"Aw ...." teriak Naura.
Beling tercecer di mana-mana. Tangan Naura terluka dan berdarah. Refleks aku langsung mengemut jari Naura. Rasa khawatir sangat menyelimutiku.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Naura hanya menggeleng dengan senyum manis.
"Sayang? Maksud kamu apa memanggil Naura dengan sebutan Sayang?" tanya Uwa yang membuatku gugup. Tangan Naura langsung aku hempaskan. Dia terlihat merintih kesakitan.
Semua mata menatap kemesraanku dengan Naura. Wajah heran terpampang jelas. Kecuali Evania, dia malah tersenyum tanpa dosa.
"Emmm, ma-maksud Aryan, anu Uwa, anu ...." Mati kutu aku. Semua pasti rencana Evania. Dasar istri tidak tahu diuntung. Tunggu pembalasanku.
"Aduh, perut Eva sakit." Evania langsung memegangi perutnya dan merintih kesakitan.
"Eva, kamu kenapa? Aryan bawa dia ke kamar." Perintah Mbak Mela.
"Pasti kamu kecapean, Eva. Sudah mempersiapkan syukuran sendirian. Gimana kalo kita bawa ke rumah sakit?" tanya Mbak Devi ketika aku memapah Evania menuju kamar.
"Nggak usah Mbak, Eva cuman kecapean. Mungkin Dede bayinya mau di elus-elus Bapaknya." Aku hanya salah tingkah melihat tingkah Evania.
Sedangkan Naura, sepertinya dia makin cemburu. aku tinggalkan dia begitu saja di dapur.
"Aryan, harusnya kamu obatin aku dulu." Naura datang ke dalam kamar.
"Naura, kamu apa-apaan sih, manjanya nggak pernah ilang dari dulu. Aryan, sudah punya istri, Naura," tutur Mbak Devi dengan ketus.
Naura, kenapa kamu tidak lihat tempat dan kondisi sih? Sikapnya bisa-bisa membuat keluarga curiga. Untung tadi Evania menyelamatkanku dari pertanyaan Uwa yang sulit dijawab.
"Benar kata Mbak kamu. Sekarang kamu sudah besar, Naura. Jangan manja sama Aryan. Masih ada kakak kamu yang lain. Minta tolong Mas Aji sana." Perintah Uwa.
Dari dulu, Naura memang sangat dekat denganku dibanding kakak kandungnya sendiri. Padahal, Mas Aji dan aku seumuran. Mereka menganggap Naura hanya manja seperti adik kepada kakaknya. Padahal, hubungan kami lebih dari itu.
"Ih, nyebelin. Mbak Eva, cuman pura-pura sakit. Tuh, buktinya sekarang dia nggak sakit lagi." Tuduh Naura, sangat kesal.
"Naura!" Bentak Uwa yang membuat kami terdiam.
Uwa memang galak. Dia juga sangat menyanyagin Evania. Sudah Dianggap sebagai manantu kesayangan, bahkan seperti anaknya sendiri.
"Sudah, Uwa. Evania nggak apa-apa ko, silahkan makan-makannya di lanjutin. Kalian nginep aja di sini." Mataku mendelik atas pernyataan Evania.
Sungguh lancang, dia tidak meminta pendapatku dulu. Padahal, ini rumahku. Enak saja mengizinkan semua orang menginap. Gagal rencanaku memberi pelajaran padanya.
"Bener tuh, sudahlah, Naura, ayok ikut Mbak membereskan makanan. Kita akan menginap di sini." Mbak Imay menarik Naura.
Wajahnya merah merona menahan api cemburu dan amarah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika, mementingkan perasaan Naura, bisa mati aku di curigai sekeluarga.
"Ya udah, kamu istirahat, Eva." Mbak Devi dan Uwa meninggalkan kami berduaan di kamar.
Aku tutup pintu kamar. Waktunya mewawancarai Evania tentang semua kejadian hari ini.
"Eva, jelaskan semuanya!" ucapku ketus.
"Jelaskan apa?" jawabnya dengan enteng tanpa rasa bersalah.
"Jangan pura-pura polos. Katakan, apakah kamu yang menyadap WhatsAppku, mengganti nomer pin dan merencanakan syukuran konyol ini. Kamu sengaja membuat Naura cemburu?" aku cengkram rahang Evania dengan tatapan tajam.
"Lepas!" Dia menghempaskan tangaku dengan kasar.
"Sekali lagi kamu menyentuhku, tamat riwayatmu, Aryan. Kamu pikir aku perempuan bodoh? Kamu salah. Dalam kedipan mata, rahasia perselingkuhanmu bisa aku bongkar. Kamu tau akibatnya? Kesehatan Uwa akan terancam, dan kalian akan dicoret dari nama keluarga."
Ancaman Evania sampai ke ulu hati. Rasa takut perlahan menguasai, tetapi aku coba menepisnya. Berusaha tetap terlihat tenang di depannya. Evania sudah gila, seenaknya dia mengancamku. Belum tahu dia, siapa Aryan Atmaja.
"Hahaha, tutup mulutmu, Evania. Jangan berbicara omong kosong. Sudahlah, kamu harus menerima hubunganku dengan Naura. Asal kamu tahu, sebelum kita menikah, aku sudah punya hubungan spesial dengannya. Kamu cukup menerima dan hidup mewah dengan hartaku. Aku janji tidak akan menceraikanmu. Karena aku masih memikirkan anak kita."
"Hahaha, lucu kamu Aryan. Aku jijik melihat perilaku kalian."
"Diam!" tanganku hampir melayang. Untung suara ribut anak-anak didepan membuat suara teriakanku tidak akan terdengar.
"Ayok, tampar. Setelah itu, habis riwayatmu, Aryan." Tatap evania tidak main-main.
Siapa perempuan di hadapanku sekarang? Dia bukan Evania yang aku kenal. Sosok Evania selalu lemah lembut, tidak pernah membantah dan penurut. Setan mana yang merasukinya. Sampai dia berani melawanku.
"Silahkan kamu bilang sama Uwa. Mereka tidak akan percaya omong kosongmu. Kamu tidak punya bukti apa-apa," senyum mengejek aku tunjukan padanya. Dia pikir aku bodoh? Oh tidak, aku tidak akan percaya begitu saja. Perempuan kampung seperti Evania, tidak akan bisa melakukan hal nekat.
"Oh, kamu mau bukti." Evania tersenyum lebar lalu mengambil ponselnya di atas nakas.
Tring!
Tring!
Tring!
Ponselku berkali-kali berdering. Menandakan ada beberapa pesan masuk. Langsung aku rogoh ponsel disaku celana.
"Apa?"
Mataku membeliak sempurna menyaksikan pesan dari Evania. Berkali-kali mengucek mata untuk memastikan bahwa aku tidak salah lihat. Gila, Evania sudah gila. Dari mana dia mendapatkan ini semua? Mati aku.
"Bagaimana, Aryan Atmaja?" Bisik Evania di telingaku. Bulu kuduk meremang mendengar suaranya yang terasa sangat menyeramkan.
"Bagaimana, Aryan Atmaja?" Bisik Evania di telingaku. Bulu kuduk meremang mendengar suaranya yang terasa sangat menyeramkan."Ka-kamu dapat dari mana semua ini?" tanyaku gugup.Evania semakin mendekatkan wajahnya. Senyum mengerikan terpancar. Tubuhku gemetar, merasakan sentuhan halus yang terasa sangat menyeramkan. Keringat mulai membasahi kening."Jangan takut suamiku tercinta. Belum waktunya aku menyingkirkan kamu dalam hidupku. Kita nikmati saja kebersamaan ini," ucap Evania dengan tenang.Dia bukan Evaniaku. Wajah polosnya sudah tidak aku temukan lagi. Kelembutannya seakan terkikis kekecewaan yang sangat mendalam padaku. Sekarang, dia berubah bagai monster yang menyeramkan."Dapat!" Aku rebut ponselnya.Satu tangan berusaha mencengkram kedua tangan Evania. Dia diam tidak berkutik. Rasakan, kamu pikir aku bodoh? pria cerdas yang pendidikannya jauh dibandingkan perempuan di hadapaku. Dia bukan tandinganku untuk bermain-main. Selama bertahun-tahun hubunganku dengan Naura aman, dan ti
POV EvaniaKetika sudah menikah, maka surga seorang perempuan ada di telapak kaki suaminya. Sebagai istri, harus berbakti dan penurut. Itu yang sudah aku lakukan selama dua tahun. Berusaha menjadi istri salehah meski batin sering sakit dengan perlakuan suamiku yang semena-mena. Mas Aryan, selalu membanding-bandingkanku dengan Naura--Sepupunya. Awalnya aku pikir wajar. Naura adalah perempuan berpendidikan yang sedang kuliah semester 2. Segudang prestasi di dapatkan. Dia mempunyai kemapuan publick speak yang sangat bagus, prestasi akademik yang gemilang, ditambah parasnya yang good looking. Namun, seluruh kelebihannya dia coreng dengan perbuatannya yang sangat tercela. Dia mengumbar tubuhnya untuk pria lain. Yang paling menyakitkan bagiku, ternyata pria itu adalah suamiku sendiri."Kamu sudah menyadap nomer WhatsApp suamimu, Eva?" tanya Ayu--sahabatku, saat kami bertemu di rumahnya."Sudah, Yu." Aku langsung memeluk dia. Air mata luluh lantah. Aku tidak pernah menyangka bahwa Mas Arya
Drat!Drat!Ponselku terus berbunyi. Dengan terpkasa aku hentika mobil di pinggir jalan dan mengangkat ponsel. Siapa gerangan yang menelpon? menganggu saja."Kamu dimana, Evania?" tanya Ayu."Aku sedang mengikuti Mas Aryan, dia pergi ke daerah pedesaan, sepi sekali. Aku sampai takut.""Kembali ke Jakarta, Eva. Kamu temui aku di cafe dekat apartemen Naura.""Maksud kamu apa, Ayu? Aku bisa kehilangan jejak Mas Aryan. Jangan ngawur.""Dengar kata-kataku. Bahaya jika kamu melanjutkan membuntuti Aryan. Percayalah, aku selalu memberi saran terbaik untukmu."Kata-kata Ayu bagai embun yang menyejukan hati. Jujur, sedari tadi, hawa takut terus menyelimuti. Firasta negatif sangat menancap di hati."Baiklah, aku langsung kembali ke Jakarta, dan menemuimu.""Bagus, setelah sampai di sini, kamu akan tau jawabannya Eva." Sambungan telpon terputus.Apa yang dimaksud Ayu? Sungguh, aku tidak memahami. Biarlah, lebih baik bergegas memutar balik. Sebelum Mas Aryan mengarahkanku menuju tempat yang berba
POV Aryan"Mas, perempuan itu sudah gila." Naura menyerahkan sebuah foto beserta caption yang dikirim Evania.Mataku melotot dengan sempurna. Rasanya bola mata ingin jatuh ke lantai. Rasa nikmat setelah bercinta dengan Naura, hilang seketika. Digantikan rasa takut dan panik yang sangat kuat mendera jiwa.Aku tidak tahu, kenapa Evania bisa lolos dari perangkap. Padahal, rencana penculikan ini dilakukan serapih mungkin. Sejak di tempat proyek, aku sengaja mengajak preman suruhanku untuk menyamar menjadi rekan bisnis. Kami masuk dalam mobilku. Sebelum keluar kota Jakarta, aku sengaja berpindah posisi dan menyamar seolah-olah rekan Bisnisku yang turun dari mobil. Menurut laporan orang suruhanku, awalnya Evania berhasil digiring ke lokasi penjebakan. Namun, sedikit lagi sampai, mobil putar balik dan tidak meninggalkan jejak."Mas, kenapa?" tanya Naura yang melihatku mendadak terperangah dan terkulai lemas di lantai.Belum cukup kepanikan mendera, sebuah pesan dari Mbak Devi membuatku ingi
POV Evania"Astagfirulloh, Uwa, istigfar," ucapku langsung memeluk Uwa.Saat aku melihat ke luar, ternyata bukan ada maling. Namun, sudah terjadi perkelahian antara Uwa dan Mas Aryan. Wajah Uwa terpancar amarah yang sangat besar. Sedangkan Naura terlihat histeris . Melihat pangerannya babak belur. Pasti Ayu sudah mengirim foto itu, hahaha. Maafkan aku Mas, tidak bermaksud melukaimu. Aku juga tidak menyangka Uwa akan semarah ini. Padahal, bukan foto sedang bermain ranjang yang dikirim. Apalagi kalo Uwa tahu vidio-vidio panas mereka. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. "Jangan halangi Uwa, Eva. Biar mereka kapok.""Sudah Uwa, sudah. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jika Mas Aryan sampai mati, Uwa yang akan masuk penjara. Dan anakku akan menjadi yatim. Tolong Uwa, kendalikan emosinya."Tubuh Uwa mulai tenang. Perlahan, amarah bisa dikendalikan. Sebenarnya aku senang jika Mas Aryan mendapat pelajaran atas perbuatannya. Bahkan, ini belum setimpal. Namun, aku tidak
Cahaya mentari membangunkan tubuhku. Badanku kelelahan Setelah acara heboh antara Mas Aryan dan Naura yang berjalan sampai jam 3 dini hari. Setelah solat subuh, malah ketiduran.Dengan malas, aku buka pintu. Sengaja mengunci pintu kamar. Tidak Sudi jika Mas Aryan tiba-tiba masuk ke kamarku. Meski belum ada kata cerai, tapi hatiku sudah lepas darinya. "Untung kamu sudah bangun," ucap Mas Aryan yang terlihat sudah rapi. Aku memang sudah menyimpan baju kerjanya di atas meja tamu saat mau solat subuh."Kenapa belum berangkat kerja?" "Ya nunggu kamu buka pintu kamar," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.Aku tidak perduli apa yang dia lakukan. Segera bergegas menuju meja makan untuk menyantap roti ditambah selai stroberi. Bisa kurus badanku jika terus memikirkan Mas Aryan. Lebih baik perbanyak makan biar kuat menjalani cobaan berat."Evania!" teriak Mas Aryan dari kamar.Lama-lama sikapnya seperti nenek lampir. Suka sekali membuat kegaduhan. Masih pagi sudah teriak-teriak tidak jelas. A
POV NauraSudah satu Minggu lebih aku berjauhan dengan Mas Aryan . Rasanya sangat tersiksa. Apalagi ketika memikirkannya bermesraan dengan istrinya.Aku tidak habis pikir. Kenapa Mbak Eva bisa secerdas itu. Pasti ada seseorang yang membantunya. Padahal, dulu, aku mengizinkan Mas Aryan menikah karena merasa istrinya polos dan tidak akan mengusik hubungan gelap kami. Namun, kenyataannya tidak seperti itu."Sayang, Bapak kamu mau menjodohkan Mas, sepertinya, Mas harus menerima agar hubungan kita tidak dicurigai," ucap Mas Aryan dua tahun lalu.Semua itu berawal karena pengaduan Mbak Imay. Dia melihatku bermesraan dengan Mas Aryan di kamar. Memang menyebalkan, Mbak Imay sangat ketat menjaga pergaulanku. Suaminya bekerja sebagai pelayaran, jadi dia terpaksa tinggal dirumah bapak untuk mengambil alih peran almarhum ibu. Dia tidak punya anak, jadi leluasa mengawasiku kapan saja."Naura, bantu Mbak nyuci piring. Cucian semalam tidak ada yang nyuci, numpuk, gini. Mau sarapan pakai daun? Buru k
POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik