Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami.
Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu. "Kak!" Andi mengagetkanku. "Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!" "He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa." "Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga membawa serta Lani bersamanya. Sudah terbiasa kedua adikku itu bermain berdua tanpa ada yang mendampingi. Mau bagaimana lagi, aku sendiri memiliki tugas mengerjakan pekerjaan rumah yang begitu banyak. Sedangkan Ibu, tidak mau peduli jika suaminya itu sudah pulang. Mereka akan menghabiskan waktu berdua di dalam kamar. "Ah, Lebih baik melanjutkan pekerjaan rumah, biar bisa istirahat setelah ini." "Mulai malam ini, Fajar akan tidur bersama kamu, biar dia terbiasa tidak bergantung pada Ibu." Aku menoleh saat ibu mendekat. "Tapi gimana kalau dia rewel, Bu? Dia tidak bisa jauh dari Ibu." "Ibu sudah siapkan susu formula, kamu bawa aja ke kamar, biar nanti kalau dia bangun bisa langsung kamu berikan." Ibu kembali masuk ke dalam kamarnya. Ya Allah, apa aku bisa menjaga Fajar saat malam hari, sementara selama ini dia selalu mencari Ibu saat bangun tidur. Semoga saja Fajar tidak rewel. Aku melanjutkan mencuci piring sekaligus akan menyapu dan mengepel lantai. Sudah menjadi tugasku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Jangan ditanya soal Alena. Gadis kesayangan itu sudah pasti sedang berdiam diri di kamar, dan akan keluar saat makan malam sudah tersedia. "Ma, cuacanya panas sekali, aku mau es kacang hijau Pak Kadir dong," ucap Alena dengan manja. Cuaca akhir-akhir ini memang sangat panas. Dan pasti es kacang hijau Pak Kadir sangat pas kalau disruput panas-panas begini. Ah, kenapa aku jadi ikut membayangkannya. "Sebentar ya, Sayang." Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku yang berada di teras belakang karena mengembalikan alat pel. "Vin, tolong belikan es kacang hijau gih! Alena pengen es kacang hijaunya Pak Kadir," perintah ibuku. Sebenarnya aku benci karena semua harus aku. Bukankah Alena juga punya kaki, kenapa tidak pergi sendiri dengan menaiki motornya? Ia selalu ke mana-mana menggunakan motor miliknya, sementara aku ke mana-mana selalu jalan kaki. Tapi aku tidak iri, karena motor itu Papa Erik yang membelikan. Sedangkan aku hanya anak tirinya, tidak mungkin juga dibelikan. Hanya saja .... "Kenapa dia tidak pergi sendiri saja, Bu? Aku capek karena baru selesai ngepel," keluhku. "Sudahlah, belikan saja! Nanti beli sekalian buat kamu!" Ibu memberikan uang padaku. Terpaksa aku menerima dan tidak mau membantah lagi. Rasanya aku juga ingin es kacang hijau itu. Nanti aku makan bersama saat Andi dan Lani pulang, mereka pasti senang. "Aku bawa motor ya, Bu. Biar cepet," pintaku. "Motor nggak ada bensinnya, belum diisi!" Alena menyahut dari dalam kamarnya. Rumah ini tidak terlalu besar, jadi obrolanku dengan ibu, bisa terdengar dari dalam kamar Alena. "Sudah, jalan kaki saja, biasanya juga jalan kaki." Terpaksa aku berjalan kaki menuju tempat Pak Kadir, yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Cuaca sangat terik, aku berjalan di pinggir dan sesekali berhenti di bawah pohon untuk sekedar berteduh. Setelah berpanas-panasan, akhirnya aku sampai di warung kacang hijaunya Pak Kadir. "Es kacang hijaunya dua, Pak." "Eh, iya neng. Tunggu ya!" Sambil duduk di kursi yamg disediakan, aku menunggu pesanan. "Ini, Neng." "Makasih, Pak." Segera kubayar es kacang hijau itu, lalu berjalan pulang. Meski harus berpanas-panasan, sebentar lagi akan terbayarkan dengan es kacang hijau yang segar. Sampai di rumah, Alena langsung merebut plastik yang kubawa. "Siniin!" Ia membuka plastik itu dan mengambil satu, menaruh di mangkuk lalu membawanya ke dalam kamar. Tidak ada rasa terima kasih sama sekali. "Dasar Anak Papi!" gerutuku. Aku mengambil es kacang hijau yang satunya dan menaruhnya di kulkas, karena menunggu adik-adikku pulang untuk memakannya bersama-bersama. Sambil menunggu mereka kembali, aku berbaring di depan televisi, sampai ketiduran. Aku terbangun saat Andi membangunkanku. "Kalian sudah pulang? Sini, Kakak punya es kacang hijau." Aku mengajak Andi dan Lani ke dapur untuk menikmati es kacang hijau yang tadi siang kubeli. Namun saat sampai di dapur .... "Loh! Ini, 'kan punyaku! Kenapa kamu makan lagi, Len?" "Salah sendiri nggak buru-buru di makan. Aku lapar, jadi jangan salahkan aku! Salahmu sendiri menaruhnya di kulkasku!" Geram. Sangat geram. Dengan santainya, Alena memakan kacang hijau milikku. "Tapi itu milikku, Len! Kamu sudah memakannya tadi, kenapa mengambilnya lagi?" Tega sekali dia, aku yang panas-panasan berharap bisa menikmatinya bersama adik-adikku, malah dia yang memakannya lagi. Aku menatap kedua adikku yang sama kecewanya. "Ya suka-suka akulah! Ini, 'kan belinya pakai uang Papa aku. Lagian sadar diri dong, numpang aja belagu! Masih bagus ditampung sama Papa!" Dengan entengnya Alena berucap. "Kamu pikir aku suka ditampung sama papamu? Aku lebih suka tinggal di kontrakan daripada di sini. Kami lebih suka Ibu kami tidak menikah lagi. Agar kami tidak harus berbagi Ibu denganmu!" "Ada apa, sih, ribut-ribut! Nanti Papa kalian bangun," ujar Ibu yang menghampiri kami. Alena mendekati Ibu, "Ma, Vina marah-marah padaku," rengeknya. "Pakai bilang soal Papa lagi, dia juga nggak mau Mama menjadi mamaku." Pintar sekali dia membual. "Kamu tuh apa-apaan sih, Vin! Kamu lupa kalau kita di sini hidup dari Papa Erik, papanya Alena? Tidak seharusnya kamu marah-marah sama Alena!" Ibu melotot ke arahku sambil menenangkan Alena yang memperlihatkan wajah melasnya di depan Ibu. "Alena memakan es milikku, Bu. Dia--" "Sudahlah, barang es aja diributin! Nih, beli lagi sana!" Ibu menyodorkan uang padaku. Aku hanya menatap lembaran berwarna ungu itu. Sementara Alena, ia melenggang dan berlalu dengan membawa es dalam mangkuk itu ke kamarnya. "Kenapa Ibu bersikap tidak adil pada kami? Bukankah kami juga anakmu, Bu? Kenapa hanya dia yang Ibu sayang? Kenapa?" Aku menangis di depan Ibu. Rasanya sudah tidak tahan dengan semua perlakuan berbeda ini. Kami anak kandungnya, tapi diperlakukan seperti anak tiri. Sementara Alena, diperlakukan seperti Ratu. "Sudah cukup, Vina! Nggak usah bikin masalah! Kamu tidak akan mengerti keadaan Ibu! Jangan menambah beban Ibu lagi!"Jadi Ibu menganggapku sebagai beban dalam hidupnya. Lalu, kenapa dulu dia bersikeras untuk membawa aku dan ketiga adikku dari Ayah. Kalau saja Ibu tidak bersikeras, mungkin saat ini kami tinggal bersama Ayah. Namun, saat ini Ayah juga sudah memiliki istri lagi. Ah, kenapa juga seperti ini nasib kami setelah orang tua berpisah. "Aku sudah besar, Bu, aku mengerti semuanya. Yang tidak aku mengerti, kenapa Ibu tidak menyayangi kami, seperti Ibu menyayangi anak tiri Ibu itu?" ucapku dengan bibir bergetar. "Kami juga butuh kasih sayang Ibu!" "Diam, kamu Vina! Kalau kamu masih ingin tinggal bersama Ibu, jangan berani membantah!" "Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi? Kami tidak mau berbagi Ibu! Kami mau Ibu hanya milik kami!" Ibu tidak memedulikan tangisanku. Ia meninggalkan kami dan masuk ke dalam kamarnya. Uang sepuluh ribu itu dijatuhkan, dan Andi memungutnya. "Kak!" Andi mendekatiku yang masih menangis. Kuseka air mata, rasanya malu menangis di depan adik-adikku
Rupanya Ibu sudah menyiapkan semuanya dan benar-benar tidak mau tidur bersama Fajar. Kenapa Ibu bisa setega ini? "Sudahlah, Vin. Jangan ganggu Ibu! Sana urus adik-adikmu!" Aku pun menuju kamar. Teganya Ibu membiarkan Fajar tidur bersama kami. Bukan aku tidak mau mengurusinya, tetapi dia masih butuh ASI. Meskipun sudah disiapkan susu formula, Fajar jarang mau meminumnya. "Fajar belum tidur, Kak?" "Belum, Ndi. Kamu tidur aja duluan, besok 'kan sekolah," perintahku. "Tapi Kakak juga besok harus sekolah. Biar aku saja yang jaga Fajar." "Jangan, kamu tidur aja. Setelah Fajar tidur, Kakak juga langsung tidur, kok." Andi menurut dan naik ke ranjang, lalu tidur di sebelah Lani yang sudah tertidur pulas. Sementara aku masih menggendong Fajar dengan gendongan instan. Ia tidak mau aku tidurkan karena mencari Ibu. "I-bu, I-bu. Ne-nen." "Fajar, bobok sama Kakak, ya, jangan rewel." "Ibu ..., huwaaaa, huwaaa ...." Rupanya aku memang belum bisa menjaga Fajar jika malam hari.
"Tidak usah berangkat hari ini! Lagi pula, sudah tidak ada kegiatan, 'kan? Palingan juga kumpul-kumpul nggak jelas!" Memang hari ini sudah tidak ada acara apa-apa karena kami baru selesai ujian. Tinggal menunggu pengumuman saja. Tapi aku juga ingin bertemu dengan teman-temanku. "Tapi, Bu--" "Nggak usah membantah Ibu!" Ibu sudah bersiap, sepertinya memang tidak bisa ditunda. "Ma, ayo berangkat bareng aku aja!" Alena sudah berpakaian seragam lengkap dan menggendong tasnya. "Oh, iya, Sayang. Ayo kita berangkat. Eh tapi, apa kamu nggak repot kalau Mama ikut nebeng?" "Enggaklah, justru aku seneng banget. Nanti aku akan kenalin Mama sama teman-temen aku." Alena menggandeng ibuku yang juga tersenyum ramah kepadanya. Jujur aku iri melihat cara ibu memandang Alena dengan senyumannya. Mereka pergi meninggalkan aku yang juga sudah memakai seragam lengkap, tapi tidak jadi berangkat sekolah. Tak terasa air mataku menetes. Begini rasanya hidup jadi anak dengan orang tua yang berpisah
Kupindai penampilan Ibu. Wajahnya nampak bersinar dengan polesan make-up natural. Rambut yang awalnya hitam dan ikal, kini berubah menjadi lurus dan berwarna coklat. Ya, ibuku memang cantik. Tubuhnya tetap ramping meski sudah melahirkan empat orang anak. Kulit Ibu juga putih bersih. Meski selama ini jarang berdandan, tapi Ibu tetap cantik menurutku. Dan sekarang Ibu menjadi bertambah cantik dengan penampilan barunya. Memiliki wajah oval, hidung mancung, bibir tipis serta mata besar dengan alis tebal dan bulu mata lentik. Banyak orang menyebut jika semua yang ada pada Ibu, kini menurun padaku. Namun aku tidak menganggapnya seperti itu. Semua anak-anak Ibu memang cantik dan tampan. Karena Ayah juga memiliki wajah yang tampan. Kini aku beralih menelisik penampilan Alena. Alena yang tadi pagi memakai seragam sekolah, kini sudah berganti dengan celana denim dan kaos ketat. Serta memakai tas yang sepertinya baru saja dibeli, karena aku belum pernah melihat sebelumnya. Begitupun P
Pagi harinya. Ibu menata makanan di meja saat aku melewatinya ke kamar mandi. Selesai mandi, Ibu memanggilku untuk sarapan. Aku pun memanggil Andi dan Lani yang sudah berpakaian sekolah. Kami bertiga duduk di meja makan. Fajar sendiri masih terlelap meski pagi sudah menyapa. Sengaja tidak kubangunkan karena semalam ia sering bangun mencari Ibu. Meski akhirnya bisa kutidurkan lagi. Untungnya dia tidak serewel kemarin malam. Ibu menyajikan nasi dalam wadah yang besar, lengkap dengan sayur dan beberapa lauk. Lani terlihat menganga melihat ayam goreng yang tersaji di piring begitu banyak. Namun, sepertinya ia tidak berani menyentuhnya, karena tahu, biasanya bukan makanan itu yang diberikan pada kami. Kami diam saja sambil menunggu semangkuk nasi jatah kami bertiga. Lani nampak menggigit bibirnya, sesekali meneguk ludah. Aku yakin dia sangat inginkan ayam goreng itu. Sementara Andi, ia menoleh ke arahku seakan bertanya, 'mana makanan kita?' "Kenapa tidak makan?" Ibu bertanya s
Hal yang menyakitkan adalah ketika sudah tidak diharapkan kehadirannya oleh orang terdekat kita. Ya, itu yang kini terjadi padaku dan adik-adikku. Kami tak lagi diinginkan oleh ibu kandung kami sendiri. Kehadiran kami seperti penghalang yang harus disingkirkan. Aku harus menyiapkan hati menghadapi kehidupan baru esok hari. Semoga saja adik-adikku bisa menerima keadaan ini. Kupandangi wajah ketiga adikku yang kini tengah terlelap. Seharian ini mereka begitu bahagia, bercanda dan tertawa. Namun besok, apakah masih ada tawa yang bisa kulihat dari mereka? Tidak ingin membuat mereka terbangun, aku membuka pintu lemari dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kumasukkan satu per satu baju-baju Andi dan Fajar dalam satu tas. Sedangkan tas yang satunya, kuisi dengan bajuku dan baju Lani. Dua tas besar berisi baju kami, sudah kutaruh di samping pintu. Aku sudah menyisakan baju ganti untuk besok pagi. Beberapa mainan dan perlengkapan Fajar juga sudah aku masukkan ke dalam tas.
Bu Halimah mengejar kami, Ibu pun menghentikan motornya. "Bu Ratih yakin ingin berpisah dengan anak-anak?" "Maksud Bu Halimah itu apa? Mereka akan tinggal bersama ayahnya. Apa itu salah?" Ibu terlihat emosi. "Lagi pula ini urusan keluarga saya, nggak usah ikut campur. Saya sudah berbaik hati tadi membiarkan Bu Halimah ikut campur soal Fajar." "Ya, saya mengerti, Bu Ratih. Saya hanya menyayangkannya saja. Anak-anak lebih berharga dari pada apa pun. Tapi jika itu sudah menjadi keputusan Bu Ratih, saya hanya bisa mendoakan agar kalian semua bahagia meski tidak lagi bersama." Mata Bu Halimah berkaca-kaca. "Ngapain lagi, sih? Nanti kita ketinggalan bus!" teriak Papa Erik yang sudah menunggu di jalan. "Hati-hati ya, Vina, jaga adik-adikmu dengan baik." Melihat Bu Halimah menangis, aku jadi ikutan menangis. Rasanya dada ini terasa sesak, tenggorokan tercekat dan sakit karena menahan tangis agar tidak keluar. Kutatap wajah tetangga baikku itu, tangannya melambai
Kuberanikan diri mengetuk pintu, meski ada rasa takut mendapat sambutan yang buruk. Semoga saja ibu tiriku itu tidak berbuat kasar pada kami. "Assalamualaikum." "Wa alaikum salam," sahutnya dari dalam rumah. Kriet. Pintu terbuka, seorang perempuan dengan rambut terurai panjang, menggendong dua bayi di kedua tangannya. Terlihat sekali wajah tidak bersahabat dari perempuan itu. Sepertinya ini adalah ibu tiri kami. "Kalian siapa?" "Kami ingin bertemu Ayah." Mendengar jawabanku, perempuan itu nampak mencebikkan bibirnya. Mungkin ia sudah menduga jika kami adalah anak-anak dari suaminya yang berarti anak tirinya. "Ayah kalian tidak ada di rumah!" Kami tidak dipersilakan masuk, padahal kaki kami sudah sangat pegal. "Memangnya ada apa mencarinya?" "Kami akan tinggal bersama Ayah, Bu. Ini adik kami, ya?" Aku berusaha bersikap baik agar kami bisa diterima dengan baik. Saat aku mencoba mendekati bayi yang digendongnya, ibu tiriku itu malah menghindar. "Mau tinggal di sini? Ma