Drat!
Drat!
Ponselku terus berbunyi. Dengan terpkasa aku hentika mobil di pinggir jalan dan mengangkat ponsel. Siapa gerangan yang menelpon? menganggu saja.
"Kamu dimana, Evania?" tanya Ayu.
"Aku sedang mengikuti Mas Aryan, dia pergi ke daerah pedesaan, sepi sekali. Aku sampai takut."
"Kembali ke Jakarta, Eva. Kamu temui aku di cafe dekat apartemen Naura."
"Maksud kamu apa, Ayu? Aku bisa kehilangan jejak Mas Aryan. Jangan ngawur."
"Dengar kata-kataku. Bahaya jika kamu melanjutkan membuntuti Aryan. Percayalah, aku selalu memberi saran terbaik untukmu."
Kata-kata Ayu bagai embun yang menyejukan hati. Jujur, sedari tadi, hawa takut terus menyelimuti. Firasta negatif sangat menancap di hati.
"Baiklah, aku langsung kembali ke Jakarta, dan menemuimu."
"Bagus, setelah sampai di sini, kamu akan tau jawabannya Eva." Sambungan telpon terputus.
Apa yang dimaksud Ayu? Sungguh, aku tidak memahami. Biarlah, lebih baik bergegas memutar balik. Sebelum Mas Aryan mengarahkanku menuju tempat yang berbahaya.
Sekuat tenaga aku tancap gas dan mulai menyusuri jalan raya. Rasa lega perlahan menyelinap di dada.
Butuh waktu cukup lama untuk bisa sampai di cafe. Suara adzan magrib menggema ketika aku sampai.
"Ayu, aku mau solat dulu," ucapku ketika bertemu Ayu di depan parkiran.
"Baiklah, aku juga ikut, Eva."
Kemudian, kami berjalan menuju masjid. Cafe ini sangat mewah, tepat di sampingnya sebuah apartemen kelas atas. Yap, tempat tinggal si Naura.
"Kamu tau, Eva, Aryan sedang memadu kasih di dalam apartemen Naura," ucap Ayu setelah kami duduk dan memesan makan.
"Tidak mungkin, jelas-jelas aku mengikuti Mas Aryan. Dia juga chat aku, bilang kalo ada kerjaan di daerah pedesaan. Dia tidak berbohong."
"Hahaha, Eva, kapan kamu sadar. Suamimu itu cerdik dan banyak akal bulusnya."
Aku hanya menggelengkan kepala. Tidak percaya apa yang dikatakan Ayu. Apa sebenernya yang terjadi, kenapa Ayu berbicara seperti itu?
"Baiklah kalo kamu tidak percaya, lihat ini, rekaman cctv di kamar Naura."Ayu menyerahkan ponselnya.
Terdengar jelas suara percakapan di ponsel itu. Membuat jantung berhenti berdetak melihat dua sosok manusia yang sangat aku kenal.
"Aku sudah baca inbox Mas. Ternyata Eva tidak bisa diremehkan. Dia sangat nekat, sampai membuntuti Mas." Naura merangkul tubuh Mas Aryan dan mengecupnya dengan lembut.
"Iya Sayang, kita harus bersandiwara di depan dia. Maafkan aku harus membentakmu pagi tadi. Sekarang, anak buahku akan menyekap Evania, dan memaksanya menghapus semua bukti."
"Syukurlah, setelah ini kita bebas dari ancaman Evania. Perempuan kampung itu harus diberi pelajaran."
"Tenang, itu urusan gampang. Eva pasti tidak menyangka kalo aku ada di sini. Aku tidak bodoh, jika whatsappku dia sadap, maka masih ada telpon via pulsa. Chat lewat F* dan I*."
"hahaha, kamu memang pintar, Sayang."
Setelah puas menertawakanku. Mereka memadu kasih bagai singa yang saling kelaparan. Aku hentikan vidionya. Tidak sanggup lagi melihatnya.
Netraku memandang Ayu dengan tatapan sendu. Buliran air mata jatuh begitu saja. Aku hapus dengan kasar. Tidak boleh ada air mata. Sugestiku dalam hati mencoba menguatkan diri.
"Begitulah kelakuan Aryan, dia pembohong kelas kakap. Jadi, jangan percaya dan luluh lagi kepadanya."
Aku tidak tahu, kenapa Ayu begitu memahami seluk beluk Mas Aryan. Namun, biarlah, lidahku Kelu untuk bertanya. Pikiranku kacau. Betapa tega kamu Mas, bukan hanya menyakiti hatiku tapi berencana melukai tubuhku.
"Sudah jangan sedih, percuma kamu menangis atau bersedih, Aryan tidak akan sadar. Kita harus beri dia pelajaran. Buktikan bahwa kamu lebih cerdas darinya."
"Apa rencana selanjutnya, Yu?"
"Kamu akan tahu nanti, sekarang lebih baik kita pulang. Kamu Jangan banyak pikiran, kasian anak dalam kandunganmu. Aku yakin Aryan tidak akan pulang, maka persiapkan dirimu untuk besok."
Aku ikuti semua perkataan Ayu. Mobil, Aku serahkan lagi kepadanya, lalu dia mengantarku pulang. Selama di perjalanan, Ayu menjelaskan rencana kami. Dia memang sangat cerdas. Aku hanya bisa tersenyum puas membayangkan kejutan untuk Aryan.
[Mas, masih sibuk kerja, Eva. Besok pagi baru bisa pulang. Kamu baik-baik di rumah yah, Sayang.]
Pesan Mas Aryan tadi sore yang baru sempat aku baca.
Aku kirim foto sedang tersenyum di kamar. Aryan pasti heran, ketika dia tahu aku bisa lolos dari penculikan yang direncakannya.
[Aku sudah di rumah, Mas. Tenang saja, aku baik-baik di sini. kamu tidak akan bisa menyakitiku. Karena jika itu terjadi, hancur hidupmu.]
[Maksud kamu apa, Evania, aku tidak akan menyakitimu.]
[Hahaha, jangan pura-pura tidak tahu. Aku punya buktinya. Silahkan nikmati malam dengan gundikmu, tapi jangan salahkan aku, jika besok Uwa akan sampai di apartemen itu dan menghajar kalian berdua.]
Aku kirim rekaman cctv yang durasinya sudah di potong. Hanya sebagian saja, tapi bisa membuat Mas Aryan kena serangan jantung. Sesudah Vidio terkirim, aku blokir nomernya.
Berulang kali Naura menelponku. Beberapa pesan ancaman juga dia kirim. Aku hanya tertawa membayangkan kepanikan mereka.
[Perempuan tidak tahu diri, jangan macam-macam jika kamu masih mau bernapas.]
Aku balas pesannya dengan mengirim foto Naura tanpa sehelai benang pun di dalam pangkuan Aryan. Di tambah caption yang cukup menarik.
[Sebelum napasku berhenti, foto ini akan jadi konsumsi publik.]
Setelah pesan dibaca, aku blokir nomernya.
"Kita tunggu permainan lain yang lebih menyenangkan, Aryan."
Waktunya aku istirahat, besok akan ada pertujukan yang menguras tenaga.
******
Baru beberapa jam mata tertutup, tiba-tiba suara gedoran pintu terdengar sangat kencang.
"Evania, buka!"
"Evania!" Suara teriakan di luar sana sangat memekikkan telinga. Menganggu mimpi indahku saja, menyebalkan. Dengan malas, aku beringsut turun dari kasur dan memakai hijab.
"Evania buka!"
"Ada apa, Mas?" Jawabku dibalik pintu. Sepertinya, tidak usah dibuka. Aku takut Mas Aryan berbuat nekat.
"Buka dulu pintunya!"
"Aku malas, lebih baik kamu pergi dan kembali pada Naura."
"Tolong Evania, dengarkan penjelasanku."
Manusia batu, penjelasan apa lagi yang akan dia katakan. Toh, semuanya sudah jelas. Heran, ota*nya di taruh di mana, sih.
"Terserah kamu, Mas. Tidurlah di teras," ucapku sambil sedikit membuka jendela.
Meskipun jendela dibuka, Mas Aryan tidak akan bisa masuk. Karena setelah lapisan kaca, bagian jendela rumah ini terdapat besi yang menghalangi. Sebuah proteksi yang digunakan untuk menghindari maling. Maklum, rumah Mas Aryan cukup mewah dengan gaya minimalis.
"Evania, ini rumahku, jangan macam-macam kamu."
"Diam!" bentakku, membuat Mas Aryan mematung.
"Jangan berani lagi mengancamku apalagi melukaiku. Jika itu terjadi, hubungan kalian akan hancur. Kembali saja ke tempat gundikmu. Aku tidak melarang."
"Bagaimana aku bisa kembali kepada Naura, semua duitku kamu kuasai. Kenapa ATM kamu juga di blokir, gila kamu Evania. Aku tidak punya uang. Biar aku ambil uangku di berangkas, dan sesudahnya aku akan pergi dari sini." Pantas saja dia kembali, ternyata dia tidak punya uang untuk menyewa hotel lain.
Mas Aryan memang tidak membawa ATM-nya. Namun, diam-diam dia menukar ATM miliknya dengan punyaku. Baru aku sadari ketika ingin membayar makan di cafe tadi. Tanpa pikir panjang, langsung aku telepon call senter bank yang bersangkutan, dan mengatakan bahwa atmku hilang.
"Hahaha, senjata makan tuan untukmu Mas, selamat menikmati tidur dengan cumbuan nyamuk-nyamuk ganas."
Aku tutup jendela. Teriakan Mas Aryan tidak aku hiraukan lagi. Secerdik apapun orang melakukan kejahatan, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan kebenaran. Akan selalu ada balasan bagi orang yang berbuat keji dan mungkar.
Bugh!
Bugh!
Belum beberapa lama aku masuk ke kamar. Tiba-tiba suara kerusuhan terdengar jelas di teras depan. Suara Mas Aryan terdengar seperti orang kesakitan dan memohon ampun. Apa yang terjadi? apa ada maling?
POV Aryan"Mas, perempuan itu sudah gila." Naura menyerahkan sebuah foto beserta caption yang dikirim Evania.Mataku melotot dengan sempurna. Rasanya bola mata ingin jatuh ke lantai. Rasa nikmat setelah bercinta dengan Naura, hilang seketika. Digantikan rasa takut dan panik yang sangat kuat mendera jiwa.Aku tidak tahu, kenapa Evania bisa lolos dari perangkap. Padahal, rencana penculikan ini dilakukan serapih mungkin. Sejak di tempat proyek, aku sengaja mengajak preman suruhanku untuk menyamar menjadi rekan bisnis. Kami masuk dalam mobilku. Sebelum keluar kota Jakarta, aku sengaja berpindah posisi dan menyamar seolah-olah rekan Bisnisku yang turun dari mobil. Menurut laporan orang suruhanku, awalnya Evania berhasil digiring ke lokasi penjebakan. Namun, sedikit lagi sampai, mobil putar balik dan tidak meninggalkan jejak."Mas, kenapa?" tanya Naura yang melihatku mendadak terperangah dan terkulai lemas di lantai.Belum cukup kepanikan mendera, sebuah pesan dari Mbak Devi membuatku ingi
POV Evania"Astagfirulloh, Uwa, istigfar," ucapku langsung memeluk Uwa.Saat aku melihat ke luar, ternyata bukan ada maling. Namun, sudah terjadi perkelahian antara Uwa dan Mas Aryan. Wajah Uwa terpancar amarah yang sangat besar. Sedangkan Naura terlihat histeris . Melihat pangerannya babak belur. Pasti Ayu sudah mengirim foto itu, hahaha. Maafkan aku Mas, tidak bermaksud melukaimu. Aku juga tidak menyangka Uwa akan semarah ini. Padahal, bukan foto sedang bermain ranjang yang dikirim. Apalagi kalo Uwa tahu vidio-vidio panas mereka. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. "Jangan halangi Uwa, Eva. Biar mereka kapok.""Sudah Uwa, sudah. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jika Mas Aryan sampai mati, Uwa yang akan masuk penjara. Dan anakku akan menjadi yatim. Tolong Uwa, kendalikan emosinya."Tubuh Uwa mulai tenang. Perlahan, amarah bisa dikendalikan. Sebenarnya aku senang jika Mas Aryan mendapat pelajaran atas perbuatannya. Bahkan, ini belum setimpal. Namun, aku tidak
Cahaya mentari membangunkan tubuhku. Badanku kelelahan Setelah acara heboh antara Mas Aryan dan Naura yang berjalan sampai jam 3 dini hari. Setelah solat subuh, malah ketiduran.Dengan malas, aku buka pintu. Sengaja mengunci pintu kamar. Tidak Sudi jika Mas Aryan tiba-tiba masuk ke kamarku. Meski belum ada kata cerai, tapi hatiku sudah lepas darinya. "Untung kamu sudah bangun," ucap Mas Aryan yang terlihat sudah rapi. Aku memang sudah menyimpan baju kerjanya di atas meja tamu saat mau solat subuh."Kenapa belum berangkat kerja?" "Ya nunggu kamu buka pintu kamar," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.Aku tidak perduli apa yang dia lakukan. Segera bergegas menuju meja makan untuk menyantap roti ditambah selai stroberi. Bisa kurus badanku jika terus memikirkan Mas Aryan. Lebih baik perbanyak makan biar kuat menjalani cobaan berat."Evania!" teriak Mas Aryan dari kamar.Lama-lama sikapnya seperti nenek lampir. Suka sekali membuat kegaduhan. Masih pagi sudah teriak-teriak tidak jelas. A
POV NauraSudah satu Minggu lebih aku berjauhan dengan Mas Aryan . Rasanya sangat tersiksa. Apalagi ketika memikirkannya bermesraan dengan istrinya.Aku tidak habis pikir. Kenapa Mbak Eva bisa secerdas itu. Pasti ada seseorang yang membantunya. Padahal, dulu, aku mengizinkan Mas Aryan menikah karena merasa istrinya polos dan tidak akan mengusik hubungan gelap kami. Namun, kenyataannya tidak seperti itu."Sayang, Bapak kamu mau menjodohkan Mas, sepertinya, Mas harus menerima agar hubungan kita tidak dicurigai," ucap Mas Aryan dua tahun lalu.Semua itu berawal karena pengaduan Mbak Imay. Dia melihatku bermesraan dengan Mas Aryan di kamar. Memang menyebalkan, Mbak Imay sangat ketat menjaga pergaulanku. Suaminya bekerja sebagai pelayaran, jadi dia terpaksa tinggal dirumah bapak untuk mengambil alih peran almarhum ibu. Dia tidak punya anak, jadi leluasa mengawasiku kapan saja."Naura, bantu Mbak nyuci piring. Cucian semalam tidak ada yang nyuci, numpuk, gini. Mau sarapan pakai daun? Buru k
POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik
Waktunya pulang kantor. Aku membeli beberapa brownis dan buah-buahan untuk menyambut Naura dan keluarga. Rasa bahagia mulai menghampiri ketika membayangkan aku dan Naura akan bersatu. Sudah lama ingin menikah dengannya, namun dulu aku sangat takut pada Uwa. Dia juga pernah bilang perkawinan saudara sepupu itu tidak dianjurkan meskipun tidak haram. Saat ini, Uwa tidak akan bisa menentang pernikahan kami. Apalagi Naura sedang berbadan dua. Evania menjadi malaikat penolong dan pemersatu cinta kami. Meskipun awalnya dia menentang, tetapi dia akhirnya menyetujui. "Assalamualaikum." Aku buka pintu. Terlihat keluarga sudah berkumpul."Waalaikumsalam, Aryan sudah pulang," Sapa Mbak Devi."Iya, Mbak." Aku cium tangan Uwa dan kakak-kakak Naura. Uwa terlihat dingin dengan sorot penuh kebencian. Apa dia belum memaafkanku tempo hari? Lalu, bagaimana jika dia mengetahui semuanya hari ini?"Baik semuanya, karena Mas Aryan sudah hadir, Eva mau mulai acaranya.""Nah gitu, Nbak sudah penasaran, acara
"Mas, bagaimana ini, kita mau tinggal dimana. Bapak tidak akan mengizinkanku kembali ke rumahnya. Tinggal di apartemen siapa yang mau bayar?""Aku tidak tahu Naura. Evania sudah menjual rumah ini, menguras tabunganku. Sedangkan, gajiku masih dua Minggu lagi baru turun.""Keterlaluan sekali perempuan kampung itu. Lebih baik kita laporkan dia ke polisi.""Tidak bisa Naura. Surat penjualan itu legal, aku juga tidak ingat kapan rumah ini balik nama atas dia. Lalu, soal tabungan, bagaimana pun dia mengandung anakku, jadi tidak masuk akal jika aku melaporkannya sebagai pencurian. Evania pasti mengelak.""Lalu bagaimana dengan kita, Mas. Biaya pernikahan kita, cek kandungan, makan dan biaya tempat tinggal.""Biar aku pikirkan nanti." Ocehan Naura hanya membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya ingin pecah. Lebih baik aku tidur, berharap besok semuanya kembali seperti semula."Mas, mau kemana?"."Aku mau tidur. Kamu tidur di kamar tamu. Kita tidak usah tidur bersama. Tidak enak jika ada warga
POV Naura"Mas, bangun, Mas, jangan mati dulu. Belum nikah masa kamu udah mati!" teriakku sangat kencang. Gara-gara Evania, hidupku dan Mas Aryan jadi melarat. Perut lapar, tempat tinggal tidak ada dan sekarang mobil pun dia curi."Pak, tolong calon suami saya, bawa ke rumah sakit." "Lah, Mbak, dia cuman pingsan. Guyur air cucian piring juga bakal bangun." Pria itu malah masuk ke dalam mobil dan kabur."Pak, tunggu ...." Belangsak sekali hidupku.Mendengar perkataan pria itu, membuatku dapat ide. Berlalu secepat kilat menuju dapur, tidak ada air cucian piring, maka aku ambil saja air keran. Byur ...."Ah, banjir ... Evania, tolong, banjir." Apa, dia malah memanggil Evania? Kurang ajar, di saat genting seperti ini malah berani-beraninya memikirkan perempuan pembawa si** itu.Plak! "Malah manggil Evania. Aku Naura, Mas. Bukannya cari solusi malah pingsan." "Naura, mobilku. Arghhh, sial, Evania sudah merampas hartaku tanpa tersisa.""Gimana dong Mas, aku lapar." "Semua gara-gara k
Pov EvaniaSatu bulan berlalu.Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan. Sampai saat ini, rencana pernikahan aku dan Mas Irsyad dimudahkan.Awalnya, Ayu menolak untuk memberi sertifikat tanah asrama. Namun, negosiasi yang dilakukan Mas Aji dan temannya yang juga seorang pengacara, membuat Bapak Ayu membujuk putrinya untuk mengalah. Mas aji mengatakan, akan memperkarakannya secara hukum, jika Ayu tidak mau memberi sertifikat tersebut. Padahal, pihak Mas Irsyad sudah siap membayarkan hutangnya, maka perbuatannya akan dilaporkan sebagai aksi pengancaman.Kabar baiknya, sertifikat itu masih atas nama Mas Irsyad. Jadi, jalan untuk merebut surat berharga tersebut, makin mudah."Assalamualaikum.""Wa ...." Aku sangat kaget, ketika Mas Aryan tiba-tiba muncul. Dia datang bersama Naura, Uwa dan Mas Aji. Uwa dan Mas Aji, memang sengaja aku undang untuk datang kembali ke sini. Menghadiri akad nikahku."Evania, maafkan aku. Tolong, izinkan aku bertemu anak kita," ucap Mas Aryan dengan raut penye
POV Aryan"Naura," ucapku dengan lesu."Mas, bagaimana, kamu dapat kerjaan gak?" tanya Naura dengan binar penuh harap.Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya. Segera aku ambil air putih dan duduk di sampingnya. Mungkin, segelas air bisa membasahkan tenggorokanku yang kering karena menelan pil pahit kehidupan."Mas, jawab. Jangan diem aja kaya patung!" teriak Naura kesal."Be-belum.""Apa, maksud kamu, belum dapat juga kerjaannya?" Aku hanya bisa menggaguk sambil tertunduk."Mas ... bagaimana ini, uang kita sudah sangat krisis. Bulan ini juga belum bayar sewa kontrakan."Tetesan air mata turun dari pipi Naura. Hatiku ikut teriris menyaksikannya. Mau bagaimana lagi, semua sahabat sudah aku datangi untuk minta bantuan, tapi tidak ada yang sudi menolongku. Mereka selalu beralibi, bahwa tak ada lowongan."Maafkan aku, Naura.""Aku tak butuh kata maaf, Mas. Kamu harus cari kerjaan. Aku tidak mau tahu. Jadi kuli bangunan saja, pasti ada lowongan.""Aku sudah mencari kerjaan apapun, tak ada y
Pov NauraHampir enam bulan setelah kepulanganku dari Jawa, hidup terasa sangat pahit. Apa benar, ini yang dinamakan karma?Mas Aryan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan akibat vidio viral kami. Selama enam bulan ini, kami harus berhemat dengan sisa uang PHK yang tinggal sedikit. Hanya ada lima belas juta untuk menunjang kebutuhan kami berdua. Untuk membayar kontrakan, listrik dan membeli makanan setiap harinya. Satu bulan terakhir, kami harus ekstra berhemat karena uang PHK hanya tersisa beberapa ratus ribu saja. Terpaksa, ponsel Mas Aryan harus dijual untuk menutupi biaya makan."Mas, cari kerja dong. Tidur mulu, lihat perutku, semakin hari makin membesar. Boro-boro untuk memenuhi anak kita, memberi nafkah kepadaku saja sangat tidak layak," umpatku dengan nada kesal."Bukan aku nggak mau kerja, Naura. Tapi, tak ada perusahan yang mau memberi jabatan yang sesuai dengan pendidikanku. Aku bingung harus cari kerja dimana.""Halah, jangan banyak alasan, Mas. Mau kerja apa saja, kamu am
"Ternyata benar, Mas Irsyad ada di sini," seruku ketika melihat sosok pria tampan yang aku cintai sedang termenung di sebuah gubuk.Gubuk ini terletak di tengah, antara pesawahan yang sangat luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna kehijauan. Tumbuhan padi yang baru terlihat daunnya, menambah kesyahduan hati yang menikmatinya. Tempat ini cukup jauh dari perkampungan. Pegunungan dan pepohonan adalah batas ujung mata menatap.Setiap musim menanam dan memanen padi, para warga berbondong- bondong ke sawah. Mereka mengelola sawah dengan cara yang maih tradisional. Pada masa itulah, anak-anak kecil suka bermain di sini sambil mengamati orang tuanya yang sedang bekerja."Evania …."Wajah Mas Irsyad kebingungan menyadari kehadiranku. Matanya terlihat bengkak. Apa dia sudah menangis? rambutnya juga berantakan tak karuan."Mas Irsyad tidak pernah berubah, yah?" tanyaku dengan senyuman sambil duduk di sampingnya. Sebuah ranjang sederhana menghiasa gubuk ini."Maksud kamu apa, Evania
#Sadap_Whatsapp_SaumikuPat 28POV Evania"Eva, ikut aku ke dapur sebentar bisa?" tanya Ayu setelah dia dari teras. Aku yang sedang menggendong bayi mungilku, segera menyerahkannya kepada Mbak Devi. "Mbak, punten, tolong gendong Dede dulu.""Baik Eva, jangan sungkan. Mbak senang menggendong bayi lucumu," sambut Mbak Devi dengan senyum lebar.Mbak Devi memang menyukai anak kecil. Aku sangat bahagia, keluarga dari pihak Mas Aryan sangat baik. Meskipun ayah bayiku tidak ada kabar. Sudah berusaha menghubungi nomer Mas Aryan maupun Naura, tapi tidak aktif.Sedih rasanya, saat pertama kali lahir, bukan bapaknya yang mengumandangkan adzan. Haru biru begitu kentara ketika Mas Irsyad menemaniku dan mengumandangkan azan untuk anakku. Ada kebahagiaan yang diam-diam terpatri dalam hati. "Ada apa, Yu?""Evania, kamu menganggapku sahabatmu, bukan?""Tentu," jawabku dengan tawa renyah. Pertanyaan Ayu terdengar sangat aneh."Selama ini aku sudah menolongmu agar terbebas dari cengkraman Aryan. Semu
"Silahkan, diminum Uwa, Mbak dan Mas Aji." Ayu membawa beberapa gelas minuman.Wajahnya terlihat sumringah. Semua mata menatap dengan ramah. Berbeda denganku, rasa kesal mengguncang jiwa. Isi kepala terus bermunculan banyak pertanyaan. Apa lagi rencana jahat ayu?Senja menjelang, aku dan Umi memutuskan untuk pamit dulu ke rumah. Ada jadwal mengajar anak-anak di asrama."Evania, aku pamit dulu yah, jaga dirimu di sini. Jangan mudah percaya kepada siapapun," ucapku lirih saat berdampingan dengan Evania.Evania mengernyitkan alis mencerna perkataanku. Netranya seakan meminta penjelasan."Mas Irsyad, nanti ke sini lagi?" tanya Ayu."Iya.""Bagus, nanti kita bahas rancangan gaun pernikahan, dekorasi dan lainnya.""Iya." Aku segera pergi, tak betah basa-basi dengan Ayu. ******Adzan magrib berkumandang. Aku bersama seluruh penghuni asrama melaksanakan solat berjamaah. Setelahnya, dzikir bersama. "Kelas ula, ada jadwal ngajar Mas, yah?""Iya Mas, pelajaran safinatun najah," ucap Ari salah
Rahasia IrsyadPOV Irsyad"Kamu pasti kuat, Evania." Aku genggam tangan Evania. Wajah Evania dipenuhi keringat. Bibirnya pucat, dan terus merintih kesakitan. Aku sangat tidak tega melihatnya yang sedang berjuang."Ayok Bu, tarik napas kemudian dorong," ucap seorang Dokter yang terus memandu Evania.Entah mimpi apa semalam, hari ini aku langsung memperoleh dua kejutan secara bersamaan. Pertama, kedatangan Ayu yang menggemparkan jiwa dan raga. Kedua, tiba-tiba ditarik suster untuk masuk UGD dan menemani Evania."Ya Allah, sakit ...." Rintih Evania.Jantungku seperti sedang naik wahana roller coaster. Berdebar tak karuan. Bingung harus bagaimana."Bismillah, pasti bisa Evania," ucapku tepat ditelinganya. Aku lantunkan beberapa ayat untuk menenangkan dan memeberinya kekuatan."Aduh, sudah pembukaan 10 kenapa kepala bayi masih belum keluar. Suster, tolong beri Ibu ini minum dulu, biar kuat dorongannya."Jantungku rasanya sesak . Kerongkongan seakan kering mendengar penuturan Dokter. Tidak
POV EvaniaEnam bulan kemudian.Masalah demi masalah mulai teratasi. Aku sudah resmi menjadi janda sejak dua bulan lalu. Keseharianku saat ini, membantu Umi mengajar ngaji di asrama. Ditambah kesibukan baru, mengembangkan usaha konveksi yang baru satu bulan aku rintis. Harta Gono gini yang aku dapatkan, sebagian aku berikan kepada Umi untuk mengembangkan asrama. Digunakan modal untuk mengelolah sawah, perkebunan dan usaha konveksi. Sisanya, aku simpan.Sahabatku, Ayu sedang sibuk mengurus pekerjaannya di Jakarta. Dia bilang, ada suatu masalah yang harus diurus. Sering aku bertanya, tapi dia tak mau jujur. Sedangkan Mas Aji, setelah perceraianku selesai, dia pulang ke Bogor untuk mengurus Uwa yang kondisinya kurang baik. Aku ingin sekali menemui Uwa. Namun, diusia kehamilan yang sudah membesar, takut melakukan perjalanan jauh.Tentang Mas Aryan dan Naura, setelah pertemuan terakhir kami enam bulan lalu, aku tidak tahu lagi keadaannya. Percerainku dengan Mas Aryan, semua diurus oleh pe
POV NauraRencana untuk membuat Evania menderita malah gagal total. Kenapa Dewi Fortuna tidak berpihak kepadaku. Padahal, aku sudah membujuk Mas Aryan agar menunda kepulangan kami ke Jakarta. Ditambah lagi membayar jasa orang suruhan dengan harga yang lumayan menguras kantong. Uang habis, muka juga rusak. Si** sekali hidupku."Dasar Evania, mau ke mana kamu, tanggung jawab sudah merusak wajahku." Mas Aji, Mas Aryan dan Evania malah pergi meninggalkanku. Mereka memang manusia tidak berperasaan. Aku sedang sakit seperti ini, tetap saja diabaikan. "Mas Aryan, Mas aji, ke sini. Bagaimana nasib mukaku!" teriakku sekuat tenaga agar mereka kembali ke ruangan ini.Suaraku hampir habis, mereka tak kunjung masuk. Pipi rasanya sangat sakit karena meregang akibat berteriak. Wajahku diperban seluruhnya. Hanya mulut, mata dan lubang hidung yang tidak tertutup. tanganku sebelah juga dilapisi kain kasa. "Mas Aryan, Mas Aji!" Kemana mereka, budek sekali kupingnya. Aku mencoba berjalan dan mencop