Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan.
Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas. Semua buku-buku yang masih berguna dan ijazah milikku dan milik Andi juga sudah kumasukkan ke dalam tas sekolah. Mengingat sekolah, apakah aku akan bisa melanjutkan sekolah setelah ini? Ah, entahlah, sebaiknya segera tidur karena besok akan menghadapi kehidupan yang baru. Sepertinya aku akan merindukan kamar ini. Tapi ... tidak-tidak. Aku tidak mau merindukan kamar ini. Pagi menyapa, aku sudah selesai berganti baju setelah mandi. "Kakak mau ke mana? Kok udah rapi sekali?" tanya Andi yang baru bangun. "Sebaiknya cepat mandi, Ndi. Kita akan segera berangkat." Aku membangunkan Lani dan Fajar. "Wah, mau jalan-jalan ya, Kak? Baiklah, aku akan mandi dengan cepat!" Andi segera mengambil handuk lalu menuju ke kamar mandi. Aku duduk di ranjang, terdiam sebentar dan menghela napas panjang. Andi masih belum tahu jika kami akan ke rumah Ayah dan meninggalkan rumah ini. Seandainya tahu, akankah ia sebahagia tadi. Lani dan Fajar sudah kumandikan dan berganti baju. Ibu memanggil untuk sarapan. Andi dan Lani menikmati sarapan pagi ini dengan lahap, dan terlihat begitu bersemangat. Namun berbeda dengan Fajar, yang justru tidak mau makan. "Ini untuk pegangan, simpan baik-baik. Uang ini tabungan Ibu sendiri." Ibu menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan. "Kalau yang ini, dari Papa Erik. Dia tidak tega membiarkan kalian tanpa uang." Ibu menyerahkan lagi dua lembar seratus ribuan. Total empat lembar yang kuterima. "Ini tiket bis kalian. Simpan di tasmu," perintah Ibu dan aku melakukannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke dalam tas kecil yang juga berisi uang empat ratus ribu tadi. Dua tas besar sudah kubawa ke depan, Fajar juga sudah kubawakan gendongan. Aku mengambil Fajar, lalu menggendongnya. Kupanggil Andi dan Lani agar segera menyusul ke depan. "Lho, kok bawa banyak tas, Kak?" tanya Andi yang mungkin keheranan. "Sebenarnya kita akan ke mana?" "Kita akan ke rumah Ayah dan tinggal di sana," paparku. "Hah? Tinggal di rumah Ayah? Jadi kita akan pergi dari sini? Apa Ibu juga ikut?" Bukannya Andi, tapi Lani yang bertanya. "Hanya kita berempat, Lan. Ibu kan punya keluarga baru, mana mungkin pergi sama kita?" "Nggak mau, Kak. Aku nggak mau pisah sama Ibu. Aku mau di sini sama Ibu aja. Kita jangan pergi ya, Kak," pinta Lani. Ia menangis meraung-raung tak mau pindah. Aku membujuknya agar tidak menangis, tapi tetap saja tangisannya tidak berhenti. Andi mendekati Lani, lalu memeluknya. Namun, dapat kulihat sorot mata adik lelakiku itu penuh amarah. Andi membujuk Lani, "Lan, kamu ingat nggak, dulu kita sering bermain di sawah tetangga Ayah?" Lani mengangguk, seraya mengusap air matanya. "Nanti kita akan bermain di sana. Kakak akan jagain Lani, jangan nangis lagi, ya," bujuk Andi. Tangisan Lani sedikit mereda, meski masih sesenggukan. Kini Fajar dalam gendonganku yang menangis. Botol berisi susu formula kuberikan, tapi ia tidak mau. Alena, Ibu, dan Papa Erik keluar, berdiri di samping kami. Fajar mengarahkan tangannya kepada Ibu, mungkin ia ingin digendong olehnya. Namun bukannya mendekat, Ibu malah pasrah saja saat Alena memeluknya. Dan membiarkan tangan Fajar yang hendak meminta digendong olehnya. Alena tersenyum penuh kemenangan kepadaku, seperti sedang mencemooh. Mungkin ia senang karena berhasil merebut ibu kami. Beberapa tetangga yang mendengar tangisan Fajar pun berdatangan. Bu Halimah mendekatiku, "Kenapa Fajar menangis begitu? Kok ada tas besar, pada mau ke mana?" "Mau pindah ke rumah Ayah," jawabku. "Sama Fajar juga?" "Tentu saja semuanya, Bu. Kan mereka memang tanggung jawab ayahnya," sahut Papa Erik. "Oh, begitu, ya. Tapi Fajar masih menangis itu. Biarkan dia diam dulu baru berangkat, kasihan dia. Sini biar Ibu ajak Fajar dulu, nanti kalau sudah diam, baru kalian berangkat." Bu Halimah mengambil alih Fajar dari gendonganku, lalu membawa ke rumahnya. Ibu diam saja dan tidak melarang. Aku pun mengikuti Bu Halimah ke rumahnya, untuk mengambil Fajar kalau sudah berhenti menangis. Sampai di sana, Fajar masih menangis tapi tidak sekencang tadi. Perlahan-lahan, Fajar berhenti menangis setelah ditimang-timang oleh Bu Halimah. Bahkan Bu Halimah memberikan mainan robot berwarna biru, mungkin milik cucunya. Air mataku menetes. Bahkan orang lain lebih peduli pada Fajar, dan bisa mendiamkannya. Sementara Ibu, hanya diam saja ketika melihatnya menangis. "Jangan menangis," ujar Bu Halimah yang kini mendekatiku. "Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu tahu kamu tidak ingin pindah ke sana. Kamu yang sabar, ya." "Makasih, Bu. Selama ini selalu baik sama Vina dan adik-adik," ujarku sendu, "Vina pamit." Aku mengambil Fajar yang kini sudah berhenti menangis, lalu menggendongnya. Bu Halimah menyerahkan sesuatu padaku. "Ini ada sedikit untuk pegangan kamu. Simpan baik-baik, ya, meski nggak seberapa. Ini juga ada nomor telepon Ibu, nanti kalau kalian sudah sampai di sana dan ada yang memiliki hp, kamu hubungi Ibu biar Ibu nggak khawatir." Sejumlah uang dan kertas bertuliskan nomor telepon Bu Halimah pun keterima. "Ini buat kalian makan nanti." Botol berisi air mineral dan kotak makanan yang sudah dibungkus plastik, diberikan padaku. Saat aku menerima bungkusan itu, terdengar suara orang masuk lewat pintu belakang. Rupanya, beberapa tetangga yang masuk lewat sana. Aku pun berpamitan pada mereka, lalu mereka memberikan amplop kepadaku. Aku sudah menolak, tapi mereka tetap memaksa. Ada juga yang memberikan susu, roti, dan biskuit. Katanya untuk makan kami saat di perjalanan. Mereka bergantian memelukku, bahkan ada yang menangis. Aku sungguh terharu dengan kebaikan para tetangga. Mereka bukan siapa-siapa, tapi sangat peduli. Andi dan Lani menghampiriku ke rumah Bu Halimah, katanya harus segera berangkat. Aku memasukkan susu dan makanan dari tetangga itu ke dalam tas sekolah yang dibawanya. Ibu sudah bersiap dengan motor Alena, begitu pun Papa Erik yang menaiki motornya. Bahkan tas-tas besar itu sudah dinaikkan di bagian depan. "Cepat baik, Vin. Nanti bisnya keburu berangkat!" perintah Ibu. Aku yang menggendong Fajar pun dibonceng Ibu, sementara Andi dan Lani dibonceng Papa Erik. Sangat menyakitkan. Ibu kandung sendiri, tidak ingin bersama kami. Kami dibuang seperti sampah. Baiklah, Bu. Karena tidak lagi diharapkan, aku pun tidak akan lagi mengharapkanmu dalam hidup kami. Aku tidak boleh menangis demi adik-adikku. "Tunggu!"Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal
"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.
Melihat matanya, kelihatannya dia benar-benar tulus padaku. Mungkin ia memang tidak ingin aku mengikuti jejaknya. Mbak Fika bekerja di warung kopi yang tadi siang kukunjungi, yang ternyata bukan sekedar warung kopi. Di sana lebih dikenal sebagai warung remang-remang yang banyak dikunjungi pria hidung belang yang mencari perempuan. Benar-benar ngeri mendengar cerita Mbak Fika yang bekerja di sana. Beruntung Mbak Fika lebih dulu melarangku masuk. Dulu dia terpaksa bekerja di sana karena mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan cepat. Sampai-sampai meninggalkan lapak jualannya yang katanya sepi pembeli karena ia kurang semangat berjualan. Latar belakang kehidupannya pun tak jauh berbeda dariku. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat pelit. Hal itu membuatnya tidak tahan dan pergi dari rumah. Kata Mbak Fika, ayahnya pernah menemuinya, tapi sang istri melarang mengajaknya tinggal di rumah lagi. Karena menurutnya, Mbak Fika sudah bis
"Ini hp, Vina. Sesuai janjiku. Biar kamu bisa dihubungi. Tapi ya bisanya cuma hp butut, hape telulit." Kak Nur berkata dengan tawanya yang renyah. Kenapa dia baik banget pada kami, padahal kita tidak saling mengenal sebelumnya. Sudah ditampung di rumahnya, dikasih makanan, sekarang malah diberi ponsel. Meski hanya ponsel jadul, tapi ini begitu berharga untukku. "Seharusnya tidak perlu repot-repot belikan hp untuk aku, Kak. Pasti keluar uang banyak untuk kami. Sungguh kami sudah sangat bersyukur diberi tempat tinggal." "Sudah, nggak papa, cuma hp butut aja kok! Yang penting bisa buat nelpon ya. Ini sudah kuisikan pulsa sepuluh ribu, nanti kalau habis, diisi biar nomornya nggak hangus. Di dalam juga sudah kucatat nomorku, tulisannya gede-gede nih." Kak Nur menunjukkan padaku namanya dalam layar ponsel. Terlihat jelas nama itu, "Kak Nur Asolole" dengan huruf besar semua. Aku hampir tertawa melihatnya. Namun, kuurungkan karena khawatir membuat orangnya tersinggun