Aku semakin khawatir karena Andi belum ada nampak. Berkali-kali aku dan Mbak Fika serta Kak Nur bolak balik ke jalanan. Namun, mereka tidak juga kelihatan. Kupanggil nama ketiga adikku, tapi tetap tidak ada sahutan. Tak terasa air mata mengalir dengan derasnya. Lutut kujatuhkan ke tanah, menopang tubuh yang terasa lemah ini. Meratapi nasib dan hidup yang terus saja mendapatkan cobaan. Bahuku bergetar seiring dengan isakan yang makin keras. Bukan. Bukan aku menyalahkan takdir. Namun, aku menyalahkan diri sendiri yang tak pandai menjaga mereka. Bayangan Fajar yang menangis, Lani yang suka merengek, serta Andi yang selalu berusaha kuat. Selama ini aku kuat karena mereka bertiga. Aku tak sanggup jika kehilangan mereka. Cukuplah kehilangan sosok orang tua, tapi tidak untuk kehilangan adik-adikku. Kumohon padamu Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan mereka. Aku sanggup menanggung hidup mereka, asal mereka tetap bersamaku. "Kita akan cari mereka, Vin. Kamu jangan ber
Rasanya terlalu sulit menyuruh Andi melupakan sakit hatinya. Ya, diperlakukan tidak adil itu memang sakit. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengaku sebagai yatim piatu. Meski memang kita seperti anak yatim piatu, tanpa punya keluarga. "Kak, nanti aku mau ke rumah Pak Haji Rosyid. Di sana ada pekerjaan merawat kambing, katanya aku boleh bekerja di sana." "Pak Haji Rosyid? Yang mana orangnya? Kok Kakak nggak tau ya, kamu bisa kenal orang di sini?" tanyaku yang heran dengan penuturan Andi. Sejak kapan dia kenal dengan orang yang dimaksud itu, sedangkan yang kutahu, dia selalu bersamaku. "Aku bertemu di alun-alun semalam, katanya rumahnya tak jauh dari sini. Pak Haji Rosyid memiliki ternak kambing yang banyak dan butuh orang untuk menjaga dan membersihkan kandang. Boleh, 'kan, aku kerja di sana?" Aku tidak menjawab karena sibuk memasukkan cairan puding ke dalam cetakan. "Kak, boleh, 'kan?" tanya Andi lagi. Aku menolehnya, lalu menghela napas kasar.
Ponsel pemberian Kak Nur kuambil dari tas, lalu mulai membuka kontak nomor di dalamnya. Tidak banyak, hanya ada beberapa kontak nomor di ponsel ini. Selain nomor Bu Halimah, Kak Nur, dan Mbak Fika, ada juga nomor penjual buah yang kusimpan. Agak ragu melakukan panggilan pada nomor Bu Halimah. Namun, ada rasa rindu padanya dan juga rasa penasaran dengan kabar Ibu. Setelah beberapa kali membuka ponsel dengan memencet menu, keluar, menu, keluar, akhirnya kuputuskan melakukan panggilan. Panggilan tersambung dan terdengar suara di ujung telepon, "Hallo. Assalamualaikum, ini siapa ya?" "Ha-hallo, wa alaikum salam, Bu Halimah?" "Iya, ini siapa?" "Ini Vina, Bu," jawabku. Tak terasa air mata ini mengalir mendengar suara tetangga yang selama ini baik padaku. "Ya Allah, Vina? Alhamdulillah kamu telepon Ibu, Nak. Ibu khawatir sekali denganmu. Gimana keadaan kamu dan adik-adik? Jadi kamu sudah tinggal sama Ayah kamu?" Berbagai pertanyaan dilontarkan padaku.
"Fajar nggak mau makan, Kak. Dari tadi disuapi nggak mau." Aku menghentikan aktifitas mencuci baju, lalu melihat keadaan Fajar. Beberapa hari ini dia tidak bersemangat dan tidak begitu aktif. Entah apa yang terjadi, semoga dia baik-baik saja. Kudekati adik bungsuku yang tengah berbaring di kasur lantai. Bibirnya pucat dan matanya sayu."Ya Allah, badannya panas," ucapku, saat menyentuh kening Fajar. Sejak bangun tidur, aku langsung memasak dan mencuci baju. Belum sempat mengecek keadaan Fajar. Aku meminta Andi mengambilkan air hangat untuk mengompres Fajar, lalu mengambil baju yang sudah sobek, kusobek lagi menjadi bagian yang lebih kecil sebagai pengganti handuk. "Fajar sakit ya, Kak?" Lani mendekat dan ikut duduk di sampingku. "Iya, Lan, badannya panas banget. Kakak harus bawa Fajar berobat, kamu di rumah sama Kak Andi ya." Aku tidak mau kalau sampai menunggu lebih lama lagi. Panas tubuhnya tidak turun dan semakin terasa panas saat disentuh. Aku
"Gimana keadaan Fajar, Kak?" "Panasnya masih tinggi, Ndi. Padahal sudah minum obat juga, Kakak bingung dan kasihan melihatnya." Kutatap wajah Fajar yang berada dalam gendonganku. Ia masih merengek dan memanggil nama Ibu. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja?" Memang sebaiknya ke rumah sakit saja. Tapi ... bagaimana dengan biayanya? Uangku tinggal sedikit, tidak tahu lagi harus seperti apa. "Vin! Vina!" Terdengar suara Kak Nur, kulihat wajahnya panik, ia langsung mendekat dan memegang Fajar. "Gimana keadaan Fajar? Kenapa nggak telepon Kakak kalau Fajar sakit sih, Vin? Kamu nggak nganggep aku ini kakakmu, ya!" "Maaf, Kak." Aku memang tidak ingin merepotkannya. Selama ini sudah banyak merepotkan Kak Nur dan Mbak Fika. "Maaf, maaf! Kamu ini benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ada keadaan seperti ini kok diam saja! Sudah, ayo bawa ke rumah sakit!" Kak Nur menarik tanganku, yang masih memegangi Fajar. "Tapi, Kak ...." Aku menarik tanganku. Aku malu ji
Aku tidak habis pikir, kenapa Bu Hajah meminta Andi membawa Lani ke rumahnya. Aku seperti merasakan ada niat lain dari Bu Hajah. Apa lagi Lani begitu senang berada di rumah mewah itu. Kenapa tiba-tiba ada ketakutan yang kurasakan. Aku takut jika Bu Hajah ingin Lani tinggal bersamanya. Dari yang kulihat, Bu Hajah sangat bahagia saat bertemu dengan Lani waktu itu. Dan saat aku membawa Fajar kemarin, Andi juga membawa Lani ke sana. Semoga ini semua hanya perasaanku saja. "Kata Bu Hajah, biar kami ada yang jaga saat Kakak di rumah sakit. Makanya aku disuruh membawa Lani juga ke sana," papar Andi. "Ya sudah, tapi harus jaga sikap di rumah orang." "Iya, Kak." Aku dan Mbak Fika meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit lagi. Sesampainya di sana, aku segera menyerahkan foto copy Kartu Keluarga itu setelah sebelumnya di foto copy lagi atas saran Mbak Fika. Katanya agar memudahkan saat tiba-tiba dibutuhkan. Setelah memberikan foto copy Kartu Keluarga untuk
"Loh, kenapa Fajar dibiarkan menangis, Bu?" "Biarkan saja! Dia minta nenen terus dari tadi!" Kulepas tas sekolah yang berada di punggung. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku mengambil alih adik bungsuku yang masih menangis di samping Ibu, sedangkan dia duduk berselonjor dengan santai di depan televisi. Meski perjalanan dari sekolah begitu melelahkan, aku tidak tega melihat adikku menangis begitu kencangnya tanpa ada yang menenangkan. Aku berusaha menenangkannya, tetapi tidak juga berhenti menangis. "Kenapa tidak Ibu susui?" "Dia itu mau Ibu sapih, Vin. Sudahlah, bawa adikmu main atau ajak beli jajan sana!" titah Ibu. Akhir-akhir ini, aku sering melihat Ibu agak berbeda. Sering marah dan tidak mau mengurusi Fajar. Sejak tinggal bersama suami barunya, Ibu jadi sering bersikap kasar pada kami anak-anaknya, tetapi menjadi lembut dan baik pada anak tiri yang begitu mereka manjakan. Sebagai anak kandung, jujur aku merasa tersisihkan, begitupun adik-adikku. Aku kasihan pa
Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami. Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu. "Kak!" Andi mengagetkanku. "Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!" "He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa." "Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga memba