Home / Rumah Tangga / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 5. Makanan Dari Tetangga

Share

Bab 5. Makanan Dari Tetangga

Author: Aisyah Ais
last update Last Updated: 2024-07-16 17:37:08

"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!"

Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--"

"Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda.

"Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya.

"Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?"

"Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya.

Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah, dan tinggal bersama orang baru.

Terpaksa aku membuka kembali baju seragamku dan memandikan Fajar lalu menyuapinya dengan nasi tim yang sudah ada di meja makan. Mengajak Fajar bermain menjadi kegiatanku agar tidak jenuh.

Puas bermain, Fajar tertidur dalam gendonganku setelah meminum susu formula yang aku buat. Aku pun mandi agar tubuh lebih segar. Tak lupa, aku segera membersihkan rumah serta mencuci baju mumpung Fajar masih terlelap.

"Kak, Kak Vina!" Aku terjingkat kala Andi mengguncang tubuhku. Rupanya aku ketiduran di samping Fajar.

"Ya, Ndi." Aku bangun setelah mengecek Fajar yang masih tertidur pulas.

"Kakak kok sudah pulang?" Andi menaruh tasnya lalu berganti pakaian. Begitu pun dengan Lani.

"Kakak nggak pergi sekolah. Ibu meminta Kakak menjaga Fajar."

"Memangnya Ibu ke mana?"

"Ke salon katanya."

"Aku laper, Kak," rengek Lani. Kulihat badan adik perempuanku agak lemas. Pasti ia benar-benar kecapekan dan kelaparan. Kasihan sekali adikku.

"Sebentar, ya. Kakak lihat ke dapur dulu. Tolong jaga Fajar ya, Ndi." Tadi aku seharusnya mengecek bahan makanan, tapi malah ketiduran.

Saat sampai di dapur, rupanya tidak ada yang bisa dimasak. Beras tidak ada, bahan lain pun tidak ada. Entah apa yang akan kami makan hari ini. Tega sekali ibu pergi ke salon sampai setengah hari, sementara di rumah tidak ada apa-apa untuk dimakan.

"Maafin Kakak ya, Lan. Di dapur tidak ada apa-apa untuk dimasak. Kamu pasti lapar banget ya?" Aku mengelus rambut Lani. Adik perempuanku itu nampak memberungut. Wajar saja, dia masih kecil. Tidak akan mengerti tentang keadaan kami. "Minum dulu, ya." Aku mengambilkan air putih dalam gelas untuk Lani.

"Kak, ini uang sepuluh ribu milik ibu yang dijatuhkan kemarin." Andi menyodorkan uang padaku. Itu uang ganti kacang hijau kemarin. Aku menerima uang itu, sambil berpikir akan kubelikan apa agar cukup untuk kami bertiga, bahkan berempat karena Fajar juga sudah bangun.

Akhirnya aku memutuskan untuk membelikan beras setengah kilo, dan sisanya untuk membeli mie instan. Beras tujuh ribu dan mie instan tiga ribu. Alhamdulillah uangnya pas.

"Kita akan makan mie instan, tapi dicampur dengan nasi, ya?" Lani mengangguk, lalu ikut bermain bersama Andi dan Fajar. Aku mulai menanak nasi lalu memasak mie instan sebagai lauknya. Miris memang. Tapi kami harus tetap bersyukur. Karena dulu saat tinggal di kontrakan, kami sering memakan mie campur nasi seperti ini.

Memang kurang sehat, karena mie dan nasi tidak seharusnya dimakan bareng. Tapi mau bagaimana lagi. Demi perut tidak kerocongan. Terlebih agar cukup untuk dimakan berempat.

"Ini lebih baik dari pada makan nasi semangkuk sisa mereka," gumamku. Aku memanggil ketiga adikku untuk makan, karena nasi dan mie sudah matang. Sengaja mienya aku masak lebih lama, agar lebih lunak dan terlihat banyak. Aku mengambilkan nasi dan mie yang sudah kubagi untuk mereka. "Gimana? Enak?"

"Enak, Kak. Kalau seperti ini, aku bisa kenyang. Nggak seperti biasanya," ujar Lani. Mulutnya penuh dengan nasi dan mengunyahnya dengan cepat.

"Iya, biasanya kita makan semangkuk bertiga, tidak pernah kenyang. Untungnya sekarang kita makan nasinya banyak, jadi lebih kenyang." Andi pun tak kalah senangnya. Ia terlihat bersemangat memakan nasi yang masih panas beserta mie yang hanya sedikit itu.

Ya Allah, hatiku berdenyut nyeri mendengar penuturan adikku. Mereka begitu senang meski hanya makan nasi dan mie instan saja.

"Setelah ini, bantu Kakak cuci piring, ya." Aku memakan nasi sambil menyuapi Fajar.

"Iya, Kak."

Setelah makan siang, aku mengikuti Andi yang ingin bermain bersama teman-temannya. Lani dan Fajar pun ikut. Pekerjaan rumah sudah selesai, jadi aku bisa menemani mereka.

Sambil menunggu mereka bermain, aku duduk di bawah pohon rambutan milik salah satu tetangga.

"Ibu kalian ke mana, Vin? Kok tadi pagi tidak ada belanja sayur." Bu Halimah mendekat dan duduk di sampingku.

Beliau adalah salah satu tetangga yang selalu membantuku. Saat aku kerepotan menjaga Fajar, beliau ikut menenangkan. Bahkan Andi dan Lani juga sering diberi uang saku saat berangkat sekolah. Tentu saja tanpa diketahui oleh Ibu. Aku mengetahuinya dari Andi, saat ia pulang membawa jajan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah diberi uang saku oleh Ibu.

"Ibu pergi ke salon, Bu."

"Kok tumben, ke salon? Sampai jam segini belum pulang?" Aku menggeleng. "Kalian sudah makan? Kalau belum, ayo ke rumah Ibu."

"Sudah, Bu, kami sudah makan."

"Pakai apa? Semangkuk nasi untuk bertiga lagi?" Aku mendongak. Dari mana Bu Halimah tahu tentang semangkuk nasi untuk bertiga? Apa mungkin tahu dari adikku?

"Tidak kok, Bu. Kami makan dengan kenyang hari ini." Tentu saja, karena kami makan dengan nasi cukup banyak. Ya, walaupun dengan lauk mie instan saja.

"Tidak usah sungkan, Vina, Ibu tahu seperti apa kalian. Kalau kalian tidak keberatan, datang saja ke rumah Ibu. Ibu masak banyak hari ini." Bu Halimah masih berusaha mengajakku ke rumahnya. Tentu saja aku tidak mau. Selain merasa tidak enak, aku juga takut dimarahi oleh Ibu jika tahu kami makan di rumah tetangga.

"Tidak usah, Bu. Mohon maaf sekali, kami benar-benar sudah makan," tolakku.

"Ya sudah kalau begitu, lain kali kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk datang pada Ibu, ya?" Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Bu Halimah lantas masuk ke rumahnya, sementara aku memanggil adik-adikku karena waktu sudah sore.

Setelah selesai mandi, kami menunggu Ibu di teras. Sebentar lagi Maghrib, tetapi Ibu belum juga pulang. Alena dan Papa Erik pun belum ada yang pulang. Ke mana mereka bertiga?

"Ibumu belum pulang, ya?" Bu Halimah mendatangi rumah kami, meletakkan rantang di meja teras. "Ini masakan Ibu masih banyak, sayang kalau nggak ada yang makan. Tadinya Ibu mau ada tamu, tapi tamunya nggak jadi datang. Kalian makan, ya."

Kedua adikku menatap rantang itu. Sebentar lagi waktu makan malam tiba, tapi Ibu belum juga pulang. Lebih baik aku terima saja, lagi pula tidak enak jika menolak, karena Bu Halimah sudah repot-repot membawakannya kemari. "Terima kasih, Bu."

"Sama-sama, Ibu tinggal dulu, ya."

Selepas kepergian Bu Halimah, aku membawa rantang ke dapur. "Apa isinya, Kak?"

Aku membuka isi rantang dan mulai menaruhnya di meja. "Nasi, semur telur, dan ... ayam goreng."

"Yeey, ada ayam goreng!" Lani berjingkrak kegirangan.

"Kita shalat dulu baru setelah itu makan," ucapku. Adik-adikku pun menurut saja. Kami melaksanakan sholat Maghrib, setelah itu menikmati makanan yang diberikan Bu Halimah.

Lani sangat senang bisa makan ayam goreng itu, begitupun dengan Andi. Tak terasa bulir bening jatuh dari pelupuk mataku. Orang lain lebih peduli ketimbang ibu kami sendiri. Dan sampai malam begini, Ibu belum datang, bahkan tidak meninggalkan makanan untuk kami.

Seandainya tidak ada uang sepuluh ribu, tadi siang kami tidak makan. Dan seandainya tidak diberi makanan Bu Halimah, malam ini pun kami tidak makan. Namun, aku sangat bersyukur karena adik-adikku tidak kelaparan meski tidak diberi makanan oleh Ibu. Karena Allah memberi kami rezeki lewat tangan orang lain.

Seperti biasa, aku mencuci piring bekas makan kami. Rantang milik Bu Halimah pun sudah kucuci bersih, besok tinggal mengembalikannya.

"Kenapa ibu belum pulang, Kak? Kak Alena dan Papa Erik juga tidak pulang." Waktu memang sudah malam, tapi mereka belum ada yang kembali pulang.

"Entahlah, Ndi. Kamu tidur aja dulu sama Lani. Biar Kakak yang jaga Fajar, dia belum mau tidur."

Tak lama setelah Andi pergi ke kamar. Ibu, Alena, dan Papa Erik datang bersamaan. Mereka tampak tertawa dan bergembira. Papa Erik menggandeng Ibu yang membawa sebuah papper bag di tangannya. Namun, aku terpana melihat penampilan Ibu yang berubah drastis. Jadi ini yang membuat Ibu melupakan keadaan kami yang ditinggal tanpa ada makanan.

Related chapters

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 6. Ancaman Papa Erik

    Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 7. Kepura-puraan Ibu

    Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 8. Tetangga Lebih Peduli

    Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.

    Last Updated : 2024-08-30
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 9. Itukah Ibu Tiri?

    Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 10. Teganya Mereka

    Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma

    Last Updated : 2024-10-13
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 11. Dia Seorang ....

    "Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A

    Last Updated : 2024-11-15
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 12. Siapa Nurdin?

    Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal

    Last Updated : 2024-11-15
  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 13. Pekerjaan Berbahaya

    "Jangan berani-berani kamu mengasari adik-adikku!" teriak Kak Nur. Orang itu melepaskan tanganku dan beralih menatap orang yang tadi dicarinya. "Tumben jadi garang, biasanya aja lemah lembut padaku," ujar lelaki itu, "sini bayar hutang!" "Tidak ada uang buat lelaki sepertimu!" Kak Nur berubah menjadi galak dan terlihat menakutkan. Suaranya pun lebih lantang layaknya laki-laki asli. Ia menarik kerah baju lelaki itu dan mengangkatnya ke atas, "Cepat pergi!" Lelaki itu dilempar oleh Kak Nur, dan lari terbirit-birit setelah itu. Biar bagaimanapun, Kak Nur atau yang disebut dengan "Nurdin" itu adalah seorang laki-laki. Dengan tubuh jangkung dan berotot, tentu saja dia bisa melawannya. Ya, meski masih terlihat juga sifat kemayunya. "Kalian nggak papa?" tanya Kak Nur, tentu saja dengan suara dibuat-buat. Padahal tadi sudah keluar suara aslinya, kini kembali lagi. "Kami baik kok, Kak," jawabku. "Memangnya mau ke mana?" tanyanya lagi. "Kami mau cari makanan,

    Last Updated : 2024-11-15

Latest chapter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 100

    Siang ini aku sudah sampai di rumah sakit bersama Fajar. Sampai di lobi, Lani muncul dengan membawa parsel buah-buahan di tangannya. Tadinya aku tidak mengajaknya karena kemarin dia bilang tidak mau bertemu Ibu dulu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah pikiran."Kamu datang, Lan?" Aku menatapnya."Iya, Kak. Tadi aku mampir ke rumah Kak Nur dulu. Ternyata, di sana ada anak kecil yang hampir seumuran Nuri. Dia ... anaknya Kak Alena." Lani menampilkan senyumnya."Kamu sudah ketemu sama Farla?" Lani pun mengangguk. "Kamu mau ketemu Ibu?""Iya. Ayo, aku beli buah tadi sebelum ke sini. Di mana ruangannya?" Lani tersenyum sambil menatap sekeliling, tetapi wajahnya tampak gugup. "Kamu beneran mau ketemu Ibu? Kamu baik-baik aja, kan?""Iya, Kak. Aku baik, kok. Tadi Kak Nur sudah ngomong banyak sama aku. Dan aku kayaknya sudah siap ketemu Ibu," ucapnya yakin."Ya sudah, ayo," ajakku."Sini biar kubawain parselnya, Kak," pinta Fajar. Lani pun memberikannya pada Fajar.Aku berjalan di an

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 99

    Aku terkejut dengan sikap Andi yang kasar, padahal Fajar terlihat senang memegang foto itu. Kuambil kembali foto itu dan mendekati Andi. "Aku tahu kamu kecewa, tapi kamu nggak bisa merubah kenyataan bahwa kita pernah memiliki kenangan indah juga, Ndi. Dan foto itu buktinya. Lihat, lihat bagaimana kamu tersenyum manis dan kita semua juga tersenyum di foto ini." Kutunjukkan foto itu pada Andi.Andi tidak mau menoleh, aku memegang dan mengguncang bahunya, menyuruhnya melihat foto itu. "Lihat, Ndi, lihat foto ini!"Andi yang tadinya tidak mau menoleh, akhirnya menoleh juga dan melihat foto yang kupegang. Dia terlihat menahan amarah melihat foto itu. "Foto itu hanya kepalsuan! Kakak sendiri yang mengemas baju-baju kita setelah kita pulang dari sana. Kebaikannya hanya pura-pura agar kita bisa pergi. Kakak nggak mungkin lupa juga, kan?"Perlahan kulepaskan tanganku dari bahu Andi. Bagaimana mungkin aku lupa, di saat hatiku merasa senang karena Ibu sudah berlaku baik dan perhatian, tiba-tiba

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 98

    Aku menoleh dan menatap lekat wajah Andi yang saat ini terlihat menahan amarah. Lagi-lagi Andi tidak dapat mengontrol emosinya. Dan apa yang tadi kudengar, dia pernah meminta Ibu untuk menjauh, tapi kapan dan kenapa aku tidak tahu."Apa maksud kamu, Ndi?""Aku nggak mau wanita itu hadir dalam kehidupan kita, Kak! Dia yang sudah menghancurkan perasaanku. Aku sakit, aku kecewa, aku marah padanya!" "Jadi kamu pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya? Kapan?" "Sudah lama. Dia ingin ketemu kalian, tapi aku melarangnya. Aku nggak sudi dia merusak hidup kita lagi." Andi duduk dan aku pun mendekatinya."Apa laki-laki bernama Roni yang dulu datang ke rumah sakit dan membawa amplop uang itu ada hubungannya dengan Ibu?" tanyaku.Aku sempat curiga saat laki-laki bernama Roni itu datang dan memberikan amplop berisi uang padaku. Saat itu Andi marah dan menyuruhnya pergi, serta memintanya agar tidak lagi datang kepada kami."Ya. Uang itu darinya, tapi itulah kenapa aku nggak mau menerimanya." Andi ter

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 97

    Di rumah sakit, aku dan Mbak Fika menunggu di ruang tunggu karena Ibu sedang diperiksa. Dokter keluar dan kami segera menghampirinya. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mari ke ruangan saya." Aku dan Mbak Fika pun mengikuti langkah kaki dokter perempuan tersebut menuju ruangannya."Silakan duduk."Setelah kami duduk, dokter mulai menjelaskan bahwa Ibu mengalami asam lambung yang sudah parah dan jika dibiarkan, akan berakibat fatal.Selain itu, ada kemungkinan Ibu juga terkena demam berdarah."Untuk memastikan, kita tunggu dulu hasil laboratorium dan pemeriksaan lanjutannya. Dan untuk sementara, akan kami pindahkan dulu ke ruang rawat inap terlebih dahulu," jelas dokter."Terima kasih banyak, Dok."Kami pun keluar dari ruangan dokter dan seorang perawat memberitahu bahwa Ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Perawat itu memintaku mengikutinya ke ruangan di mana Ibu berada. Namun, aku sedikit terkejut karena ternyata, Ibu berada di ruangan umum yang mana ada empat ranjang pasien dalam

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 96

    Perasaanku semakin tidak enak mendengar perkataan Kak Nur. Ada rasa takut jika perkataan itu menjadi kenyataan, tetapi juga khawatir dengan reaksi adik-adikku. Namun, hatiku mengatakan bahwa aku harus memberitahukannya pada adik-adikku, meski apa pun reaksi mereka nantinya.Ya, aku tidak mau jika sampai menyesal suatu saat nanti. Aku juga tidak mau disalahkan seandainya Ibu benar-benar pergi sebelum bertemu adik-adikku. Aku yang paling besar, dan aku juga bisa mengambil keputusan. Aku akan mengabari tentang kedatangan Ibu."Aku harus mempertemukan Ibu dengan adik-adikku, tapi aku butuh bantuan kalian," ujarku pada Mbak Fika dan Kak Nur. "Tolong bantu aku untuk memberi pengertian pada Andi dan Lani. Untuk Fajar, aku yang akan membujuknya. Aku yakin dia tidak akan menolak.""Pasti, Vin, kami akan mencoba untuk membantumu. Andi sempat datang ke rumah dan meminta pendapatku soal Pak Ramlan. Sebenarnya dia hanya merasa, kamu lebih peduli pada ayah kalian. Dia juga khawatir jika kamu akan m

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 95

    Lagi, aku hanya mengangguk dengan pertanyaan yang diajukan Kak Nur."Lalu, kamu tidak memaafkannya?" Kali ini aku menggeleng dengan pertanyaan Kak Nur. "Kenapa?"Aku menghela napas kasar, lalu melangkahkan kaki dan duduk di kursi santai yang tadi diduduki Ibu. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Rasanya terasa sesak dalam dadaku, Kak. Aku ingin menangis saat ini. Entah kenapa rasanya begitu sesak dan sulit untuk bicara. Aku ... aku bingung karena perasaanku. Aku ingin marah, nangis, teriak, tapi nggak bisa."Kak Nur ikut duduk di sampingku, dan menepuk pundakku. "Menangis saja, aku sudah lama nggak lihat kamu nangis, Vin."Aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku lupa seperti apa rasanya menangis, Kak. Mungkin saja air mataku sudah kering.""Biar kamu nggak lupa, aku belikan dulu ya." Kak Nur bangkit dari duduk."Belikan apa, Kak?""Tangisan. Mungkin seribu dapat tiga," celetuk Kak Nur.Ada-Ada saja Kak Nur ini. Aku menggeleng dan sedikit tertawa dengan leluconnya yang sebenarnya

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 94

    Kutatap perempuan yang memanggil namaku itu dengan seksama. Meski wajah itu sedikit berubah karena kerutan di sekitar mata, tidak membuatku kesulitan mengenalinya. Dia, yang katanya bak pinang dibelah dua denganku, dia yang dulu selalu kuharapkan kasih sayangnya, dia yang memberiku arti kehidupan tanpanya.Tangan yang sedikit keriput itu menyentuh wajahku, dengan wajah sendu dan air matanya yang bercucuran. Dia menatapku begitu dalam, seolah ada kerinduan yang selama ini tertahan. Benarkah dia rindu padaku? Ah, pikiran macam apa ini! Aku bahkan tidak pernah mau memikirkan perasaannya selama ini. Entah itu rindu atau sekedar ingin jumpa saja.Selama ini hatiku masih merasakan rindu untuknya, tetapi rindu itu berbalut dengan rasa sakit dan kecewa. Rasa sakit karena tidak diinginkan, serta rasa kecewa karena dilupakan. Untuk apa kini dia hadir lagi setelah sekian tahun aku mencoba untuk mampu tanpa dirinya. Untuk apa dia mencariku?Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan kakiku gemetar. Aku ha

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 93

    Aku melepas pelukan dan menatap adik keduaku itu dengan senyuman. Dia juga tersenyum padaku, seolah melupakan segala perdebatan kami. Syukurlah, Andi sudah bersikap ramah."Aku minta maaf. Aku salah karena bersikap tidak sopan sama Kakak.""Kamu nggak salah kok, Kakak tahu kamu hanya kesal saja," balasku."Tapi aku sudah berkata keras sama Kakak. Maafin aku, Kak. Nggak seharusnya aku bersikap begitu. Kakak adalah segalanya bagiku. Kakaklah yang sudah menjagaku selama ini. Aku merasa jadi adik yang nggak tahu diri dan nggak sopan," kata Andi terlihat menyesal."Kakak nggak merasa kenapa-napa, kok. Aku memang kecewa kamu bersikap berlebihan, tapi aku yakin kamu akan menyadarinya.""Makasih ya, Kak. Aku nggak mau kita berjauhan satu sama lain. Kita akan tetap berempat, kan?" Andi menarik Lani dan Fajar kemudian memeluk keduanya bersamaan."Yee, Kak Andi sudah nggak marah lagi!" seru Fajar."Nah, gitu dong, Kak! Masa kita harus marahan sih, kan nggak seru." Lani pun ikut menimpali."Kita

  • SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU   Bab 92

    "Dia yang kamu maksud itu adalah ayah kita, Ndi. Kamu nggak mau Ayah tinggal bersama kita, dan aku memang memintanya tinggal di rumah itu. Lagi pula Pak Mardi juga tinggal di sana, mereka hidup berdua. Lalu kenapa?" "Iya, Kak. Ayah memang pernah salah sama kita, tapi dia tetaplah ayah kita. Ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kita, dan kita tidak bisa mengelak hal itu," sahut Lani.Andi menoleh pada Lani, lalu tersenyum kecut. "Jadi kamu juga sudah menerima dia, Lan? Baguslah! Pasti Fajar juga sudah kalian ajari untuk menghormatinya, kan? Ya, sekarang hanya aku yang dianggap sebagai anak yang durhaka karena tidak mau menerima dan memaafkan orang itu. Kalian adalah anak-anak yang baik, dan aku anak yang buruk.""Bukan begitu, Ndi." Aku mendekatinya."Bukan begitu lalu apa, Kak? Sudahlah, silakan saja kalian lakukan yang kalian mau. Aku benar-benar kecewa pada kalian! Kupikir hidup kita akan tenang, ternyata malah semakin rumit. Aku hanya ingin kita hidup berempat tanpa orang-or

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status