POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik
Waktunya pulang kantor. Aku membeli beberapa brownis dan buah-buahan untuk menyambut Naura dan keluarga. Rasa bahagia mulai menghampiri ketika membayangkan aku dan Naura akan bersatu. Sudah lama ingin menikah dengannya, namun dulu aku sangat takut pada Uwa. Dia juga pernah bilang perkawinan saudara sepupu itu tidak dianjurkan meskipun tidak haram. Saat ini, Uwa tidak akan bisa menentang pernikahan kami. Apalagi Naura sedang berbadan dua. Evania menjadi malaikat penolong dan pemersatu cinta kami. Meskipun awalnya dia menentang, tetapi dia akhirnya menyetujui. "Assalamualaikum." Aku buka pintu. Terlihat keluarga sudah berkumpul."Waalaikumsalam, Aryan sudah pulang," Sapa Mbak Devi."Iya, Mbak." Aku cium tangan Uwa dan kakak-kakak Naura. Uwa terlihat dingin dengan sorot penuh kebencian. Apa dia belum memaafkanku tempo hari? Lalu, bagaimana jika dia mengetahui semuanya hari ini?"Baik semuanya, karena Mas Aryan sudah hadir, Eva mau mulai acaranya.""Nah gitu, Nbak sudah penasaran, acara
"Mas, bagaimana ini, kita mau tinggal dimana. Bapak tidak akan mengizinkanku kembali ke rumahnya. Tinggal di apartemen siapa yang mau bayar?""Aku tidak tahu Naura. Evania sudah menjual rumah ini, menguras tabunganku. Sedangkan, gajiku masih dua Minggu lagi baru turun.""Keterlaluan sekali perempuan kampung itu. Lebih baik kita laporkan dia ke polisi.""Tidak bisa Naura. Surat penjualan itu legal, aku juga tidak ingat kapan rumah ini balik nama atas dia. Lalu, soal tabungan, bagaimana pun dia mengandung anakku, jadi tidak masuk akal jika aku melaporkannya sebagai pencurian. Evania pasti mengelak.""Lalu bagaimana dengan kita, Mas. Biaya pernikahan kita, cek kandungan, makan dan biaya tempat tinggal.""Biar aku pikirkan nanti." Ocehan Naura hanya membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya ingin pecah. Lebih baik aku tidur, berharap besok semuanya kembali seperti semula."Mas, mau kemana?"."Aku mau tidur. Kamu tidur di kamar tamu. Kita tidak usah tidur bersama. Tidak enak jika ada warga
POV Naura"Mas, bangun, Mas, jangan mati dulu. Belum nikah masa kamu udah mati!" teriakku sangat kencang. Gara-gara Evania, hidupku dan Mas Aryan jadi melarat. Perut lapar, tempat tinggal tidak ada dan sekarang mobil pun dia curi."Pak, tolong calon suami saya, bawa ke rumah sakit." "Lah, Mbak, dia cuman pingsan. Guyur air cucian piring juga bakal bangun." Pria itu malah masuk ke dalam mobil dan kabur."Pak, tunggu ...." Belangsak sekali hidupku.Mendengar perkataan pria itu, membuatku dapat ide. Berlalu secepat kilat menuju dapur, tidak ada air cucian piring, maka aku ambil saja air keran. Byur ...."Ah, banjir ... Evania, tolong, banjir." Apa, dia malah memanggil Evania? Kurang ajar, di saat genting seperti ini malah berani-beraninya memikirkan perempuan pembawa si** itu.Plak! "Malah manggil Evania. Aku Naura, Mas. Bukannya cari solusi malah pingsan." "Naura, mobilku. Arghhh, sial, Evania sudah merampas hartaku tanpa tersisa.""Gimana dong Mas, aku lapar." "Semua gara-gara k
POV EvaniaAku langkahkan kaki dengan pasti menuju tanah kelahiran. Meskipun pelosok, di sana menyuguhkan kedamaian.Sebenernya, aku ingin langsung bercerai dengan Mas Aryan, tetapi Ayu melarang untuk mengulur waktu pembagian harta gono gini. Pengadilan di negara ini menetapkan sistem bagi harta 50 : 50. Padahal, aku ingin membuat Mas Aryan merasakan bagaimana hidup miskin dan kekurangan. Agar dia tidak banyak pola. Maka, demi tercapainya tujuan, aku rela menunggu delapan bulan lagi untuk berpisah. Semoga saja, selama itu, Mas Aryan dan Naura sadar akan kesalahannya."Assalamualaikum," ucapku mengetuk pintu rumah yang tidak asing."Waalaikumsalam, Evania." "Umi." Aku langsung memeluk umi. Menumpahkan semua air mata. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri."Evania, kenapa kamu menangis, Nak?""U-Umi, hiks, hiks." "Ayok, kita masuk dulu."Aku duduk di ruang tamu. Tidak lupa, Umi memberi segelas air putih untuk menenangkan. Aku ceritakan semua yang telah terjadi. Beban hidup y
POV Aryan"Saya terima nikahnya, Naura Apriani dengan mahar uang seratus ribu dibayar tunai.""Bagaimana saksi?" "Sah." Perbuatan gila Naura, serta bujukan Mbak Imay dan Mas Aji, membuat Uwa mau menikahkanku dengan anaknya. Untung rencana bunuh diri Naura gagal. Dahan pohon mangga patah karena tidak kuat menahan bobot tubuhnya. Kalau tidak, mungkin Naura sudah menggantung tanpa nyawa seperti ikan pindang."Akhirnya, kita resmi menikah meskipun hanya nikah siri, Mas." Senyuman manis tersungging dari bibirnya. Berbeda denganku, hatiku seakan tidak rela menjalani pernikahan ini. Evania pasti sangat marah, dan tidak akan memberiku kesempatan untuk memperbaiki rumah tangga kami."Secepatnya kalian pergi dari rumah saya," ucap Uwa setelah penghulu dan saksi pulang."Maksud Bapak apa?" tanya Naura tidak senang."Saya tidak Sudi kamu di sini. Ingat, kamu bukan anak saya lagi. Cepat pergi, sudah untung saya mau menikahkan kalian di sini.""Tidak bisa Pak, Naura tetap anak Bapak. Naura berha
POV Ayu"Selamat berjumpa kembali, Aryan Atmaja," ucapku dengan senyum sinis."Ayu." Mata Aryan menatapku tidak percaya. Tubuhnya kaku seakan tersambar petir.Aku suka ekspresinya. Penderitaan tergambar jelas. Penyesalan dan guncangan mental membuat dia tertampar."Ternyata kamu masih ingat denganku?" Aku melangkah mendekat. Membelai rambutnya yang terlihat berantakan."Apa semua ini rencanamu, dan Evania?""Yah, kamu pintar Aryan. Aku adalah dalang dari kekacauan hidupmu, dan kekasih pujaanmu itu.""Tak mungkin, bukankah kamu sudah ....""Hahaha, kamu pikir aku sudah mati karena bunuh diri? aku tidak b**oh, Aryan.""Tapi ... saat aku ke rumahmu waktu itu ...." Aryan tidak melanjutkan ucapannya. Ternyata dia masih ingat kejadian lima tahun lalu."Kamu mencariku, Aryan? Pasti hanya ingin memastikan kehancuranku, bukan?" tanyaku berusaha menahan emosi jiwa."Bu-bukan begitu, justru aku ingin menanyakan keadaanmu saat itu, tapi kamu malah pindah.""Hahaha, lucu sekali kamu, Aryan. Lebih
Pov Evania"Lepas!" Aku terus berontak. Duduk di kursi dengan posisi tangan terikat ke belakang.Siang tadi, saat sedang memasak di rumah Umi, tiba-tiba ada orang yang membekapku dengan kain. Kemudian, mataku mulai berat dan tertutup. Saat bangun, tubuhku sudah berada di tempat asing yang sangat menakutkan. "Hahaha, bagaimana rasanya, Evania?" Naura menatapku tajam. Sedangkan Mas Aryan hanya terduduk mengamati kami. Ada dua preman yang menjaga di dekat pintu.Rasa kecewa bergemuruh di dada. Bukan karena Naura dan Mas Aryan menyakitiku. Namun, Mas Aryan tega sekali tidak memikirkan calon bayi yang ada di dalam kandunganku."Lepas. Kalian memang manusia tidak berakal. Kamu, Mas, tega-teganya menyakitiku. Tak perduli sedikitpun terhadap bayi kita. Suatu saat kalian akan mendapat balasannya.""Diam, tutup mulutmu, Evania. Bukan kami yang tidak berakal, tapi kamu. Seenaknya membawa harta yang bukan milikmu. Dasar pencuri," bentak Naura tepat di wajahku.Cuih.Ludahku tepat mengenai waja