Pov AjiSebagai kakak laki-laki, aku sangat malu dengan kelakuan Naura. Bukan hanya menyakiti hati Bapak, dia juga menyakiti Evania. Sosok perempuan tulus yang sudah lama aku kagumi."Pak, makan dulu," ucap Mbak Imay membawakan bubur. Aku hanya mengawasi dari pintu.Wajah bapak pucat. Kesehatan jantungnya semakin memburuk. Kehamilan Naura, dan kegilaannya yang ingin bunuh diri, menjadi tekanan mental yang dahsyat untuknya. Bukan hanya malu kepada tetangga, tetapi dia merasa gagal mendidik anaknya."Bapak tidak mau makan," jawabnya dengan tatapan hampa."Pak, makan sedikit saja. Dari pagi Bapak belum makan dan minum obat. Sudah sore Pak, ayok makan." Kalbu rasanya teriris melihat luka batin yang Bapak derita."Aji, kemari. Imay, tolong tinggalkan kami berdua." Mbak Imay keluar dengan wajah sendu. Aku mendekat, duduk di ranjang. Bapak menyandar, sambil terus menatapku."Ada apa, Pak?""Apakah kamu sudah punya calon?" "Belum, Pak."Belum ada perempuan yang mengisi hatiku. Aku terlalu fo
POV AryanSial, semua karena ide gila Naura. Hidupku makin rumit. Uang pesangon habis separuhnya untuk menyewa preman, hotel dan biaya lainnya. Naura memang menyesatkan."Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Naura yang melihatku membereskan baju. Amarah memuncak bagai lahar gunung kerakatau yang siap meledak. Kepala rasanya pusing, seperti tertimpa satu truk batok kelapa. "Aku mau bertemu Evania, dan pulang ke Jakarta. Lebih baik fokus mencari kerja dan menyelesaikan masalah dengan Evania. Aku tidak mau ikut-ikutan ide gilamu lagi. Buang-buang waktu dan duit saja.""Aku ikut." Naura memegang tanganku dengan erat. Dasar tukang menyusahkan. Menyesal aku meghamilinya."Terserah, awas, jangan buat masalah baru lagi. Hidupku jadi sial karena bersamamu.""Hey, semabrangan kamu, Mas. Yang ada hidupku jadi menderita karena kamu. Mending aku jadi anak penurut kalo gini caranya. Nikah sama kamu bukan bahagia tapi banyak nanggung sengsara. Nasib, nasib."Sontoloyo Naura, seenaknya menyalahkan ku. Pa
POV EvaniaHati begitu dongkol mendengar perkataan Mas Aryan. Dia meminta rujuk karena tidak mau membayar denda. Ya robb, kenapa ada pria setengah aneh seperti dia. "Sudah, jangan menangis." Ayu menepuk bahuku dengan lembut. Dia paling benci melihatku jadi perempuan rapuh."Iya Yu, tapi aku juga manusia biasa. Bagaimanapun aku pernah mempunya cinta yang sangat besar untuk Mas Aryan. Rasanya begitu sakit ketika mengingat semua perlakuan buruknya padaku." Pipiku berderai air mata.Ayu duduk di hadapanku. Ruang kamar terasa sangat hampa. Ayu masih membisu membiarkanku meluapkan semua air mata yang tersisa."Sudah puas meweknya? Bangkitlah. Jangan lemah. Semakin terpuruk, dirimu semakin menderita. Setiap orang punya jalan cobaan masing-masing. Jangan hanya cover saja yang terlihat kuat. Namun, hatimu harus dilatih lebih tahan banting. Jangan lembek kaya ongol-ongol.""Ayu, aku serius. Kenapa kamu malah ngelawak." Air mata masih hinggap di pipi tapi bibirku malah tertawa. Ayu selalu bis
"Eva, biar Mas anter kamu ke pengadilan agama yah?" tanya Mas Irsyad saat aku bersiap-siap pergi."Nggak usah, Mas. Lebih baik, Mas antar ayu berkeliling di desa ini, sebelum dia pulang. Aku sudah janjian untuk pergi bersama Mas Aji."Semalam Mas Aji menawarkan diri untuk mengantar ke pengadilan. Aku sengaja menyetujui, agar bisa menghindar dari Mas Irsyad. Ayu memang tak mau ikut, dari semalam dia ingin sekali jalan berdua dengan Mas Irsyad. Maka, aku memudahkan jalan mencapai keinginannya. Anggap saja, ini bentuk balas Budi. Meskipun menyakitkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Mas Aji.""Permisi Irsyad, saya nganter Evania dulu." Mas Irsyad hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Kenapa ekspresinya begitu? Apa dia kecewa aku menolak pergi bersamanya?"Hati-hati, Evania," sambut Ayu yang tiba-tiba datang dari arah kamar."Ayok, Mas." Aku berjalan melewati Mas Irsyad. "Kita naik motor yah, aku sudah menyewa motor ini, agar bisa mengantarmu kemana pun.""Baik, Mas."Mas Aji pi
POV NauraRencana untuk membuat Evania menderita malah gagal total. Kenapa Dewi Fortuna tidak berpihak kepadaku. Padahal, aku sudah membujuk Mas Aryan agar menunda kepulangan kami ke Jakarta. Ditambah lagi membayar jasa orang suruhan dengan harga yang lumayan menguras kantong. Uang habis, muka juga rusak. Si** sekali hidupku."Dasar Evania, mau ke mana kamu, tanggung jawab sudah merusak wajahku." Mas Aji, Mas Aryan dan Evania malah pergi meninggalkanku. Mereka memang manusia tidak berperasaan. Aku sedang sakit seperti ini, tetap saja diabaikan. "Mas Aryan, Mas aji, ke sini. Bagaimana nasib mukaku!" teriakku sekuat tenaga agar mereka kembali ke ruangan ini.Suaraku hampir habis, mereka tak kunjung masuk. Pipi rasanya sangat sakit karena meregang akibat berteriak. Wajahku diperban seluruhnya. Hanya mulut, mata dan lubang hidung yang tidak tertutup. tanganku sebelah juga dilapisi kain kasa. "Mas Aryan, Mas Aji!" Kemana mereka, budek sekali kupingnya. Aku mencoba berjalan dan mencop
POV EvaniaEnam bulan kemudian.Masalah demi masalah mulai teratasi. Aku sudah resmi menjadi janda sejak dua bulan lalu. Keseharianku saat ini, membantu Umi mengajar ngaji di asrama. Ditambah kesibukan baru, mengembangkan usaha konveksi yang baru satu bulan aku rintis. Harta Gono gini yang aku dapatkan, sebagian aku berikan kepada Umi untuk mengembangkan asrama. Digunakan modal untuk mengelolah sawah, perkebunan dan usaha konveksi. Sisanya, aku simpan.Sahabatku, Ayu sedang sibuk mengurus pekerjaannya di Jakarta. Dia bilang, ada suatu masalah yang harus diurus. Sering aku bertanya, tapi dia tak mau jujur. Sedangkan Mas Aji, setelah perceraianku selesai, dia pulang ke Bogor untuk mengurus Uwa yang kondisinya kurang baik. Aku ingin sekali menemui Uwa. Namun, diusia kehamilan yang sudah membesar, takut melakukan perjalanan jauh.Tentang Mas Aryan dan Naura, setelah pertemuan terakhir kami enam bulan lalu, aku tidak tahu lagi keadaannya. Percerainku dengan Mas Aryan, semua diurus oleh pe
Rahasia IrsyadPOV Irsyad"Kamu pasti kuat, Evania." Aku genggam tangan Evania. Wajah Evania dipenuhi keringat. Bibirnya pucat, dan terus merintih kesakitan. Aku sangat tidak tega melihatnya yang sedang berjuang."Ayok Bu, tarik napas kemudian dorong," ucap seorang Dokter yang terus memandu Evania.Entah mimpi apa semalam, hari ini aku langsung memperoleh dua kejutan secara bersamaan. Pertama, kedatangan Ayu yang menggemparkan jiwa dan raga. Kedua, tiba-tiba ditarik suster untuk masuk UGD dan menemani Evania."Ya Allah, sakit ...." Rintih Evania.Jantungku seperti sedang naik wahana roller coaster. Berdebar tak karuan. Bingung harus bagaimana."Bismillah, pasti bisa Evania," ucapku tepat ditelinganya. Aku lantunkan beberapa ayat untuk menenangkan dan memeberinya kekuatan."Aduh, sudah pembukaan 10 kenapa kepala bayi masih belum keluar. Suster, tolong beri Ibu ini minum dulu, biar kuat dorongannya."Jantungku rasanya sesak . Kerongkongan seakan kering mendengar penuturan Dokter. Tidak
"Silahkan, diminum Uwa, Mbak dan Mas Aji." Ayu membawa beberapa gelas minuman.Wajahnya terlihat sumringah. Semua mata menatap dengan ramah. Berbeda denganku, rasa kesal mengguncang jiwa. Isi kepala terus bermunculan banyak pertanyaan. Apa lagi rencana jahat ayu?Senja menjelang, aku dan Umi memutuskan untuk pamit dulu ke rumah. Ada jadwal mengajar anak-anak di asrama."Evania, aku pamit dulu yah, jaga dirimu di sini. Jangan mudah percaya kepada siapapun," ucapku lirih saat berdampingan dengan Evania.Evania mengernyitkan alis mencerna perkataanku. Netranya seakan meminta penjelasan."Mas Irsyad, nanti ke sini lagi?" tanya Ayu."Iya.""Bagus, nanti kita bahas rancangan gaun pernikahan, dekorasi dan lainnya.""Iya." Aku segera pergi, tak betah basa-basi dengan Ayu. ******Adzan magrib berkumandang. Aku bersama seluruh penghuni asrama melaksanakan solat berjamaah. Setelahnya, dzikir bersama. "Kelas ula, ada jadwal ngajar Mas, yah?""Iya Mas, pelajaran safinatun najah," ucap Ari salah