Mereka sampai rumah hampir bersamaan. Di halaman sudah ada mobil Ika dan Irene. Dua anak perempuan itu duduk menunggu di ruang televisi.Keduanya tampak heran saat Bu Tiwi datang dengan wajah muram. Kemudian papa mereka menyusul di belakang dengan wajah cemasnya."Ada apa, Ma?" tanya Ika sambil mencium tangan sang mama. Ia menatap bergantian antara papa dan mamanya. Sedangkan Daffa sudah duduk di salah satu sofa.Sejenak hening menjeda. Bu Tiwi langsung melangkah masuk dalam kamar."Ada yang ingin papa bicarakan." Pak Farhan akhirnya yang bicara. Lelaki itu duduk tak jauh dari putranya.Setelah menarik napas panjang dan menata hatinya, Pak Farhan mulai bercerita. Tentang kisah kelam yang berimbas pada balas dendam dan menghancurkan pernikahan Ika. Meminta maaf pada anak-anaknya untuk pengkhianatannya berpuluh tahun lalu. Tidak perlu lagi menutupi rahasia itu. Biarkan anak-anak tahu.Pak Farhan tidak bisa menahan air mata. Menyesali apa yang terjadi dan menyakiti mama mereka. Menjelask
RINDU YANG TERLUKA- Tak Pernah SembuhDada Pak Farhan terasa sesak dan pengap. Kesedihan luar biasa mendera dan menyiksa. Diimpit rasa bersalah demikian dalamnya. Timbul ketakutan bahwa ia bisa kehilangan Bu Tiwi dalam waktu yang tidak disangka.Wanita di sampingnya duduk tenang dengan tatapan tanpa beralih dari luar kamar. Lewat jendela kaca ia melihat siluet tanaman bunga kesayangannya bergoyang diembus angin malam. Sudah hampir sebulan ini tidak turun hujan. Musim kemarau dengan hawa bediding yang dingin di tengah malam telah tiba."Maafkan papa, Ma." Pak Farhan berucap lirih sambil memandang Bu Tiwi. Bingung hendak bicara apa. Tidak ada kata yang bisa diucapkan untuk menunjukkan penyesalannya."Sudah lama aku memaafkanmu, Pa. Setelah aku tahu semuanya aku tetap memaafkan. Dan tidak selangkah pun aku meninggalkan rumah ini."Dada Pak Farhan kian sesak. Nafas seolah hanya tertinggal di tenggorokan saja. Dia benar-benar malu berhadapan dengan wanita yang begitu tenang dan tegar di
Bagi orang lain, mungkin keputusan Bu Tiwi begitu bodoh. Kenapa bertahan dan tidak pergi saja meninggalkan suami yang sudah tega berbagi raga dan rasa pada wanita lain. Sekarang untuk kedua kalinya ia mengizinkan sang suami menemui wanita yang sudah membuatnya terluka. "Papa nggak akan pergi ke manapun, Ma. Kalau ini dosa besar, biarlah papa yang menanggungnya. Papa akan tetap di sini bersama kalian." Pak Farhan bicara sambil menunduk. Tak sanggup lagi bertentang mata dengan istrinya."Bertaubat, Pa. Masih ada kesempatan untuk kita menebus dosa pada Allah. Allah maha pemaaf, tapi kesalahan pada manusia, hanya akan diampuni jika orang yang kita sakiti juga memaafkan. Temui mereka dan minta maaflah!"Pak Farhan terhenyak. Terbuat dari apakah hari istrinya. Setelah disakiti sedemikian rupa, masih juga sudi mengingatkan dan membimbingnya.Untuk beberapa lama keduanya saling diam dan malam kian larut.Bu Tiwi masih menatap ke arah yang sama. Langkahnya sudah sejauh ini. Bertahan dalam luk
Turun dari mobil, Rinjani diam sejenak untuk menghirup udara di halaman rumah yang sudah berbulan-bulan ditinggalkan. Mereka disambut suka cita oleh Mak Sum. Lastri menangis bisa memeluk perempuan tua yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Mak Sum juga mengendong Noval sebentar. Rinjani memberikan oleh-oleh khas Malang pada wanita yang sudah lama mengabdi pada keluarganya.Noval masuk ke kamarnya bersama Lastri. Bocah itu kangen dengan mainannya di sana."Kenapa nggak naik bis patas?" tanya Daffa setelah Rinjani selesai mandi dan salat zhuhur."Kami ketinggalan beberapa menit tadi. Sebab sampai terminal Arjosari sudah siang. Kalau nunggu bis patas berikutnya, kelamaan. Makanya naik yang ada saja. Lumayan tiga orang cuman bayar 60 ribu.""Astaga. Bikin mas cemas saja. Di telepon nggak ada yang ngangkat.""Ponselnya Lastri ketinggalan di rumah, Mas. Kalau ponselku memang ada di tas. Tapi aku silent. Mas, bilang tadi pagi ada meeting, kan? Kupikir nggak bisa jemput. Mas, juga ngasi
RINDU YANG TERLUKA - Cerita yang Sesungguhnya Cantik. Luka di pipi sudah lenyap berganti dengan pipi mulus tanpa cacat. Jemarinya lentik, kutek warna soft pink dengan hiasan manik-manik kecil yang berkilau saat jemarinya bergerak.Jadi ini alasan Abila menghilang beberapa minggu ini. Daffa bangkit dari duduknya. "Kita keluar." "Ke mana, Mas?"Tanpa mendengarkan pertanyaan gadis itu, Daffa terus melangkah melewati lorong untuk menuju lift. Bahaya sekali kalau mereka berbincang di ruangannya. Sesuatu yang tidak diduga bisa saja terjadi, bahkan mengancam rumah tangganya yang sudah tenang. Apalagi Rinjani ada di Surabaya sekarang. Daffa cemas.Beberapa staf diam-diam memperhatikan dengan ujung mata dari balik papan penyekat meja kerja mereka.Siapa yang tidak kenal Abila dan hubungan yang sempat membuat kantor heboh beberapa bulan yang lalu. Semua karyawan tahu kisah bos mereka dengan gadis cantik bertubuh aduhai. Tinggi semampai, putih, dan menawan.Daffa duduk di ruang tamu kantor.
Daffa menatap serius Abila. Rahangnya mengeras menahan amarah. "Bersumpahlah kalau aku memang melakukan itu padamu.""Ya, aku berani bersumpah," jawab Abila. Gadis itu berkata dengan suara penuh penekanan."Bersumpah demi Tuhan.""Jangan bawa Tuhan dalam perbuatan nista kita," sergah Abila."Jika demi kehormatanmu, pasti kamu berani menyebutnya, Abila. Kalau kamu tidak berani, apa yang kamu ucapkan hanyalah omong kosong."Gadis itu terduduk, menangis, dan membekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat kemudian mengelap pipi dengan tisu yang diambilnya dari dalam tas. "Lelaki di mana-mana sama saja. Br*ngsek semuanya. Papaku, kamu, simpanannya mamaku, dan mereka-mereka itu, semua sialan. Hanya mau enaknya saja." Abila melempar kotak tisu di atas meja pada Daffa. Dan lelaki itu bergeming meski benda persegi mengenai lengannya."Mereka siapa? Katakan! Siapa orang yang merusakmu lantas kau limpahkan kesalahan itu padaku?" Daffa mulai mencerna kalau ada sesuatu yang tidak ber
"Kamu ingin pertanggungjawaban, kan. Ayo perjuangkan. Kalau hal itu benar, kenapa nggak mau mengucapkannya. Kamu butuh tanggungjawab Daffa, bukan?" Teddy yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara. Geram juga mendengar percakapan yang muter-muter tidak jelas."Ngomong saja. Kenapa takut. Kalau Mas Daffa memang telah menodaimu. Aku akan mundur. Silakan kalian menikah," ujar Rinjani yang membuat Daffa menatapnya tajam. Lelaki itu tidak terima dengan perkataan istrinya. Bagaimana kalau Abila nekat. Bisa hancur semuanya.Teddy juga memandang Rinjani. Dia pun merasa khawatir."Bersumpahlah demi Tuhan dan kitab sucimu, Bila. Ayo, biar kami semua mendengarnya. Biar lekas selesai permasalahan ini. Kuambilkan mushaf di Mushola." Teddy bangkit dari duduknya. Sedangkan Daffa diam. Sudah pasrah dengan apa yang terjadi."Tunggu!" Abila menahan Teddy yang hendak berdiri. Wanita itu menangis terisak-isak sambil menutup wajahnya.Rinjani membuang pandang, sedangkan Daffa mulai lega. Ia yakin kalau ini
RINDU YANG TERLUKA- Lelaki Itu Ponsel kembali berpendar setelah lima menit diletakkan di sebelahnya. Sekarang mamanya yang menelepon. Abila malas hendak menjawab. Kadang benci sekali berhadapan dengannya. Wanita yang memburu kesenangan sendiri tanpa mempedulikan bagaimana anaknya.Sejak orang tuanya bercerai, Abila dirawat oleh kakek dan neneknya. Itu pun di bawah pengawasan pengasuh. Entah berapa kali ganti pengasuh karena mereka tidak betah dengan Abila yang nakal dan susah diatur.Di tengah rasa putus asanya, kadang ia berpikir kenapa tidak mati saja sedari kecil. Hidup bergelimang harta tak menjamin dia bahagia. Apapun bisa dibeli, tapi tidak bisa membeli kasih sayang dan waktu orang tuanya. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Membiarkan Abila membesar hanya cukup dengan uang dan pengawasan kakek serta neneknya. Miris.Ia mulai mengalami gangguan mental semenjak kelas enam SD. Beranjak remaja dan butuh perhatian orang tuanya sendiri, Abila tidak mendapatkan hal itu.