"Ini semuanya ada empat bungkus nasi rames, ditambah dengan lauk ayam goreng dan telur balado. Jadi semua totalnya berapa, Vin?" Bu Romlah duduk di depanku setelah memasukkan bungkusan makanan ke dalam plastik dan menghitungnya. "Tidak usah, Bu, hari pertama ini saya kasih gratis buat yang mau ke sini. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas bantuan warga di sini yang sudah meluangkan waktu membantu pengerjaan warung." Aku tersenyum dan merasa senang karena akhirnya bisa memiliki warung makan meski sederhana. "Lho, kok gitu? Apa nggak malah bikin kamu rugi nantinya? Ini banyak lho, Vin. Jangan deh, jangan dikasih gratis." Bu Romlah tetap memaksa memberikan selembar uang berwarna merah padaku. "Tidak usah, Bu, saya benaran menggratiskannya hari ini agar lebih berkah ke depannya." Aku berusaha menolak pemberian Bu Romlah. Namun, ibu ketua RT itu tetap memaksa. "Sama yang lain kamu boleh gratisin, tapi sama aku, jangan. Udah, ambil saja uang ini sebagai penglaris. Aku pulang du
Bu Hajah Rahmi tersenyum hangat saat aku menyapanya. Beliau juga menatap sekeliling warung ini, seraya mengangguk-angguk. Aku mempersilahkan beliau untuk duduk dan Andi membawakan minuman untuk tamu kami ini. "Silakan, Bu." Setelah beliau meminum air yang disuguhkan, aku pun menanyakan maksud kedatangannya, barang kali ada hal yang penting. Namun, Bu Hajah Rahmi hanya tersenyum dan berkata ingin bertemu dengan Lani. "Aku kangen sekali dengan Lani, sudah lama tidak melihatnya. Dia sehat, kan?" "Alhamdulillah Lani sehat, tadi sedang bermain dengan teman-temannya," jawabku. "Kamu hebat, Vina. Bisa memiliki usaha warung makan yang lumayan ramai seperti ini. Ternyata kamu memang kakak yang sangat bertanggung jawab meski usiamu masih sangat muda." Bu Hajah melihat-lihat sekitar. "Semua berkat kerja sama dengan adik-adik, serta Mbak Fika dan Kak Nur. Aku tidak mungkin bisa tanpa mereka." "Ya. Aku minta maaf dulu pernah meragukanmu. Oh ya, aku mau memberikan oleh-oleh untuk kalian
48 Aku merasakan sakit pada pinggang dan kepala juga terasa pusing. Samar-samar kudengar suara orang berbicara, dan juga ada aroma obat-obatan. Perlahan-lahan, kubuka mata yang rasanya begitu lengket. Ruangan bernuansa putih dengan gorden hijau di jendela dan tabung oksigen yang berada tak jauh dariku. Kulihat selang infus juga terpasang di tangan ini. Sepertinya aku di rumah sakit. Kuingat-ingat lagi apa yang terjadi, tetapi aku tidak mengingatnya. "Syukurlah kamu sudah sadar, aku khawatir sekali, Vin." Mbak Fika dan dari arah pintu, lalu memelukku. Wanita ini menangisiku, sesekali mengusap air matanya. "Mbak, aku kenapa? Ini di mana?" "Kamu pingsan dan aku membawamu ke rumah sakit. Aku takut sekali melihatmu pingsan seperti tadi." Mbak Fika masih saja menangis. "Sudah jangan menangis, kok cengeng banget! Orang yang sakit aja nggak nangis kok, malah kamu yang nangis." Kak Nur memegang bahu Mbak Fika. "Aku sedih, Din, kamu ngerti nggak sih! Orang lagi sedih kok di kata-kat
Pagi ini Andi datang dan membawakan baju ganti untukku. Dia juga membawa bubur sumsum yang dibelinya dari pasar, tepatnya dari penjual yang bersebelahan dengan lapak kami. Selain itu, dia juga membawa rantang berisi makanan yang dibawa dari rumah. Kata Andi, dia diminta Mbak Fika untuk menemaniku di rumah sakit, sedangkan Fajar ikut bersama Mbak Fika dan Kak Nur untuk mengantar Lani ke pertunjukan pentas seni. Sebenarnya aku ingin menemani Lani, tetapi kata dokter, kondisiku belum sehat karena mengalami anemia. Meski aku meminta pulang, dokter tidak mengizinkan. "Kamu sudah sarapan, Ndi?" tanyaku saat Andi membuka cup bubur. "Sudah, Kak, tadi aku beli buburnya banyak. Fajar juga sudah aku suapin bubur yang sama tadi, terus dibawakan baju ganti sama Mbak Fika. Katanya untuk jaga-jaga karena Fajar kadang ketumpahan air saat minum susu," papar Andi yang tampak bersemangat. "Makasih ya," ucapku saat ia membukakan tutup cup bubur sumsun itu. Aku duduk bersandar pada ranjang dengan
Alhamdulillah hari ini aku sudah bisa pulang ke rumah setelah lima hari dirawat di rumah sakit. Kak Nur dan Mbak Fika membawa mobil untuk mengantarku pulang, katanya agar tidak kepanasan. Padahal jarak dari rumah sakit tidak terlalu jauh, menggunakan motor pun aku masih bisa. Akan tetapi, Kak Nur tetap meminjam mobil dan ia menyetir sendiri. Katanya, itu mobil milik bos pemilik salon tempat ia bekerja. Aku begitu terharu dengan perubahan laki-laki yang selalu membantuku itu. Sungguh tidak ada yang menyangka jika laki-laki dengan rambut cepak ini adalah mantan waria. Masih teringat bagaimana saat pertama kali aku bertemu dengan Kak Nur, yang kala itu menggunakan pakaian perempuan dengan riasan tebal. Pertemuan pertama yang tidak akan pernah aku lupakan. Tingkahnya yang kocak dan tidak serius, malah menyelamatkan aku dan ketiga adikku dari preman yang hendak berbuat buruk padaku. Ya, bunyi sirene polisi yang ia bunyikan dari ponsel, membuat para preman itu kabur dan Kak Nur datang
Pov Ratih "Sayang, makanannya sudah Mama siapin, sana makan dulu." "Iya, Ma, aku ke kamar mandi bentar," jawab Alena, putri kesayangan yang sangat kami manjakan. Ia meletakkan ponsel di meja lalu menuju ke kamar mandi. Ponsel di meja itu tiba-tiba berkedip dan bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Merasa penasaran, aku pun mengintip di layar depan. Semakin penasaran setelah melihat kata-kata yang masuk sangat mengganggu penglihatanku. [Aku rindu pada gundukan kenyalmu yang memiliki rasa hangat itu.]Pesan dari seseorang yang diberi nama Z. Bukan hanya satu, ada lagi pesan yang masuk. Pesan yang membuatku tambah tercengang. [Aku juga rindu suara desahanmu, Sayang.] Aku menutup mulut tak percaya. Kenapa ada pesan seperti ini di ponsel Alena? Apa dia sudah berbuat yang di luar batas? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah melampaui batasnya dan akan membuat malu? Tidak-tidak. Ini pasti ada yang salah. Aku tidak boleh berprasangka buruk dulu padanya. Barang kali saja ini sala
"Jadi Bu Ratih kapan terakhir bertemu mereka? Kalau acara ulang tahun itu kan udah lama ya, udah dua tahun lebih. Masa iya nggak pernah ke sana lagi? Paling nggak tiga bulan sekali gitu, biar saling melepas rindu. Masa nggak kangen sama mereka. Aku yang orang lain aja kadang kangen lho, sama Vina dan adik-adiknya. Terlebih sama Lani yang pintar sekali berbicara." "Iya, Bu Ratih. Apa lagi Fajar, dia yang paling kecil di antara semuanya. Aku jadi ingat saat dia pergi waktu itu. Nangis kejer dan ditenangkan Bu Halimah waktu itu," sahut Bu Nunik. "Vina kan anak pintar, Bu, dia pasti bisa jaga adiknya. Aku yakin dia sudah bahagia tinggal bersama ayahnya. Ya, meskipun harus tinggal dengan ibu tiri, sih." Para tetangga membahas tentang anak-anakku yang memang sudah sangat lama tidak kulihat wajahnya. "Bisa gitu ya, punya ibu kandung, tapi malah tinggal dengan ibu tiri. Kalau aku sih lebih memilih hidup bersama anak-anak kandungku saja, Bu. Nggak peduli meski nggak punya suami." Bu Halim
Geram rasanya mendengar Bu Halimah mengatai Alena perutnya buncit seperti orang hamil. Namun kalau diperhatikan, anak tiriku itu memang penampilannya sedikit berubah. Lebih suka memakai baju longgar dan sering minta makanan yang aneh-aneh. Seperti pagi tadi, dia minta dibuatkan pindang srani dengan potongan mangga muda. Meski memang tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah, tetapi akhir-akhir ini dia juga menjadi gampang mengantuk. Kalau dulu biasanya dia akan tidur malam di atas jam sebelas, sekarang ini, sehabis Isya atau setelah makan malam, dia sudah tertidur di depan televisi. Biasanya aku yang membangunkan, atau papanya yang memindahkan ke kamar. Apakah mungkin, jika Alena hamil? Tapi ... tidak mungkin Alena seperti itu. Mungkin saja itu efek berat badannya yang bertambah. "Saya, kan hanya bilang 'seperti', Bu, bukan menuduh. Maaf jika ucapan saya menyinggung, Bu Ratih." Bu Halimah meminta maaf, aku sudah terlanjur kesal padanya. Dulu Bu Halimah sangat baik saat masih ada V
Aku berdiri menghampiri Lani. Kak Arya memandangku sekilas, lalu duduk di tempat yang tadi kutempati. "Ayo kita pulang, Kak. Sebentar lagi buka puasa. Tadi Fajar bilang, Ibu punya tamu," ucap Lani."Tamu? Siapa?""Aku juga nggak tahu, Fajar hanya kirim pesan dan bilang di rumah ada tamunya Ibu.""Apa nggak buka di sini saja, Lan?" Kak Arya berkata dengan lembut, aku pun menoleh, begitu juga Lani."Lain kali aja deh, Kak Arya, nanti kita cari waktu lagi buat buka puasa bareng. Nggak apa-apa, kan?""Ya sudah, santai aja. Masih ada banyak waktu, kan?" Kak Arya tetap tersenyum ramah meski mungkin tadi mendengar percakapanku dengan Mbak Fika."Aku pamit ya, Mbak, Kak Arya." Aku tetap menghormatinya, Kak Arya pun mengangguk.Aku dan Lani segera menaiki motor dan bergegas pulang."Kok kamu ngajak pulang, Lan? Kupikir tadi kamu mau buka puasa di sana," ujarku saat Lani sudah mengendarai motor. "Tadinya sih, gitu! Tapi setelah dengar ucapan Kak Vina sama Mbak Fika ... aku jadi nggak enak sama
Kucari sumber suara itu berasal. Dari samping, laki-laki itu berjalan ke arahku dengan pelan. Sudah lama aku tidak melihatnya, sepertinya dia baru pulang dari rantau."Kak Arya. Kapan pulang?" tanyaku basa basi."Baru tadi pagi, Vin. Ini anaknya Mbak Fika, kan? Yang waktu bayi aku ikut nengok ke rumah sakit?" Kak Arya memandangi Nuri yang ada dalam gendonganku."Iya, ini Nuri, anaknya Mbak Fika dan Kak Nur.""Cantik ya, Vin. Kalau kita punya anak, pasti juga secantik Nuri." Kak Arya senyum-senyum sendiri."Kita?" "Eh, maksudku ... kalau kita punya anak. Iya. Eh, maksudnya ... aku punya anak, kamu juga punya anak. Gitu deh maksudnya. Bingung gimana jelasinnya." Kak Arya malah garuk-garuk kepala. Aku merasa aneh dengan sikap Kak Arya itu."Tadi katanya mau naik bianglala, kan? Ayo aku temani. Kebetulan itu yang punya adalah temenku. Nanti kita minta diskon," ujar Kak Arya pelan sambil tersenyum."Tapi aku nggak biasa naik bianglala, takut tinggi," sahutku. "Nanti aja deh, nungguin Lani
Tidak terasa Ramadan sudah berjalan selama dua minggu. Selama itu pula, aku bersama adik-adikku menginap di rumah Ayah. Saat siang, kami pulang dan melakukan aktifitas di rumah lalu malamnya kembali ke rumah itu. Aku sudah meminta Andi agar tidur di rumah, tetapi dia tidak mau dan ingin tidur dalam satu atap bersama Ayah dan Ibu. Saat aku ingin tidur di rumah, Fajar melarangku, begitupun Lani. Padahal aku merasa sayang kalau rumah kami tidak ada yang menempati saat malam hari.Lalu Fajar dan Lani, keduanya juga tidak mau tidur di rumah karena ingin menjaga Ayah dan Ibu, katanya. Sungguh, saat ini kami bagaikan satu keluarga utuh yang bahagia. Apalagi ada Pak Mardi yang menambah hangatnya keluarga kami.Akhirnya dari pada tidak ada yang menempati, Mbak Indarlah yang kuminta tidur di rumah itu, dan dia memilih tidur di ruang tengah, katanya agar bisa sambil nonton televisi.Sejak Andi memutuskan untuk tidur di sini, aku membelikan kasur berukuran besar untuknya agar ditempati bersama F
Kami bertiga mendekat dan tersenyum pada Ibu, saat Ibu mulai membuka matanya. Dengan tangannya, dia menyentuh wajah kami satu per satu. Diusapnya dengan lembut, seolah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga."Ini seperti mimpi. Kalian benar-benar ada dan bisa kusentuh. Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih telah mendekatkan mereka padaku." Ibu menengadahkan kedua tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah.Kami bertiga memeluknya, Ibu mengusap kepala kami. "Ibu sangat senang, akhirnya bisa melihat senyum kalian yang dulu. Maafkan Ibu, dulu membuat kalian susah dan sakit hati. Ibu baru menyadari semuanya setelah kalian tidak ada. Tidak ada yang menyayangi Ibu seperti kalian. Entah harus berapa kali harus meminta maaf. Kukira tak akan cukup meski aku mengatakannya setiap saat."Kupandangi Andi dan Lani, juga Fajar yang masih tidur di kasur lipat. Kemudian, aku memandang Ibu. "Kita akan mulai lembaran yang baru, kita lupakan masa lalu. Hari ini, hari pertama di bulan ramadhan, kita bersat
Dinginnya malam membuatku merapatkan tubuh pada selimut tebalku. Tubuhku terasa lelah dengan aktifitas yang kulakukan seharian ini. Mataku mulai sembab, tapi tak lagi kupedulikan. Yang ingin kulakukan hanyalah tidur, untuk menghilangkan penat di tubuh dan pikiran."Kak, ayo bangun! Sudah waktunya sahur." Terdengar suara Lani membangunkanku, tapi rasanya aku masih enggan membuka mata. Mata ini terasa lengket, pedas, dan terkatup rapat. Otakku masih merespons, tapi mataku belum bisa diajak bekerja sama."Vina, bangun, Nak, ayo sahur. Kalau nggak cepat bangun, nanti keburu imsak." Dengan sekali perintah, aku langsung membuka mata.Wanita cantik dengan daster kusam itu adalah ibuku. Dia tersenyum mengusap rambutku, kemudian menuntunku dari tempat tidur.Kutatap sekeliling, aku berada di rumah masa kecilku. Rumah berdinding kayu yang menjadi tempat aku tumbuh dan bermain. Suasananya sangat hangat, "Ayo, sini, Ibu sudah membuat telur dadar dan
Lani memanggil Ayah, kemudian menarik tangan Andi agar segera masuk ke rumah. Andi patuh, lalu duduk di kursi setelah Lani menyuruhnya. Aku pun ikut duduk di samping Andi sambil tersenyum.Ayah datang bersamaan dengan Fajar yang membawa toples berisi camilan. "Kalian kemari, ada apa, Nak?" tanyanya setelah duduk."Andi ngajak aku ke sini untuk tidur di sini, soalnya dia nggak mau sahur tanpa adik-adiknya," tuturku.Ayah menatap Andi dengan senyuman khasnya, sementara Andi terlihat cuek."Beneran, Kak?" Fajar bertanya dengan mulut penuh makanan."Kalau makan jangan sambil ngomong, kalau ngomong jangan sambil makan, Jar." Andi mengingatkan."He he he, iya, Kak." Fajar memasukkan camilan lagi ke dalam mulutnya, tidak lagi bertanya.Sementara itu, Ibu yang berada tak jauh dari tempatku berada, seperti ingin mendekat, tapi tidak berani. Mungkin saja khawatir akan membuat Andi marah seperti kemarin.Aku berdiri, melangkah menuju tempat Ibu berada. "Ayo, Bu, kita ke sana," ajakku. "Jangan,
Andi menatap dan menanyaiku, sepertinya dia khawatir aku mendengar semua curhatannya pada Yusuf."Barusan. Ada apa memangnya?" jawabku."Nggak apa-apa, kupikir sudah dari tadi.""Memang kenapa kalau Kakak udah pulang dari tadi?""Ya nggak apa-apa. Mana Lani dan Fajar?" Andi melihat sekeliling."Mereka nggak pulang malam ini, tidur di rumah Ayah dan Ibu." Jawabanku membuat Andi menyernyit."Maksud Kakak, mereka tinggal serumah? Di rumah yang ditinggali Ayah itu?" Aku tersenyum mendengar Andi mengucapkan kata "Ayah"."Iya. Nggak ada pilihan, Ibu butuh tempat tinggal dan teman ngobrol. Kupikir Ayah dan Pak Mardi bisa menjadi temannya karena mereka sudah sama-sama tua, nggak kayak di rumah ini yang semua isinya anak muda.""Tapi mereka sudah berpisah, Kak, nanti bisa jadi fitnah!" Andi terlihat kesal."Ya nggak apa-apa, kan ada Farla, Lani dan Fajar juga tidur di sana, kan? Tadi Mas Aan kusuruh bawain kasur lipat agar mereka bisa tidur dengan nyaman," debatku."Tapi, Kak!""Kamu kenapa si
Ibu menyeka air matanya dengan cepat, sementara Ayah melambaikan tangannya agar kami mendekat. Kami pun menghampiri Ayah dan Ibu."Kenapa hanya di sana? Tidak ada yang kami sembunyikan dari kalian, Nak. Kalian berhak tahu apa yang terjadi pada kami," tutur Ayah."Maaf, Yah, kami nggak mau mengganggu kalian," ujarku."Tidak, Nak, kalian tidak mengganggu. Kami senang karena kalian telah mempertemukan kami. Di depan kalian, Ibu ingin meminta maaf pada ayah kalian. Sebab Ibu punya banyak salah padanya. Gara-gara Ibu, hidup kita berantakan dan keluarga kita terpecah belah," papar Ibu yang menangkupkan kedua tangannya."Aku sudah melupakannya, bahkan tidak pernah menyimpan benci padamu, Tih. Justru aku yang minta maaf karena tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang berguna. Maafkanlah aku," ujar Ayah yang juga menangkupkan kedua tangannya.Kami terharu. Ayah dan Ibu sudah saling memaafkan, rasanya begitu lega melihat mereka berdua akur. Sebagai seorang anak, aku sangat bahagia. Kebahagia
Aku masih mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu. Dari pertanyaan Ibu itu, aku juga ingin mendapatkan jawabannya. Selama ini Ayah tidak pernah bercerita tentang anak kembarnya yang merupakan adikku. Juga tentang istrinya, dan tentang Ayah yang akhirnya tinggal di jalanan."Tidak ada yang bisa menggantikan kamu, Ratih. Bahkan saat aku menikah lagi, aku merasa sangat kesulitan menghadapi istri yang akhirnya memberikanku anak kembar. Aku tahu, lagi-lagi semua itu terjadi karena aku yang miskin ini, tapi kehidupanku bersamanya lebih buruk dari sebelumnya." Aku dan Lani masih mendengarkan Ayah bercerita, tepatnya menguping pembicaraan mereka."Iya, kamu benar, Mas. Pernikahan kedua memang terasa berbeda. Aku sendiri mengalaminya. Beradaptasi dengan orang baru itu sangat susah, dan kita mencoba untuk bisa mengimbanginya. Setelah hidup bersama lebih dari sepuluh tahun denganmu yang sudah sama-sama tahu sifat dan kepribadiannya, lalu harus menghadapi orang baru dengan kepribadian baru, itu sung