Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik.
Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun Papa Erik yang terlihat memakai baju lebih rapi. Celana hitam panjang serta kemeja biru muda. Padahal biasanya dia pulang dengan kaos dan celana panjang yang biasa digunakan saat bekerja. Mereka duduk di sofa dengan santainya, sementara aku berdiri di samping gorden. Terlihat sekali wajah-wajah lelah tapi bahagia. Sesekali Ibu mengelus rambut Alena, sementara Papa Erik merangkulnya. "Aku senang sekali hari ini. Puas sekali berbelanja dan memanjakan diri di salon. Makanan di restoran itu benar-benar enak, pantas saja harganya selangit." Terlihat Alena sangat senang saat menceritakan kegiatannya hari ini. "Makasih ya, Ma, Pa, kalian benar-benar membuatku bahagia karena memberikan keluarga yang utuh. Aku sangat bahagia pergi jalan-jalan bertiga seperti tadi." Rupanya, mereka bertiga pergi jalan-jalan, berbelanja, dan menikmati hidangan di restoran hari ini. Pantas saja tidak ada yang pulang seharian. Sementara kami, jika saja tidak ada uang sepuluh ribu itu, serta makanan dari Bu Halimah, mungkin akan masih menahan lapar hingga saat ini. Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah dan pergi bersenang-senang. Tega sekali mereka bertiga, terutama ibu kandungku sendiri. Dia tidak memikirkan apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Dan lebih mementingkan menyenangkan suami dan anak barunya. "Tentu dong, Sayang, Papa pasti akan melakukan apa pun asal kamu bahagia. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat putri Papa sebahagia ini. Semua yang Papa lakukan hanya untuk kalian berdua." "Iya, yang penting kamu bahagia, Sayang." Ibu bersikap lembut dan tersenyum manis pada anak tirinya. Sementara pada kami, ia selalu bersikap kasar dan membentak. Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah, dan bersenang-senang dengan keluarga barunya. "Kamu tidak akan kehilangan sosok ibu karena Mama Ratih sudah menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri. Bukankah begitu, Ma?" Papa Erik meminta pendapat istrinya yang tak lain adalah ibu kandungku, tapi kini serasa menjadi ibu tiri bagiku. "Tentu saja, Mas. Alena anak kesayangan Mama satu-satunya." Teganya Ibu mengatakan itu. Dianggap apa kami ini? Hatiku pilu mendengar ucapan Ibu. Jadi hanya Alena anak kesayangan satu-satunya? Pada siapa kami harus mencurahkan segala perasaan kami sebagai seorang anak, jika ibu kami sendiri tidak bisa menjadi tempat untuk mengadu. Bolehkah aku mengeluh, Ya Allah? Rasanya hati ini sudah benar-benar sakit. Tak mau berlama-lama melihat kebahagiaan mereka yang membuat hati teriris-iris, aku duduk di meja makan. Menunggu, barangkali Ibu akan ke sini. Meski merasa sakit akibat ucapannya, tentu sebagai seorang anak, aku masih ingin mendapat perhatian ibuku. "Ya sudah, Papa ngantuk mau tidur." "Aku juga mau tidur, capek banget!" Terdengar suara Alena yang menguap, lalu terdengar pula suara derit pintu, mungkin suara pintu kamarnya. Ibu berjalan mendekatiku yang duduk di kursi makan. "Kalian sudah makan?" Ibu duduk di sampingku. Tidak kujawab pertanyaannya karena hati merasa kesal. "Vina, Ibu bertanya padamu, kenapa tidak dijawab?" Aku menoleh, menatap wajah wanita yang telah melahirkanku. Di usiaku saat ini, harusnya aku mendapatkan perhatian yang lebih. "Ibu tahu di rumah ini tidak ada makanan, lalu kira-kira apakah kami bisa makan perabotan dapur?" Hatiku sudah benar-benar kecewa, rasanya sudah tidak bisa berkata lembut pada ibu. "Jangan kurang ajar, kamu!" bentak Ibu, "Ibu bertanya baik-baik, Vina. Harusnya jawab dengan sopan! Bukan begini caranya. Kalau belum, ya jawab aja, belum! Dasar nggak punya sopan santun!" Ucapan Ibu benar-benar menyesakkan dada. Tidak adakah rasa sayang atau kasihan pada kami? Kami tidak inginkan banyak, hanya sedikit perhatian dan kasih sayangnya. Bukannya merasa bersalah, Ibu malah melampiaskan kemarahan padaku. Aku hanya anak yang masih butuh bimbingan dan pelukan seorang ibu. Seharian mengurus rumah dan adik-adik, rasanya aku menjadi dewasa sebelum waktunya. Bukan. Bukan aku tidak ikhlas mengurusi adik-adikku. Namun, aku juga ingin seperti yang lain. Bisa bermain bersama teman sebaya, bisa menikmati kebersamaan dan bermanja dengan orang tua. Akan tetapi, aku tetaplah menjadi Vina yang sibuk menjadi 'Kakak Rumah Tangga'. Tak tahan lagi. Air mata yang sejak tadi kubendung, kini tumpah juga. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Tenggorokanku tercekat menahan tangisan agar tidak terdengar penghuni rumah lainnya. "Sudah jangan nangis, nih!" Ibu meletakkan uang lima puluh ribu tepat di hadapanku. "Itu bisa buat beli makanan bersama adik-adikmu, sana belikan!" Aku menatap tajam ibu, yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali. Hatiku benar-benar sangat sakit. "Kami nggak perlu makan, 'kan? Kami hanya anak yang tidak dianggap dan tidak perlu juga dikasih makan!" ucapku ketus. "Jaga sikapmu, Vina! Jangan bicara keras-keras, papamu baru istirahat. Nanti dia terganggu jika kamu bersuara kencang!" Ibu terlihat menahan nada bicaranya tapi tetap dengan penekanan. Dia bukan papaku, kenapa juga harus peduli padanya. Sedangkan ia sendiri tidak pernah peduli padaku dan adik-adikku. "Sudahlah, tidak usah merajuk begitu, lagi pula Ibu hanya sekali pergi seperti ini. Ibu mau istirahat, jangan lupa belikan adik-adikmu makanan." Ibu menggeser uang lima puluh ribu itu agar berada tepat di depanku, lalu pergi ke kamar menyusul suami barunya. Disaat adik-adikku sudah kenyang dan sudah waktunya tidur, Ibu menyuruh membeli makanan. Sangat konyol. Meski merasa kesal, aku tetap mengambil uang lima puluh ribu itu dan kumasukkan ke dalam saku baju, lalu melihat adik-adikku yang berada di kamar. Lani sudah tidur, sementara Andi mengajak Fajar bermain di karpet. "Kamu tidur saja, Ndi. Biar Kakak yang jaga Fajar." "Iya, Kak." Andi naik ke ranjang menyusul Lani, sementara aku membuatkan susu untuk Fajar. Syukurkah Fajar kembali minum susu itu hingga habis satu botol. "I-bu. I-bu!" Fajar memanggil nama ibu berkali-kali. Wajar saja, sejak pagi Fajar sudah ditinggal pergi, sampai rumah pun ibu tidak mencarinya untuk sekedar memeluk. Malah langsung menyusul suami barunya di kamar. Benar-benar keterlaluan. Aku sudah tidak lagi mengenal ibu kami. Ia sudah seperti orang asing. "Fajar, Fajar mau di sini atau di luar?" Ia menunjuk pintu, yang artinya ingin pergi ke luar. Aku pun membawanya ke luar sambil menggendongnya. Sesekali mengayun-ayunkannya dalam gendonganku agar matanya segera terlelap. "Kamu masih mau menjadi istriku apa mengurusi anak-anak dari mantan suamimu itu? Kalau sudah tidak mau, bilang saja, agar aku bisa secepatnya cari pengganti! Tidak sulit bagiku mencarikan mama baru untuk Alena!" Tanpa sengaja, aku mendengar Papa Erik mengancam Ibu, tetapi justru aku tidak takut jika ibu berpisah darinya. Malah aku lebih senang karena tidak harus berbagi Ibu dengan Alena. Rupanya, Papa Erik hanya ingin agar ibu hanya mencurahkan kasih sayangnya pada Alena. Ia tidak memikirkan bagaimana perasaan kami anak kandung ibu. Benar-benar egois!Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s
Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal
"Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,
"Hei, tunggu!" Perempuan tadi mengejar, aku pun berhenti dan menatapnya seraya bertanya, "Ada apa, Mbak?" "Begini, kamu cari kerjaan, 'kan? Aku punya lapak jualan yang lama tidak terpakai. Tempatnya di pinggir jalan alun-alun dan ramai pengunjung. Dulu aku berjualan es jus di sana. Mungkin kamu bisa menggunakan lapak itu untuk jualan kalau mau. Gimana?" Aku tertegun dengan tawarannya. Sepertinya itu menarik, jadi aku bisa berjualan sekalian menjaga adik-adikku. Tapi, kira-kira aku jualan apa? "Oh, ya, kita belum kenalan. Namaku Fika, namamu siapa?" Perempuan bertubuh montok dan berambut sebahu itu mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. "Vina." Kami pun melepas jabatan tangan. "Kalau kamu mau, nanti sore aku anter ke sana," ujar perempuan yang kutaksir berusia sekitar dua puluh lima tahun itu. "Apa nggak ngrepotin, Mbak?" tanyaku. "Enggaklah. Aku hari ini rencananya mau pulang. Kalian tinggal di mana? Nanti aku jemput sekalian," tawarnya.