POV Evania
"Astagfirulloh, Uwa, istigfar," ucapku langsung memeluk Uwa.
Saat aku melihat ke luar, ternyata bukan ada maling. Namun, sudah terjadi perkelahian antara Uwa dan Mas Aryan.
Wajah Uwa terpancar amarah yang sangat besar. Sedangkan Naura terlihat histeris . Melihat pangerannya babak belur. Pasti Ayu sudah mengirim foto itu, hahaha. Maafkan aku Mas, tidak bermaksud melukaimu. Aku juga tidak menyangka Uwa akan semarah ini. Padahal, bukan foto sedang bermain ranjang yang dikirim. Apalagi kalo Uwa tahu vidio-vidio panas mereka. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
"Jangan halangi Uwa, Eva. Biar mereka kapok."
"Sudah Uwa, sudah. Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jika Mas Aryan sampai mati, Uwa yang akan masuk penjara. Dan anakku akan menjadi yatim. Tolong Uwa, kendalikan emosinya."
Tubuh Uwa mulai tenang. Perlahan, amarah bisa dikendalikan. Sebenarnya aku senang jika Mas Aryan mendapat pelajaran atas perbuatannya. Bahkan, ini belum setimpal. Namun, aku tidak mau membalasnya dengan kekerasan seperti ini. Cukup menyadarkannya melalui cara halus. Membuat dirinya terpuruk adalah jalan membukakan hatinya. Karena manusia hanya bisa sadar saat dia sudah tidak memiliki apa-apa.
"Semua pasti karena Mbak Eva, dia yang sudah memfitnah Naura, Pak. Pasti dia yang mengirimkan foto itu."
Ya ampun, anak bau kencur ini malah main playing victim. Dia yang berbuat, malah memutar balikan fakta. Sabar, Eva, untuk saat ini aku harus bersikap tenang. Belum waktunya mmebongkar perselingkuhan mereka. Tunggu sampai harta Aryan berhasil aku kuras.
"Astagfirulloh, foto apa yang kamu maksud Naura, Mbak dari tadi tidur. Uwa marah saja, aku tidak tahu penyebabnya. Tiba-tiba ribut-ribu gini," ucapku dengan ekspresi bingung.
Aku tidak tahu foto mana yang Ayu kirim. Jadi, aku tidak bohong 'kan? semua Ayu yang merancang. Aku cukup duduk manis dan menyiapkan naskah untuk menjadi istri yang pura-pura polos.
"Cukup Naura, kamu tidak tahu malu sekali. Sudah berbuat hal berlebihan bersama Aryan, malah menyalahkan, Evania," pembelaan Mas Aji.
"Sudah, lebih baik kita masuk. Saya harus bikin perhitungan sama si Aryan." Dengan emosi Uwa berlalu menuju ruang tengah, disusul Mas Aji. Sedangkan Mas Aryan masih mematung sambil menunduk.
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung." Tangan Naura hampir menamparku. Dengan sigap aku cengkran pergelangan tangannya dengan erat.
"Jangan sentuh aku, atau kamu tahu akibatnya?" bisiku dengan lembut di telinganya.
"Aw, lepaskan." Aku hempaskan tangannya dengan kasar.
"Sudah Naura, ayok kita masuk. Percuma bicara dengan perempuan tidak waras sepertinya." Mas Aryan menggandeng Naura dan mengajaknya masuk.
Hatiku terasa perih melihatnya. Sekuat apapun perempuan, jika menyaksikan suaminya dengan perempuan lain, pasti rasanya sakit. Namun, aku tidak mau meratapinya.
"Naura, Aryan, coba jelaskan kepada saya, kenapa kalian bisa berduaan di apartemen."
"Uwa, A-aryan hanya main saja di sana. Tidak ada maksud apa-apa."
"Jangan bohong!"
"Benar Pak, Mas Aryan mencium keningku hanya karena dia menganggap ku seperti adiknya."
Wah, pintar sekali mereka mengelak. Gatal rasanya ingin membongkar kebusukan mereka. Namun, aku tidak boleh gegabah. Jika menyerah sekarang, anakku hanya akan mendapatkan harta sedikit. Sisanya akan jatuh kepada Aryan. Dengan uang, dia bisa meyakinkan Uwa untuk menjadi suami Naura dan mereka akan hidup bahagia. Oh, tidak. Mereka akan merasa diatas awan kalo begitu.
"Sudahlah, Wa. Jangan mudah terprovokasi oleh orang lain. Lagian, kita tidak tahu yang mengirim foto itu. Bisa saja orang yang tidak suka dengan Mas Aryan. Jadi dia membuat alibi untuk menghancurkan rumah tanggaku dan memecah belah keluarga kita."
"Benar kata Evania, Uwa. Aku tidak mungkin macam-macam, apalagi Evania sedang mengandung anakku."
Mendengar perkataan Aryan, rasanya ingin menyiram dia dengan air es. Agar dia sadar. Hanya menganggap anak dalam kandunganku ketika terjepit saja. Aryan, kamu memang keterlaluan.
"Tuh, Uwa dengar sendiri 'kan. Mas Aryan sangat mencintaiku. Dia tidak akan selingkuh, apalagi dengan sepupunya sendiri. Naura begitu cantik dan berpendidikan, mana mungkin melakukan hal tercela dengan cara merebut suami sepupu iparnay sendiri. Betulkan Naura?" pertanyaan sindiran terlontar juga dimulutku. Sekuat tenaga aku menahan kesal dan sakit hati.
"I-iya, Mbak Eva." Wajah sombong Naura berubah sangat memperihatinkan. Wajahnya pucat bagai mayat hidup.
"Tapi Evania, perbuatan mereka tidak pantas. Aryan sudah punya istri dan Naura sudah baligh. Seharusnya mereka bisa tahu batasan. Aji saja sebagai kakaknya tidak pernah memperlakukan Naura semesra itu. Apalagi hanya berduaan di apartemen."
"Eva, paham Uwa, tapi kita tidak punya bukti mereka berzina bukan? Jadi, untuk saat ini, lebih baik kita memaafkan mereka." Uwa hanya terdiam dengan ekspresi bingung.
"Baiklah, tapi Uwa akan memantau terus Aryan dan Naura. Kamu juga Eva, jika suamimu berbuat hal yang mencurigakan, laporkan saja pada Uwa. Sebelum Naura libur semester, Imay akan menginap di sana, dan saat liburan dia harus pulang ke Bogor."
"Tapi Pak, nNa-"
"Diam!" bentak Uwa. Naura dan Aryan hanya menunduk.
"Keputusan uwa sangat tepat. Untuk menghindari fitnah, mereka harus dijauhkan."
"Eva, maaf sudah melakukan keributan. Uwa pamit dulu. Hari ini juga Imay akan berangkat dari Bogor ke Jakarta. Biar Naura diawasi dia."
Hatiku rasanya berbunga-bungan mendengar usulan dari Uwa. Jika Naura dan Mas Aryan berjauhan, akan mudah bagiku menguasai Mas aryan agar rencana selanjutnya bisa dilakukan.
"Tidak apa-apa Uwa. Eva yakin, setiap keputusan Uwa adalah yang terbaik." Seulas senyum mengembang di wajahku. Naura metapaku penuh kebencian. Sedangkan, Mas Aryan hanya terdiam penuh kepasrahan.
Uwa, Mas Aji dan Naura pamit pergi. Sepertinya, posisi Naura semakin terjepit. Dia tidak bisa bertemu Aryan apalagi memadu kasih. Semoga saja mereka sadar dan tidak melakukan perzinaan lagi. Karena hal itu sangat di benci sang pencipta.
"Biar Eva obatin luka Mas." Aku bawa kapas dan betadin.
Aku memang membenci Mas Aryan, tetapi hati nuraniku masih berfungsi. Rasa kemanusiaan membuatku tidak tega melihat darah yang terus mengalir dari bagian hidung dan bibirnya.
"Eva, aku tidak tahu lagi harus berkata apa." Mas Aryan menatapku dengan sendu.
Jika dia tidak menghianati, mungkin aku sudah memeluk tubuh kekarnya. Mencoba menangkan gundah yang dia rasa. Namun, maaf, jarak diantara kami sudah tersekat tembok yang sangat kokoh.
"Cukup diam," jawabku dengan datar sambil terus membersihkan lukanya.
"Pikiranku tidak karuan Eva. Baru kali ini, Uwa marah kepadaku. Apa aku seburuk itu?" Tanganku langsung berhenti mengobati, saat mendengar ucapannya. Sambil menghembuskan napas kasar.
"Menurutmu?" tanyaku sambil menautkan alis.
"Aku tidak tahu, Eva. Aku hanya ingin kita berdamai agar hidupku kembali normal." Aku menatap Mas Aryan dengan tatapan tajam.
Dia pikir hatiku seperti sendal jepit yang mudah dibuang lalu dibeli kembali? Mas Aryan, sebegitu tidak berartinya aku dalam hidupmu. Sungguh, sakitnya sampai ulu hati.
"Obati lukamu sendiri. Aku muak mendengar omong kosongmu, Mas." Aku beranjak meninggalkannya.
"Evania, apakah kamu sudah tidak mencintaiku?"Aku langsung menoleh dan menatapnya dengan tajam.
"Cinta itu hanya sebuah rasa, Mas. Akan hilang oleh masa. Terkikis penghianatan dan kekecewaan yang tidak akan ada obatnya. Meskipun kamu mencari penawar sampai ujung dunia, cinta tulus tidak akan hadir lagi," ucapku penuh penekanan.
Mas Aryan hanya membisu bagai patung Pancoran. Apa kamu menyesal, Mas? Atau takut kesepian karena kamu akan dijauhkan dari Naura?Cahaya mentari membangunkan tubuhku. Badanku kelelahan Setelah acara heboh antara Mas Aryan dan Naura yang berjalan sampai jam 3 dini hari. Setelah solat subuh, malah ketiduran.Dengan malas, aku buka pintu. Sengaja mengunci pintu kamar. Tidak Sudi jika Mas Aryan tiba-tiba masuk ke kamarku. Meski belum ada kata cerai, tapi hatiku sudah lepas darinya. "Untung kamu sudah bangun," ucap Mas Aryan yang terlihat sudah rapi. Aku memang sudah menyimpan baju kerjanya di atas meja tamu saat mau solat subuh."Kenapa belum berangkat kerja?" "Ya nunggu kamu buka pintu kamar," jawabnya sambil berlalu menuju kamar.Aku tidak perduli apa yang dia lakukan. Segera bergegas menuju meja makan untuk menyantap roti ditambah selai stroberi. Bisa kurus badanku jika terus memikirkan Mas Aryan. Lebih baik perbanyak makan biar kuat menjalani cobaan berat."Evania!" teriak Mas Aryan dari kamar.Lama-lama sikapnya seperti nenek lampir. Suka sekali membuat kegaduhan. Masih pagi sudah teriak-teriak tidak jelas. A
POV NauraSudah satu Minggu lebih aku berjauhan dengan Mas Aryan . Rasanya sangat tersiksa. Apalagi ketika memikirkannya bermesraan dengan istrinya.Aku tidak habis pikir. Kenapa Mbak Eva bisa secerdas itu. Pasti ada seseorang yang membantunya. Padahal, dulu, aku mengizinkan Mas Aryan menikah karena merasa istrinya polos dan tidak akan mengusik hubungan gelap kami. Namun, kenyataannya tidak seperti itu."Sayang, Bapak kamu mau menjodohkan Mas, sepertinya, Mas harus menerima agar hubungan kita tidak dicurigai," ucap Mas Aryan dua tahun lalu.Semua itu berawal karena pengaduan Mbak Imay. Dia melihatku bermesraan dengan Mas Aryan di kamar. Memang menyebalkan, Mbak Imay sangat ketat menjaga pergaulanku. Suaminya bekerja sebagai pelayaran, jadi dia terpaksa tinggal dirumah bapak untuk mengambil alih peran almarhum ibu. Dia tidak punya anak, jadi leluasa mengawasiku kapan saja."Naura, bantu Mbak nyuci piring. Cucian semalam tidak ada yang nyuci, numpuk, gini. Mau sarapan pakai daun? Buru k
POV Aryan"Hallo, Naura, bagaimana hasilnya." Dadaku berdetak kencang. Terdengar suara barang terjatuh. Suara tangisan terdengar jelas. Ada apa dengan Naura?"Ma-Mas, A-Aryan, hiks, hiks.""Kamu kenapa Naura, kenapa? Jangan buat aku khawatir." Tubuhku berasa panas dingin mendengar tangisannya. Keringat bercucuran di keningku, padahal AC di dalam kantor sangat dingin."A-aku hamil."Duar!Bagai ada petir disiang bolong. Mataku langsung membeliak. Terduduk lemas diatas kursi. Ponsel tergeletak begitu saja di meja."Hallo, Mas, aku harus bagaimana, Mas, hiks, hiks." Suara Naura masih bisa terdengar.Bibirku beku untuk berucap. Pikiran sangat kacau. Masalah dengan Evania belum selesai, sekarang, muncul masalah baru. Oh tuhan, apakah ini hukuman? "Mas, jawab teleponku, Mas!" teriak Naura di telepon tidak aku hiraukan. Langsung aku mematikan panggilan.Perasaan takut sangat mendominasi dalam diri. Pikiranku kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Naura mencoba terus menelepon, namun aku abaik
Waktunya pulang kantor. Aku membeli beberapa brownis dan buah-buahan untuk menyambut Naura dan keluarga. Rasa bahagia mulai menghampiri ketika membayangkan aku dan Naura akan bersatu. Sudah lama ingin menikah dengannya, namun dulu aku sangat takut pada Uwa. Dia juga pernah bilang perkawinan saudara sepupu itu tidak dianjurkan meskipun tidak haram. Saat ini, Uwa tidak akan bisa menentang pernikahan kami. Apalagi Naura sedang berbadan dua. Evania menjadi malaikat penolong dan pemersatu cinta kami. Meskipun awalnya dia menentang, tetapi dia akhirnya menyetujui. "Assalamualaikum." Aku buka pintu. Terlihat keluarga sudah berkumpul."Waalaikumsalam, Aryan sudah pulang," Sapa Mbak Devi."Iya, Mbak." Aku cium tangan Uwa dan kakak-kakak Naura. Uwa terlihat dingin dengan sorot penuh kebencian. Apa dia belum memaafkanku tempo hari? Lalu, bagaimana jika dia mengetahui semuanya hari ini?"Baik semuanya, karena Mas Aryan sudah hadir, Eva mau mulai acaranya.""Nah gitu, Nbak sudah penasaran, acara
"Mas, bagaimana ini, kita mau tinggal dimana. Bapak tidak akan mengizinkanku kembali ke rumahnya. Tinggal di apartemen siapa yang mau bayar?""Aku tidak tahu Naura. Evania sudah menjual rumah ini, menguras tabunganku. Sedangkan, gajiku masih dua Minggu lagi baru turun.""Keterlaluan sekali perempuan kampung itu. Lebih baik kita laporkan dia ke polisi.""Tidak bisa Naura. Surat penjualan itu legal, aku juga tidak ingat kapan rumah ini balik nama atas dia. Lalu, soal tabungan, bagaimana pun dia mengandung anakku, jadi tidak masuk akal jika aku melaporkannya sebagai pencurian. Evania pasti mengelak.""Lalu bagaimana dengan kita, Mas. Biaya pernikahan kita, cek kandungan, makan dan biaya tempat tinggal.""Biar aku pikirkan nanti." Ocehan Naura hanya membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya ingin pecah. Lebih baik aku tidur, berharap besok semuanya kembali seperti semula."Mas, mau kemana?"."Aku mau tidur. Kamu tidur di kamar tamu. Kita tidak usah tidur bersama. Tidak enak jika ada warga
POV Naura"Mas, bangun, Mas, jangan mati dulu. Belum nikah masa kamu udah mati!" teriakku sangat kencang. Gara-gara Evania, hidupku dan Mas Aryan jadi melarat. Perut lapar, tempat tinggal tidak ada dan sekarang mobil pun dia curi."Pak, tolong calon suami saya, bawa ke rumah sakit." "Lah, Mbak, dia cuman pingsan. Guyur air cucian piring juga bakal bangun." Pria itu malah masuk ke dalam mobil dan kabur."Pak, tunggu ...." Belangsak sekali hidupku.Mendengar perkataan pria itu, membuatku dapat ide. Berlalu secepat kilat menuju dapur, tidak ada air cucian piring, maka aku ambil saja air keran. Byur ...."Ah, banjir ... Evania, tolong, banjir." Apa, dia malah memanggil Evania? Kurang ajar, di saat genting seperti ini malah berani-beraninya memikirkan perempuan pembawa si** itu.Plak! "Malah manggil Evania. Aku Naura, Mas. Bukannya cari solusi malah pingsan." "Naura, mobilku. Arghhh, sial, Evania sudah merampas hartaku tanpa tersisa.""Gimana dong Mas, aku lapar." "Semua gara-gara k
POV EvaniaAku langkahkan kaki dengan pasti menuju tanah kelahiran. Meskipun pelosok, di sana menyuguhkan kedamaian.Sebenernya, aku ingin langsung bercerai dengan Mas Aryan, tetapi Ayu melarang untuk mengulur waktu pembagian harta gono gini. Pengadilan di negara ini menetapkan sistem bagi harta 50 : 50. Padahal, aku ingin membuat Mas Aryan merasakan bagaimana hidup miskin dan kekurangan. Agar dia tidak banyak pola. Maka, demi tercapainya tujuan, aku rela menunggu delapan bulan lagi untuk berpisah. Semoga saja, selama itu, Mas Aryan dan Naura sadar akan kesalahannya."Assalamualaikum," ucapku mengetuk pintu rumah yang tidak asing."Waalaikumsalam, Evania." "Umi." Aku langsung memeluk umi. Menumpahkan semua air mata. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri."Evania, kenapa kamu menangis, Nak?""U-Umi, hiks, hiks." "Ayok, kita masuk dulu."Aku duduk di ruang tamu. Tidak lupa, Umi memberi segelas air putih untuk menenangkan. Aku ceritakan semua yang telah terjadi. Beban hidup y
POV Aryan"Saya terima nikahnya, Naura Apriani dengan mahar uang seratus ribu dibayar tunai.""Bagaimana saksi?" "Sah." Perbuatan gila Naura, serta bujukan Mbak Imay dan Mas Aji, membuat Uwa mau menikahkanku dengan anaknya. Untung rencana bunuh diri Naura gagal. Dahan pohon mangga patah karena tidak kuat menahan bobot tubuhnya. Kalau tidak, mungkin Naura sudah menggantung tanpa nyawa seperti ikan pindang."Akhirnya, kita resmi menikah meskipun hanya nikah siri, Mas." Senyuman manis tersungging dari bibirnya. Berbeda denganku, hatiku seakan tidak rela menjalani pernikahan ini. Evania pasti sangat marah, dan tidak akan memberiku kesempatan untuk memperbaiki rumah tangga kami."Secepatnya kalian pergi dari rumah saya," ucap Uwa setelah penghulu dan saksi pulang."Maksud Bapak apa?" tanya Naura tidak senang."Saya tidak Sudi kamu di sini. Ingat, kamu bukan anak saya lagi. Cepat pergi, sudah untung saya mau menikahkan kalian di sini.""Tidak bisa Pak, Naura tetap anak Bapak. Naura berha