"Sudah yuk, kita pulang. Nanti kita mampir beli es krim." Aku membujuk Lani agar berhenti menangis. Ia memelukku dan masih sesenggukan. "Kenapa Ibu nggak mau sama Lani, Kak? Apa karena Lani anak nakal dan suka minta uang jajan?" Aku mengusap punggungunya. "Hei, siapa bilang Lani anak nakal? Lani adik perempuan Kakak yang sangat baik dan manis. Udah ah, jangan nangis lagi. Malu sama Fajar, dia aja udah diem tuh!" Fajar sudah diam karena ditenangkan oleh Kak Nur dan Mbak Fika. "Gimana kalau kita mampir ke taman dulu? Nanti di sana ada seluncuran dan ayunan. Sebelum itu, kita beli es krim dulu. Yuk!" Mbak Fika mendekati Lani, Lani pun mengangguk. Syukurlah. Kini Lani ikut naik motor Mbak Fika bersamaku, sedangkan Kak Nur bersama Fajar. Kami menuju tempat penjual es krim, dan memilih es krim vanilla dan coklat. Setelah itu pergi ke taman yang tak jauh dari sekolah Lani. "Itu sekolah Lani, Kak. Di depan itu biasanya kami bermain petak umpet." Lani menunjuk sekolahnya dan berceri
"Kak, Kak Andi tahu nggak, tadi kita bertemu dengan siapa?" Tiba-tiba Lani berkata pada Andi. Jangan sampai Lani bercerita tentang kejadian tadi. Aku hanya tidak ingin Andi semakin memendam dendam dan rasa benci. "Bertemu siapa, Lan?" Saat Lani hendak menjawab, aku menyelanya, "Itu lo, katanya temannya di sekolah." Lani menoleh padaku, seolah bertanya kenapa berbohong. Aku hanya mengedipkan mata padanya, memberitahunya untuk tidak mengatakan apa pun. Bagiku cukup untuk kami tidak mengingat atau bertemu dengan Ibu ataupun Alena. Tidak perlu untuk menyimpan semua menjadi rasa benci dan dendam. Karena semua itu hanya akan menghancurkan hati kami. "Oh, yang rambutnya unik itu ya?" "Nah, iya itu!" sahutku asal. Entah rambut unik seperti apa yang dimaksud. Lani menatapku, tetapi aku mengalihkan pembicaraan dengan memuji rasa dari kue-kue yang ada di hadapan kami. *** "Semua sudah komplit ya, Pak. Jumlahnya dua ratus bungkus. Seratus keripik singkong, seratus keripik pisa
"Kenapa, Kak?" "Nanti kita cari hari baik dulu sebelum pindahan. Biar bagaimanapun kita ini orang Jawa. Wong Jowo ojo nganti ilang jawane," tutur Kak Nur. Aku mengangguk dan nurut saja apa kata Kak Nur, karena kurang paham mengenai hal-hal semacam itu. Kami pulang dan mengajak Mbak Fika dan yang lain untuk membawa alat bersih-bersih. "Kita bersihkan dulu rumahnya, nanti setelah Kak Nur cari hari baik untuk pindah, kita baru pindah," ujarku saat Andi bertanya. "Jadi kita akan pindah dari rumah ini, Kak? Kapan?" Lani pun ikut bertanya dan aku mengangguk. "Udah, ayo cepat kita bawa sapu, sapu lidi, alat pel, dan sabun pembersih lantai. Soal kapan pindahnya, nanti kita pikirkan lagi. Yang penting bersih-bersih dulu." Mbak Fika ikut menimpali, sambil menenteng kain lap. Kami berangkat kembali ke rumah kontrakan, karena jarak dari rumah lama tidak terlalu jauh. Berbeda dusun, tetapi masih bersebelahan. Malah rumah kontrakan ini lebih dekat dengan sekolah Lani, serta dekat d
Kami masih saling pandang, lalu menghabiskan makanan kami. "Vin, hantu," ucap Mbak Fika lirih. Ia merapat dekat padaku. "Mana ada hantu, Mbak. Ayo kita bersihkan dan langsung shalat," ajakku. "Biar aku lihat dulu ada apa di belakang itu." Kak Nur berdiri dan menuju pintu belakang. Aku ikut di belakangnya, dan tidak ada siapa-siapa saat pintu dibuka. "Aneh! Padahal tadi seperti suara sesuatu yang jatuh," gumamku. "Mungkin tadi ada kucing tapi sekarang sudah pergi. Sudah jangan dipikirkan, lebih baik sekarang kalian istirahat," perintah Kak Nur. Aku dan yang lainnya shalat setelah membersihkan bekas makan, kecuali Kak Nur, yang jagain Fajar saat kami melaksanakan shalat. Beruntung di rumah ini ada sumur yang sudah ada pompa airnya. Jadi untuk air, kita tidak perlu membayar lagi. Dan untuk listrik, ternyata sudah memakai listrik prabayar. "Vin, aku tidur sama kamu ya, nggak berani tidur sendirian." Mbak Fika masuk ke kamarku, setelah aku membawa Fajar dan meletakkannya di ka
Betapa beruntungnya tinggal di tempat ini. Selain tempatnya nyaman, warganya pun sangat baik dan ramah. Dan yang paling aku suka, mereka tidak sungkan untuk datang dan mengucapkan selamat datang pada kami. Bahkan ada yang membawa sayur mayur, jagung manis, dan kue lapis sebagai salam bertetangga. Memang kebanyakan warganya berprofesi sebagai petani dan juga buruh di perkebunan karet. Ada juga salah satu tetangga pembuat kue lapis, yang ternyata sudah kukenal saat berjualan di pasar. "Semoga betah ya, tinggal di sini. Jangan sungkan jika membutuhkan bantuan. Kami akan senang hati membantu. Memang di sini itu yang paling diutamakan adalah janda atau warga yang tidak memiliki laki-laki. Karena pasti membutuhkan perlindungan dari kami," ujar Pak RT saat kami datang ke rumahnya. "Baik, Pak, terima kasih." Setelah melihat banyak peluang untuk membuat warung makan, aku berencana akan membuat warung makan sederhana yang berada di depan rumah. Kak Nur sudah mengecek beberapa barang
Hari pertama pengerjaan warung makan sederhana yang kuinginkan, berjalan dengan lancar. Bapak-bapak di sekitar ikut membantu menurunkan bahan-bahan bangunan, juga membantu pengerjaannya. Ibu-ibu juga ikut membantu memasak dan berkumpul di rumahku. Ada juga beberapa tetangga yang membawakan bahan makanan seperti beras, gula, kopi, teh, sayur serta buah-buahan. Sungguh tetangga yang sangat baik dan memiliki tenggang rasa yang tinggi. Kupikir aku akan kerepotan, mengingat aku hanya berdua dengan Mbak Fika saja dan harus memasak pagi-pagi sekali. Ternyata sepulang belanja dari pasar, mereka sudah berkumpul di rumahku dan sudah ada yang membuatkan kopi dan gorengan. "Makan siang sudah siap, ayo kita bawa ke depan. Itu es sirup, gorengan, dan buahnya juga dibawa," perintah Bu Romlah. Kami membawa semua masakan dan membawanya pada bapak-bapak yang bekerja. Tadinya Kak Nur menyuruh tiga orang untuk mengerjakannya, tetapi dibantu para tetangga yang ada di sekitar, total ada sebelas o
Perempuan itu menatap sinis pada Mbak Fika, sambil melipat kedua tangannya. Ibu-ibu yang sedang menikmati rujak pun saling bisik-bisik dan menatap Mbak Fika, sementara dia sendiri terlihat kesal dengan ucapan wanita itu. Entah siapa dia, dan ada hubungan apa dengan Mbak Fika sebelumnya. Terlihat sekali ada kebencian dari sorot matanya saat melihat Mbak Fika. "Wanita ini mau bikin warung makan, pasti ada plus-plusnya! Secara, dia pernah bekerja di warung kopi remang-remang. Hebatnya dia keluar dari sana dan bikin warung sendiri. Pasti modalnya juga dari hasil nggak bener!" "Jaga bicaramu!" Mbak Fika terlihat tidak terima. Aku pun sama, tidak terima dengan ucapannya. Karena uang yang kupakai untuk membuat warung ini murni dari hasil kerja selama ini. Dari jualan keripik, gethuk, puding, dan juga jualan di lapak Mbak Fika. "Apa maksud kamu bicara begitu? Kamu sehat?" "Hei, aku sangat sehat sampai bisa berjalan kemari dan bertemu dengan perempuan pen99oda sepertimu!" bentak perempu
"Kenapa malah pada bengong? Ini rujaknya dianggurin, lebih baik kubawa pulang saja!" Celetukan Bu Romlah memecah keheningan. "Eh, jangan dong! Ayo kita nikmati rujaknya lagi. Jangan dengerin si Mira, dia kan memang biang rusuh di kampung kita." "Iya, orang dia juga lebih parah. Biasa dibawa pulang pergi sama laki-laki kampung sebelah. Padahal dia sudah punya suami dan anak." "Iya bener! Gara-gara si Mira acara rujakan jadi terganggu." Para ibu-ibu kembali duduk dan menikmati rujak. Mereka malah menyalahkan Mbak Mira karena membuat aktifitas rujakan mereka terganggu. Dari yang kudengar, Mbak Mira ini adalah perempuan yang suka bikin ulah. Semua tetangga hampir tidak akur dengannya, gara-gara sering dicemburukan sama suaminya. Menurut ibu-ibu, Mbak Mira juga perempuan gampangan dan tidak bisa menjaga diri. Mereka sering melihat laki-laki yang berbeda membawanya pergi, lalu pulang setelah seharian. Selain itu, dia juga jarang bersosialisasi dan berkumpul bersama ibu-ibu lainny
Lani masih mengingat semuanya. Ingatan itu rupanya masih membekas dan dia memang ketakutan saat itu. Beruntung Kak Nur datang tepat waktu dan menyelamatkan kami. Masa-masa itu memang begitu menyakitkan untuk kami. Namun, akan tetap menyakitkan jika kita tidak mengambil hikmah dari semua kejadian itu."Dan dari kejadian itu, kita dipertemukan dengan Kak Nur yang sampai sekarang bersama kita. Kalau tidak ada kejadian itu, kita tidak mungkin bertemu dengan Kak Nur dan juga akhirnya bertemu Mbak Fika. Terus, sekarang ada Nuri kecil yang sangat cantik. Iya, kan?"Lani hanya mengangguk meski terlihat terpaksa dan pandangannya tertuju padaku, sementara Fajar hanya diam mendengarkan. "Aku juga senang karena bertemu dengan Kak Nur, lalu kita tinggal di rumahnya. Baik sekali Kak Nur ya, Kak, dia malah tidur di tempat lain agar kita bisa tidur nyaman di rumahnya. Beruntungnya punya Kak Nur." Ayah menjadi menangis tersedu-sedu, mungkin karena mendengar ucapan Lani yang merasa beruntung memiliki
Seminggu sudah kelahiran Nuri. Selama itu juga, aku tidur di rumah Mbak Fika. Hari ini ada acara syukuran aqiqah dan pemberian nama resmi untuk bayi cantik itu. Kami semua mempersiapkan acara hari ini dengan baik.Mbak Fika sudah bisa berjalan dengan baik dan terkadang ingin melakukan pekerjaan rumah ketika Nuri sedang tidur. Namun, aku selalu melarangnya karena dia masih harus banyak istirahat."Ini berkat untuk pekerja keripik, tolong diantar ke rumah lama, ya. Sekalian juga untuk beberapa tetangga sekitar. Sudah kuhitung semuanya, nanti kalau ada yang kurang, kamu ambil lagi." Kak Nur mengambil beberapa berkat dan Andi mengantarkannya ke rumah lama Kak Nur yang kini sudah kubeli."Oh iya, kamu antarkan berkat ini pada ayahmu ya, Vin, mumpung Andi pergi. Besok-besok aku ingin bertemu dengannya, tapi nggak bisa untuk hari ini." Kak Nur juga memberikan tiga nasi berkat padaku. "Bawa motorku saja.""Ya sudah, aku tinggal ke sana dulu, Kak." Aku pun membawa tiga berkat itu untuk nantiny
"Maafkan Ayah, Fika. Selama ini Ayah sudah menelantarkanmu, tidak peduli dengan keadaanmu. Ayah merasa sangat bersalah, Nak." Ayahnya Mbak Fika sedang berbicara dengan Mbak Fika. Aku dan Kak Nur pun ikut mendengarkan karena Mbak Fika yang menginginkannya, sementara Kak Arya dan adik-adik tengah duduk di karpet yang berada di sudut ruangan ini, sembari bermain dan memakan camilan."Aku sudah memaafkan Ayah karena aku tahu Ayah tidak seburuk itu. Aku juga tahu semua karena hasutan Ibu. Iya, kan? Tapi aku tidak mau membencinya. Biar bagaimanapun, dia adalah ibu kandungnya Nila, dan aku sangat menyayangi adikku meski kami beda ibu. Aku harap Ayah tidak bertengkar dengan Ibu Yunita saat sampai rumah nanti. Ayah adalah seorang imam dalam keluarga. Jadi, tugas Ayah adalah menasehatinya. Jangan sampai gara-gara aku, rumah tangga kalian bermasalah. Aku tidak mau Nila merasakan keluarga yang tak utuh." Mbak Fika menolehku, mungkin dia takut jika Nila akan menjadi korban keegoisan kedua orang
Keadaan terasa canggung saat ada ayah dan ibu tiri Mbak Fika, serta seorang anak kecil. Mungkin anak kecil itu adalah adik Mbak Fika yang tak lain juga adiknya Alena. Mereka duduk setelah Kak Nur dan Andi memberikan kursi pada mereka.Bu Yunita hanya melihatku sekilas, mungkin dia tidak mengenaliku. Maklum, saat dulu bertemu dengannya, kami hanya bertemu sebentar. Namun, aku tetap mengenali wajah dari ibunya Alena itu. Bu Yunita beralih memandang bayi yang saat ini kugendong."Cewek apa cowok bayinya?" tanyanya padaku."Bayinya cewek, Bu. Cantik banget." Aku menjawab dengan senyuman, memperlihatkan wajah bayi Nuri padanya."Oh." Bu Yunita hanya menjawab singkat seakan tidak peduli."Kamu sudah sehat?" Ayah Mbak Fika yang tidak kuketahui namanya itu tengah bertanya pada anaknya."Sudah, Yah. Ayah gimana kabarnya?" Mbak Fika terlihat senang dengan kedatangan orang tuanya. Maklum saja, sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Bahkan saat mengabari tentang pernikahanny
Aku mengabaikan kata-kata Mbak Indar barusan. Lebih baik aku mencari Fajar karena nanti akan kuajak menjenguk Mbak Fika dan bayinya. "Aku tinggal dulu ya, Mbak. Mau ke rumah sakit setelah ini.""Oh, iya, Vin. Aku nengok nanti kalau sudah pulang saja, ya, soalnya nanti sore mau pergi hajatan ke rumah kerabat." Mbak Indar menyahut."Iya, Mbak.""Eh, itu oleh-olehnya jangan lupa dibawa," ujar Mbak Indar mengingatkan.Kuambil papper bag yang berada di warung dan membawanya ke rumah. "Apa ya, isinya?"Kubuka isi di dalamnya, ternyata sebuah jilbab dan gamis, serta bross. Cantik sekali. Tak henti-hentinya aku mengagumi bross cantik berbentuk bunga di hadapanku. Namun, ini pasti mahal. Kenapa Kak Arya memberikan ini padaku.Kubiarkan dulu jilbab dan gamis itu karena aku harus mencari Fajar. Namun, belum sempat mencarinya, tiba-tiba Fajar berlari dari arah jalanan. Di belakangnya ada Kak Arya. "Kakak ...!"Fajar menghambur ke pelukanku dengan plastik dan papper bag di tangannya yang entah ber
"Enggak, Mbak, ini untuk seseorang. Ya sudah, aku mandi dulu ya, mau berangkat ke rumah makan. Tolong jaga warungnya ya, Mbak.""Siap! Tenang saja!" Mbak Indar menjawab dengan semangat.Rumah sudah rapi saat aku masuk ke dalam. Mungkin Andi membersihkannya sebelum berangkat sekolah. Setelah mandi dan berganti baju, aku mencuci baju kotor yang kubawa dari rumah sakit. Ada baju Mbak Fika juga. Meski Kak Nur melarang, aku tetap membawanya pulang dan mencucinya. Mereka adalah keluargaku, sudah seharusnya aku membantunya. Apa lagi, Mbak Fika tidak memiliki keluarga lain di sini, begitupun Kak Nur. Kalaupun ada, itu adalah teman-temannya yang waria. Sedangkan Mbak Fika, ayahnya tidak mau menjenguk meski saat menikah dulu."Kok Ayah di luar? Mau ke mana sudah rapi?" Aku menemui Ayah di rumahnya, tetapi Ayah menutup pintu, seperti hendak pergi. "Ayah mau cari pekerjaan, Vin. Ayah akan mencari nafkah untuk kalian." Aku mengajak Ayah masuk lagi."Ayah di rumah saja, ini aku bawakan makanan,"
Andi hanya diam seribu bahasa, lalu menolehku dengan tatapan datar. "Nggak penting untuk diingat."Aku mencekal tangannya saat dia hendak pergi. "Katakan, Ndi! Jangan menyembunyikannya dari Kakak!"Aku curiga Ibu ke sini dan bertemu dengan Andi. Kalau iya, sungguh aku juga merasa belum bisa terima dengan kehadirannya. Rasa sakit karena Ibu lebih memilih suami baru dan anak tirinya, serta meminta kami pergi, tentu saja masih segar dalam ingatan. Apa lagi sikapnya pada Alena yang bagaikan memperlakukan tuan puteri, membuatku cemburu dan sakit hati. Namun, kenapa Andi tidak mau bercerita padaku. Apakah karena dirinya tengah kecewa padaku yang menerima Ayah kembali."Kenapa? Apa Kakak juga akan membawanya ke rumah jika dia ke sini? Apa Kakak begitu butuh dia dalam hidup Kakak? Aku heran sama Kak Vina!""Jadi benar, Ibu ke sini menemuimu?" "Jangan sebut dia sebagai ibu! Sudah kukatakan kita tidak memiliki orang tua! Kita ini yatim piatu! Kita bisa hidup tanpa mereka, buat apa lagi menghar
Entah siapa laki-laki itu, aku tidak mengenalnya. Namun, sepertinya wajahnya tidak asing, seperti pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangannya. "Namaku Roni."Aku pun membalas uluran tangannya. "Vina.""Aku mencarimu karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan." Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Amplop coklat, yang entah berisi apa. "Ada titipan untuk kamu dan adik-adikmu.""Apa ini? Dan maaf, Anda dari mana tahu nama saya, Mas?" Aku tidak langsung menerima apa yang diserahkan itu."Ini adalah titipan uang dari seseorang. Katanya, untuk kebutuhan kalian berempat." Laki-laki bernama Roni itu memaksaku menerima amplop darinya. "Tunggu dulu. Ini maksudnya untuk kebutuhan apa? Dan siapa yang memberikannya? Tolong jelaskan karena saya tidak mengerti," kataku heran. Kenapa tiba-tiba ada orang yang memberikan uang padaku untuk biaya kebutuhan kami, di saat kami sudah berkecukupan. Ini sungguh aneh menurutku. Tentu a
Suster yang melihat Kak Nur pingsan pun segera memanggil perawat laki-laki untuk membantu mengangkatnya. Kak Nur dibaringkan di ranjang dekat Mbak Fika, lalu diberi minyak kayu putih. Katanya, Kak Nur hanya kaget saja, tidak kenapa-napa. Bisa-bisanya kaget melihat bayinya sampai pingsan. Mungkin saja Kak Nur kaget karena bayinya masih berlumuran darah.Bayi mungil yang baru saja lahir itu ditaruh di dada ibunya untuk mendapatkan IMD (Inisiasi Munyusu Dini). Mbak Fika terlihat sangat bahagia melihat wajah cantik dari bayi perempuan yang baru saja dilahirkan itu.Setelah Mbak Fika dan bayinya selesai dibersihkan, aku menggendong bayi mungil yang kini sudah dibedong. "Kak Nur masih belum sadar, Mbak."Mbak Fika menoleh ke arah ranjang di sebelahnya, dia pun mencebik. "Yang melahirkan siapa, yang pingsan siapa! Baru lihat darah gitu aja udah pingsan!" cemooh Mbak Fika. Aku tertawa mendengarnya."Alhamdulillah bayinya lahir dengan sehat dan normal. Gimana keadaan, Mbak Fika?""Aku merasa l