Alhamdulillah hari ini aku sudah bisa pulang ke rumah setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Kak Nur dan Mbak Fika membawa mobil untuk mengantarku pulang, katanya agar tidak kepanasan. Padahal jarak dari rumah sakit tidak terlalu jauh, menggunakan motor pun aku masih bisa. Akan tetapi, Kak Nur tetap meminjam mobil dan ia menyetir sendiri. Katanya, itu mobil milik bos pemilik salon tempat ia bekerja. Aku begitu terharu dengan perubahan laki-laki yang selalu membantuku itu. Sungguh tidak ada yang menyangka jika laki-laki dengan rambut cepak ini adalah mantan waria. Masih teringat bagaimana saat pertama kali aku bertemu dengan Kak Nur, yang kala itu menggunakan pakaian perempuan dengan riasan tebal. Pertemuan pertama yang tidak akan pernah aku lupakan. Tingkahnya yang kocak dan tidak serius, malah menyelamatkan aku dan ketiga adikku dari preman yang hendak berbuat buruk padaku. Ya, bunyi sirene polisi yang ia bunyikan dari ponsel, membuat para preman itu kabur dan Kak Nur datang
Pov Ratih "Sayang, makanannya sudah Mama siapin, sana makan dulu." "Iya, Ma, aku ke kamar mandi bentar," jawab Alena, putri kesayangan yang sangat kami manjakan. Ia meletakkan ponsel di meja lalu menuju ke kamar mandi. Ponsel di meja itu tiba-tiba berkedip dan bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Merasa penasaran, aku pun mengintip di layar depan. Semakin penasaran setelah melihat kata-kata yang masuk sangat mengganggu penglihatanku. [Aku rindu pada gundukan kenyalmu yang memiliki rasa hangat itu.]Pesan dari seseorang yang diberi nama Z. Bukan hanya satu, ada lagi pesan yang masuk. Pesan yang membuatku tambah tercengang. [Aku juga rindu suara desahanmu, Sayang.] Aku menutup mulut tak percaya. Kenapa ada pesan seperti ini di ponsel Alena? Apa dia sudah berbuat yang di luar batas? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah melampaui batasnya dan akan membuat malu? Tidak-tidak. Ini pasti ada yang salah. Aku tidak boleh berprasangka buruk dulu padanya. Barang kali saja ini sala
"Jadi Bu Ratih kapan terakhir bertemu mereka? Kalau acara ulang tahun itu kan udah lama ya, udah dua tahun lebih. Masa iya nggak pernah ke sana lagi? Paling nggak tiga bulan sekali gitu, biar saling melepas rindu. Masa nggak kangen sama mereka. Aku yang orang lain aja kadang kangen lho, sama Vina dan adik-adiknya. Terlebih sama Lani yang pintar sekali berbicara." "Iya, Bu Ratih. Apa lagi Fajar, dia yang paling kecil di antara semuanya. Aku jadi ingat saat dia pergi waktu itu. Nangis kejer dan ditenangkan Bu Halimah waktu itu," sahut Bu Nunik. "Vina kan anak pintar, Bu, dia pasti bisa jaga adiknya. Aku yakin dia sudah bahagia tinggal bersama ayahnya. Ya, meskipun harus tinggal dengan ibu tiri, sih." Para tetangga membahas tentang anak-anakku yang memang sudah sangat lama tidak kulihat wajahnya. "Bisa gitu ya, punya ibu kandung, tapi malah tinggal dengan ibu tiri. Kalau aku sih lebih memilih hidup bersama anak-anak kandungku saja, Bu. Nggak peduli meski nggak punya suami." Bu Halim
Geram rasanya mendengar Bu Halimah mengatai Alena perutnya buncit seperti orang hamil. Namun kalau diperhatikan, anak tiriku itu memang penampilannya sedikit berubah. Lebih suka memakai baju longgar dan sering minta makanan yang aneh-aneh. Seperti pagi tadi, dia minta dibuatkan pindang srani dengan potongan mangga muda. Meski memang tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah, tetapi akhir-akhir ini dia juga menjadi gampang mengantuk. Kalau dulu biasanya dia akan tidur malam di atas jam sebelas, sekarang ini, sehabis Isya atau setelah makan malam, dia sudah tertidur di depan televisi. Biasanya aku yang membangunkan, atau papanya yang memindahkan ke kamar. Apakah mungkin, jika Alena hamil? Tapi ... tidak mungkin Alena seperti itu. Mungkin saja itu efek berat badannya yang bertambah. "Saya, kan hanya bilang 'seperti', Bu, bukan menuduh. Maaf jika ucapan saya menyinggung, Bu Ratih." Bu Halimah meminta maaf, aku sudah terlanjur kesal padanya. Dulu Bu Halimah sangat baik saat masih ada V
"Oh, ini to ibunya!" Seorang perempuan berdaster batik menunjuk wajahku, diikuti beberapa orang lainnya yang mendekat. Mereka memandangiku seraya berbisik satu sama lain. Jalanan sempit ini penuh dengan orang-orang yang berdiri di tengah-tengah jalan, dengan motor yang terparkir sisi kiri dan kanan. Rumah berdinding kayu dengan atap rumbia dan berpagar bambu itu tengah dikerubungi orang. "Kira-kira ini ibunya si cewek apa ibunya si cowok, ya?" Ya Allah, entah siapa yang mereka sebut barusan. Hatiku semakin tidak tenang. Apa mungkin ... Alena bersama dengan seorang laki-laki dan digerebek oleh warga. Bagaimana kalau anggapanku ini benar. "Tenang, tenang, semuanya tenang, ya. Biar saya yang mengatasi masalah ini, jangan sampai kalian main hakim sendiri." Seorang laki-laki berpakaian kemeja batik dan menggunakan peci, tengah mendekat dan menghalau warga yang berada di dekatku. "Gimana bisa tenang, Pak RT, mereka sudah membuat kotor kampung kita, lho!" Pria di sampingku terlihat gera
Menikah muda? Apa itu satu-satunya solusi untuk masalah ini? Ah, kepalaku pening memikirkannya. Padahal sebentar lagi ujian kelulusan dan Mas Erik sudah merencanakan akan mendaftarkan kuliah untuk Alena."Tidak ada cara lain, Bu. Apa Ibu mau, mereka diarak keliling kampung dengan telanjang?" Ibu itu memegang lenganku. "Itu lebih baik dari pada menikah muda dan kehilangan masa depan!" "Mama!" Alena membentakku, aku menatapnya. "Apa? Memangnya kamu mau, menikah muda dan putus sekolah?" "Iya! Aku mau! Aku sudah capek mikir pelajaran!" jawab Alena. Aku tidak habis pikir dengan pemikiran anak tiriku ini. Dia lebih memilih menikah muda dari pada sekolah, entah apa yang ada di pikirannya. Apa dia pikir menikah muda itu adalah hal yang indah dan mudah. Jangan-jangan dia memang sudah terbiasa melakukan perbuatan terlarang seperti ini. "Saya setuju aja, kalau mereka dinikahkan. Saya lebih tidak rela kalau anak saya diarak keliling kampung dan menjadi bahan omongan seumur hidupnya." Ibu
"Apa tidak ada cara lain selain menikahkan mereka?" Sudah kuduga Mas Erik tidak akan setuju jika Alena dinikahkan. Aku tahu suamiku itu ingin anaknya menjadi sarjana dan itu akan menjadi kebanggaannya. Namun, dia tidak tahu kalau Alena sendiri yang mengatakan, lebih baik menikah muda dari pada memikirkan pelajaran sekolah. "Untuk masalah menikahkan, itu urusan kalian sendiri. Yang jelas, di sini ada adat yang harus dilakukan. Mereka harus dihukum agar tidak ada lagi yang meniru perbuatan buruk seperti itu lagi. Dan denda juga harus tetap dibayarkan. Ini tidak sepadan dengan apa yang akan orang-orang katakan tentang kampung kami. Jadi, kami akan tetap memberlakukan aturan kami." Pak RT tetap pada pendiriannya, menggunakan hukuman adat. "Tapi mereka bukan warga sini dan tidak tahu menahu tentang hukuman itu. Apa bisa diberi keringanan?" Mas Erik menawar, sepertinya dia ingin menggunakan uang untuk masalah ini. "Maksud Bapak?" "Begini, Pak, anak saya tidak tahu tentang adat yang ad
Bagaimana bisa Mas Erik menyalahkanku atas suatu kesalahan yang tidak aku lakukan. Apa aku harus memantau Alena selama 24 jam penuh dan mengikutinya ke mana pun dia pergi? Padahal selama ini aku juga sudah sepenuh hati dalam merawat anak tiriku itu supaya dia merasa nyaman dan terbiasa bersamaku. Bahkan, aku rela meninggalkan anak-anakku pada ayahnya dan hidup jauh dari mereka, demi bisa menjadi ibu seutuhnya untuk Alena. Namun, ternyata begini balasannya. "Kok kamu nyalahin aku, Mas? Alena yang berbuat, kenapa--" "Lebih baik kita pulang, Pa!" Alena menarik tangan papanya, tidak membiarkan aku menyelesaikan ucapanku. Kami pun pulang dengan membawa motor masing-masing. Kulihat Farit dan ibunya juga pergi dengan membawa motor. Sesampainya di rumah, Mas Erik bergegas membersihkan diri dan berganti baju. Alena pun sama, langsung mandi setelah papanya keluar dari kamar mandi. Setelah keduanya selesai, aku menyiapkan makanan yang tadi siang memasak. Perut rasanya sudah sangat lapar
Lani masih mengingat semuanya. Ingatan itu rupanya masih membekas dan dia memang ketakutan saat itu. Beruntung Kak Nur datang tepat waktu dan menyelamatkan kami. Masa-masa itu memang begitu menyakitkan untuk kami. Namun, akan tetap menyakitkan jika kita tidak mengambil hikmah dari semua kejadian itu."Dan dari kejadian itu, kita dipertemukan dengan Kak Nur yang sampai sekarang bersama kita. Kalau tidak ada kejadian itu, kita tidak mungkin bertemu dengan Kak Nur dan juga akhirnya bertemu Mbak Fika. Terus, sekarang ada Nuri kecil yang sangat cantik. Iya, kan?"Lani hanya mengangguk meski terlihat terpaksa dan pandangannya tertuju padaku, sementara Fajar hanya diam mendengarkan. "Aku juga senang karena bertemu dengan Kak Nur, lalu kita tinggal di rumahnya. Baik sekali Kak Nur ya, Kak, dia malah tidur di tempat lain agar kita bisa tidur nyaman di rumahnya. Beruntungnya punya Kak Nur." Ayah menjadi menangis tersedu-sedu, mungkin karena mendengar ucapan Lani yang merasa beruntung memiliki
Seminggu sudah kelahiran Nuri. Selama itu juga, aku tidur di rumah Mbak Fika. Hari ini ada acara syukuran aqiqah dan pemberian nama resmi untuk bayi cantik itu. Kami semua mempersiapkan acara hari ini dengan baik.Mbak Fika sudah bisa berjalan dengan baik dan terkadang ingin melakukan pekerjaan rumah ketika Nuri sedang tidur. Namun, aku selalu melarangnya karena dia masih harus banyak istirahat."Ini berkat untuk pekerja keripik, tolong diantar ke rumah lama, ya. Sekalian juga untuk beberapa tetangga sekitar. Sudah kuhitung semuanya, nanti kalau ada yang kurang, kamu ambil lagi." Kak Nur mengambil beberapa berkat dan Andi mengantarkannya ke rumah lama Kak Nur yang kini sudah kubeli."Oh iya, kamu antarkan berkat ini pada ayahmu ya, Vin, mumpung Andi pergi. Besok-besok aku ingin bertemu dengannya, tapi nggak bisa untuk hari ini." Kak Nur juga memberikan tiga nasi berkat padaku. "Bawa motorku saja.""Ya sudah, aku tinggal ke sana dulu, Kak." Aku pun membawa tiga berkat itu untuk nantiny
"Maafkan Ayah, Fika. Selama ini Ayah sudah menelantarkanmu, tidak peduli dengan keadaanmu. Ayah merasa sangat bersalah, Nak." Ayahnya Mbak Fika sedang berbicara dengan Mbak Fika. Aku dan Kak Nur pun ikut mendengarkan karena Mbak Fika yang menginginkannya, sementara Kak Arya dan adik-adik tengah duduk di karpet yang berada di sudut ruangan ini, sembari bermain dan memakan camilan."Aku sudah memaafkan Ayah karena aku tahu Ayah tidak seburuk itu. Aku juga tahu semua karena hasutan Ibu. Iya, kan? Tapi aku tidak mau membencinya. Biar bagaimanapun, dia adalah ibu kandungnya Nila, dan aku sangat menyayangi adikku meski kami beda ibu. Aku harap Ayah tidak bertengkar dengan Ibu Yunita saat sampai rumah nanti. Ayah adalah seorang imam dalam keluarga. Jadi, tugas Ayah adalah menasehatinya. Jangan sampai gara-gara aku, rumah tangga kalian bermasalah. Aku tidak mau Nila merasakan keluarga yang tak utuh." Mbak Fika menolehku, mungkin dia takut jika Nila akan menjadi korban keegoisan kedua orang
Keadaan terasa canggung saat ada ayah dan ibu tiri Mbak Fika, serta seorang anak kecil. Mungkin anak kecil itu adalah adik Mbak Fika yang tak lain juga adiknya Alena. Mereka duduk setelah Kak Nur dan Andi memberikan kursi pada mereka.Bu Yunita hanya melihatku sekilas, mungkin dia tidak mengenaliku. Maklum, saat dulu bertemu dengannya, kami hanya bertemu sebentar. Namun, aku tetap mengenali wajah dari ibunya Alena itu. Bu Yunita beralih memandang bayi yang saat ini kugendong."Cewek apa cowok bayinya?" tanyanya padaku."Bayinya cewek, Bu. Cantik banget." Aku menjawab dengan senyuman, memperlihatkan wajah bayi Nuri padanya."Oh." Bu Yunita hanya menjawab singkat seakan tidak peduli."Kamu sudah sehat?" Ayah Mbak Fika yang tidak kuketahui namanya itu tengah bertanya pada anaknya."Sudah, Yah. Ayah gimana kabarnya?" Mbak Fika terlihat senang dengan kedatangan orang tuanya. Maklum saja, sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Bahkan saat mengabari tentang pernikahanny
Aku mengabaikan kata-kata Mbak Indar barusan. Lebih baik aku mencari Fajar karena nanti akan kuajak menjenguk Mbak Fika dan bayinya. "Aku tinggal dulu ya, Mbak. Mau ke rumah sakit setelah ini.""Oh, iya, Vin. Aku nengok nanti kalau sudah pulang saja, ya, soalnya nanti sore mau pergi hajatan ke rumah kerabat." Mbak Indar menyahut."Iya, Mbak.""Eh, itu oleh-olehnya jangan lupa dibawa," ujar Mbak Indar mengingatkan.Kuambil papper bag yang berada di warung dan membawanya ke rumah. "Apa ya, isinya?"Kubuka isi di dalamnya, ternyata sebuah jilbab dan gamis, serta bross. Cantik sekali. Tak henti-hentinya aku mengagumi bross cantik berbentuk bunga di hadapanku. Namun, ini pasti mahal. Kenapa Kak Arya memberikan ini padaku.Kubiarkan dulu jilbab dan gamis itu karena aku harus mencari Fajar. Namun, belum sempat mencarinya, tiba-tiba Fajar berlari dari arah jalanan. Di belakangnya ada Kak Arya. "Kakak ...!"Fajar menghambur ke pelukanku dengan plastik dan papper bag di tangannya yang entah ber
"Enggak, Mbak, ini untuk seseorang. Ya sudah, aku mandi dulu ya, mau berangkat ke rumah makan. Tolong jaga warungnya ya, Mbak.""Siap! Tenang saja!" Mbak Indar menjawab dengan semangat.Rumah sudah rapi saat aku masuk ke dalam. Mungkin Andi membersihkannya sebelum berangkat sekolah. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencuci baju kotor yang kubawa dari rumah sakit. Ada baju Mbak Fika juga. Meski Kak Nur melarang, aku tetap membawanya pulang dan mencucinya. Mereka adalah keluargaku, sudah seharusnya aku membantunya. Apa lagi, Mbak Fika tidak memiliki keluarga lain di sini, begitupun Kak Nur. Kalaupun ada, itu adalah teman-temannya yang waria. Sedangkan Mbak Fika, ayahnya tidak mau menjenguk meski saat menikah dulu."Kok Ayah di luar? Mau ke mana sudah rapi?" Aku menemui Ayah di rumahnya, tetapi Ayah menutup pintu, seperti hendak pergi. "Ayah mau cari pekerjaan, Vin. Ayah akan mencari nafkah untuk kalian." Aku mengajak Ayah masuk lagi."Ayah di rumah saja, ini aku bawakan makanan,"
Andi hanya diam seribu bahasa, lalu menolehku dengan tatapan datar. "Nggak penting untuk diingat."Aku mencekal tangannya saat dia hendak pergi. "Katakan, Ndi! Jangan menyembunyikannya dari Kakak!"Aku curiga Ibu ke sini dan bertemu dengan Andi. Kalau iya, sungguh aku juga merasa belum bisa terima dengan kehadirannya. Rasa sakit karena Ibu lebih memilih suami baru dan anak tirinya, serta meminta kami pergi, tentu saja masih segar dalam ingatan. Apa lagi sikapnya pada Alena yang bagaikan memperlakukan tuan puteri, membuatku cemburu dan sakit hati. Namun, kenapa Andi tidak mau bercerita padaku. Apakah karena dirinya tengah kecewa padaku yang menerima Ayah kembali."Kenapa? Apa Kakak juga akan membawanya ke rumah jika dia ke sini? Apa Kakak begitu butuh dia dalam hidup Kakak? Aku heran sama Kak Vina!""Jadi benar, Ibu ke sini menemuimu?" "Jangan sebut dia sebagai ibu! Sudah kukatakan kita tidak memiliki orang tua! Kita ini yatim piatu! Kita bisa hidup tanpa mereka, buat apa lagi menghar
Entah siapa laki-laki itu, aku tidak mengenalnya. Namun, sepertinya wajahnya tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya. "Namaku Roni."Aku pun membalas uluran tangannya. "Vina.""Aku mencarimu karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Amplop coklat, yang entah berisi apa. "Ada titipan untuk kamu dan adik-adikmu.""Apa ini? Dan maaf, Anda dari mana tahu nama saya, Mas?" Aku tidak langsung menerima apa yang diserahkan itu."Ini adalah titipan uang dari seseorang. Katanya, untuk kebutuhan kalian berempat." Laki-laki bernama Roni itu memaksaku menerima amplop darinya. "Tunggu dulu. Ini maksudnya untuk kebutuhan apa? Dan siapa yang memberikannya? Tolong jelaskan karena saya tidak mengerti," kataku heran. Kenapa tiba-tiba ada orang yang memberikan uang padaku untuk biaya kebutuhan kami, di saat kami sudah berkecukupan. Ini sungguh aneh menurutku. Tentu a
Suster yang melihat Kak Nur pingsan pun segera memanggil perawat laki-laki untuk membantu mengangkatnya. Kak Nur dibaringkan di ranjang dekat Mbak Fika, lalu diberi minyak kayu putih. Katanya, Kak Nur hanya kaget saja, tidak kenapa-napa. Bisa-bisanya kaget melihat bayinya sampai pingsan. Mungkin saja Kak Nur kaget karena bayinya masih berlumuran darah.Bayi mungil yang baru saja lahir itu ditaruh di dada ibunya untuk mendapatkan IMD (Inisiasi Munyusu Dini). Mbak Fika terlihat sangat bahagia melihat wajah cantik dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan itu.Setelah Mbak Fika dan bayinya selesai dibersihkan, aku menggendong bayi mungil yang kini sudah dibedong. "Kak Nur masih belum sadar, Mbak."Mbak Fika menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, dia pun mencebik. "Yang melahirkan siapa, yang pingsan siapa! Baru lihat darah gitu aja udah pingsan!" cemooh Mbak Fika. Aku tertawa mendengarnya."Alhamdulillah bayinya lahir dengan sehat dan normal. Gimana keadaan, Mbak Fika?""Aku merasa l