Sore ini aku membuka lapak Mbak Fika. Andi tidak ikut dan memilih ke tempat Haji Rosyid saat sore hari, karena paginya ia sekolah. Sedangkan Lani, ia aku daftarkan sekolah TPQ karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengajarinya. "Kamu kok baru buka lapak lagi, Vin. Kamu sakit?" Saat membuka lapak, Kak Arya menghampiriku. "Enggak, memang baru ada waktu aja," jawabku singkat. Aku tidak mau terlalu dekat dengan Kak Arya, khawatir ada yang akan menghadangku lagi seperti tempo hari. "Aku bantuin menata dagangan, ya?" Kak Arya menawarkan diri, tetapi aku menolaknya dengan halus. "Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri, kok." "Ya udah deh, aku main sama Fajar aja kalau gitu. Ayo, Jar, ikut main sama Kakak." Lelaki bertubuh jangkung itu mendekati Fajar yang sedang asik bermain dengan mobil-mobilan hadiah dari Mbak Fika. "Jangan! Fajar nggak boleh main dulu, dia baru saja keluar dari rumah sakit." "Oh, Fajar habis sakit? Nggak papa kok, aku ajak Fajar mai
"Nanti saya pikirkan lagi, Pak." Sebenarnya ini menarik. Namun, banyak yang aku pertimbangkan. Membuat keripik singkong dan gethuk saja sudah memakan waktu yang cukup banyak. Apa lagi kalau harus membuat keripik pisang. Aku khawatir Fajar semakin tidak terurus kalau semua pekerjaan aku lakukan. Saat ini saja aku kasihan padanya karena harus ikut ke pasar pagi-pagi buta dan masih dalam keadaan dingin. Beruntung ada Kak Nur yang menjaganya saat aku berjualan. "Kenapa nggak dicoba saja?" "Aku takut nggak bisa membagi waktu untuk Fajar, Kak." "Gampang itu, nanti kita cari orang untuk membantu," usul Kak Nur. "Maksudnya membayar orang?" "Yups, betul!" "Uang dari mana? Kalau nggak laku gimana?" Tentu saja aku khawatir karena belum terlalu lama menjalani usaha keripik ini. Khawatir tidak bisa membayar orangnya. "Bisa, pasti bisa! Nggak akan tahu kalau nggak dicoba. Yang penting kita harus optimis. Nanti aku bantu cari orang yang mau bekerja. Tapi sebelu
Aku tersenyum mendengar apa yang diucapkan Mbak Fika. Tentu saja aku sangat senang jika dia mau berubah menjadi lebih baik. Dan akan lebih menggembirakan jika ia bisa keluar dari pekerjaannya saat ini, yang bekerja di warung kopi remang-remang. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan memulai semuanya. "Pasti aku bantu, Mbak. Aku sangat senang kalau Mbak Fika ingin berubah," ucapku tersenyum. "Ya, dan semua itu berkat dirimu, Vin. Aku belajar banyak hal darimu. Meski umurmu lebih muda dariku, tapi kegigihan dan keimananmu tidak diragukan. Aku bangga bisa bertemu dan menjadi bagian dari hidupmu, serta menjadi kakakmu. Makasih ya, kamu mau berteman denganku yang hina ini." Mbak Fika menangis, dan itu membuatku sedih. Baru kali ini melihatnya mellow. Aku memeluknya lagi, sambil mengusap punggungnya. "Udah ah, jangan nangis. Aku mau ke lapak, Mbak Fika mau kan, anterin aku?" "Tentu, dong, ayo berangkat!" Mbak Fika mengusap air matanya, lalu tersenyum dan kembali ce
Sepeda berwarna merah dengan boncengan belakang dan angkring di bagian depan itu nampak bagus dan bersih. "Sepeda ini dari Pak Haji Rosyid, Kak." "Lho, kok bisa dikasih sepeda?" tanyaku heran. Aku khawatir saja kalau seperti Bu Hajah Rahmi kemarin yang ternyata menginginkan Lani untuk menjadi anaknya. Dan sekarang Andi yang dekat dengan Pak Haji Rosyid. "Tadinya aku dikasih upah merawat kambing dan juga sepeda ini. Katanya itu sepeda milik anaknya yang sudah tidak terpakai. Tapi aku menolak saat diberikan secara percuma. Dan uang upah itu aku pakai untuk membayar sepeda ini," jelas Andi. Adikku itu nampak sangat senang. Sesekali ia mengusap sepeda yang berada di sampingnya. Mungkin dia senang karena bisa memiliki sepeda dengan uang hasil kerjanya sendiri. Meski sepeda model seperti ini biasanya identik dengan perempuan, tetapi ia tak malu memilikinya. "Aku mau dibonceng, Kak! Boleh?" Lani mendekati Andi. "Atu naik!" Fajar pun sama, ingin menaikin
Seperti yang sudah direncanakan, aku belanja bahan-bahan untuk membuat nasi bungkus. Beras dan sayur-sayuran serta perbumbuan sudah terkumpul dan kutaruh di lapak. Mbak Fika ikut menyusul ke pasar karena dia yang lebih paham bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan. Sampai di rumah, kami membagi tugas. Dibantu Andi, aku membuat puding terlebih dahulu, setelah itu mengupas pisang dan singkong untuk dibuat keripik. Mbak Fika dan Lani mengupas bumbu dan membersihkan sayuran, untuk memudahkan nanti saat hendak memasaknya. Tadi Kak Nur buru-buru pergi karena ada banyak pelanggan di salon, katanya. Waktu dzuhur tiba dan kita istirahat, melaksanakan shalat bergantian karena tempatnya tidak cukup jika berjamaah. "Ayo kita makan dulu, nanti lanjut bikin keripiknya di satu tungku saja. Tungku yang satu untuk memasak nasi dan lauk," saran Mbak Fika. "Aku nidurin Fajar dulu ya, Mbak. Dia nggak mau sama Andi dan maunya sama aku." Aku menggendong Fajar yang mulai rewel dan ingin
Mbak Fika mengajakku pulang, katanya ada tamu. Sesampainya di rumah, ada dua orang ibu-ibu yang menunggu di teras. Aku mendekatinya dan kami bersalaman. Pintu rumah sudah terbuka, berarti Andi dan Lani sudah pulang. Kuajak tamu-tamu itu masuk. "Ada tamu kenapa nggak diajak masuk, Ndi?" Andi dan Lani ternyata tengah menggoreng keripik di dapur. "Aku sudah mengajaknya tapi mereka tidak mau, Kak," jawab Andi. Mbak Fika mengatakan jika mereka berdua adalah tetangga yang rumahnya dekat dengan Bu Ida. Kak Nur yang menyuruh mereka ke sini untuk membantu pembuatan keripik. Syukurlah ada yang mau membantu. Jadi aku bisa memasak untuk nasi kucing dan membuat adonan gorengan saja. *** Sudah seminggu Mbak Fika berada di salon Kak Nur untuk merawatnya. Kemarin aku menjenguknya lagi bersama adik-adikku, Kak Nur malah marah gara-gara aku mengajak mereka jalan kaki. Tadinya aku menyuruh Andi naik sepeda bersama Lani, aku yang jalan kaki menggendong Fajar. Tetap
36 Meski dengan rambut panjangnya yang dikuncir, Kak Nur nampak berbeda. Ia juga tidak menggunakan make-up di wajahnya. Meski begitu, tidak bisa menghilangkan tampilan wajahnya yang terlihat seperti perempuan, karena alisnya yang dicukur sebagian. "Kamu kenapa, Vin? Tersepona melihatku?" tanya Kak Nur, masih dengan suara khasnya. Bukannya menjawab, aku malah reflek tertawa, dan menutup mulutku dengan tangan. "Nggak ada yang lucu, ya. Ayo cepat berangkat, nanti nggak kebagian kue ulang tahun kalau terlambat!" ujar Kak Nur yang sudah menghidupkan mesin motornya. Aku segera naik ke atas motor Mbak Fika, sedangkan Lani dan Fajar bersama Kak Nur. Motor melaju dengan pelan, karena Mbak Fika tidak mau rambutnya terkena angin dan berantakan. Beruntung aku memakai kerudung, jadi tidak terlalu khawatir dengan angin yang akan merusak tatanan rambut. Kami berhenti di depan rumah Bu Lisna, di mana banyak kendaraan yang sudah terparkir di sana. Tentu saja lebih banyak m
Wajah Alena sama terkejutnya denganku. Dia menatapku, dari atas sampai bawah. Memang aku menggunakan pakaian tertutup dan kerudung. Mungkin itu yang membuatnya melihatku seperti itu. Aku juga menelisik penampilannya yang saat ini terlihat sangat tidak sesuai dengan umurnya. Dress merah ketat sepaha tanpa lengan, dengan bagian punggung yang bolong dan bagian depan memperlihatkan belahan d4d4. Lebih terbuka dari pakaian Mbak Fika saat aku pertama kali bertemu dengannya. Tidak kusangka akan bertemu dengannya di acara ini. Apa mungkin Ibu juga ada di sini? Ah, entah kenapa aku berharap bertemu dengannya. Bukankah harusnya aku tidak peduli lagi dengan Ibu yang katanya sudah berbahagia. Namun, sebagai seorang anak tentu ada sedikit rasa rindu yang terselip. Meski rindu itu kini dibalut rasa sakit dan kecewa. "Hah. Vina? Kamu ngapain ke sini? Jangan-jangan kamu komplotan si maling ini, ya?" Alena menunjuk Mbak Fika, membuat Mbak Fika menarik tangan Alena yang menunjuk kepadanya
Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an
Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba
Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter
Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam
Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m
Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya
Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha
Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita
"Dia yang kamu maksud itu adalah ayah kita, Ndi. Kamu nggak mau Ayah tinggal bersama kita, dan aku memang memintanya tinggal di rumah itu. Lagi pula Pak Mardi juga tinggal di sana, mereka hidup berdua. Lalu kenapa?" "Iya, Kak. Ayah memang pernah salah sama kita, tapi dia tetaplah ayah kita. Ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita, dan kita tidak bisa mengelak hal itu," sahut Lani.Andi menoleh pada Lani, lalu tersenyum kecut. "Jadi kamu juga sudah menerima dia, Lan? Baguslah! Pasti Fajar juga sudah kalian ajari untuk menghormatinya, kan? Ya, sekarang hanya aku yang dianggap sebagai anak yang durhaka karena tidak mau menerima dan memaafkan orang itu. Kalian adalah anak-anak yang baik, dan aku anak yang buruk.""Bukan begitu, Ndi." Aku mendekatinya."Bukan begitu lalu apa, Kak? Sudahlah, silakan saja kalian lakukan yang kalian mau. Aku benar-benar kecewa pada kalian! Kupikir hidup kita akan tenang, ternyata malah semakin rumit. Aku hanya ingin kita hidup berempat tanpa orang-or