POV Aryan
"Mas, perempuan itu sudah gila." Naura menyerahkan sebuah foto beserta caption yang dikirim Evania.
Mataku melotot dengan sempurna. Rasanya bola mata ingin jatuh ke lantai. Rasa nikmat setelah bercinta dengan Naura, hilang seketika. Digantikan rasa takut dan panik yang sangat kuat mendera jiwa.
Aku tidak tahu, kenapa Evania bisa lolos dari perangkap. Padahal, rencana penculikan ini dilakukan serapih mungkin. Sejak di tempat proyek, aku sengaja mengajak preman suruhanku untuk menyamar menjadi rekan bisnis. Kami masuk dalam mobilku. Sebelum keluar kota Jakarta, aku sengaja berpindah posisi dan menyamar seolah-olah rekan Bisnisku yang turun dari mobil.
Menurut laporan orang suruhanku, awalnya Evania berhasil digiring ke lokasi penjebakan. Namun, sedikit lagi sampai, mobil putar balik dan tidak meninggalkan jejak.
"Mas, kenapa?" tanya Naura yang melihatku mendadak terperangah dan terkulai lemas di lantai.Belum cukup kepanikan mendera, sebuah pesan dari Mbak Devi membuatku ingin mati rasanya. Tubuh terkulai lemas. Evania, berhasil sudah kau mengalahkanku. Jika tidak ingat Naura, aku sudah loncat dari apartemen ini.
"Lihat ini."
[Aryan, kamu sudah gila. Kenapa sampai ada yang mengirim foto kamu yang sedang mencium kening Naura diapartemennya. Nomer tidak dikenal mengirim foto ini ke semua nomer W******p keluarga kita. Lihat grup keluarga, sudah geger. Kalian memang Memalukan. Meskipun kedekatan kalian seperti kakak adik, tapi tidak sepantasnya bersikap berlebihan. Apalagi berduaan di kamar apartemen dan bercumbu seperti itu.]
" Kenapa Mbak Devi mempunyai foto kita yang sedang bermesraan." Naura tidak kalah kagetnya denganku.
Beberapa menit kemudian, ponsel Naura tiba-tiba berdering. Ada panggilan dari bapaknya. Dadaku mendadak bergemuruh hebat. Firasat buruk melanda. Kami saling bertatapan.
"Angkat saja."
"Hallo?"
"Naura dimana kamu, apa yang kamu lakukan dengan Aryan. Dasar anak tidak tahu diuntung, bikin malu saja. Saya akan datang ke apartemen kamu. Tunggu, jangan kemana-mana," ucap Uwa langsung mematikan sambungan telepon.sl Suaranya sangat lantang terdengar. Sepertinya dia marah besar.
Pasti semua ini perbuatan Evania. Aduh, aku harus bagaimana? Naura terlihat sangat ketakutan. Kami sangat paham, berbahaya jika membuat Uwa marah. Dia sangat jago pencak silat. Meskipun tubuhnya sudah renta, tapi tenaganya tidak main-main. Satu lagi, Uwa sangat benci jika anaknya melakukan hal-hal yang dilarang agama.
"Mas, jangan diam saja, ayok kita kabur. Aku tidak mau di pukul Bapak. Ayok, Mas."
Tanpa menjawab, aku langsung menggunakan baju. Secepat mungkin mencari tempat persembunyian.
"Kita, cari hotel yang agak jauh dari sini aja, Mas."
Wajah Naura sangat pucat. Kami berdua kelimpungan mencari solusi. Rasanya seperti kena serangan jantung. Sudah bertahun-tahun hubungan gelap ini kami simpan rapi. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Semua karena Evania. Nanti akan aku cari cara agar bisa menceraikan Evania tanpa harus membuat dia buka mulut tentang rahasia ini.
"Kami pesan satu kamar hotel, Mbak."
"Untuk berapa malam, Pak?"
"Satu minggu," jawab Naura.
"Baik Ibu dan Bapak, sebentar saya hitung pembayarannya," tutur resepsionis dengan senyum ramah.
"Total pembayaran 50 juta untuk satu Minggu, sudah dilengkapi fasilitas makan 3 kali sehari, bagaiman Bu, Pak?"
"Baik, kami ambil," jawabku sambil menyerahkan ATM Evania.
"Maaf, kartu ATM Bapak terblokir."
"Apa, tidak mungkin Mbak." Aku bertatapan dengan Naura. Kami sangat terkejut dan kebingungan.
"Kartu ATM bapak benar-benar terblokir, tidak bisa digunakan. Sudah saya cek tadi."
"Kamu ada uang Naura?"
"Di atmku hanya ada satu juta, Mas. itu juga uang untuk biaya makan satu minggu. Soalnya, Belum waktunya bapak ngirimin uang. Terus, Mas juga belum transfer ke aku. Ya, mana ada duit."
"Aduh, terus bagaimna ini, dompetku hanya berisi 100 ribu. Sudah habis tadi siang untuk membayar para preman."
"Bagaimana Pak, Bu, apa jadi menyewa kamar disini?" tegas resepsionis dengan raut tidak ramah.
"Maaf Mbak, tidak jadi."
"Baik," jawab resepsionis dengan senyum meremehkan.
"Mas, kenapa sih kamu jadi belangsak gini. Mangkannya jadi suami jangan bod**, masa mau diatur-atur istri. Sampai uang dikuras semuanya."
"Diam Naura, semua karena kamu. Coba kamu bersikap baik pada Evania, dia tidak akan curiga dan mencari bukti-bukti perselingkuhan kita."
"Dih, ko, Mas nyalahin aku. Ya, salah Mas dong, tidak bisa berbuat tegas pada perempuan kampung itu."
"Diam!" Bentakku dengan lantang.
Naura bukan menenangkan dan mencari solusi, dia malah menambah pikiranku semakin kacau. Kepala rasanya sudah mau pecah. Di tambah cibiran keluarga di grup W******p yang sangat menyudutkan kami. Evania, aku tidak tahan lagi. Apa aku harus berlutu dikaki Evania agar penderitaan ini berakhir? tidak. Aku akan terus mencari solusi mengalahkan evania.
"Turun!"
"Tapi, Mas aku takut Bapak datang ke apartemenku."
"Turun, Naura. Aku harus menemui Evania."
"Tapi, Mas a-"
"Turun!" bentakku untuk kesian kali. Bukan karena aku tidak mencintainya lagi, tapi masalah ini sangat pelik. Jalan satu-satunya adalah bernegosiasi dengan Evania.
Brugh!
Wajah Naura terlihat menahan amarah. Sekuat tenaga dia membanting pintu mobil. Matanya berkaca-kaca. Namun, aku tidak bisa menenangkannya untuk kali ini. Pikiranku terlalu kacau.
Dengan kecepatan tinggi, mobil melaju menuju rumahku. Perasaan kesal dan amarah meluap-luap bagai lahar di gunung Merapi. Aku sudah tidak bisa bersabar lagi menghadapi Evania.
Berkali-kali berteriak, namun Evania tidak kunjung keluar. Dengan terpaksa aku naik gerbang. Untung kunci gerbang menggantung ditembok bagian dalam. Sehingga, mobilku bisa masuk.
"Evania!"
"Evania, buka!" teriakku menggema seperti orang kesetanan.
Namun, lihatlah, Evania tidak mau membukakan pintu. Padahal, ini bukan rumahnya. Wajahnya sangat tenang seakan tidak ada apa-apa.
Evania malah membentaku. Membuat diri ini mematung. Dia sama sekali tidak iba melihatku. Malah menyuruhku tidur diteras dengan para nyamuk-nyamku galak.
"Evania, tunggu. Buka dulu pintunya, kita bicarakan baik-baik." Dia tidak menggubris ucapanku.
"Ah." Aku tendang pintu dengan kesal.
Tubuhku seakan tidak bertenaga. Hanya bisa mengumpat sambil bersimpuh menyadar pintu. Evania, tega sekali dirimu. Bukankah kamu begitu mencintaiku, kenapa tega menyiksaku seperti ini?
Aku meringkuk di atas lantai. Meratapi hidupku yang malang karena mempunyai istri kejam seperti Evania. Isakan tangis dan kekesalan terlontar begitu saja dari mulutku.
Lama kelamaan, mataku mulai berat. Rasa kantuk menyerang. Mungkin ini efek tubuh dan pikiran yang terlalu lelah. Meskipun tanpa alas, tapi mataku bisa terpejam.
********
Mata tiba-tiba terbuka dengan paksa. Ketika ada tangan mencengkram kerah bajuku dan memaksaku untuk berdiri.
"Bangun, kamu Aryan. Apa yang kamu lakukan dengan Naura. Saya sudah bilang, berlaku sewajarnya. Kamu tidak pernah menghargai saya sebagai Uwamu, saya yang sudah membantu besarkanmu, tapi kamu malah melakukan tidak senonoh dengan anakku sendiri. Apa kuranganya Evania untukmu, aryan," ucap Uwa berapi-api.
Dia datang dengan Naura dan Mas Aji. Wajah Naura terlihat lebam di bagian pipi. Air mata terus membanjiri pipinya.
"Maaf, Uwa, Aryan bisa menjelaskan tentang foto itu. Semuanya tidak seperti yang Uwa lihat."
"Jangan banyak bicara, Aryan."
Bug!
Bug!
Dua pukulan melayang dibagian hidung dan perut. Tubuh terpental ke lantai. Darah segar mengalir.
"Cukup, Pak, cukup!" teriak Naura dengan histeris. Sedangkan Mas aji, hanya tersenyum kecut menyaksikan percobaan kami.
POV Evania"Astagfirulloh, Uwa, istigfar," ucapku langsung memeluk Uwa.Saat aku melihat ke luar, ternyata bukan ada maling. Namun, sudah terjadi perkelahian antara Uwa dan Mas Aryan. Wajah Uwa terpancar amarah yang sangat besar. Sedangkan Naura terlihat histeris . Melihat pangerannya babak belur. Pasti Ayu sudah mengirim foto itu, hahaha. Maafkan aku Mas, tidak bermaksud melukaimu. Aku juga tidak menyangka Uwa akan semarah ini. Padahal, bukan foto sedang bermain ranjang yang dikirim. Apalagi kalo Uwa tahu vidio-vidio panas mereka. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. "Jangan halangi Uwa, Eva. Biar mereka kapok.""Sudah Uwa, sudah. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jika Mas Aryan sampai mati, Uwa yang akan masuk penjara. Dan anakku akan menjadi yatim. Tolong Uwa, kendalikan emosinya."Tubuh Uwa mulai tenang. Perlahan, amarah bisa dikendalikan. Sebenarnya aku senang jika Mas Aryan mendapat pelajaran atas perbuatannya. Bahkan, ini belum setimpal. Namun, aku tidak
Cahaya mentari membangunkan tubuhku. Badanku kelelahan Setelah acara heboh antara Mas Aryan dan Naura yang berjalan sampai jam 3 dini hari. Setelah solat subuh, malah ketiduran.Dengan malas, aku buka pintu. Sengaja mengunci pintu kamar. Tidak Sudi jika Mas Aryan tiba-tiba masuk ke kamarku. Meski belum ada kata cerai, tapi hatiku sudah lepas darinya. "Untung kamu sudah bangun," ucap Mas Aryan yang terlihat sudah rapi. Aku memang sudah menyimpan baju kerjanya di atas meja tamu saat mau solat subuh."Kenapa belum berangkat kerja?" "Ya nunggu kamu buka pintu kamar," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.Aku tidak perduli apa yang dia lakukan. Segera bergegas menuju meja makan untuk menyantap roti ditambah selai stroberi. Bisa kurus badanku jika terus memikirkan Mas Aryan. Lebih baik perbanyak makan biar kuat menjalani cobaan berat."Evania!" teriak Mas Aryan dari kamar.Lama-lama sikapnya seperti nenek lampir. Suka sekali membuat kegaduhan. Masih pagi sudah teriak-teriak tidak jelas. A
POV NauraSudah satu Minggu lebih aku berjauhan dengan Mas Aryan . Rasanya sangat tersiksa. Apalagi ketika memikirkannya bermesraan dengan istrinya.Aku tidak habis pikir. Kenapa Mbak Eva bisa secerdas itu. Pasti ada seseorang yang membantunya. Padahal, dulu, aku mengizinkan Mas Aryan menikah karena merasa istrinya polos dan tidak akan mengusik hubungan gelap kami. Namun, kenyataannya tidak seperti itu."Sayang, Bapak kamu mau menjodohkan Mas, sepertinya, Mas harus menerima agar hubungan kita tidak dicurigai," ucap Mas Aryan dua tahun lalu.Semua itu berawal karena pengaduan Mbak Imay. Dia melihatku bermesraan dengan Mas Aryan di kamar. Memang menyebalkan, Mbak Imay sangat ketat menjaga pergaulanku. Suaminya bekerja sebagai pelayaran, jadi dia terpaksa tinggal dirumah bapak untuk mengambil alih peran almarhum ibu. Dia tidak punya anak, jadi leluasa mengawasiku kapan saja."Naura, bantu Mbak nyuci piring. Cucian semalam tidak ada yang nyuci, numpuk, gini. Mau sarapan pakai daun? Buru k
POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik
Waktunya pulang kantor. Aku membeli beberapa brownis dan buah-buahan untuk menyambut Naura dan keluarga. Rasa bahagia mulai menghampiri ketika membayangkan aku dan Naura akan bersatu. Sudah lama ingin menikah dengannya, namun dulu aku sangat takut pada Uwa. Dia juga pernah bilang perkawinan saudara sepupu itu tidak dianjurkan meskipun tidak haram. Saat ini, Uwa tidak akan bisa menentang pernikahan kami. Apalagi Naura sedang berbadan dua. Evania menjadi malaikat penolong dan pemersatu cinta kami. Meskipun awalnya dia menentang, tetapi dia akhirnya menyetujui. "Assalamualaikum." Aku buka pintu. Terlihat keluarga sudah berkumpul."Waalaikumsalam, Aryan sudah pulang," Sapa Mbak Devi."Iya, Mbak." Aku cium tangan Uwa dan kakak-kakak Naura. Uwa terlihat dingin dengan sorot penuh kebencian. Apa dia belum memaafkanku tempo hari? Lalu, bagaimana jika dia mengetahui semuanya hari ini?"Baik semuanya, karena Mas Aryan sudah hadir, Eva mau mulai acaranya.""Nah gitu, Nbak sudah penasaran, acara
"Mas, bagaimana ini, kita mau tinggal dimana. Bapak tidak akan mengizinkanku kembali ke rumahnya. Tinggal di apartemen siapa yang mau bayar?""Aku tidak tahu Naura. Evania sudah menjual rumah ini, menguras tabunganku. Sedangkan, gajiku masih dua Minggu lagi baru turun.""Keterlaluan sekali perempuan kampung itu. Lebih baik kita laporkan dia ke polisi.""Tidak bisa Naura. Surat penjualan itu legal, aku juga tidak ingat kapan rumah ini balik nama atas dia. Lalu, soal tabungan, bagaimana pun dia mengandung anakku, jadi tidak masuk akal jika aku melaporkannya sebagai pencurian. Evania pasti mengelak.""Lalu bagaimana dengan kita, Mas. Biaya pernikahan kita, cek kandungan, makan dan biaya tempat tinggal.""Biar aku pikirkan nanti." Ocehan Naura hanya membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya ingin pecah. Lebih baik aku tidur, berharap besok semuanya kembali seperti semula."Mas, mau kemana?"."Aku mau tidur. Kamu tidur di kamar tamu. Kita tidak usah tidur bersama. Tidak enak jika ada warga
POV Naura"Mas, bangun, Mas, jangan mati dulu. Belum nikah masa kamu udah mati!" teriakku sangat kencang. Gara-gara Evania, hidupku dan Mas Aryan jadi melarat. Perut lapar, tempat tinggal tidak ada dan sekarang mobil pun dia curi."Pak, tolong calon suami saya, bawa ke rumah sakit." "Lah, Mbak, dia cuman pingsan. Guyur air cucian piring juga bakal bangun." Pria itu malah masuk ke dalam mobil dan kabur."Pak, tunggu ...." Belangsak sekali hidupku.Mendengar perkataan pria itu, membuatku dapat ide. Berlalu secepat kilat menuju dapur, tidak ada air cucian piring, maka aku ambil saja air keran. Byur ...."Ah, banjir ... Evania, tolong, banjir." Apa, dia malah memanggil Evania? Kurang ajar, di saat genting seperti ini malah berani-beraninya memikirkan perempuan pembawa si** itu.Plak! "Malah manggil Evania. Aku Naura, Mas. Bukannya cari solusi malah pingsan." "Naura, mobilku. Arghhh, sial, Evania sudah merampas hartaku tanpa tersisa.""Gimana dong Mas, aku lapar." "Semua gara-gara k
POV EvaniaAku langkahkan kaki dengan pasti menuju tanah kelahiran. Meskipun pelosok, di sana menyuguhkan kedamaian.Sebenernya, aku ingin langsung bercerai dengan Mas Aryan, tetapi Ayu melarang untuk mengulur waktu pembagian harta gono gini. Pengadilan di negara ini menetapkan sistem bagi harta 50 : 50. Padahal, aku ingin membuat Mas Aryan merasakan bagaimana hidup miskin dan kekurangan. Agar dia tidak banyak pola. Maka, demi tercapainya tujuan, aku rela menunggu delapan bulan lagi untuk berpisah. Semoga saja, selama itu, Mas Aryan dan Naura sadar akan kesalahannya."Assalamualaikum," ucapku mengetuk pintu rumah yang tidak asing."Waalaikumsalam, Evania." "Umi." Aku langsung memeluk umi. Menumpahkan semua air mata. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri."Evania, kenapa kamu menangis, Nak?""U-Umi, hiks, hiks." "Ayok, kita masuk dulu."Aku duduk di ruang tamu. Tidak lupa, Umi memberi segelas air putih untuk menenangkan. Aku ceritakan semua yang telah terjadi. Beban hidup y