Aku teringat harus bangun pagi agar tidak mengantre di depan kamar mandi. Masih pukul 05.00 WIB. Gegas aku bangun dan mengecek Farla yang ternyata masih pulas. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, meninggalkan Farla sendirian di dalam kamar. Biasanya dia akan pulas tidur saat jam pagi seperti ini. Semoga saja dia masih anteng sampai aku kembali. Benar kata Yuni, penghuni kost ini belum ada yang bangun di jam segini. Jadi aku bisa leluasa menggunakan kamar mandi tanpa harus tergesa-gesa karena ditunggui. Beruntung ada ember yang bisa kupakai untuk mengambil air karena aku butuh untuk memandikan Farla. Air dalam ember kubawa dan kutaruh di depan pintu kamar, lalu mengecek Farla ternyata masih tidur. Syukurlah. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia tidur, dan mencari air panas untuk dia mandi nantinya. Pintu kukunci dan membawa termos untuk diisi di warung makan yang sudah buka."Permisi, Mbak, bisa beli air
Setelah makan, rasanya mataku ngantuk sekali. Namun, kalau aku tidur, aku takut Farla terjatuh karena dia tidak mau tidur. Kalau sampai malam nanti aku belum bisa mendapatkan petunjuk tentang anak-anakku, aku harus bagaimana. Alena dan papanya masih belum pulang beberapa hari, tetapi kalau mereka sudah pulang lebih awal, bagaimana. Semoga saja mereka benaran tidak pulang dulu sebelum aku kembali. Aku berharap bertemu anak-anak, lalu membawa mereka bersamaku. Soal Mas Erik, aku akan memikirkannya nanti. Toh selama ini aku sudah menuruti semua kemauannya. *** Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Kubuka mata yang masih lengket, seambari meraba tempat di depanku. Aku terkejut saat menyadari Farla tidak ada di depanku. Saat aku menoleh, dia sudah berada di tanah dalam kondisi telentang dan menangis kencang. Ya Tuhan, nenek macam apa aku ini, membiarkan cucunya terjatuh dari gazebo karena ketiduran. Kuambil Farla dan mengusap-usap kepalanya. Beruntung dia jatuh di re
"Dan sekarang kamu baru mencari mereka karena merasa menyesal?" Rina menatapku, aku begitu malu dengan diri sendiri."Aku sangat bodoh, Rin." "Syukurlah kamu menyadari kebodohan itu. Seharusnya kamu nggak memilih suami egois seperti dia, Tih. Laki-laki yang benar-benar mencintaimu, pasti akan mau menerima anak-anakmu. Jika aku jadi kamu, aku lebih memilih hidup bersama anakku dari pada dengan laki-laki egois. Apa lagi katamu dia ingin kamu menyayangi anaknya saja. Dan sekarang, kamu disalahkan dengan kesalahan yang diperbuat anaknya sendiri." Ya, aku memang terlalu bodoh. Dan kini baru menyadarinya di saat begitu sulit mencari keberadaan anak-anakku. "Lalu gimana rencanamu selanjutnya?" "Entahlah, aku bingung, Rin. Aku harus mencari mereka ke mana? Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku bingung." Aku menangis karena merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan kami di rumah Bu Lisna saat mengadakan ulang tahun putrinya. Bukankah wa
Penjelasan Rina membuatku semakin dilanda kebingungan. Jika Vina dan adik-adiknya tidak pernah ke sini, lantas ke mana mereka. Hampir empat tahun sudah sejak aku meminta mereka pergi. Bagaimana mungkin mereka tidak ke sini, mereka hanya tahu rumah ayahnya. Selain Mas Ramlan, di sini tidak memiliki saudara lagi. Hanya ada saudara sepupu jauh Mas Ramlan, tetapi tidak terlalu akrab. Karena dulu saat aku masih tinggal di sini, keluarga kami dikucilkan. Maklum, orang miskin memang selalu dipandang hina. "Kamu yakin, Rin, tidak pernah melihat Vina? Atau mungkin kamu yang kurang memperhatikan? Vina dan adik-adiknya pergi ke sini sudah hampir empat tahun. Saat itu dia baru saja lulus dan tengah libur akhir sekolah." Aku bertanya lagi, untuk memastikan. "Kamu ngantar mereka kemari?" Rina malah balik bertanya dan aku menggeleng lemah. "Bentar deh, Tih. Kamu bilang, mereka ke sini saat libur akhir sekolah. Dan kamu nggak ngantar mereka? Jadi, mereka ke sini hanya berempat?" "Iya," jawabku.
Perjalanan ini terasa sangat melelahkan ketika harus membawa bayi dalam gendongan. Farla mulai merengek, aku berhenti sebentar di bawah pohon mangga. Kuambil termos dan botol susu, membersihkannya sebentar dengan air panas lalu membuatkan susu untuk cucuku. "Jangan rewel ya, La, sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa main sama tante dan ommu." Aku tersenyum agar Farla merasa lebih tenang. Jujur aku merasa malu jika nanti anak-anakku melihatku membawa anaknya Alena, putri tiri yang dibanggakan, tetapi sudah tidak memiliki masa depan. Semoga Mas Ramlan mampu menyekolahkan Vina dan adik-adiknya. "Ojek, Pak, ojek!" Kuhentikan motor yang lewat. Seorang pengendara laki-laki memakai caping yang membawa karung berisi rumput di jok bagian belakang. "Saya bukan ojek, Bu, saya hanya pencari rumput." Orang itu berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motornya. "Tapi saya butuh ojek, Pak, apa Bapak bisa mengantar saya?" "Waduh, saya bawa karung begini, mana bisa, Bu," jawabnya seraya me
Farla merengek dan kuambilkan botol susu yang sengaja kubuat sebelum naik bis tadi. Sengaja aku membuatkannya dua botol. Satu sudah diminum, satunya lagi kuberi air panas agar masih hangat saat akan menggunakannya lagi.Perjalanan cukup melelahkan, apa lagi harus memangku bayi. Perut juga terasa keroncongan karena sudah lebih dari dua jam bus melaju. Ya Tuhan, mungkinkah dulu anak-anakku juga merasakan seperti ini, sesak karena harus duduk berempat di kursi yang hanya dua. Bahkan kala itu aku tidak membawakan bekal atau sekedar air minum untuk mereka. Padahal perjalanan jauh seperti ini sungguh melelahkan dan membuat seringnya ingin minum atau makan sesuatu. Mungkinkah dulu mereka kelaparan saat dalam bus, atau bahkan Fajar menangis. Tak sanggup membayangkannya. "Ayo kita turun dulu, Bu, barang kali mau buang air kecil," ajak perempuan yang duduk di sampingku. "Iya, ayo." Aku pun mengikuti ajakannya untuk turun saat bis berhenti di SPBU. Karena merasa ingin buang air kecil, aku me
Pagi ini Alena pulang setelah semalam entah berada di mana. Kemarin dia bertengkar hebat dengan suaminya, hingga mereka berdua pergi dan tidak pulang semalaman. Pintu kamar tidak ditutup dan dia merebahkan tubuhnya di kasur yang sprei, selimut, dan bantalnya berantakan. Sudah sebesar itu, tapi tak pernah mau beberes kamarnya sendiri. "Tolong kamu jagain Farla dulu, Len, aku mau ke kamar mandi, mulas sekali." Kuberikan Farla pada Alena karena mendadak perutku mulas. Mungkin karena semalam makan pakai sambal. "Apaan sih, Ma, aku ngantuk mau tidur!" "Cuman bentar, kok!" Aku berjalan cepat menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Tak kuhiraukan teriakan Alena yang memanggilku. Namun, tiba-tiba Farla menangis dengan kencang dan itu membuatku buru-buru keluar dari kamar mandi. "Farla!" teriakku saat melihat Farla tengkurap di lantai sambil menangis, sementara Alena berada di kasur dan tidak memedulikan darah dagingnya sendiri. Kuambil Farla, ternyata dahinya membiru dan benjol. Ku
"Kenapa baru pulang, sih, Rit? Kamu tahu nggak, aku berjuang setengah mati menahan sakit karena melahirkan anakmu! Eh, kamu malah enak-enakan di rumah ibumu!" Alena memarahi suaminya yang baru datang setelah tiga hari melahirkan. Farit duduk lalu mengambil air minum dan meneguknya. Alena ikut duduk di samping suaminya dengan kepayahan, sesekali memegangi perutnya. Ia memang tidak mau menggunakan korset pada perutnya, padahal baru pertama kali melahirkan. "Aku kerja, Alena, bukan senang-senang. Lagian kamu udah lahiran ya udah, apalagi?" Farit menjawab dengan entengnya. Laki-laki berkulit putih itu bahkan tidak memedulikan bayinya yang kini dalam gendonganku. Tidak ingin melihat atau pun menanyakan jenis kelaminnya.Aku heran saja dengan keluarga Farit. Sejak ia menjadi suami Alena, tidak pernah sekalipun ibu atau saudaranya yang datang ke sini. Bahkan hingga saat ini, tidak ada yang menjenguk Alena atau menanyakan bayi yang baru berumur tiga hari ini."Anak kita cewek, kamu nggak
Rupanya gadis kecil yang dulunya sangat manja dan selalu aku suapi dengan telaten, bisa menjadi seganas itu. Kelakuan Alena tak ubahnya wanita liar yang haus akan belaian. Sungguh, aku yang perempuan saja merasa malu melihatnya. Dengan perut yang sedikit membuncit itu, dia ... ah! Lebih baik aku gedor pintunya agar mereka beralih tempat. Ada kamar, bisa-bisanya melakukannya di ruang tamu. Apa mereka tidak malu jika ada orang lain yang melihat. Pintu kugedor keras beberapa kali, nama Alena pun kupanggil. Tidak ada sahutan dan pintu masih kugedor. "Alena! Buka pintunya! Cepat buka!" Beberapa kali kupanggil, akhirnya pintu dibuka dan Alena muncul dengan handuk yang melilit di tubuhnya. "Kok Mama udah balik, sih!" gerutunya kesal. "Memangnya kamu ingin aku pergi berapa lama? Sampai suaramu itu didengar tetangga dan diintip orang, begitu?" Mata Alena membulat, sepertinya dia kaget. "Apa nggak ada tempat lain? Kamar kamu masih luas, kan? Atau kalau nggak, sekalian aja di halaman bia