Beranda / Pernikahan / SETELAH IBU PUNYA SUAMI BARU / Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

Share

Bab 4. Tidak Boleh Sekolah

Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini?

"Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar.

Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya.

"Fajar belum tidur, Kak?"

"Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku.

"Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar."

"Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas.

Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen."

"Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel."

"Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari. Dia malah menangis dan mencari Ibu.

"Cup ya, Sayang ..., Fajar jangan nangis ya, Kakak buatin susu dulu." Dengan masih menggendong Fajar yang menangis, aku mengambil termos dan susu formula yang ada di atas meja belajar.

Saat hendak menuangkan air panas, Fajar berontak dan membuat tanganku terkena air panas. "Aduh!" Aku mengibaskannya dan tetap membuat susu meski tanganku terasa panas dan perih.

Setelah susu itu jadi, Fajar tidak mau meminumnya dan tetap menangis. Aku bingung harus bagaimana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Andi terbangun dan ikut menenangkan Fajar yang meronta-ronta dari gendonganku. Bahuku rasanya sangat sakit karena menggendong Fajar. Namun mata juga terasa pedas karena sudah waktunya tidur.

Andi keluar dari kamar. Kudengar, ia mengetuk pintu kamar Ibu. Sedari tadi Fajar menangis, pastilah suaranya sampai ke kamar Ibu. Tapi sama sekali tidak ingin melihatnya. Apa senyenyak itu tidur mereka?

"Ada apa, sih? Ganggu orang tidur aja!" Kudengar suara Papa Erik memarahi Andi. Gegas aku pun keluar, karena khawatir ia meluapkan emosinya pada adikku. Yang aku tahu, Papa Erik orangnya gampang emosian.

"Ibu mana, Pa? Fajar menangis mencari Ibu, dia tidak bisa tidur tanpa Ibu." Aku segera mendekati pintu kamar mereka.

"Ibumu sudah tidur! Jangan mengganggu lagi! Kalian urus itu!" Papa Erik menunjuk Fajar yang masih dalam gendonganku. "Bikin dia diam, aku pusing mendengarnya menangis terus!"

"Tapi aku tidak bisa mendiamkannya, Pa. Tolong bangunkan Ibu agar menyusui Fajar dulu. Nanti kalau Fajar sudah tidur, aku akan menjaganya," pintaku. Aku masih berusaha menenangkan Fajar yang merengek dan menangis.

"Selalu menyusahkan!" Papa Erik menutup pintu kamarnya. Aku masih menunggu di depan pintu. "Pakai baju! Sana urus anakmu dulu! Setelah itu kembali lagi!" Terdengar suaranya memerintah Ibu.

Tak lama setelahnya, Ibu keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah memberungut kesal. Ia membenarkan baju dan mengikat rambutnya, "Sini!" Ibu mengambil alih Fajar yang tadinya masih dalam gendonganku. Kini Fajar sudah beralih dalam gendongan Ibu. Lega sekali rasanya pundakku.

Ibu membawa Fajar masuk ke kamar dan membaringkannya di samping Lani. Disusuinya sebentar, setelah itu Fajar terlelap. Ibu bangkit, aku menahan tangannya. "Bu, bisakah besok Fajar sama Ibu saja? Untuk malam ini, aku akan menjaganya."

"Ibu sudah bilang mulai malam ini dan seterusnya, Fajar akan tidur bersama kalian! Sekarang Ibu mau kembali ke kamar, Papa Erik sudah menunggu Ibu." Ibu membuka pintu kamar, lalu menolehku. "Tolong jaga adikmu, kalau nanti terbangun, bilang saja Ibu sedang di kamar mandi dan ajak tidur kembali."

Aku menatap punggung Ibu yang akhirnya menghilang setelah ia menutup pintu.

"Ayo kita tidur, Kak. Aku masih mengantuk." Andi terlihat menguap.

"Iya tidurlah, Kakak ambil karpet dulu." Aku mengambil karpet berwarna biru yang biasa aku gunakan untuk mengajak Fajar bermain.

Kupandangi wajah ketiga adikku yang sedang terlelap. Andi dan Lani berada di sisi kanan dan kiri, sementara Fajar ada di tengah-tengah mereka. Kita ini masih memiliki orang tua yang lengkap, tapi rasanya seperti yatim piatu. Meski tinggal bersama Ibu, rasanya bagai tinggal bersama orang asing.

Jika boleh memilih, aku ingin Ibu tidak pernah menikah dengan Papa Erik. Kehidupan kami sebelum ada Papa Erik juga tak jauh berbeda dengan sekarang. Karena kita tinggal di rumah kontrakan kecil dan Ibu hanya bekerja di pabrik garmen. Tapi kami memiliki kasih sayang yang utuh dari Ibu.

Akan tetapi, sekarang kami seakan tidak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dari Ibu kandung kami sendiri. Papa Erik dan Alena seolah merebut Ibu dari kami. Dan Ibu, ia lebih memilih memihak mereka ketimbang kami anak-anaknya.

Setelah menggelar karpet, aku merebahkan tubuh di atasnya. Tubuhku begitu lelah, hingga membuatku memejamkan mata dengan cepat, dan tak terasa sudah terbuai di alam mimpi.

"Kak, bangun! Kita kesiangan!" Andi mengguncang tubuhku yang masih letih. Mata juga rasanya sulit untuk terbuka. Rasanya masih mengantuk sekali. Semalam Fajar terbangun lagi, tetapi tidak menangis, hanya mencari Ibu. Aku mengatakan Ibu berada di kamar mandi seperti perintah Ibu, dan dia mau aku ajak tidur kembali. "Kak Vina!"

"Eeemmmh, howaaam, Kakak masih ngantuk, Ndi. Jam berapa sekarang?" Aku duduk dan mengucek mata. Kulihat Fajar masih tertidur pulas.

"Sudah jam enam, Kak! Lani sudah mandi dan berganti baju. Aku juga sudah selesai mandi. Dari tadi aku bangunkan, Kakak nggak bangun-bangun," paparnya.

"Ya Allah, kita bisa telat!" Aku bergegas mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Namun sesampainya di kamar mandi, Alena berada di dalamnya. "Len, aku mau masuk, cepat sedikit!"

Dia tidak menyahut dan malah asyik bernyanyi di dalam sana. Aku menoleh jam dinding, waktu terus berputar. Kalau menunggu dia selesai, bisa-bisa aku terlambat karena harus berjalan kaki sampai sana. Berbeda dengan Alena yang membawa sepeda motor. Meskipun searah, Alena tidak pernah memperbolehkan aku ikut bersamanya.

Sebenarnya kita sama-sama kelas tiga, hanya saja berbeda sekolah. Karena tidak ingin membuang-buang uang untuk pindahan ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah Papa Erik, Ibu menyuruhku tetap sekolah di sekolah lama yang dulu dekat dengan rumah kontrakan kami.

"Kakak belum mandi?" tanya Andi yang melihatku kembali ke kamar dengan membawa handuk lagi.

"Kalian berangkat aja dulu ya, kalau nunggu Kakak, nanti terlambat. Kalian udah sarapan?" Keduanya mengangguk dan berangkat sekolah setelah memakai tas mereka.

Aku mencuci muka dan memakai seragam sekolah. Saat hendak keluar kamar, Fajar terbangun dan merengek. Aku membawanya keluar dan menyerahkan Fajar pada Ibu. Alena baru keluar dari kamar mandi lalu masuk ke dalam kamarnya.

Aku mengambil nasi yang tinggal sedikit di mangkuk jatah kami bertiga, seperti biasanya. Kata Ibu, Alena sudah sarapan, begitupun Papa Erik yang sudah sarapan dan sudah berangkat bekerja. Dia menjadi supir mengangkut barang. Biasanya akan pulang saat jam makan siang. Terkadang kembali bekerja setelah makan siang.

"Ibu titip Fajar, ya Vin! Ibu mau ke salon hari ini." Ke salon? Sejak kapan Ibu suka pergi ke salon?

"Tapi, aku mau berangkat sekolah, Bu."

"Sudahlah, tidak usah berangkat sekolah hari ini!"

"Lho, kenapa, Bu? Kenapa aku nggak boleh sekolah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status