Beranda / Pernikahan / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 6. Ancaman Papa Erik

Share

Bab 6. Ancaman Papa Erik

Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik.

Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya.

Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan.

Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya.

Begitupun Papa Erik yang terlihat memakai baju lebih rapi. Celana hitam panjang serta kemeja biru muda. Padahal biasanya dia pulang dengan kaos dan celana panjang yang biasa digunakan saat bekerja.

Mereka duduk di sofa dengan santainya, sementara aku berdiri di samping gorden. Terlihat sekali wajah-wajah lelah tapi bahagia. Sesekali Ibu mengelus rambut Alena, sementara Papa Erik merangkulnya.

"Aku senang sekali hari ini. Puas sekali berbelanja dan memanjakan diri di salon. Makanan di restoran itu benar-benar enak, pantas saja harganya selangit." Terlihat Alena sangat senang saat menceritakan kegiatannya hari ini.

"Makasih ya, Ma, Pa, kalian benar-benar membuatku bahagia karena memberikan keluarga yang utuh. Aku sangat bahagia pergi jalan-jalan bertiga seperti tadi."

Rupanya, mereka bertiga pergi jalan-jalan, berbelanja, dan menikmati hidangan di restoran hari ini. Pantas saja tidak ada yang pulang seharian. Sementara kami, jika saja tidak ada uang sepuluh ribu itu, serta makanan dari Bu Halimah, mungkin akan masih menahan lapar hingga saat ini.

Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah dan pergi bersenang-senang. Tega sekali mereka bertiga, terutama ibu kandungku sendiri. Dia tidak memikirkan apakah anak-anaknya sudah makan atau belum. Dan lebih mementingkan menyenangkan suami dan anak barunya.

"Tentu dong, Sayang, Papa pasti akan melakukan apa pun asal kamu bahagia. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat putri Papa sebahagia ini. Semua yang Papa lakukan hanya untuk kalian berdua."

"Iya, yang penting kamu bahagia, Sayang." Ibu bersikap lembut dan tersenyum manis pada anak tirinya. Sementara pada kami, ia selalu bersikap kasar dan membentak. Bisa-bisanya tidak memikirkan kami yang ada di rumah, dan bersenang-senang dengan keluarga barunya.

"Kamu tidak akan kehilangan sosok ibu karena Mama Ratih sudah menganggapmu seperti anak kandungnya sendiri. Bukankah begitu, Ma?" Papa Erik meminta pendapat istrinya yang tak lain adalah ibu kandungku, tapi kini serasa menjadi ibu tiri bagiku.

"Tentu saja, Mas. Alena anak kesayangan Mama satu-satunya."

Teganya Ibu mengatakan itu. Dianggap apa kami ini? Hatiku pilu mendengar ucapan Ibu. Jadi hanya Alena anak kesayangan satu-satunya? Pada siapa kami harus mencurahkan segala perasaan kami sebagai seorang anak, jika ibu kami sendiri tidak bisa menjadi tempat untuk mengadu.

Bolehkah aku mengeluh, Ya Allah? Rasanya hati ini sudah benar-benar sakit. Tak mau berlama-lama melihat kebahagiaan mereka yang membuat hati teriris-iris, aku duduk di meja makan. Menunggu, barangkali Ibu akan ke sini. Meski merasa sakit akibat ucapannya, tentu sebagai seorang anak, aku masih ingin mendapat perhatian ibuku.

"Ya sudah, Papa ngantuk mau tidur."

"Aku juga mau tidur, capek banget!" Terdengar suara Alena yang menguap, lalu terdengar pula suara derit pintu, mungkin suara pintu kamarnya.

Ibu berjalan mendekatiku yang duduk di kursi makan. "Kalian sudah makan?" Ibu duduk di sampingku. Tidak kujawab pertanyaannya karena hati merasa kesal. "Vina, Ibu bertanya padamu, kenapa tidak dijawab?"

Aku menoleh, menatap wajah wanita yang telah melahirkanku. Di usiaku saat ini, harusnya aku mendapatkan perhatian yang lebih.

"Ibu tahu di rumah ini tidak ada makanan, lalu kira-kira apakah kami bisa makan perabotan dapur?" Hatiku sudah benar-benar kecewa, rasanya sudah tidak bisa berkata lembut pada ibu.

"Jangan kurang ajar, kamu!" bentak Ibu, "Ibu bertanya baik-baik, Vina. Harusnya jawab dengan sopan! Bukan begini caranya. Kalau belum, ya jawab aja, belum! Dasar nggak punya sopan santun!"

Ucapan Ibu benar-benar menyesakkan dada. Tidak adakah rasa sayang atau kasihan pada kami? Kami tidak inginkan banyak, hanya sedikit perhatian dan kasih sayangnya. Bukannya merasa bersalah, Ibu malah melampiaskan kemarahan padaku.

Aku hanya anak yang masih butuh bimbingan dan pelukan seorang ibu. Seharian mengurus rumah dan adik-adik, rasanya aku menjadi dewasa sebelum waktunya.

Bukan. Bukan aku tidak ikhlas mengurusi adik-adikku. Namun, aku juga ingin seperti yang lain. Bisa bermain bersama teman sebaya, bisa menikmati kebersamaan dan bermanja dengan orang tua. Akan tetapi, aku tetaplah menjadi Vina yang sibuk menjadi 'Kakak Rumah Tangga'.

Tak tahan lagi. Air mata yang sejak tadi kubendung, kini tumpah juga. Segera kuhapus air mata yang membasahi pipi. Tenggorokanku tercekat menahan tangisan agar tidak terdengar penghuni rumah lainnya.

"Sudah jangan nangis, nih!" Ibu meletakkan uang lima puluh ribu tepat di hadapanku. "Itu bisa buat beli makanan bersama adik-adikmu, sana belikan!"

Aku menatap tajam ibu, yang terlihat tidak merasa bersalah sama sekali. Hatiku benar-benar sangat sakit. "Kami nggak perlu makan, 'kan? Kami hanya anak yang tidak dianggap dan tidak perlu juga dikasih makan!" ucapku ketus.

"Jaga sikapmu, Vina! Jangan bicara keras-keras, papamu baru istirahat. Nanti dia terganggu jika kamu bersuara kencang!" Ibu terlihat menahan nada bicaranya tapi tetap dengan penekanan. Dia bukan papaku, kenapa juga harus peduli padanya. Sedangkan ia sendiri tidak pernah peduli padaku dan adik-adikku.

"Sudahlah, tidak usah merajuk begitu, lagi pula Ibu hanya sekali pergi seperti ini. Ibu mau istirahat, jangan lupa belikan adik-adikmu makanan." Ibu menggeser uang lima puluh ribu itu agar berada tepat di depanku, lalu pergi ke kamar menyusul suami barunya.

Disaat adik-adikku sudah kenyang dan sudah waktunya tidur, Ibu menyuruh membeli makanan. Sangat konyol. Meski merasa kesal, aku tetap mengambil uang lima puluh ribu itu dan kumasukkan ke dalam saku baju, lalu melihat adik-adikku yang berada di kamar.

Lani sudah tidur, sementara Andi mengajak Fajar bermain di karpet.

"Kamu tidur saja, Ndi. Biar Kakak yang jaga Fajar."

"Iya, Kak." Andi naik ke ranjang menyusul Lani, sementara aku membuatkan susu untuk Fajar. Syukurkah Fajar kembali minum susu itu hingga habis satu botol.

"I-bu. I-bu!" Fajar memanggil nama ibu berkali-kali. Wajar saja, sejak pagi Fajar sudah ditinggal pergi, sampai rumah pun ibu tidak mencarinya untuk sekedar memeluk. Malah langsung menyusul suami barunya di kamar. Benar-benar keterlaluan. Aku sudah tidak lagi mengenal ibu kami. Ia sudah seperti orang asing.

"Fajar, Fajar mau di sini atau di luar?" Ia menunjuk pintu, yang artinya ingin pergi ke luar. Aku pun membawanya ke luar sambil menggendongnya. Sesekali mengayun-ayunkannya dalam gendonganku agar matanya segera terlelap.

"Kamu masih mau menjadi istriku apa mengurusi anak-anak dari mantan suamimu itu? Kalau sudah tidak mau, bilang saja, agar aku bisa secepatnya cari pengganti! Tidak sulit bagiku mencarikan mama baru untuk Alena!"

Tanpa sengaja, aku mendengar Papa Erik mengancam Ibu, tetapi justru aku tidak takut jika ibu berpisah darinya. Malah aku lebih senang karena tidak harus berbagi Ibu dengan Alena. Rupanya, Papa Erik hanya ingin agar ibu hanya mencurahkan kasih sayangnya pada Alena. Ia tidak memikirkan bagaimana perasaan kami anak kandung ibu. Benar-benar egois!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status