"Bagaimana, Aryan Atmaja?" Bisik Evania di telingaku. Bulu kuduk meremang mendengar suaranya yang terasa sangat menyeramkan.
"Ka-kamu dapat dari mana semua ini?" tanyaku gugup.
Evania semakin mendekatkan wajahnya. Senyum mengerikan terpancar. Tubuhku gemetar, merasakan sentuhan halus yang terasa sangat menyeramkan. Keringat mulai membasahi kening.
"Jangan takut suamiku tercinta. Belum waktunya aku menyingkirkan kamu dalam hidupku. Kita nikmati saja kebersamaan ini," ucap Evania dengan tenang.
Dia bukan Evaniaku. Wajah polosnya sudah tidak aku temukan lagi. Kelembutannya seakan terkikis kekecewaan yang sangat mendalam padaku. Sekarang, dia berubah bagai monster yang menyeramkan.
"Dapat!" Aku rebut ponselnya.
Satu tangan berusaha mencengkram kedua tangan Evania. Dia diam tidak berkutik. Rasakan, kamu pikir aku bodoh? pria cerdas yang pendidikannya jauh dibandingkan perempuan di hadapaku. Dia bukan tandinganku untuk bermain-main. Selama bertahun-tahun hubunganku dengan Naura aman, dan tidak akan berubah meskipun evania mengetahui segalanya.
"Hahahah, sudah puas kamu hapus Vidio dan fotonya?"
Evania malah tertawa lepas. Dia tidak khawatir akan file yang sudah aku hapus. Sikapnya membuatku bingung.
"Sudahlah Evania, kamu tidak akan bisa membongkar hubunganku dengan Naura. Berhenti menganggu kami. Tetaplah menjadi istri penurut, aku akan berbaik hati dan memaafkan kesalahanmu yang sudah bersikap lancang padaku."
"Memaafkan? Apa akau tidak salah dengar, Aryan? Kamu sungguh lucu seperti badut, hahaha."
"Berhenti tertawa, kamu sudah tidak punya bukti apa-apa, Evania."
"Kamu yang harusnya berhenti menghalu. Simpan harapan busukmu bersama Naura, apa yang kalian lakukan sungguh tidak bermoral. Untuk apa sekolah tinggi, tapi akhlaq minus. Perutku sampai sakit menertawakan kegilaan kalian." Evania terus tertawa dengan lepas. Dia menganggap ku seperti badut. Padahal, tidak ada yang lucu. Jika dia tidak mengandung anakku, Bogeman sudah melayang di pipi mulusnya.
"Diam, Evania, kalo tidak kamu akan menyesal."
Evania langsung menghentikan tawanya. Matanya menatapku dengan datar. Sepertinya dia sudah sadar. Bahwa dirinya tidak akan bisa melawanku.
"Aku sudah bilang, kamu yang diam. Meskipun file itu sudah di hapus 100 kali, aku bisa mendownloadnya kembali. Semua bukti-bukti sudah aku simpan di goegle Drive. Meskipun kamu banting ponselku, aku bisa mendownloadnya di ponsel yang lain."
Mulutku melongo dengan sempurna. Tidak pernah berpikir bahwa Evania akan melakukan hal sejauh ini. Apa dia sudah lama mengetahui perselingkuhanku? Dari raut wajahnya, seakan sudah tidak ada luka bahkan air mata sedikitpun. Dia terlihat sangat tegar.
"Satu lagi, email dan sandinya kamu tidak akan tahu dan tidak bisa menghecknya. Bagaimana Aryan, istrimu yang kampungan dan bukan seorang sarajana ini, sangat pintar bukan?"
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar penjelasannya. Tidak aku sangka, seorang Evania yang selama ini aku rendahkan, dan membanding-bandingkannya dengan Naura yang terlihat sempurna, ternyata memiliki akal yang sangat cerdas.
"Evania, tolong maafkan aku. Tolong, jangan beritahu Uwa tentang perselingkuhan aku dan Naura. Kasihan Naura, dia bisa habis di amuk Uwa." Tubuhku lemas dan terskungkur di lantai.
Kakiku berlutut di depan Evania. Berharap dia tidak melakukan hal-hal yang lebih gila dari sekarang.
"Hahahaha, aku suka melihat suami angkuh sepertimu bertekuk letut di hadapanku. Baikalah, Suamiku Sayang, kamu harus mengikuti permainanku. Kalo tidak, Vidio dan foto mesummu akan sampai di tangan Uwa."
Untuk saat ini, aku harus pura-pura lemah di depan Evania. Biarkan malam ini dia merasa di atas awan. Dia pikir, aku sebodoh itu? tidak. Aku akan memikirkan cara untuk menghilangkan semua bukti.
"Maafkan aku Eva. Aku sangat mencintaimu. Aku akan memutuskan Naura, dan fokus mengurus anak kita. Tolong beri aku kesempatan, demi keharmonisan keluarga Ywaku dan keluarga kecil kita."
Amarah seakan terkikis dari wajah Evania. Tatapannya mulai melembut. Aku peluk tubuhnya. Mengelus kepalanya dengan lembut. Tubuh Evania mulai melunak dan membalas pelukanku. Itulah kelemahan perempuan, mudah diluluhkan dengan kata maaf dan sentuhan, hahaha.
"Baiklah, demi anak kita. Kamu harus membuktikannya." Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.
*********
"Ayok, kita sarapan," ucap Mbak Imay yang sudah menyiapkan segala macam makanan.
Semua keluarga mulai berkumpul di ruang tengah. Karena anggota yang terlalu banyak, maka kami biasa makan di lantai dengan alas tikar. Senyum dan candaan menghangatkan suasana pagi. Namun, tidak dengan Naura. Dia menatapku dengan sinis.
"Mas suapin yah, Sayang." Aku menyodorkan satu sendok nasi dan lauk tepat di dekat mulut Evania.
"Om Aryan, romantis anget cih," ledek Laras--anak sulung Mbak Devi.
"Namanya juga suami istri, Laras. Anak kecil diem ajah, jangan komen," sahut Mbak Devi.
"Huuh, Namah ikut-ikutan komen ajah. Sirik, bilang bos? hahaha." Aku hanya tertawa mendengar ledekan Laras.
"Lebay!" teriak Naura. Semua orang menatapnya dengan heran.
"Kenapa, Naura?" tanya Evania dengan senyum kemenangan.
"Kamu lebay, Mbak. Perempuan kampung tuh, gak harus di perlakukan soswet, Aryan. Nanti jadi kepedean, merasa sok cantik, terus kegatelan sama pria lain."
"Naura diam, jangan berbicara tidak sopan sama Evania!" bentaku pada Naura.
Dia langsung menghentikan suapan. Terdiam dan menatapku penuh kekecewaan.
"Aryan, kamu membentaku?" tanya Naura dengan tatapan tidak percaya. Aku hanya diam dan melanjutkan suapan untuk Evania.
Mata Naura berkaca-kaca. Tidak seorangpun yang membelanya. Dia berdiri, dan mengambil tas, kemudian pergi ke luar rumah tanpa pamit.
"Naura, mau ke mana?" tanya Mas Aji. Naura tidak menjawab. Dia berlalu dengan air mata yang membasahi pipi.
"Sudah, lanjutkan makannya. Soal Naura, biar Bapak yang menasehati," tutur Uwa memecahkan kekakuan di anatar kami.
POV EvaniaKetika sudah menikah, maka surga seorang perempuan ada di telapak kaki suaminya. Sebagai istri, harus berbakti dan penurut. Itu yang sudah aku lakukan selama dua tahun. Berusaha menjadi istri salehah meski batin sering sakit dengan perlakuan suamiku yang semena-mena. Mas Aryan, selalu membanding-bandingkanku dengan Naura--Sepupunya. Awalnya aku pikir wajar. Naura adalah perempuan berpendidikan yang sedang kuliah semester 2. Segudang prestasi di dapatkan. Dia mempunyai kemapuan publick speak yang sangat bagus, prestasi akademik yang gemilang, ditambah parasnya yang good looking. Namun, seluruh kelebihannya dia coreng dengan perbuatannya yang sangat tercela. Dia mengumbar tubuhnya untuk pria lain. Yang paling menyakitkan bagiku, ternyata pria itu adalah suamiku sendiri."Kamu sudah menyadap nomer WhatsApp suamimu, Eva?" tanya Ayu--sahabatku, saat kami bertemu di rumahnya."Sudah, Yu." Aku langsung memeluk dia. Air mata luluh lantah. Aku tidak pernah menyangka bahwa Mas Arya
Drat!Drat!Ponselku terus berbunyi. Dengan terpkasa aku hentika mobil di pinggir jalan dan mengangkat ponsel. Siapa gerangan yang menelpon? menganggu saja."Kamu dimana, Evania?" tanya Ayu."Aku sedang mengikuti Mas Aryan, dia pergi ke daerah pedesaan, sepi sekali. Aku sampai takut.""Kembali ke Jakarta, Eva. Kamu temui aku di cafe dekat apartemen Naura.""Maksud kamu apa, Ayu? Aku bisa kehilangan jejak Mas Aryan. Jangan ngawur.""Dengar kata-kataku. Bahaya jika kamu melanjutkan membuntuti Aryan. Percayalah, aku selalu memberi saran terbaik untukmu."Kata-kata Ayu bagai embun yang menyejukan hati. Jujur, sedari tadi, hawa takut terus menyelimuti. Firasta negatif sangat menancap di hati."Baiklah, aku langsung kembali ke Jakarta, dan menemuimu.""Bagus, setelah sampai di sini, kamu akan tau jawabannya Eva." Sambungan telpon terputus.Apa yang dimaksud Ayu? Sungguh, aku tidak memahami. Biarlah, lebih baik bergegas memutar balik. Sebelum Mas Aryan mengarahkanku menuju tempat yang berba
POV Aryan"Mas, perempuan itu sudah gila." Naura menyerahkan sebuah foto beserta caption yang dikirim Evania.Mataku melotot dengan sempurna. Rasanya bola mata ingin jatuh ke lantai. Rasa nikmat setelah bercinta dengan Naura, hilang seketika. Digantikan rasa takut dan panik yang sangat kuat mendera jiwa.Aku tidak tahu, kenapa Evania bisa lolos dari perangkap. Padahal, rencana penculikan ini dilakukan serapih mungkin. Sejak di tempat proyek, aku sengaja mengajak preman suruhanku untuk menyamar menjadi rekan bisnis. Kami masuk dalam mobilku. Sebelum keluar kota Jakarta, aku sengaja berpindah posisi dan menyamar seolah-olah rekan Bisnisku yang turun dari mobil. Menurut laporan orang suruhanku, awalnya Evania berhasil digiring ke lokasi penjebakan. Namun, sedikit lagi sampai, mobil putar balik dan tidak meninggalkan jejak."Mas, kenapa?" tanya Naura yang melihatku mendadak terperangah dan terkulai lemas di lantai.Belum cukup kepanikan mendera, sebuah pesan dari Mbak Devi membuatku ingi
POV Evania"Astagfirulloh, Uwa, istigfar," ucapku langsung memeluk Uwa.Saat aku melihat ke luar, ternyata bukan ada maling. Namun, sudah terjadi perkelahian antara Uwa dan Mas Aryan. Wajah Uwa terpancar amarah yang sangat besar. Sedangkan Naura terlihat histeris . Melihat pangerannya babak belur. Pasti Ayu sudah mengirim foto itu, hahaha. Maafkan aku Mas, tidak bermaksud melukaimu. Aku juga tidak menyangka Uwa akan semarah ini. Padahal, bukan foto sedang bermain ranjang yang dikirim. Apalagi kalo Uwa tahu vidio-vidio panas mereka. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. "Jangan halangi Uwa, Eva. Biar mereka kapok.""Sudah Uwa, sudah. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jika Mas Aryan sampai mati, Uwa yang akan masuk penjara. Dan anakku akan menjadi yatim. Tolong Uwa, kendalikan emosinya."Tubuh Uwa mulai tenang. Perlahan, amarah bisa dikendalikan. Sebenarnya aku senang jika Mas Aryan mendapat pelajaran atas perbuatannya. Bahkan, ini belum setimpal. Namun, aku tidak
Cahaya mentari membangunkan tubuhku. Badanku kelelahan Setelah acara heboh antara Mas Aryan dan Naura yang berjalan sampai jam 3 dini hari. Setelah solat subuh, malah ketiduran.Dengan malas, aku buka pintu. Sengaja mengunci pintu kamar. Tidak Sudi jika Mas Aryan tiba-tiba masuk ke kamarku. Meski belum ada kata cerai, tapi hatiku sudah lepas darinya. "Untung kamu sudah bangun," ucap Mas Aryan yang terlihat sudah rapi. Aku memang sudah menyimpan baju kerjanya di atas meja tamu saat mau solat subuh."Kenapa belum berangkat kerja?" "Ya nunggu kamu buka pintu kamar," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.Aku tidak perduli apa yang dia lakukan. Segera bergegas menuju meja makan untuk menyantap roti ditambah selai stroberi. Bisa kurus badanku jika terus memikirkan Mas Aryan. Lebih baik perbanyak makan biar kuat menjalani cobaan berat."Evania!" teriak Mas Aryan dari kamar.Lama-lama sikapnya seperti nenek lampir. Suka sekali membuat kegaduhan. Masih pagi sudah teriak-teriak tidak jelas. A
POV NauraSudah satu Minggu lebih aku berjauhan dengan Mas Aryan . Rasanya sangat tersiksa. Apalagi ketika memikirkannya bermesraan dengan istrinya.Aku tidak habis pikir. Kenapa Mbak Eva bisa secerdas itu. Pasti ada seseorang yang membantunya. Padahal, dulu, aku mengizinkan Mas Aryan menikah karena merasa istrinya polos dan tidak akan mengusik hubungan gelap kami. Namun, kenyataannya tidak seperti itu."Sayang, Bapak kamu mau menjodohkan Mas, sepertinya, Mas harus menerima agar hubungan kita tidak dicurigai," ucap Mas Aryan dua tahun lalu.Semua itu berawal karena pengaduan Mbak Imay. Dia melihatku bermesraan dengan Mas Aryan di kamar. Memang menyebalkan, Mbak Imay sangat ketat menjaga pergaulanku. Suaminya bekerja sebagai pelayaran, jadi dia terpaksa tinggal dirumah bapak untuk mengambil alih peran almarhum ibu. Dia tidak punya anak, jadi leluasa mengawasiku kapan saja."Naura, bantu Mbak nyuci piring. Cucian semalam tidak ada yang nyuci, numpuk, gini. Mau sarapan pakai daun? Buru k
POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik
Waktunya pulang kantor. Aku membeli beberapa brownis dan buah-buahan untuk menyambut Naura dan keluarga. Rasa bahagia mulai menghampiri ketika membayangkan aku dan Naura akan bersatu. Sudah lama ingin menikah dengannya, namun dulu aku sangat takut pada Uwa. Dia juga pernah bilang perkawinan saudara sepupu itu tidak dianjurkan meskipun tidak haram. Saat ini, Uwa tidak akan bisa menentang pernikahan kami. Apalagi Naura sedang berbadan dua. Evania menjadi malaikat penolong dan pemersatu cinta kami. Meskipun awalnya dia menentang, tetapi dia akhirnya menyetujui. "Assalamualaikum." Aku buka pintu. Terlihat keluarga sudah berkumpul."Waalaikumsalam, Aryan sudah pulang," Sapa Mbak Devi."Iya, Mbak." Aku cium tangan Uwa dan kakak-kakak Naura. Uwa terlihat dingin dengan sorot penuh kebencian. Apa dia belum memaafkanku tempo hari? Lalu, bagaimana jika dia mengetahui semuanya hari ini?"Baik semuanya, karena Mas Aryan sudah hadir, Eva mau mulai acaranya.""Nah gitu, Nbak sudah penasaran, acara
Pov EvaniaSatu bulan berlalu.Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan. Sampai saat ini, rencana pernikahan aku dan Mas Irsyad dimudahkan.Awalnya, Ayu menolak untuk memberi sertifikat tanah asrama. Namun, negosiasi yang dilakukan Mas Aji dan temannya yang juga seorang pengacara, membuat Bapak Ayu membujuk putrinya untuk mengalah. Mas aji mengatakan, akan memperkarakannya secara hukum, jika Ayu tidak mau memberi sertifikat tersebut. Padahal, pihak Mas Irsyad sudah siap membayarkan hutangnya, maka perbuatannya akan dilaporkan sebagai aksi pengancaman.Kabar baiknya, sertifikat itu masih atas nama Mas Irsyad. Jadi, jalan untuk merebut surat berharga tersebut, makin mudah."Assalamualaikum.""Wa ...." Aku sangat kaget, ketika Mas Aryan tiba-tiba muncul. Dia datang bersama Naura, Uwa dan Mas Aji. Uwa dan Mas Aji, memang sengaja aku undang untuk datang kembali ke sini. Menghadiri akad nikahku."Evania, maafkan aku. Tolong, izinkan aku bertemu anak kita," ucap Mas Aryan dengan raut penye
POV Aryan"Naura," ucapku dengan lesu."Mas, bagaimana, kamu dapat kerjaan gak?" tanya Naura dengan binar penuh harap.Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya. Segera aku ambil air putih dan duduk di sampingnya. Mungkin, segelas air bisa membasahkan tenggorokanku yang kering karena menelan pil pahit kehidupan."Mas, jawab. Jangan diem aja kaya patung!" teriak Naura kesal."Be-belum.""Apa, maksud kamu, belum dapat juga kerjaannya?" Aku hanya bisa menggaguk sambil tertunduk."Mas ... bagaimana ini, uang kita sudah sangat krisis. Bulan ini juga belum bayar sewa kontrakan."Tetesan air mata turun dari pipi Naura. Hatiku ikut teriris menyaksikannya. Mau bagaimana lagi, semua sahabat sudah aku datangi untuk minta bantuan, tapi tidak ada yang sudi menolongku. Mereka selalu beralibi, bahwa tak ada lowongan."Maafkan aku, Naura.""Aku tak butuh kata maaf, Mas. Kamu harus cari kerjaan. Aku tidak mau tahu. Jadi kuli bangunan saja, pasti ada lowongan.""Aku sudah mencari kerjaan apapun, tak ada y
Pov NauraHampir enam bulan setelah kepulanganku dari Jawa, hidup terasa sangat pahit. Apa benar, ini yang dinamakan karma?Mas Aryan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan akibat vidio viral kami. Selama enam bulan ini, kami harus berhemat dengan sisa uang PHK yang tinggal sedikit. Hanya ada lima belas juta untuk menunjang kebutuhan kami berdua. Untuk membayar kontrakan, listrik dan membeli makanan setiap harinya. Satu bulan terakhir, kami harus ekstra berhemat karena uang PHK hanya tersisa beberapa ratus ribu saja. Terpaksa, ponsel Mas Aryan harus dijual untuk menutupi biaya makan."Mas, cari kerja dong. Tidur mulu, lihat perutku, semakin hari makin membesar. Boro-boro untuk memenuhi anak kita, memberi nafkah kepadaku saja sangat tidak layak," umpatku dengan nada kesal."Bukan aku nggak mau kerja, Naura. Tapi, tak ada perusahan yang mau memberi jabatan yang sesuai dengan pendidikanku. Aku bingung harus cari kerja dimana.""Halah, jangan banyak alasan, Mas. Mau kerja apa saja, kamu am
"Ternyata benar, Mas Irsyad ada di sini," seruku ketika melihat sosok pria tampan yang aku cintai sedang termenung di sebuah gubuk.Gubuk ini terletak di tengah, antara pesawahan yang sangat luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna kehijauan. Tumbuhan padi yang baru terlihat daunnya, menambah kesyahduan hati yang menikmatinya. Tempat ini cukup jauh dari perkampungan. Pegunungan dan pepohonan adalah batas ujung mata menatap.Setiap musim menanam dan memanen padi, para warga berbondong- bondong ke sawah. Mereka mengelola sawah dengan cara yang maih tradisional. Pada masa itulah, anak-anak kecil suka bermain di sini sambil mengamati orang tuanya yang sedang bekerja."Evania …."Wajah Mas Irsyad kebingungan menyadari kehadiranku. Matanya terlihat bengkak. Apa dia sudah menangis? rambutnya juga berantakan tak karuan."Mas Irsyad tidak pernah berubah, yah?" tanyaku dengan senyuman sambil duduk di sampingnya. Sebuah ranjang sederhana menghiasa gubuk ini."Maksud kamu apa, Evania
#Sadap_Whatsapp_SaumikuPat 28POV Evania"Eva, ikut aku ke dapur sebentar bisa?" tanya Ayu setelah dia dari teras. Aku yang sedang menggendong bayi mungilku, segera menyerahkannya kepada Mbak Devi. "Mbak, punten, tolong gendong Dede dulu.""Baik Eva, jangan sungkan. Mbak senang menggendong bayi lucumu," sambut Mbak Devi dengan senyum lebar.Mbak Devi memang menyukai anak kecil. Aku sangat bahagia, keluarga dari pihak Mas Aryan sangat baik. Meskipun ayah bayiku tidak ada kabar. Sudah berusaha menghubungi nomer Mas Aryan maupun Naura, tapi tidak aktif.Sedih rasanya, saat pertama kali lahir, bukan bapaknya yang mengumandangkan adzan. Haru biru begitu kentara ketika Mas Irsyad menemaniku dan mengumandangkan azan untuk anakku. Ada kebahagiaan yang diam-diam terpatri dalam hati. "Ada apa, Yu?""Evania, kamu menganggapku sahabatmu, bukan?""Tentu," jawabku dengan tawa renyah. Pertanyaan Ayu terdengar sangat aneh."Selama ini aku sudah menolongmu agar terbebas dari cengkraman Aryan. Semu
"Silahkan, diminum Uwa, Mbak dan Mas Aji." Ayu membawa beberapa gelas minuman.Wajahnya terlihat sumringah. Semua mata menatap dengan ramah. Berbeda denganku, rasa kesal mengguncang jiwa. Isi kepala terus bermunculan banyak pertanyaan. Apa lagi rencana jahat ayu?Senja menjelang, aku dan Umi memutuskan untuk pamit dulu ke rumah. Ada jadwal mengajar anak-anak di asrama."Evania, aku pamit dulu yah, jaga dirimu di sini. Jangan mudah percaya kepada siapapun," ucapku lirih saat berdampingan dengan Evania.Evania mengernyitkan alis mencerna perkataanku. Netranya seakan meminta penjelasan."Mas Irsyad, nanti ke sini lagi?" tanya Ayu."Iya.""Bagus, nanti kita bahas rancangan gaun pernikahan, dekorasi dan lainnya.""Iya." Aku segera pergi, tak betah basa-basi dengan Ayu. ******Adzan magrib berkumandang. Aku bersama seluruh penghuni asrama melaksanakan solat berjamaah. Setelahnya, dzikir bersama. "Kelas ula, ada jadwal ngajar Mas, yah?""Iya Mas, pelajaran safinatun najah," ucap Ari salah
Rahasia IrsyadPOV Irsyad"Kamu pasti kuat, Evania." Aku genggam tangan Evania. Wajah Evania dipenuhi keringat. Bibirnya pucat, dan terus merintih kesakitan. Aku sangat tidak tega melihatnya yang sedang berjuang."Ayok Bu, tarik napas kemudian dorong," ucap seorang Dokter yang terus memandu Evania.Entah mimpi apa semalam, hari ini aku langsung memperoleh dua kejutan secara bersamaan. Pertama, kedatangan Ayu yang menggemparkan jiwa dan raga. Kedua, tiba-tiba ditarik suster untuk masuk UGD dan menemani Evania."Ya Allah, sakit ...." Rintih Evania.Jantungku seperti sedang naik wahana roller coaster. Berdebar tak karuan. Bingung harus bagaimana."Bismillah, pasti bisa Evania," ucapku tepat ditelinganya. Aku lantunkan beberapa ayat untuk menenangkan dan memeberinya kekuatan."Aduh, sudah pembukaan 10 kenapa kepala bayi masih belum keluar. Suster, tolong beri Ibu ini minum dulu, biar kuat dorongannya."Jantungku rasanya sesak . Kerongkongan seakan kering mendengar penuturan Dokter. Tidak
POV EvaniaEnam bulan kemudian.Masalah demi masalah mulai teratasi. Aku sudah resmi menjadi janda sejak dua bulan lalu. Keseharianku saat ini, membantu Umi mengajar ngaji di asrama. Ditambah kesibukan baru, mengembangkan usaha konveksi yang baru satu bulan aku rintis. Harta Gono gini yang aku dapatkan, sebagian aku berikan kepada Umi untuk mengembangkan asrama. Digunakan modal untuk mengelolah sawah, perkebunan dan usaha konveksi. Sisanya, aku simpan.Sahabatku, Ayu sedang sibuk mengurus pekerjaannya di Jakarta. Dia bilang, ada suatu masalah yang harus diurus. Sering aku bertanya, tapi dia tak mau jujur. Sedangkan Mas Aji, setelah perceraianku selesai, dia pulang ke Bogor untuk mengurus Uwa yang kondisinya kurang baik. Aku ingin sekali menemui Uwa. Namun, diusia kehamilan yang sudah membesar, takut melakukan perjalanan jauh.Tentang Mas Aryan dan Naura, setelah pertemuan terakhir kami enam bulan lalu, aku tidak tahu lagi keadaannya. Percerainku dengan Mas Aryan, semua diurus oleh pe
POV NauraRencana untuk membuat Evania menderita malah gagal total. Kenapa Dewi Fortuna tidak berpihak kepadaku. Padahal, aku sudah membujuk Mas Aryan agar menunda kepulangan kami ke Jakarta. Ditambah lagi membayar jasa orang suruhan dengan harga yang lumayan menguras kantong. Uang habis, muka juga rusak. Si** sekali hidupku."Dasar Evania, mau ke mana kamu, tanggung jawab sudah merusak wajahku." Mas Aji, Mas Aryan dan Evania malah pergi meninggalkanku. Mereka memang manusia tidak berperasaan. Aku sedang sakit seperti ini, tetap saja diabaikan. "Mas Aryan, Mas aji, ke sini. Bagaimana nasib mukaku!" teriakku sekuat tenaga agar mereka kembali ke ruangan ini.Suaraku hampir habis, mereka tak kunjung masuk. Pipi rasanya sangat sakit karena meregang akibat berteriak. Wajahku diperban seluruhnya. Hanya mulut, mata dan lubang hidung yang tidak tertutup. tanganku sebelah juga dilapisi kain kasa. "Mas Aryan, Mas Aji!" Kemana mereka, budek sekali kupingnya. Aku mencoba berjalan dan mencop