POV EvaniaAku langkahkan kaki dengan pasti menuju tanah kelahiran. Meskipun pelosok, di sana menyuguhkan kedamaian.Sebenernya, aku ingin langsung bercerai dengan Mas Aryan, tetapi Ayu melarang untuk mengulur waktu pembagian harta gono gini. Pengadilan di negara ini menetapkan sistem bagi harta 50 : 50. Padahal, aku ingin membuat Mas Aryan merasakan bagaimana hidup miskin dan kekurangan. Agar dia tidak banyak pola. Maka, demi tercapainya tujuan, aku rela menunggu delapan bulan lagi untuk berpisah. Semoga saja, selama itu, Mas Aryan dan Naura sadar akan kesalahannya."Assalamualaikum," ucapku mengetuk pintu rumah yang tidak asing."Waalaikumsalam, Evania." "Umi." Aku langsung memeluk umi. Menumpahkan semua air mata. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri."Evania, kenapa kamu menangis, Nak?""U-Umi, hiks, hiks." "Ayok, kita masuk dulu."Aku duduk di ruang tamu. Tidak lupa, Umi memberi segelas air putih untuk menenangkan. Aku ceritakan semua yang telah terjadi. Beban hidup y
POV Aryan"Saya terima nikahnya, Naura Apriani dengan mahar uang seratus ribu dibayar tunai.""Bagaimana saksi?" "Sah." Perbuatan gila Naura, serta bujukan Mbak Imay dan Mas Aji, membuat Uwa mau menikahkanku dengan anaknya. Untung rencana bunuh diri Naura gagal. Dahan pohon mangga patah karena tidak kuat menahan bobot tubuhnya. Kalau tidak, mungkin Naura sudah menggantung tanpa nyawa seperti ikan pindang."Akhirnya, kita resmi menikah meskipun hanya nikah siri, Mas." Senyuman manis tersungging dari bibirnya. Berbeda denganku, hatiku seakan tidak rela menjalani pernikahan ini. Evania pasti sangat marah, dan tidak akan memberiku kesempatan untuk memperbaiki rumah tangga kami."Secepatnya kalian pergi dari rumah saya," ucap Uwa setelah penghulu dan saksi pulang."Maksud Bapak apa?" tanya Naura tidak senang."Saya tidak Sudi kamu di sini. Ingat, kamu bukan anak saya lagi. Cepat pergi, sudah untung saya mau menikahkan kalian di sini.""Tidak bisa Pak, Naura tetap anak Bapak. Naura berha
POV Ayu"Selamat berjumpa kembali, Aryan Atmaja," ucapku dengan senyum sinis."Ayu." Mata Aryan menatapku tidak percaya. Tubuhnya kaku seakan tersambar petir.Aku suka ekspresinya. Penderitaan tergambar jelas. Penyesalan dan guncangan mental membuat dia tertampar."Ternyata kamu masih ingat denganku?" Aku melangkah mendekat. Membelai rambutnya yang terlihat berantakan."Apa semua ini rencanamu, dan Evania?""Yah, kamu pintar Aryan. Aku adalah dalang dari kekacauan hidupmu, dan kekasih pujaanmu itu.""Tak mungkin, bukankah kamu sudah ....""Hahaha, kamu pikir aku sudah mati karena bunuh diri? aku tidak b**oh, Aryan.""Tapi ... saat aku ke rumahmu waktu itu ...." Aryan tidak melanjutkan ucapannya. Ternyata dia masih ingat kejadian lima tahun lalu."Kamu mencariku, Aryan? Pasti hanya ingin memastikan kehancuranku, bukan?" tanyaku berusaha menahan emosi jiwa."Bu-bukan begitu, justru aku ingin menanyakan keadaanmu saat itu, tapi kamu malah pindah.""Hahaha, lucu sekali kamu, Aryan. Lebih
Pov Evania"Lepas!" Aku terus berontak. Duduk di kursi dengan posisi tangan terikat ke belakang.Siang tadi, saat sedang memasak di rumah Umi, tiba-tiba ada orang yang membekapku dengan kain. Kemudian, mataku mulai berat dan tertutup. Saat bangun, tubuhku sudah berada di tempat asing yang sangat menakutkan. "Hahaha, bagaimana rasanya, Evania?" Naura menatapku tajam. Sedangkan Mas Aryan hanya terduduk mengamati kami. Ada dua preman yang menjaga di dekat pintu.Rasa kecewa bergemuruh di dada. Bukan karena Naura dan Mas Aryan menyakitiku. Namun, Mas Aryan tega sekali tidak memikirkan calon bayi yang ada di dalam kandunganku."Lepas. Kalian memang manusia tidak berakal. Kamu, Mas, tega-teganya menyakitiku. Tak perduli sedikitpun terhadap bayi kita. Suatu saat kalian akan mendapat balasannya.""Diam, tutup mulutmu, Evania. Bukan kami yang tidak berakal, tapi kamu. Seenaknya membawa harta yang bukan milikmu. Dasar pencuri," bentak Naura tepat di wajahku.Cuih.Ludahku tepat mengenai waja
"Tapi ada syaratnya." Senyumku merekah bagai bungan mawar di taman. Semua mata menatap heran."Apa syaratnya?" tanya Mas Aryan."Mas harus membayar denda atas perselingkuhan dan perzinaan yang Mas lakukan sama Naura. Sesuai KUHP pasal 417, ayat 1 jika seseorang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya maka bisa kena pidana 1 tahun penjara. Pasal 2 mengatakan, penuntutan itu bisa dilakukan atas pengaduan istri. Eva tidak akan menuntut, jika Mas membayar denda atas sakit hatiku dan anak kita, dengan cara membayar uang sebesar 3 milyar.""Apa? 3 milyar. Kamu gila Evania. Total hartaku saja kurang lebih 4 milyar. Dibagi dua, Hanya 2 milyar yang masing-masing kita dapatkan. Aku rugi, dong.""Sejak kapan pembagian harta gono gini harus ada syaratnya, hah? tak usah mengada-ada, Evania. Dasar perempuan licik.""Hust, mulutmu harus dijaga Naura, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian ke polisi atas tuduhan perzinaan dan penculikan. Kalau Mas tidak setuju atas syaratn
Pov AjiSebagai kakak laki-laki, aku sangat malu dengan kelakuan Naura. Bukan hanya menyakiti hati Bapak, dia juga menyakiti Evania. Sosok perempuan tulus yang sudah lama aku kagumi."Pak, makan dulu," ucap Mbak Imay membawakan bubur. Aku hanya mengawasi dari pintu.Wajah bapak pucat. Kesehatan jantungnya semakin memburuk. Kehamilan Naura, dan kegilaannya yang ingin bunuh diri, menjadi tekanan mental yang dahsyat untuknya. Bukan hanya malu kepada tetangga, tetapi dia merasa gagal mendidik anaknya."Bapak tidak mau makan," jawabnya dengan tatapan hampa."Pak, makan sedikit saja. Dari pagi Bapak belum makan dan minum obat. Sudah sore Pak, ayok makan." Kalbu rasanya teriris melihat luka batin yang Bapak derita."Aji, kemari. Imay, tolong tinggalkan kami berdua." Mbak Imay keluar dengan wajah sendu. Aku mendekat, duduk di ranjang. Bapak menyandar, sambil terus menatapku."Ada apa, Pak?""Apakah kamu sudah punya calon?" "Belum, Pak."Belum ada perempuan yang mengisi hatiku. Aku terlalu fo
POV AryanSial, semua karena ide gila Naura. Hidupku makin rumit. Uang pesangon habis separuhnya untuk menyewa preman, hotel dan biaya lainnya. Naura memang menyesatkan."Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Naura yang melihatku membereskan baju. Amarah memuncak bagai lahar gunung kerakatau yang siap meledak. Kepala rasanya pusing, seperti tertimpa satu truk batok kelapa. "Aku mau bertemu Evania, dan pulang ke Jakarta. Lebih baik fokus mencari kerja dan menyelesaikan masalah dengan Evania. Aku tidak mau ikut-ikutan ide gilamu lagi. Buang-buang waktu dan duit saja.""Aku ikut." Naura memegang tanganku dengan erat. Dasar tukang menyusahkan. Menyesal aku meghamilinya."Terserah, awas, jangan buat masalah baru lagi. Hidupku jadi sial karena bersamamu.""Hey, semabrangan kamu, Mas. Yang ada hidupku jadi menderita karena kamu. Mending aku jadi anak penurut kalo gini caranya. Nikah sama kamu bukan bahagia tapi banyak nanggung sengsara. Nasib, nasib."Sontoloyo Naura, seenaknya menyalahkan ku. Pa
POV EvaniaHati begitu dongkol mendengar perkataan Mas Aryan. Dia meminta rujuk karena tidak mau membayar denda. Ya robb, kenapa ada pria setengah aneh seperti dia. "Sudah, jangan menangis." Ayu menepuk bahuku dengan lembut. Dia paling benci melihatku jadi perempuan rapuh."Iya Yu, tapi aku juga manusia biasa. Bagaimanapun aku pernah mempunya cinta yang sangat besar untuk Mas Aryan. Rasanya begitu sakit ketika mengingat semua perlakuan buruknya padaku." Pipiku berderai air mata.Ayu duduk di hadapanku. Ruang kamar terasa sangat hampa. Ayu masih membisu membiarkanku meluapkan semua air mata yang tersisa."Sudah puas meweknya? Bangkitlah. Jangan lemah. Semakin terpuruk, dirimu semakin menderita. Setiap orang punya jalan cobaan masing-masing. Jangan hanya cover saja yang terlihat kuat. Namun, hatimu harus dilatih lebih tahan banting. Jangan lembek kaya ongol-ongol.""Ayu, aku serius. Kenapa kamu malah ngelawak." Air mata masih hinggap di pipi tapi bibirku malah tertawa. Ayu selalu bis
Pov EvaniaSatu bulan berlalu.Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan. Sampai saat ini, rencana pernikahan aku dan Mas Irsyad dimudahkan.Awalnya, Ayu menolak untuk memberi sertifikat tanah asrama. Namun, negosiasi yang dilakukan Mas Aji dan temannya yang juga seorang pengacara, membuat Bapak Ayu membujuk putrinya untuk mengalah. Mas aji mengatakan, akan memperkarakannya secara hukum, jika Ayu tidak mau memberi sertifikat tersebut. Padahal, pihak Mas Irsyad sudah siap membayarkan hutangnya, maka perbuatannya akan dilaporkan sebagai aksi pengancaman.Kabar baiknya, sertifikat itu masih atas nama Mas Irsyad. Jadi, jalan untuk merebut surat berharga tersebut, makin mudah."Assalamualaikum.""Wa ...." Aku sangat kaget, ketika Mas Aryan tiba-tiba muncul. Dia datang bersama Naura, Uwa dan Mas Aji. Uwa dan Mas Aji, memang sengaja aku undang untuk datang kembali ke sini. Menghadiri akad nikahku."Evania, maafkan aku. Tolong, izinkan aku bertemu anak kita," ucap Mas Aryan dengan raut penye
POV Aryan"Naura," ucapku dengan lesu."Mas, bagaimana, kamu dapat kerjaan gak?" tanya Naura dengan binar penuh harap.Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya. Segera aku ambil air putih dan duduk di sampingnya. Mungkin, segelas air bisa membasahkan tenggorokanku yang kering karena menelan pil pahit kehidupan."Mas, jawab. Jangan diem aja kaya patung!" teriak Naura kesal."Be-belum.""Apa, maksud kamu, belum dapat juga kerjaannya?" Aku hanya bisa menggaguk sambil tertunduk."Mas ... bagaimana ini, uang kita sudah sangat krisis. Bulan ini juga belum bayar sewa kontrakan."Tetesan air mata turun dari pipi Naura. Hatiku ikut teriris menyaksikannya. Mau bagaimana lagi, semua sahabat sudah aku datangi untuk minta bantuan, tapi tidak ada yang sudi menolongku. Mereka selalu beralibi, bahwa tak ada lowongan."Maafkan aku, Naura.""Aku tak butuh kata maaf, Mas. Kamu harus cari kerjaan. Aku tidak mau tahu. Jadi kuli bangunan saja, pasti ada lowongan.""Aku sudah mencari kerjaan apapun, tak ada y
Pov NauraHampir enam bulan setelah kepulanganku dari Jawa, hidup terasa sangat pahit. Apa benar, ini yang dinamakan karma?Mas Aryan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan akibat vidio viral kami. Selama enam bulan ini, kami harus berhemat dengan sisa uang PHK yang tinggal sedikit. Hanya ada lima belas juta untuk menunjang kebutuhan kami berdua. Untuk membayar kontrakan, listrik dan membeli makanan setiap harinya. Satu bulan terakhir, kami harus ekstra berhemat karena uang PHK hanya tersisa beberapa ratus ribu saja. Terpaksa, ponsel Mas Aryan harus dijual untuk menutupi biaya makan."Mas, cari kerja dong. Tidur mulu, lihat perutku, semakin hari makin membesar. Boro-boro untuk memenuhi anak kita, memberi nafkah kepadaku saja sangat tidak layak," umpatku dengan nada kesal."Bukan aku nggak mau kerja, Naura. Tapi, tak ada perusahan yang mau memberi jabatan yang sesuai dengan pendidikanku. Aku bingung harus cari kerja dimana.""Halah, jangan banyak alasan, Mas. Mau kerja apa saja, kamu am
"Ternyata benar, Mas Irsyad ada di sini," seruku ketika melihat sosok pria tampan yang aku cintai sedang termenung di sebuah gubuk.Gubuk ini terletak di tengah, antara pesawahan yang sangat luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya warna kehijauan. Tumbuhan padi yang baru terlihat daunnya, menambah kesyahduan hati yang menikmatinya. Tempat ini cukup jauh dari perkampungan. Pegunungan dan pepohonan adalah batas ujung mata menatap.Setiap musim menanam dan memanen padi, para warga berbondong- bondong ke sawah. Mereka mengelola sawah dengan cara yang maih tradisional. Pada masa itulah, anak-anak kecil suka bermain di sini sambil mengamati orang tuanya yang sedang bekerja."Evania …."Wajah Mas Irsyad kebingungan menyadari kehadiranku. Matanya terlihat bengkak. Apa dia sudah menangis? rambutnya juga berantakan tak karuan."Mas Irsyad tidak pernah berubah, yah?" tanyaku dengan senyuman sambil duduk di sampingnya. Sebuah ranjang sederhana menghiasa gubuk ini."Maksud kamu apa, Evania
#Sadap_Whatsapp_SaumikuPat 28POV Evania"Eva, ikut aku ke dapur sebentar bisa?" tanya Ayu setelah dia dari teras. Aku yang sedang menggendong bayi mungilku, segera menyerahkannya kepada Mbak Devi. "Mbak, punten, tolong gendong Dede dulu.""Baik Eva, jangan sungkan. Mbak senang menggendong bayi lucumu," sambut Mbak Devi dengan senyum lebar.Mbak Devi memang menyukai anak kecil. Aku sangat bahagia, keluarga dari pihak Mas Aryan sangat baik. Meskipun ayah bayiku tidak ada kabar. Sudah berusaha menghubungi nomer Mas Aryan maupun Naura, tapi tidak aktif.Sedih rasanya, saat pertama kali lahir, bukan bapaknya yang mengumandangkan adzan. Haru biru begitu kentara ketika Mas Irsyad menemaniku dan mengumandangkan azan untuk anakku. Ada kebahagiaan yang diam-diam terpatri dalam hati. "Ada apa, Yu?""Evania, kamu menganggapku sahabatmu, bukan?""Tentu," jawabku dengan tawa renyah. Pertanyaan Ayu terdengar sangat aneh."Selama ini aku sudah menolongmu agar terbebas dari cengkraman Aryan. Semu
"Silahkan, diminum Uwa, Mbak dan Mas Aji." Ayu membawa beberapa gelas minuman.Wajahnya terlihat sumringah. Semua mata menatap dengan ramah. Berbeda denganku, rasa kesal mengguncang jiwa. Isi kepala terus bermunculan banyak pertanyaan. Apa lagi rencana jahat ayu?Senja menjelang, aku dan Umi memutuskan untuk pamit dulu ke rumah. Ada jadwal mengajar anak-anak di asrama."Evania, aku pamit dulu yah, jaga dirimu di sini. Jangan mudah percaya kepada siapapun," ucapku lirih saat berdampingan dengan Evania.Evania mengernyitkan alis mencerna perkataanku. Netranya seakan meminta penjelasan."Mas Irsyad, nanti ke sini lagi?" tanya Ayu."Iya.""Bagus, nanti kita bahas rancangan gaun pernikahan, dekorasi dan lainnya.""Iya." Aku segera pergi, tak betah basa-basi dengan Ayu. ******Adzan magrib berkumandang. Aku bersama seluruh penghuni asrama melaksanakan solat berjamaah. Setelahnya, dzikir bersama. "Kelas ula, ada jadwal ngajar Mas, yah?""Iya Mas, pelajaran safinatun najah," ucap Ari salah
Rahasia IrsyadPOV Irsyad"Kamu pasti kuat, Evania." Aku genggam tangan Evania. Wajah Evania dipenuhi keringat. Bibirnya pucat, dan terus merintih kesakitan. Aku sangat tidak tega melihatnya yang sedang berjuang."Ayok Bu, tarik napas kemudian dorong," ucap seorang Dokter yang terus memandu Evania.Entah mimpi apa semalam, hari ini aku langsung memperoleh dua kejutan secara bersamaan. Pertama, kedatangan Ayu yang menggemparkan jiwa dan raga. Kedua, tiba-tiba ditarik suster untuk masuk UGD dan menemani Evania."Ya Allah, sakit ...." Rintih Evania.Jantungku seperti sedang naik wahana roller coaster. Berdebar tak karuan. Bingung harus bagaimana."Bismillah, pasti bisa Evania," ucapku tepat ditelinganya. Aku lantunkan beberapa ayat untuk menenangkan dan memeberinya kekuatan."Aduh, sudah pembukaan 10 kenapa kepala bayi masih belum keluar. Suster, tolong beri Ibu ini minum dulu, biar kuat dorongannya."Jantungku rasanya sesak . Kerongkongan seakan kering mendengar penuturan Dokter. Tidak
POV EvaniaEnam bulan kemudian.Masalah demi masalah mulai teratasi. Aku sudah resmi menjadi janda sejak dua bulan lalu. Keseharianku saat ini, membantu Umi mengajar ngaji di asrama. Ditambah kesibukan baru, mengembangkan usaha konveksi yang baru satu bulan aku rintis. Harta Gono gini yang aku dapatkan, sebagian aku berikan kepada Umi untuk mengembangkan asrama. Digunakan modal untuk mengelolah sawah, perkebunan dan usaha konveksi. Sisanya, aku simpan.Sahabatku, Ayu sedang sibuk mengurus pekerjaannya di Jakarta. Dia bilang, ada suatu masalah yang harus diurus. Sering aku bertanya, tapi dia tak mau jujur. Sedangkan Mas Aji, setelah perceraianku selesai, dia pulang ke Bogor untuk mengurus Uwa yang kondisinya kurang baik. Aku ingin sekali menemui Uwa. Namun, diusia kehamilan yang sudah membesar, takut melakukan perjalanan jauh.Tentang Mas Aryan dan Naura, setelah pertemuan terakhir kami enam bulan lalu, aku tidak tahu lagi keadaannya. Percerainku dengan Mas Aryan, semua diurus oleh pe
POV NauraRencana untuk membuat Evania menderita malah gagal total. Kenapa Dewi Fortuna tidak berpihak kepadaku. Padahal, aku sudah membujuk Mas Aryan agar menunda kepulangan kami ke Jakarta. Ditambah lagi membayar jasa orang suruhan dengan harga yang lumayan menguras kantong. Uang habis, muka juga rusak. Si** sekali hidupku."Dasar Evania, mau ke mana kamu, tanggung jawab sudah merusak wajahku." Mas Aji, Mas Aryan dan Evania malah pergi meninggalkanku. Mereka memang manusia tidak berperasaan. Aku sedang sakit seperti ini, tetap saja diabaikan. "Mas Aryan, Mas aji, ke sini. Bagaimana nasib mukaku!" teriakku sekuat tenaga agar mereka kembali ke ruangan ini.Suaraku hampir habis, mereka tak kunjung masuk. Pipi rasanya sangat sakit karena meregang akibat berteriak. Wajahku diperban seluruhnya. Hanya mulut, mata dan lubang hidung yang tidak tertutup. tanganku sebelah juga dilapisi kain kasa. "Mas Aryan, Mas Aji!" Kemana mereka, budek sekali kupingnya. Aku mencoba berjalan dan mencop