"Jadi Bu Ratih kapan terakhir bertemu mereka? Kalau acara ulang tahun itu kan udah lama ya, udah dua tahun lebih. Masa iya nggak pernah ke sana lagi? Paling nggak tiga bulan sekali gitu, biar saling melepas rindu. Masa nggak kangen sama mereka. Aku yang orang lain aja kadang kangen lho, sama Vina dan adik-adiknya. Terlebih sama Lani yang pintar sekali berbicara." "Iya, Bu Ratih. Apa lagi Fajar, dia yang paling kecil di antara semuanya. Aku jadi ingat saat dia pergi waktu itu. Nangis kejer dan ditenangkan Bu Halimah waktu itu," sahut Bu Nunik. "Vina kan anak pintar, Bu, dia pasti bisa jaga adiknya. Aku yakin dia sudah bahagia tinggal bersama ayahnya. Ya, meskipun harus tinggal dengan ibu tiri, sih." Para tetangga membahas tentang anak-anakku yang memang sudah sangat lama tidak kulihat wajahnya. "Bisa gitu ya, punya ibu kandung, tapi malah tinggal dengan ibu tiri. Kalau aku sih lebih memilih hidup bersama anak-anak kandungku saja, Bu. Nggak peduli meski nggak punya suami." Bu Halim
Geram rasanya mendengar Bu Halimah mengatai Alena perutnya buncit seperti orang hamil. Namun kalau diperhatikan, anak tiriku itu memang penampilannya sedikit berubah. Lebih suka memakai baju longgar dan sering minta makanan yang aneh-aneh. Seperti pagi tadi, dia minta dibuatkan pindang srani dengan potongan mangga muda. Meski memang tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah, tetapi akhir-akhir ini dia juga menjadi gampang mengantuk. Kalau dulu biasanya dia akan tidur malam di atas jam sebelas, sekarang ini, sehabis Isya atau setelah makan malam, dia sudah tertidur di depan televisi. Biasanya aku yang membangunkan, atau papanya yang memindahkan ke kamar. Apakah mungkin, jika Alena hamil? Tapi ... tidak mungkin Alena seperti itu. Mungkin saja itu efek berat badannya yang bertambah. "Saya, kan hanya bilang 'seperti', Bu, bukan menuduh. Maaf jika ucapan saya menyinggung, Bu Ratih." Bu Halimah meminta maaf, aku sudah terlanjur kesal padanya. Dulu Bu Halimah sangat baik saat masih ada V
"Oh, ini to ibunya!" Seorang perempuan berdaster batik menunjuk wajahku, diikuti beberapa orang lainnya yang mendekat. Mereka memandangiku seraya berbisik satu sama lain. Jalanan sempit ini penuh dengan orang-orang yang berdiri di tengah-tengah jalan, dengan motor yang terparkir sisi kiri dan kanan. Rumah berdinding kayu dengan atap rumbia dan berpagar bambu itu tengah dikerubungi orang. "Kira-kira ini ibunya si cewek apa ibunya si cowok, ya?" Ya Allah, entah siapa yang mereka sebut barusan. Hatiku semakin tidak tenang. Apa mungkin ... Alena bersama dengan seorang laki-laki dan digerebek oleh warga. Bagaimana kalau anggapanku ini benar. "Tenang, tenang, semuanya tenang, ya. Biar saya yang mengatasi masalah ini, jangan sampai kalian main hakim sendiri." Seorang laki-laki berpakaian kemeja batik dan menggunakan peci, tengah mendekat dan menghalau warga yang berada di dekatku. "Gimana bisa tenang, Pak RT, mereka sudah membuat kotor kampung kita, lho!" Pria di sampingku terlihat gera
Menikah muda? Apa itu satu-satunya solusi untuk masalah ini? Ah, kepalaku pening memikirkannya. Padahal sebentar lagi ujian kelulusan dan Mas Erik sudah merencanakan akan mendaftarkan kuliah untuk Alena."Tidak ada cara lain, Bu. Apa Ibu mau, mereka diarak keliling kampung dengan telanjang?" Ibu itu memegang lenganku. "Itu lebih baik dari pada menikah muda dan kehilangan masa depan!" "Mama!" Alena membentakku, aku menatapnya. "Apa? Memangnya kamu mau, menikah muda dan putus sekolah?" "Iya! Aku mau! Aku sudah capek mikir pelajaran!" jawab Alena. Aku tidak habis pikir dengan pemikiran anak tiriku ini. Dia lebih memilih menikah muda dari pada sekolah, entah apa yang ada di pikirannya. Apa dia pikir menikah muda itu adalah hal yang indah dan mudah. Jangan-jangan dia memang sudah terbiasa melakukan perbuatan terlarang seperti ini. "Saya setuju aja, kalau mereka dinikahkan. Saya lebih tidak rela kalau anak saya diarak keliling kampung dan menjadi bahan omongan seumur hidupnya." Ibu
"Apa tidak ada cara lain selain menikahkan mereka?" Sudah kuduga Mas Erik tidak akan setuju jika Alena dinikahkan. Aku tahu suamiku itu ingin anaknya menjadi sarjana dan itu akan menjadi kebanggaannya. Namun, dia tidak tahu kalau Alena sendiri yang mengatakan, lebih baik menikah muda dari pada memikirkan pelajaran sekolah. "Untuk masalah menikahkan, itu urusan kalian sendiri. Yang jelas, di sini ada adat yang harus dilakukan. Mereka harus dihukum agar tidak ada lagi yang meniru perbuatan buruk seperti itu lagi. Dan denda juga harus tetap dibayarkan. Ini tidak sepadan dengan apa yang akan orang-orang katakan tentang kampung kami. Jadi, kami akan tetap memberlakukan aturan kami." Pak RT tetap pada pendiriannya, menggunakan hukuman adat. "Tapi mereka bukan warga sini dan tidak tahu menahu tentang hukuman itu. Apa bisa diberi keringanan?" Mas Erik menawar, sepertinya dia ingin menggunakan uang untuk masalah ini. "Maksud Bapak?" "Begini, Pak, anak saya tidak tahu tentang adat yang ad
Bagaimana bisa Mas Erik menyalahkanku atas suatu kesalahan yang tidak aku lakukan. Apa aku harus memantau Alena selama 24 jam penuh dan mengikutinya ke mana pun dia pergi? Padahal selama ini aku juga sudah sepenuh hati dalam merawat anak tiriku itu supaya dia merasa nyaman dan terbiasa bersamaku. Bahkan, aku rela meninggalkan anak-anakku pada ayahnya dan hidup jauh dari mereka, demi bisa menjadi ibu seutuhnya untuk Alena. Namun, ternyata begini balasannya. "Kok kamu nyalahin aku, Mas? Alena yang berbuat, kenapa--" "Lebih baik kita pulang, Pa!" Alena menarik tangan papanya, tidak membiarkan aku menyelesaikan ucapanku. Kami pun pulang dengan membawa motor masing-masing. Kulihat Farit dan ibunya juga pergi dengan membawa motor. Sesampainya di rumah, Mas Erik bergegas membersihkan diri dan berganti baju. Alena pun sama, langsung mandi setelah papanya keluar dari kamar mandi. Setelah keduanya selesai, aku menyiapkan makanan yang tadi siang memasak. Perut rasanya sudah sangat lapar
Kulayangkan tangan ini pada pipi Mas Erik. Rasanya terlalu sakit dianggap hanya meminta-minta olehnya. Kuabdikan diriku padanya, tetapi ini balasannya. Bahkan aku relakan anak-anakku hidup bersama ayahnya yang jelas-jelas hidup dalam kekurangan, agar aku bisa menjadi istri sepenuhnya untuknya. Namun, Rupanya aku hanya dianggap seperti pengemis. Kulakukan semua untuk melayani dirinya dan putrinya, meski aku terkesan seperti pembantu dan baby sitter untuk putrinya yang kelewat manja, tetapi aku tetap saja dianggap tidak berharga. Dan yang lebih membuatku tidak terima, dia membandingkan Alena dengan Vina dan adik-adiknya yang tidak seberuntung Alena. "Lancang, kamu!" Mas Erik tidak terima kutampar dan membalas dengan satu pukulan yang tepat menghantam wajahku. Aku tersungkur dengan rasa sakit yang teramat sangat. Tangan kekar itu, telah memberikan rasa sakit dan perihpada wajahku. Aku meringkuk beberapa saat menahan rasa sakit ini. Rasa perihnya menjalar sampai mata dan kepala. B
Semburat senyum terukir dari balik wajah mantan istri suamiku itu. Aku tahu dia sedang mengejekku yang saat ini menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh mantan suaminya. "Tadinya aku mau marah sama kamu karena kamu nggak ngurusin anakku, ternyata malah seperti ini keadaanmu." Yunita mencebik sinis. "Kasihan sekali ya, kamu. Alena, ayo pergi makan di luar saja, ajak suamimu sekalian." Yunita mengajak anaknya untuk pergi bersamanyaAlena pun bergegas masuk ke kamar bersama suaminya, lalu keluar lagi dengan baju yang lebih rapi. "Kami pergi dulu, lebih baik kamu istirahat, Ratih. Nanti kalau sudah sembuh, bisa buat mainan suamimu lagi." Ia menertawakanku sebelum pergi. Aku tidak menghiraukan dan menuju kamar karena memang ingin istirahat. Ternyata setelah semalaman, luka ini semakin sakit dan rasanya membuat tubuhku ikut demam. Beruntung ada tetangga yang mau mengantarku berobat. "Buatkan aku sarapan, jangan tidur aja!" Mas Erik mengikutiku ke kamar, dan membuka selimut yan
Mata terasa berat, tetapi kupaksakan untuk membukanya. Aku teringat harus bangun pagi agar tidak mengantre di depan kamar mandi. Masih pukul 05.00 WIB. Gegas aku bangun dan mengecek Farla yang ternyata masih pulas. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, meninggalkan Farla sendirian di dalam kamar. Biasanya dia akan pulas tidur saat jam pagi seperti ini. Semoga saja dia masih anteng sampai aku kembali. Benar kata Yuni, penghuni kost ini belum ada yang bangun di jam segini. Jadi aku bisa leluasa menggunakan kamar mandi tanpa harus tergesa-gesa karena ditunggui. Beruntung ada ember yang bisa kupakai untuk mengambil air karena aku butuh untuk memandikan Farla. Air dalam ember kubawa dan kutaruh di depan pintu kamar, lalu mengecek Farla ternyata masih tidur. Syukurlah. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia tidur, dan mencari air panas untuk dia mandi nantinya. Pintu kukunci dan membawa termos untuk diisi di warung makan yang sudah buka."Permisi, Mbak, bisa beli air
Setelah makan, rasanya mataku ngantuk sekali. Namun, kalau aku tidur, aku takut Farla terjatuh karena dia tidak mau tidur. Kalau sampai malam nanti aku belum bisa mendapatkan petunjuk tentang anak-anakku, aku harus bagaimana. Alena dan papanya masih belum pulang beberapa hari, tetapi kalau mereka sudah pulang lebih awal, bagaimana. Semoga saja mereka benaran tidak pulang dulu sebelum aku kembali. Aku berharap bertemu anak-anak, lalu membawa mereka bersamaku. Soal Mas Erik, aku akan memikirkannya nanti. Toh selama ini aku sudah menuruti semua kemauannya. *** Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Kubuka mata yang masih lengket, seambari meraba tempat di depanku. Aku terkejut saat menyadari Farla tidak ada di depanku. Saat aku menoleh, dia sudah berada di tanah dalam kondisi telentang dan menangis kencang. Ya Tuhan, nenek macam apa aku ini, membiarkan cucunya terjatuh dari gazebo karena ketiduran. Kuambil Farla dan mengusap-usap kepalanya. Beruntung dia jatuh di re
"Dan sekarang kamu baru mencari mereka karena merasa menyesal?" Rina menatapku, aku begitu malu dengan diri sendiri."Aku sangat bodoh, Rin." "Syukurlah kamu menyadari kebodohan itu. Seharusnya kamu nggak memilih suami egois seperti dia, Tih. Laki-laki yang benar-benar mencintaimu, pasti akan mau menerima anak-anakmu. Jika aku jadi kamu, aku lebih memilih hidup bersama anakku dari pada dengan laki-laki egois. Apa lagi katamu dia ingin kamu menyayangi anaknya saja. Dan sekarang, kamu disalahkan dengan kesalahan yang diperbuat anaknya sendiri." Ya, aku memang terlalu bodoh. Dan kini baru menyadarinya di saat begitu sulit mencari keberadaan anak-anakku. "Lalu gimana rencanamu selanjutnya?" "Entahlah, aku bingung, Rin. Aku harus mencari mereka ke mana? Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku bingung." Aku menangis karena merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan kami di rumah Bu Lisna saat mengadakan ulang tahun putrinya. Bukankah wa
Penjelasan Rina membuatku semakin dilanda kebingungan. Jika Vina dan adik-adiknya tidak pernah ke sini, lantas ke mana mereka. Hampir empat tahun sudah sejak aku meminta mereka pergi. Bagaimana mungkin mereka tidak ke sini, mereka hanya tahu rumah ayahnya. Selain Mas Ramlan, di sini tidak memiliki saudara lagi. Hanya ada saudara sepupu jauh Mas Ramlan, tetapi tidak terlalu akrab. Karena dulu saat aku masih tinggal di sini, keluarga kami dikucilkan. Maklum, orang miskin memang selalu dipandang hina. "Kamu yakin, Rin, tidak pernah melihat Vina? Atau mungkin kamu yang kurang memperhatikan? Vina dan adik-adiknya pergi ke sini sudah hampir empat tahun. Saat itu dia baru saja lulus dan tengah libur akhir sekolah." Aku bertanya lagi, untuk memastikan. "Kamu ngantar mereka kemari?" Rina malah balik bertanya dan aku menggeleng lemah. "Bentar deh, Tih. Kamu bilang, mereka ke sini saat libur akhir sekolah. Dan kamu nggak ngantar mereka? Jadi, mereka ke sini hanya berempat?" "Iya," jawabku.
Perjalanan ini terasa sangat melelahkan ketika harus membawa bayi dalam gendongan. Farla mulai merengek, aku berhenti sebentar di bawah pohon mangga. Kuambil termos dan botol susu, membersihkannya sebentar dengan air panas lalu membuatkan susu untuk cucuku. "Jangan rewel ya, La, sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa main sama tante dan ommu." Aku tersenyum agar Farla merasa lebih tenang. Jujur aku merasa malu jika nanti anak-anakku melihatku membawa anaknya Alena, putri tiri yang dibanggakan, tetapi sudah tidak memiliki masa depan. Semoga Mas Ramlan mampu menyekolahkan Vina dan adik-adiknya. "Ojek, Pak, ojek!" Kuhentikan motor yang lewat. Seorang pengendara laki-laki memakai caping yang membawa karung berisi rumput di jok bagian belakang. "Saya bukan ojek, Bu, saya hanya pencari rumput." Orang itu berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motornya. "Tapi saya butuh ojek, Pak, apa Bapak bisa mengantar saya?" "Waduh, saya bawa karung begini, mana bisa, Bu," jawabnya seraya me
Farla merengek dan kuambilkan botol susu yang sengaja kubuat sebelum naik bis tadi. Sengaja aku membuatkannya dua botol. Satu sudah diminum, satunya lagi kuberi air panas agar masih hangat saat akan menggunakannya lagi.Perjalanan cukup melelahkan, apa lagi harus memangku bayi. Perut juga terasa keroncongan karena sudah lebih dari dua jam bus melaju. Ya Tuhan, mungkinkah dulu anak-anakku juga merasakan seperti ini, sesak karena harus duduk berempat di kursi yang hanya dua. Bahkan kala itu aku tidak membawakan bekal atau sekedar air minum untuk mereka. Padahal perjalanan jauh seperti ini sungguh melelahkan dan membuat seringnya ingin minum atau makan sesuatu. Mungkinkah dulu mereka kelaparan saat dalam bus, atau bahkan Fajar menangis. Tak sanggup membayangkannya. "Ayo kita turun dulu, Bu, barang kali mau buang air kecil," ajak perempuan yang duduk di sampingku. "Iya, ayo." Aku pun mengikuti ajakannya untuk turun saat bis berhenti di SPBU. Karena merasa ingin buang air kecil, aku me
Pagi ini Alena pulang setelah semalam entah berada di mana. Kemarin dia bertengkar hebat dengan suaminya, hingga mereka berdua pergi dan tidak pulang semalaman. Pintu kamar tidak ditutup dan dia merebahkan tubuhnya di kasur yang sprei, selimut, dan bantalnya berantakan. Sudah sebesar itu, tapi tak pernah mau beberes kamarnya sendiri. "Tolong kamu jagain Farla dulu, Len, aku mau ke kamar mandi, mulas sekali." Kuberikan Farla pada Alena karena mendadak perutku mulas. Mungkin karena semalam makan pakai sambal. "Apaan sih, Ma, aku ngantuk mau tidur!" "Cuman bentar, kok!" Aku berjalan cepat menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Tak kuhiraukan teriakan Alena yang memanggilku. Namun, tiba-tiba Farla menangis dengan kencang dan itu membuatku buru-buru keluar dari kamar mandi. "Farla!" teriakku saat melihat Farla tengkurap di lantai sambil menangis, sementara Alena berada di kasur dan tidak memedulikan darah dagingnya sendiri. Kuambil Farla, ternyata dahinya membiru dan benjol. Ku
"Kenapa baru pulang, sih, Rit? Kamu tahu nggak, aku berjuang setengah mati menahan sakit karena melahirkan anakmu! Eh, kamu malah enak-enakan di rumah ibumu!" Alena memarahi suaminya yang baru datang setelah tiga hari melahirkan. Farit duduk lalu mengambil air minum dan meneguknya. Alena ikut duduk di samping suaminya dengan kepayahan, sesekali memegangi perutnya. Ia memang tidak mau menggunakan korset pada perutnya, padahal baru pertama kali melahirkan. "Aku kerja, Alena, bukan senang-senang. Lagian kamu udah lahiran ya udah, apalagi?" Farit menjawab dengan entengnya. Laki-laki berkulit putih itu bahkan tidak memedulikan bayinya yang kini dalam gendonganku. Tidak ingin melihat atau pun menanyakan jenis kelaminnya.Aku heran saja dengan keluarga Farit. Sejak ia menjadi suami Alena, tidak pernah sekalipun ibu atau saudaranya yang datang ke sini. Bahkan hingga saat ini, tidak ada yang menjenguk Alena atau menanyakan bayi yang baru berumur tiga hari ini."Anak kita cewek, kamu nggak
Rupanya gadis kecil yang dulunya sangat manja dan selalu aku suapi dengan telaten, bisa menjadi seganas itu. Kelakuan Alena tak ubahnya wanita liar yang haus akan belaian. Sungguh, aku yang perempuan saja merasa malu melihatnya. Dengan perut yang sedikit membuncit itu, dia ... ah! Lebih baik aku gedor pintunya agar mereka beralih tempat. Ada kamar, bisa-bisanya melakukannya di ruang tamu. Apa mereka tidak malu jika ada orang lain yang melihat. Pintu kugedor keras beberapa kali, nama Alena pun kupanggil. Tidak ada sahutan dan pintu masih kugedor. "Alena! Buka pintunya! Cepat buka!" Beberapa kali kupanggil, akhirnya pintu dibuka dan Alena muncul dengan handuk yang melilit di tubuhnya. "Kok Mama udah balik, sih!" gerutunya kesal. "Memangnya kamu ingin aku pergi berapa lama? Sampai suaramu itu didengar tetangga dan diintip orang, begitu?" Mata Alena membulat, sepertinya dia kaget. "Apa nggak ada tempat lain? Kamar kamu masih luas, kan? Atau kalau nggak, sekalian aja di halaman bia