Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini?
"Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari. Dia malah menangis dan mencari Ibu. "Cup ya, Sayang ..., Fajar jangan nangis ya, Kakak buatin susu dulu." Dengan masih menggendong Fajar yang menangis, aku mengambil termos dan susu formula yang ada di atas meja belajar. Saat hendak menuangkan air panas, Fajar berontak dan membuat tanganku terkena air panas. "Aduh!" Aku mengibaskannya dan tetap membuat susu meski tanganku terasa panas dan perih. Setelah susu itu jadi, Fajar tidak mau meminumnya dan tetap menangis. Aku bingung harus bagaimana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Andi terbangun dan ikut menenangkan Fajar yang meronta-ronta dari gendonganku. Bahuku rasanya sangat sakit karena menggendong Fajar. Namun mata juga terasa pedas karena sudah waktunya tidur. Andi keluar dari kamar. Kudengar, ia mengetuk pintu kamar Ibu. Sedari tadi Fajar menangis, pastilah suaranya sampai ke kamar Ibu. Tapi sama sekali tidak ingin melihatnya. Apa senyenyak itu tidur mereka? "Ada apa, sih? Ganggu orang tidur aja!" Kudengar suara Papa Erik memarahi Andi. Gegas aku pun keluar, karena khawatir ia meluapkan emosinya pada adikku. Yang aku tahu, Papa Erik orangnya gampang emosian. "Ibu mana, Pa? Fajar menangis mencari Ibu, dia tidak bisa tidur tanpa Ibu." Aku segera mendekati pintu kamar mereka. "Ibumu sudah tidur! Jangan mengganggu lagi! Kalian urus itu!" Papa Erik menunjuk Fajar yang masih dalam gendonganku. "Bikin dia diam, aku pusing mendengarnya menangis terus!" "Tapi aku tidak bisa mendiamkannya, Pa. Tolong bangunkan Ibu agar menyusui Fajar dulu. Nanti kalau Fajar sudah tidur, aku akan menjaganya," pintaku. Aku masih berusaha menenangkan Fajar yang merengek dan menangis. "Selalu menyusahkan!" Papa Erik menutup pintu kamarnya. Aku masih menunggu di depan pintu. "Pakai baju! Sana urus anakmu dulu! Setelah itu kembali lagi!" Terdengar suaranya memerintah Ibu. Tak lama setelahnya, Ibu keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah memberungut kesal. Ia membenarkan baju dan mengikat rambutnya, "Sini!" Ibu mengambil alih Fajar yang tadinya masih dalam gendonganku. Kini Fajar sudah beralih dalam gendongan Ibu. Lega sekali rasanya pundakku. Ibu membawa Fajar masuk ke kamar dan membaringkannya di samping Lani. Disusuinya sebentar, setelah itu Fajar terlelap. Ibu bangkit, aku menahan tangannya. "Bu, bisakah besok Fajar sama Ibu saja? Untuk malam ini, aku akan menjaganya." "Ibu sudah bilang mulai malam ini dan seterusnya, Fajar akan tidur bersama kalian! Sekarang Ibu mau kembali ke kamar, Papa Erik sudah menunggu Ibu." Ibu membuka pintu kamar, lalu menolehku. "Tolong jaga adikmu, kalau nanti terbangun, bilang saja Ibu sedang di kamar mandi dan ajak tidur kembali." Aku menatap punggung Ibu yang akhirnya menghilang setelah ia menutup pintu. "Ayo kita tidur, Kak. Aku masih mengantuk." Andi terlihat menguap. "Iya tidurlah, Kakak ambil karpet dulu." Aku mengambil karpet berwarna biru yang biasa aku gunakan untuk mengajak Fajar bermain. Kupandangi wajah ketiga adikku yang sedang terlelap. Andi dan Lani berada di sisi kanan dan kiri, sementara Fajar ada di tengah-tengah mereka. Kita ini masih memiliki orang tua yang lengkap, tapi rasanya seperti yatim piatu. Meski tinggal bersama Ibu, rasanya bagai tinggal bersama orang asing. Jika boleh memilih, aku ingin Ibu tidak pernah menikah dengan Papa Erik. Kehidupan kami sebelum ada Papa Erik juga tak jauh berbeda dengan sekarang. Karena kita tinggal di rumah kontrakan kecil dan Ibu hanya bekerja di pabrik garmen. Tapi kami memiliki kasih sayang yang utuh dari Ibu. Akan tetapi, sekarang kami seakan tidak memiliki hak untuk mendapatkan kasih sayang dari Ibu kandung kami sendiri. Papa Erik dan Alena seolah merebut Ibu dari kami. Dan Ibu, ia lebih memilih memihak mereka ketimbang kami anak-anaknya. Setelah menggelar karpet, aku merebahkan tubuh di atasnya. Tubuhku begitu lelah, hingga membuatku memejamkan mata dengan cepat, dan tak terasa sudah terbuai di alam mimpi. "Kak, bangun! Kita kesiangan!" Andi mengguncang tubuhku yang masih letih. Mata juga rasanya sulit untuk terbuka. Rasanya masih mengantuk sekali. Semalam Fajar terbangun lagi, tetapi tidak menangis, hanya mencari Ibu. Aku mengatakan Ibu berada di kamar mandi seperti perintah Ibu, dan dia mau aku ajak tidur kembali. "Kak Vina!" "Eeemmmh, howaaam, Kakak masih ngantuk, Ndi. Jam berapa sekarang?" Aku duduk dan mengucek mata. Kulihat Fajar masih tertidur pulas. "Sudah jam enam, Kak! Lani sudah mandi dan berganti baju. Aku juga sudah selesai mandi. Dari tadi aku bangunkan, Kakak nggak bangun-bangun," paparnya. "Ya Allah, kita bisa telat!" Aku bergegas mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Namun sesampainya di kamar mandi, Alena berada di dalamnya. "Len, aku mau masuk, cepat sedikit!" Dia tidak menyahut dan malah asyik bernyanyi di dalam sana. Aku menoleh jam dinding, waktu terus berputar. Kalau menunggu dia selesai, bisa-bisa aku terlambat karena harus berjalan kaki sampai sana. Berbeda dengan Alena yang membawa sepeda motor. Meskipun searah, Alena tidak pernah memperbolehkan aku ikut bersamanya. Sebenarnya kita sama-sama kelas tiga, hanya saja berbeda sekolah. Karena tidak ingin membuang-buang uang untuk pindahan ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah Papa Erik, Ibu menyuruhku tetap sekolah di sekolah lama yang dulu dekat dengan rumah kontrakan kami. "Kakak belum mandi?" tanya Andi yang melihatku kembali ke kamar dengan membawa handuk lagi. "Kalian berangkat aja dulu ya, kalau nunggu Kakak, nanti terlambat. Kalian udah sarapan?" Keduanya mengangguk dan berangkat sekolah setelah memakai tas mereka. Aku mencuci muka dan memakai seragam sekolah. Saat hendak keluar kamar, Fajar terbangun dan merengek. Aku membawanya keluar dan menyerahkan Fajar pada Ibu. Alena baru keluar dari kamar mandi lalu masuk ke dalam kamarnya. Aku mengambil nasi yang tinggal sedikit di mangkuk jatah kami bertiga, seperti biasanya. Kata Ibu, Alena sudah sarapan, begitupun Papa Erik yang sudah sarapan dan sudah berangkat bekerja. Dia menjadi supir mengangkut barang. Biasanya akan pulang saat jam makan siang. Terkadang kembali bekerja setelah makan siang. "Ibu titip Fajar, ya Vin! Ibu mau ke salon hari ini." Ke salon? Sejak kapan Ibu suka pergi ke salon? "Tapi, aku mau berangkat sekolah, Bu." "Sudahlah, tidak usah berangkat sekolah hari ini!" "Lho, kenapa, Bu? Kenapa aku nggak boleh sekolah?""Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah
Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P
Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s
Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma
"Kakaaak ...." Masih kudengar jeritan Lani. Namun, suara itu perlahan semakin samar karena aku dibawa menjauh. Aku memberontak berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari mereka berdua. "Tolong lepaskan aku, Om, kasihan adik-adikku, kumohon, lepaskan aku." Aku memohon agar dilepaskan, tapi kedua orang ini sepertinya tidak memiliki hati. Mereka membawaku ke sebuah bangunan yang sepertinya tidak terpakai. Bangunan dengan dinding yang sudah hampir roboh, dengan atap yang berlubang. Bahkan sebagian tempat ini basah terkena air hujan. "Hujan-hujan dapat yang empuk! Ha ha ha." Tawa mereka menggema, membuat tubuhku meremang. Aku diseret ke pojok, tempat yang tidak terkena air hujan. Tubuhku dihempaskan begitu saja, hampir terkena balok kayu yang ada di sampingku, jika saja aku tidak segera menghindar. "Tolong jangan apa-apakan aku, Om, tolong kasihani aku." Jantungku berdebar tak menentu, air mata pun tak berhenti mengalir. A
Tak mau pusing memikirkan Kak Nur, aku mengajak adik-adikku untuk istirahat setelah seharian merasakan tubuh yang kelelahan. Karpet berwarna merah yang ada di belakang lemari pun sudah kugelar. Suara adzan Maghrib terdengar, gegas kuajak adik-adikku untuk berwudhu. Kubuka pintu belakang yang katanya ada kamar mandi di sana untuk mencari air. Ada emperan tanpa dinding di belakang rumah ini, lalu di sampingnya ada papan sebagai penutup kamar mandi. Ada keran di luar kamar mandi yang bisa digunakan untuk berwudhu. Sedangkan di dalam kamar mandi, terdapat kloset jongkok dan ember besar sebagai tempat menampung air. Lantai kamar mandi hanya bebatuan yang sudah berlumut, tetapi masih aman jika hati-hati. "Hati-hati ya, tempatnya agak licin. Besok kita bersihkan sama-sama." Aku menuntun Lani yang hendak buang air kecil. Kami juga membersihkan wajah lalu berwudhu dan melaksanakan salat bersama. Selepas salat, kuambil sisa biskuit dan air mineral yang masih ada dari dal