Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik.
Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun Papa Erik yang terlihat memakai baju lebih rapi. Celana hitam panjang serta kemeja biru muda. Padahal biasanya dia pulang dengan kaos dan celana panjang yang biasa digunakan saat bekerja. Mereka duduk di sofa dengan santainya, sementara aku berdiri di samping gorden. Terlihat sekali wajah-wajah lelah tapi bahagia. Sesekali Ibu mengelus rambut Alena, sementara Papa Erik merangkulnya. "Aku senang sekali hari ini. Puas sekali berbelanja dan memanjakan diri di salon. Makanan di restoran itu benar-benar enak, pantas saja harganya selangit." Terlihat Alena sangat senang saat menceritakan kegiatannya hari ini. "Makasih ya, Ma, Pa, kalian benar-benar membuatku bahagia karena memberikan keluarga yang utuh. Aku sangat bahagia pergi jalan-jalan bertiga seperti tadi." Rupanya, mereka bertiga pergi jalan-jalan, berbelanja, dan menikmati hidangan di restoran hari ini. Pantas saja tidak ada yang pulang seharian. Sementara kami, jika saja tidak ada uang sepuluh ribu itu, serta makanan dari Bu Halimah, mungkin akan masih menahan lapar hingga saat ini. Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah dan pergi bersenang-senang. Tega sekali mereka bertiga, terutama ibu kandungku sendiri. Dia tidak memikirkan apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Dan lebih mementingkan menyenangkan suami dan anak barunya. "Tentu dong, Sayang, Papa pasti akan melakukan apa pun asal kamu bahagia. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat putri Papa sebahagia ini. Semua yang Papa lakukan hanya untuk kalian berdua." "Iya, yang penting kamu bahagia, Sayang." Ibu bersikap lembut dan tersenyum manis pada anak tirinya. Sementara pada kami, ia selalu bersikap kasar dan membentak. Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah, dan bersenang-senang dengan keluarga barunya. "Kamu tidak akan kehilangan sosok ibu karena Mama Ratih sudah menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri. Bukankah begitu, Ma?" Papa Erik meminta pendapat istrinya yang tak lain adalah ibu kandungku, tapi kini serasa menjadi ibu tiri bagiku. "Tentu saja, Mas. Alena anak kesayangan Mama satu-satunya." Teganya Ibu mengatakan itu. Dianggap apa kami ini? Hatiku pilu mendengar ucapan Ibu. Jadi hanya Alena anak kesayangan satu-satunya? Pada siapa kami harus mencurahkan segala perasaan kami sebagai seorang anak, jika ibu kami sendiri tidak bisa menjadi tempat untuk mengadu. Bolehkah aku mengeluh, Ya Allah? Rasanya hati ini sudah benar-benar sakit. Tak mau berlama-lama melihat kebahagiaan mereka yang membuat hati teriris-iris, aku duduk di meja makan. Menunggu, barangkali Ibu akan ke sini. Meski merasa sakit akibat ucapannya, tentu sebagai seorang anak, aku masih ingin mendapat perhatian ibuku. "Ya sudah, Papa ngantuk mau tidur." "Aku juga mau tidur, capek banget!" Terdengar suara Alena yang menguap, lalu terdengar pula suara derit pintu, mungkin suara pintu kamarnya. Ibu berjalan mendekatiku yang duduk di kursi makan. "Kalian sudah makan?" Ibu duduk di sampingku. Tidak kujawab pertanyaannya karena hati merasa kesal. "Vina, Ibu bertanya padamu, kenapa tidak dijawab?" Aku menoleh, menatap wajah wanita yang telah melahirkanku. Di usiaku saat ini, harusnya aku mendapatkan perhatian yang lebih. "Ibu tahu di rumah ini tidak ada makanan, lalu kira-kira apakah kami bisa makan perabotan dapur?" Hatiku sudah benar-benar kecewa, rasanya sudah tidak bisa berkata lembut pada ibu. "Jangan kurang ajar, kamu!" bentak Ibu, "Ibu bertanya baik-baik, Vina. Harusnya jawab dengan sopan! Bukan begini caranya. Kalau belum, ya jawab aja, belum! Dasar nggak punya sopan santun!" Ucapan Ibu benar-benar menyesakkan dada. Tidak adakah rasa sayang atau kasihan pada kami? Kami tidak inginkan banyak, hanya sedikit perhatian dan kasih sayangnya. Bukannya merasa bersalah, Ibu malah melampiaskan kemarahan padaku. Aku hanya anak yang masih butuh bimbingan dan pelukan seorang ibu. Seharian mengurus rumah dan adik-adik, rasanya aku menjadi dewasa sebelum waktunya. Bukan. Bukan aku tidak ikhlas mengurusi adik-adikku. Namun, aku juga ingin seperti yang lain. Bisa bermain bersama teman sebaya, bisa menikmati kebersamaan dan bermanja dengan orang tua. Akan tetapi, aku tetaplah menjadi Vina yang sibuk menjadi 'Kakak Rumah Tangga'. Tak tahan lagi. Air mata yang sejak tadi kubendung, kini tumpah juga. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Tenggorokanku tercekat menahan tangisan agar tidak terdengar penghuni rumah lainnya. "Sudah jangan nangis, nih!" Ibu meletakkan uang lima puluh ribu tepat di hadapanku. "Itu bisa buat beli makanan bersama adik-adikmu, sana belikan!" Aku menatap tajam ibu, yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali. Hatiku benar-benar sangat sakit. "Kami nggak perlu makan, 'kan? Kami hanya anak yang tidak dianggap dan tidak perlu juga dikasih makan!" ucapku ketus. "Jaga sikapmu, Vina! Jangan bicara keras-keras, papamu baru istirahat. Nanti dia terganggu jika kamu bersuara kencang!" Ibu terlihat menahan nada bicaranya tapi tetap dengan penekanan. Dia bukan papaku, kenapa juga harus peduli padanya. Sedangkan ia sendiri tidak pernah peduli padaku dan adik-adikku. "Sudahlah, tidak usah merajuk begitu, lagi pula Ibu hanya sekali pergi seperti ini. Ibu mau istirahat, jangan lupa belikan adik-adikmu makanan." Ibu menggeser uang lima puluh ribu itu agar berada tepat di depanku, lalu pergi ke kamar menyusul suami barunya. Disaat adik-adikku sudah kenyang dan sudah waktunya tidur, Ibu menyuruh membeli makanan. Sangat konyol. Meski merasa kesal, aku tetap mengambil uang lima puluh ribu itu dan kumasukkan ke dalam saku baju, lalu melihat adik-adikku yang berada di kamar. Lani sudah tidur, sementara Andi mengajak Fajar bermain di karpet. "Kamu tidur saja, Ndi. Biar Kakak yang jaga Fajar." "Iya, Kak." Andi naik ke ranjang menyusul Lani, sementara aku membuatkan susu untuk Fajar. Syukurkah Fajar kembali minum susu itu hingga habis satu botol. "I-bu. I-bu!" Fajar memanggil nama ibu berkali-kali. Wajar saja, sejak pagi Fajar sudah ditinggal pergi, sampai rumah pun ibu tidak mencarinya untuk sekedar memeluk. Malah langsung menyusul suami barunya di kamar. Benar-benar keterlaluan. Aku sudah tidak lagi mengenal ibu kami. Ia sudah seperti orang asing. "Fajar, Fajar mau di sini atau di luar?" Ia menunjuk pintu, yang artinya ingin pergi ke luar. Aku pun membawanya ke luar sambil menggendongnya. Sesekali mengayun-ayunkannya dalam gendonganku agar matanya segera terlelap. "Kamu masih mau menjadi istriku apa mengurusi anak-anak dari mantan suamimu itu? Kalau sudah tidak mau, bilang saja, agar aku bisa secepatnya cari pengganti! Tidak sulit bagiku mencarikan mama baru untuk Alena!" Tanpa sengaja, aku mendengar Papa Erik mengancam Ibu, tetapi justru aku tidak takut jika ibu berpisah darinya. Malah aku lebih senang karena tidak harus berbagi Ibu dengan Alena. Rupanya, Papa Erik hanya ingin agar ibu hanya mencurahkan kasih sayangnya pada Alena. Ia tidak memikirkan bagaimana perasaan kami anak kandung ibu. Benar-benar egois!Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s
Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal
"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.
Mata terasa berat, tetapi kupaksakan untuk membukanya. Aku teringat harus bangun pagi agar tidak mengantre di depan kamar mandi. Masih pukul 05.00 WIB. Gegas aku bangun dan mengecek Farla yang ternyata masih pulas. Aku segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci pakaian, meninggalkan Farla sendirian di dalam kamar. Biasanya dia akan pulas tidur saat jam pagi seperti ini. Semoga saja dia masih anteng sampai aku kembali. Benar kata Yuni, penghuni kost ini belum ada yang bangun di jam segini. Jadi aku bisa leluasa menggunakan kamar mandi tanpa harus tergesa-gesa karena ditunggui. Beruntung ada ember yang bisa kupakai untuk mengambil air karena aku butuh untuk memandikan Farla. Air dalam ember kubawa dan kutaruh di depan pintu kamar, lalu mengecek Farla ternyata masih tidur. Syukurlah. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia tidur, dan mencari air panas untuk dia mandi nantinya. Pintu kukunci dan membawa termos untuk diisi di warung makan yang sudah buka."Permisi, Mbak, bisa beli air
Setelah makan, rasanya mataku ngantuk sekali. Namun, kalau aku tidur, aku takut Farla terjatuh karena dia tidak mau tidur. Kalau sampai malam nanti aku belum bisa mendapatkan petunjuk tentang anak-anakku, aku harus bagaimana. Alena dan papanya masih belum pulang beberapa hari, tetapi kalau mereka sudah pulang lebih awal, bagaimana. Semoga saja mereka benaran tidak pulang dulu sebelum aku kembali. Aku berharap bertemu anak-anak, lalu membawa mereka bersamaku. Soal Mas Erik, aku akan memikirkannya nanti. Toh selama ini aku sudah menuruti semua kemauannya. *** Aku terbangun kala mendengar suara tangisan anak kecil. Kubuka mata yang masih lengket, seambari meraba tempat di depanku. Aku terkejut saat menyadari Farla tidak ada di depanku. Saat aku menoleh, dia sudah berada di tanah dalam kondisi telentang dan menangis kencang. Ya Tuhan, nenek macam apa aku ini, membiarkan cucunya terjatuh dari gazebo karena ketiduran. Kuambil Farla dan mengusap-usap kepalanya. Beruntung dia jatuh di re
"Dan sekarang kamu baru mencari mereka karena merasa menyesal?" Rina menatapku, aku begitu malu dengan diri sendiri."Aku sangat bodoh, Rin." "Syukurlah kamu menyadari kebodohan itu. Seharusnya kamu nggak memilih suami egois seperti dia, Tih. Laki-laki yang benar-benar mencintaimu, pasti akan mau menerima anak-anakmu. Jika aku jadi kamu, aku lebih memilih hidup bersama anakku dari pada dengan laki-laki egois. Apa lagi katamu dia ingin kamu menyayangi anaknya saja. Dan sekarang, kamu disalahkan dengan kesalahan yang diperbuat anaknya sendiri." Ya, aku memang terlalu bodoh. Dan kini baru menyadarinya di saat begitu sulit mencari keberadaan anak-anakku. "Lalu gimana rencanamu selanjutnya?" "Entahlah, aku bingung, Rin. Aku harus mencari mereka ke mana? Tidak ada yang bisa kumintai tolong. Aku bingung." Aku menangis karena merasakan kebingungan dan kekhawatiran. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan pertemuan kami di rumah Bu Lisna saat mengadakan ulang tahun putrinya. Bukankah wa
Penjelasan Rina membuatku semakin dilanda kebingungan. Jika Vina dan adik-adiknya tidak pernah ke sini, lantas ke mana mereka. Hampir empat tahun sudah sejak aku meminta mereka pergi. Bagaimana mungkin mereka tidak ke sini, mereka hanya tahu rumah ayahnya. Selain Mas Ramlan, di sini tidak memiliki saudara lagi. Hanya ada saudara sepupu jauh Mas Ramlan, tetapi tidak terlalu akrab. Karena dulu saat aku masih tinggal di sini, keluarga kami dikucilkan. Maklum, orang miskin memang selalu dipandang hina. "Kamu yakin, Rin, tidak pernah melihat Vina? Atau mungkin kamu yang kurang memperhatikan? Vina dan adik-adiknya pergi ke sini sudah hampir empat tahun. Saat itu dia baru saja lulus dan tengah libur akhir sekolah." Aku bertanya lagi, untuk memastikan. "Kamu ngantar mereka kemari?" Rina malah balik bertanya dan aku menggeleng lemah. "Bentar deh, Tih. Kamu bilang, mereka ke sini saat libur akhir sekolah. Dan kamu nggak ngantar mereka? Jadi, mereka ke sini hanya berempat?" "Iya," jawabku.
Perjalanan ini terasa sangat melelahkan ketika harus membawa bayi dalam gendongan. Farla mulai merengek, aku berhenti sebentar di bawah pohon mangga. Kuambil termos dan botol susu, membersihkannya sebentar dengan air panas lalu membuatkan susu untuk cucuku. "Jangan rewel ya, La, sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu bisa main sama tante dan ommu." Aku tersenyum agar Farla merasa lebih tenang. Jujur aku merasa malu jika nanti anak-anakku melihatku membawa anaknya Alena, putri tiri yang dibanggakan, tetapi sudah tidak memiliki masa depan. Semoga Mas Ramlan mampu menyekolahkan Vina dan adik-adiknya. "Ojek, Pak, ojek!" Kuhentikan motor yang lewat. Seorang pengendara laki-laki memakai caping yang membawa karung berisi rumput di jok bagian belakang. "Saya bukan ojek, Bu, saya hanya pencari rumput." Orang itu berhenti sejenak tanpa mematikan mesin motornya. "Tapi saya butuh ojek, Pak, apa Bapak bisa mengantar saya?" "Waduh, saya bawa karung begini, mana bisa, Bu," jawabnya seraya me
Farla merengek dan kuambilkan botol susu yang sengaja kubuat sebelum naik bis tadi. Sengaja aku membuatkannya dua botol. Satu sudah diminum, satunya lagi kuberi air panas agar masih hangat saat akan menggunakannya lagi.Perjalanan cukup melelahkan, apa lagi harus memangku bayi. Perut juga terasa keroncongan karena sudah lebih dari dua jam bus melaju. Ya Tuhan, mungkinkah dulu anak-anakku juga merasakan seperti ini, sesak karena harus duduk berempat di kursi yang hanya dua. Bahkan kala itu aku tidak membawakan bekal atau sekedar air minum untuk mereka. Padahal perjalanan jauh seperti ini sungguh melelahkan dan membuat seringnya ingin minum atau makan sesuatu. Mungkinkah dulu mereka kelaparan saat dalam bus, atau bahkan Fajar menangis. Tak sanggup membayangkannya. "Ayo kita turun dulu, Bu, barang kali mau buang air kecil," ajak perempuan yang duduk di sampingku. "Iya, ayo." Aku pun mengikuti ajakannya untuk turun saat bis berhenti di SPBU. Karena merasa ingin buang air kecil, aku me
Pagi ini Alena pulang setelah semalam entah berada di mana. Kemarin dia bertengkar hebat dengan suaminya, hingga mereka berdua pergi dan tidak pulang semalaman. Pintu kamar tidak ditutup dan dia merebahkan tubuhnya di kasur yang sprei, selimut, dan bantalnya berantakan. Sudah sebesar itu, tapi tak pernah mau beberes kamarnya sendiri. "Tolong kamu jagain Farla dulu, Len, aku mau ke kamar mandi, mulas sekali." Kuberikan Farla pada Alena karena mendadak perutku mulas. Mungkin karena semalam makan pakai sambal. "Apaan sih, Ma, aku ngantuk mau tidur!" "Cuman bentar, kok!" Aku berjalan cepat menuju kamar mandi karena sudah tak tahan. Tak kuhiraukan teriakan Alena yang memanggilku. Namun, tiba-tiba Farla menangis dengan kencang dan itu membuatku buru-buru keluar dari kamar mandi. "Farla!" teriakku saat melihat Farla tengkurap di lantai sambil menangis, sementara Alena berada di kasur dan tidak memedulikan darah dagingnya sendiri. Kuambil Farla, ternyata dahinya membiru dan benjol. Ku
"Kenapa baru pulang, sih, Rit? Kamu tahu nggak, aku berjuang setengah mati menahan sakit karena melahirkan anakmu! Eh, kamu malah enak-enakan di rumah ibumu!" Alena memarahi suaminya yang baru datang setelah tiga hari melahirkan. Farit duduk lalu mengambil air minum dan meneguknya. Alena ikut duduk di samping suaminya dengan kepayahan, sesekali memegangi perutnya. Ia memang tidak mau menggunakan korset pada perutnya, padahal baru pertama kali melahirkan. "Aku kerja, Alena, bukan senang-senang. Lagian kamu udah lahiran ya udah, apalagi?" Farit menjawab dengan entengnya. Laki-laki berkulit putih itu bahkan tidak memedulikan bayinya yang kini dalam gendonganku. Tidak ingin melihat atau pun menanyakan jenis kelaminnya.Aku heran saja dengan keluarga Farit. Sejak ia menjadi suami Alena, tidak pernah sekalipun ibu atau saudaranya yang datang ke sini. Bahkan hingga saat ini, tidak ada yang menjenguk Alena atau menanyakan bayi yang baru berumur tiga hari ini."Anak kita cewek, kamu nggak
Rupanya gadis kecil yang dulunya sangat manja dan selalu aku suapi dengan telaten, bisa menjadi seganas itu. Kelakuan Alena tak ubahnya wanita liar yang haus akan belaian. Sungguh, aku yang perempuan saja merasa malu melihatnya. Dengan perut yang sedikit membuncit itu, dia ... ah! Lebih baik aku gedor pintunya agar mereka beralih tempat. Ada kamar, bisa-bisanya melakukannya di ruang tamu. Apa mereka tidak malu jika ada orang lain yang melihat. Pintu kugedor keras beberapa kali, nama Alena pun kupanggil. Tidak ada sahutan dan pintu masih kugedor. "Alena! Buka pintunya! Cepat buka!" Beberapa kali kupanggil, akhirnya pintu dibuka dan Alena muncul dengan handuk yang melilit di tubuhnya. "Kok Mama udah balik, sih!" gerutunya kesal. "Memangnya kamu ingin aku pergi berapa lama? Sampai suaramu itu didengar tetangga dan diintip orang, begitu?" Mata Alena membulat, sepertinya dia kaget. "Apa nggak ada tempat lain? Kamar kamu masih luas, kan? Atau kalau nggak, sekalian aja di halaman bia