Share

Bab 2. Ibu Tidak Adil

Teriakan Papa Erik membuatku menghentikan aktifitas mencuci piring dan mengelap tangan dengan baju yang kupakai. Pasti Fajar yang dimaksud olehnya. Bergegas aku melihat apa yang terjadi dan mengintip di balik gorden. Benar saja, Ibu membawa tubuh mungil Fajar keluar dari kamarnya, lalu membawanya ke kamar kami.

Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Kamar depan dipakai Papa Erik dan Ibu, kamar kedua ditempati Alena, putri satu-satunya Papa Erik yang begitu mereka manjakan. Dan kamar yang belakang, aku dan kedua adikku yang menempatinya. Tapi sepertinya kali ini akan ketambahan Fajar juga karena tadi Papa Erik menyuruh Ibu membawa Fajar untuk tidur di kamar lain. Entah bagaimana nanti saat malam hari karena biasanya Fajar hanya bisa tidur jika dikelonin Ibu.

"Kak!" Andi mengagetkanku.

"Ada apa, Ndi? Bikin kaget aja, kamu!"

"He he he, maaf, Kak. Aku mau main ke rumah Rafa."

"Iya, hati-hati dan ashar harus sudah pulang, ya!" Andi mengangguk lalu keluar dari rumah. Ia juga membawa serta Lani bersamanya.

Sudah terbiasa kedua adikku itu bermain berdua tanpa ada yang mendampingi. Mau bagaimana lagi, aku sendiri memiliki tugas mengerjakan pekerjaan rumah yang begitu banyak. Sedangkan Ibu, tidak mau peduli jika suaminya itu sudah pulang. Mereka akan menghabiskan waktu berdua di dalam kamar.

"Ah, Lebih baik melanjutkan pekerjaan rumah, biar bisa istirahat setelah ini."

"Mulai malam ini, Fajar akan tidur bersama kamu, biar dia terbiasa tidak bergantung pada Ibu."

Aku menoleh saat ibu mendekat. "Tapi gimana kalau dia rewel, Bu? Dia tidak bisa jauh dari Ibu."

"Ibu sudah siapkan susu formula, kamu bawa aja ke kamar, biar nanti kalau dia bangun bisa langsung kamu berikan." Ibu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Ya Allah, apa aku bisa menjaga Fajar saat malam hari, sementara selama ini dia selalu mencari Ibu saat bangun tidur. Semoga saja Fajar tidak rewel.

Aku melanjutkan mencuci piring sekaligus akan menyapu dan mengepel lantai. Sudah menjadi tugasku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Jangan ditanya soal Alena. Gadis kesayangan itu sudah pasti sedang berdiam diri di kamar, dan akan keluar saat makan malam sudah tersedia.

"Ma, cuacanya panas sekali, aku mau es kacang hijau Pak Kadir dong," ucap Alena dengan manja. Cuaca akhir-akhir ini memang sangat panas. Dan pasti es kacang hijau Pak Kadir sangat pas kalau disruput panas-panas begini. Ah, kenapa aku jadi ikut membayangkannya.

"Sebentar ya, Sayang." Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahku yang berada di teras belakang karena mengembalikan alat pel. "Vin, tolong belikan es kacang hijau gih! Alena pengen es kacang hijaunya Pak Kadir," perintah ibuku.

Sebenarnya aku benci karena semua harus aku. Bukankah Alena juga punya kaki, kenapa tidak pergi sendiri dengan menaiki motornya? Ia selalu ke mana-mana menggunakan motor miliknya, sementara aku ke mana-mana selalu jalan kaki. Tapi aku tidak iri, karena motor itu Papa Erik yang membelikan. Sedangkan aku hanya anak tirinya, tidak mungkin juga dibelikan. Hanya saja ....

"Kenapa dia tidak pergi sendiri saja, Bu? Aku capek karena baru selesai ngepel," keluhku.

"Sudahlah, belikan saja! Nanti beli sekalian buat kamu!" Ibu memberikan uang padaku. Terpaksa aku menerima dan tidak mau membantah lagi. Rasanya aku juga ingin es kacang hijau itu. Nanti aku makan bersama saat Andi dan Lani pulang, mereka pasti senang.

"Aku bawa motor ya, Bu. Biar cepet," pintaku.

"Motor nggak ada bensinnya, belum diisi!" Alena menyahut dari dalam kamarnya. Rumah ini tidak terlalu besar, jadi obrolanku dengan ibu, bisa terdengar dari dalam kamar Alena.

"Sudah, jalan kaki saja, biasanya juga jalan kaki."

Terpaksa aku berjalan kaki menuju tempat Pak Kadir, yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah. Cuaca sangat terik, aku berjalan di pinggir dan sesekali berhenti di bawah pohon untuk sekedar berteduh.

Setelah berpanas-panasan, akhirnya aku sampai di warung kacang hijaunya Pak Kadir. "Es kacang hijaunya dua, Pak."

"Eh, iya neng. Tunggu ya!"

Sambil duduk di kursi yamg disediakan, aku menunggu pesanan. "Ini, Neng."

"Makasih, Pak." Segera kubayar es kacang hijau itu, lalu berjalan pulang. Meski harus berpanas-panasan, sebentar lagi akan terbayarkan dengan es kacang hijau yang segar.

Sampai di rumah, Alena langsung merebut plastik yang kubawa. "Siniin!"

Ia membuka plastik itu dan mengambil satu, menaruh di mangkuk lalu membawanya ke dalam kamar. Tidak ada rasa terima kasih sama sekali. "Dasar Anak Papi!" gerutuku.

Aku mengambil es kacang hijau yang satunya dan menaruhnya di kulkas, karena menunggu adik-adikku pulang untuk memakannya bersama-bersama. Sambil menunggu mereka kembali, aku berbaring di depan televisi, sampai ketiduran.

Aku terbangun saat Andi membangunkanku. "Kalian sudah pulang? Sini, Kakak punya es kacang hijau."

Aku mengajak Andi dan Lani ke dapur untuk menikmati es kacang hijau yang tadi siang kubeli. Namun saat sampai di dapur ....

"Loh! Ini, 'kan punyaku! Kenapa kamu makan lagi, Len?"

"Salah sendiri nggak buru-buru di makan. Aku lapar, jadi jangan salahkan aku! Salahmu sendiri menaruhnya di kulkasku!"

Geram. Sangat geram. Dengan santainya, Alena memakan kacang hijau milikku.

"Tapi itu milikku, Len! Kamu sudah memakannya tadi, kenapa mengambilnya lagi?" Tega sekali dia, aku yang panas-panasan berharap bisa menikmatinya bersama adik-adikku, malah dia yang memakannya lagi. Aku menatap kedua adikku yang sama kecewanya.

"Ya suka-suka akulah! Ini, 'kan belinya pakai uang Papa aku. Lagian sadar diri dong, numpang aja belagu! Masih bagus ditampung sama Papa!" Dengan entengnya Alena berucap.

"Kamu pikir aku suka ditampung sama papamu? Aku lebih suka tinggal di kontrakan daripada di sini. Kami lebih suka Ibu kami tidak menikah lagi. Agar kami tidak harus berbagi Ibu denganmu!"

"Ada apa, sih, ribut-ribut! Nanti Papa kalian bangun," ujar Ibu yang menghampiri kami.

Alena mendekati Ibu, "Ma, Vina marah-marah padaku," rengeknya. "Pakai bilang soal Papa lagi, dia juga nggak mau Mama menjadi mamaku." Pintar sekali dia membual.

"Kamu tuh apa-apaan sih, Vin! Kamu lupa kalau kita di sini hidup dari Papa Erik, papanya Alena? Tidak seharusnya kamu marah-marah sama Alena!" Ibu melotot ke arahku sambil menenangkan Alena yang memperlihatkan wajah melasnya di depan Ibu.

"Alena memakan es milikku, Bu. Dia--"

"Sudahlah, barang es aja diributin! Nih, beli lagi sana!" Ibu menyodorkan uang padaku. Aku hanya menatap lembaran berwarna ungu itu. Sementara Alena, ia melenggang dan berlalu dengan membawa es dalam mangkuk itu ke kamarnya.

"Kenapa Ibu bersikap tidak adil pada kami? Bukankah kami juga anakmu, Bu? Kenapa hanya dia yang Ibu sayang? Kenapa?" Aku menangis di depan Ibu. Rasanya sudah tidak tahan dengan semua perlakuan berbeda ini. Kami anak kandungnya, tapi diperlakukan seperti anak tiri. Sementara Alena, diperlakukan seperti Ratu.

"Sudah cukup, Vina! Nggak usah bikin masalah! Kamu tidak akan mengerti keadaan Ibu! Jangan menambah beban Ibu lagi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status