Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal
"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.
Melihat matanya, kelihatannya dia benar-benar tulus padaku. Mungkin ia memang tidak ingin aku mengikuti jejaknya. Mbak Fika bekerja di warung kopi yang tadi siang kukunjungi, yang ternyata bukan sekedar warung kopi. Di sana lebih dikenal sebagai warung remang-remang yang banyak dikunjungi pria hidung belang yang mencari perempuan. Benar-benar ngeri mendengar cerita Mbak Fika yang bekerja di sana. Beruntung Mbak Fika lebih dulu melarangku masuk. Dulu dia terpaksa bekerja di sana karena mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan cepat. Sampai-sampai meninggalkan lapak jualannya yang katanya sepi pembeli karena ia kurang semangat berjualan. Latar belakang kehidupannya pun tak jauh berbeda dariku. Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat pelit. Hal itu membuatnya tidak tahan dan pergi dari rumah. Kata Mbak Fika, ayahnya pernah menemuinya, tapi sang istri melarang mengajaknya tinggal di rumah lagi. Karena menurutnya, Mbak Fika sudah bis
"Ini hp, Vina. Sesuai janjiku. Biar kamu bisa dihubungi. Tapi ya bisanya cuma hp butut, hape telulit." Kak Nur berkata dengan tawanya yang renyah. Kenapa dia baik banget pada kami, padahal kita tidak saling mengenal sebelumnya. Sudah ditampung di rumahnya, dikasih makanan, sekarang malah diberi ponsel. Meski hanya ponsel jadul, tapi ini begitu berharga untukku. "Seharusnya tidak perlu repot-repot belikan hp untuk aku, Kak. Pasti keluar uang banyak untuk kami. Sungguh kami sudah sangat bersyukur diberi tempat tinggal." "Sudah, nggak papa, cuma hp butut aja kok! Yang penting bisa buat nelpon ya. Ini sudah kuisikan pulsa sepuluh ribu, nanti kalau habis, diisi biar nomornya nggak hangus. Di dalam juga sudah kucatat nomorku, tulisannya gede-gede nih." Kak Nur menunjukkan padaku namanya dalam layar ponsel. Terlihat jelas nama itu, "Kak Nur Asolole" dengan huruf besar semua. Aku hampir tertawa melihatnya. Namun, kuurungkan karena khawatir membuat orangnya tersinggun
Sore ini kami sudah berada di lapak Mbak Fika. Kak Nur mengangkut barang-barang, dan Mbak Fika memboncengku dan adik-adikku menuju ke sini. Perlengkapan kompor dan gas sudah terpasang oleh Kak Nur, sementara buah-buahan dan bahan lainnya, sudah kutata rapi. "Tidak usah nunggu besok, jualan mulai malam ini juga sudah bisa. Noh, kompornya sudah menyala. Semuanya sudah siap!" Kak Nur memberitahu. "Iya, Vin. Mulai aja jualannya malam ini. Tapi karena belum beli es batu, jualan kopi dan minuman hangat aja dulu. Sekalian beli mie instan dan telur di mini market, untuk persediaan. Barang kali aja ada yang minta mie rebus," saran Mbak Fika. Ya, ada benarnya juga. Aku bergegas ke minimarket yang dekat dari alun-alun, membeli mie cup, mie instan serta telur. Saat membayar belanjaan, uangku tinggal beberapa lembar. Semuanya hampir habis untuk modal jualan. Beruntung tadi ada yang menawarkan gelas dan mangkuk dari seorang penjual bakso yang orangnya akan pulang kampung. Jadi h