Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan.
"Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain.
Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi.
"Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus berapa kali gue bilang, Lintang bukan tipe gue.
"Gue berharap lo bisa menikah sama Lintang." Jawab Bumi jujur.
"Sebentar lagi, tunggu aja tanggal mainnya."
***
SMA Gajah Mada, banyak cerita yang terjadi disana. Dari cerita manis sampai pahit sekali pun. Sekolah yang punya banyak tokoh dengan kisah-kisah yang tidak akan pernah dilupakan oleh warganya. Dari semua warga Gajah Mada, mungkin cuma cerita Ali yang sampai detik ini masih berlanjut, meski dia bukan lagi pentolan sekolah. Ditambah pemeran pendamping yang tiba-tiba muncul berubah menjadi pemeran utama, Lintang.
Pagi ini SMA Gajah Mada nampak begitu tenang. Tidak ada lagi rencana-rencana Saka untuk balas dendam ke SMA Erlangga. Para guru yang kemarin sempat panik mendengar berita rencana penyerangan itu bisa bernapas lega. Saka sudah secara resmi menginformasikan lewat grup whatssap kalau untuk sementara serangan balik dihentikan. Tunggu waktu yang tepat, setidaknya setelah dia bebas dari tuduhan polisi terhadapnya. Dia memilih menghabiskan jam istirahatnya di kantin dengan Riko, tanpa tahu kalau sebenarnya akan ada angin topan yang akan mengguncang sekolahnya.
Decit ban mobil Ali terdengar begitu keras, berhenti di parkiran. Kasar, dia membuka pintu mobil. Langkahnya memburu menaiki lantai dua menuju ruangannya. Dan disisi lain, Lintang pun sama. Dia bahkan berlari begitu turun dari boncengan motor yang ditumpanginya, mukanya tegang, matanya awas seperti sedang memastikan sekolah masih dalam keadaan aman. Begitu melihat mobil Ali di parkiran, Lintang langsung menuju ruangan Ali, tidak mempedulikan tatapan murid-murid yang kemarin menyaksikan drama picisannya bersama Saka.
Tanpa mengetuk pintu, Lintang langsung masuk mendapati Ali tengah berdiri membaca beberapa dokumen yang sudah diletakkan di mejanya, entah kapan. Untuk beberapa detik mereka saling diam, menatap satu sama lain. Ali langsung mendongak begitu mendengar suara pintu di buka. Sedikit terkejut dia melihat Lintang yang ngos-ngosan berdiri di depannya.
Ini di luar kendali mereka. Lintang sama sekali tidak tahu kalau perusahaannya merekrut orang baru untuk mendampinginya selama dia bekerja di SMA Gajah Mada. Pagi-pagi sekali, Lintang membuka matanya, malas dia setelah memastikan kalau ternyata terbangun di jam 3 pagi. Tapi dia urungkan niatnya untuk kembali tidur begitu mendengar getar dari ponselnya. Ada email masuk dari perusahaan. Rasa kantuknya mendadak hilang, begitu membaca file p*f yang baru saja dia unduh. Itulah yang membuatnya sekarang berdiri di depan Ali. Perlahan dia mendekat ke meja Ali, hendak bertanya, memastikan kalau kabar itu mungkin salah.
Dan sepertinya Ali tahu apa yang Lintang khawatirkan. Meski Ali pemilik SMA Gajah Mada, dia tidsk bisa begitu saja membatalkan kontraknya dengan perusahaan tempat Lintang bekerja hanya karena ada orang yang akan mendampingi Lintang membangun gedung baru di sekolah. Selain karena denda yang cukup besar kalau Ali harus membatalkan, juga karena Ali tidak punya waktu banyak lagi. Gedung itu harus segera diselesaikan, apapun yang terjadi.
"Itu dokumennya?" tanya Lintang, matanya beralih menatap kertas-kertas yang ada di tangan Ali.
Belum sempat Ali menjawab, terdengar ketukan dari luar. Lintang menoleh tepat saat pintu itu terbuka. Tubuhnya mendadak lemas, pikirannya yang sejak tadi pagi kacau semakin berantakan saat seseorang itu masuk dengan langkah tegapnya yang sama sekali tidak berubah.
Yang sudah lama tidak terlihat, akhirnya muncul lagi. Ali yang kembali muncul di hidup Lintang. Lintang yang kembali muncul di hidup Ali. Dan juga, dia yang sudah lama hilang, kembali lagi datang di hidup Ali juga Lintang.
Laki-laki yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana jeans biru dengan sepatu kulit warna coklat itu, membuka kaca mata hitamnya, tersenyum ramah memperkenalkan diri sebagai konsultan pendamping project gedung SMA Gajah Mada.
"Selamat pagi, perkenalkan saya Elang Yudhistira, konsultan pendamping yang akan mulai bekerja hari ini."
***
Kalau ada palu thor yang bisa muncul begitu Iqbal membutuhkannya, dapat dipastikan dia akan mempalu Riko yang sekarang tengah menghabiskan sepiring batagor di kantin sekolah. Cukup ditemani es jeruk sebanyak tiga gelas. Iya, tidak perlu tanya selain benda mati siapa yang menemaninya. Riko jomblo, jadi dia tidak punya pacar yang akan menyuapinya. Dia cuma punya dua sahabat gila. Yang satu tengah sibuk mempelajari dokumen yang kemarin diberi Bumi. Dan satunya lagi baru saja datang, langkahnya panjang mendekati meja Riko, memiting leher Riko begitu sampai tepat di belakangnya. Na'as, potongan batagor yang baru saja masuk ke mulut Riko mendadak loncat keluar kembali jatuh ke piring, karena terkejut si hulk alias Iqbal tengah menyerangnya.
"Sahabat laknat! Lo apain motor gue hah? Ban gue bocor! Bensin abis! LO PAKEK BUAT APA HAH?!" bentak Iqbal murka. Kemarin memang Riko meminjam motor Iqbal. Tapi Iqbal terkejut bukan main begitu mendapati sepeda motornya di parkiran dalam kondisi yang buruk. Ban bocor dan bahkan bensinnya habis.
Riko cuma menepuk-nepuk lengan Iqbal yang masih memiting lehernya, berusaha melepas tapi gagal.
Sukses drama pagi ini menjadi tontonan seisi kantin. Saka yang duduk terpisah di pojokan tidak mau ambil pusing. Dia memilih kembali fokus dengan kertas-kertasnya.
"Lo pakek motor gue buat anter Karin kan? Dan jelasin kenapa sampek motor gue kayak gitu!" tambah Iqbal, kali ini dia melepas pitingannya dan duduk di depan Riko.
Riko diam sebentar. Merapikan seragamnya lalu melihat sekitar, melempar senyum ke arah penonton, "Cukup ya pertunjukannya, kembali ke aktifitas masing-masing gih, sebelum si hulk ini berubah jadi thor yang bakal pukul kalian pakek palu!"
PLAKKK
Pukulan keras benar-benar mendarat ke kepala Riko. Iqbal benar-benar dibuat marah kali ini, dengan tingkah sahabatnya itu. Pasalnya, baru saja dia mengganti ban roda motornya. Rencananya setelah pulang sekolah dia akan mengikuti turnamen balap motor di ibu kota. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi, dia sudah membuang uang lima ratus ribunya begitu saja.
"Jadi orang sabaran dikit napa sih? Cepet tua lo ntar!" jawab Riko nyengir, memundurkan kursinya, waspada dengan serangan selanjutnya. "Gue tadi nolongin cewek cantik. Cantik banget suer deh! Nah pas banget sampai depan sekolah bensin lo abis, gue kelupaan mampir pom bensin. Eh apesnya ada orang gila yang mungkin naruh paku depan sekolah, terus kena ban motor lo." Riko mencoba menjelaskan, tanpa sadar dia memegang garpu di tangan kanannya, mengacungkannya ke arah Iqbal.
"Dia murid baru deh kayaknya. Gue ketemu dia di halte kota. Dia berhentiin gue, dan minta tumpangan karena tahu gue anak sini."
"Murid baru?" timpal Saka. Fokusnya terpecah juga begitu mendengar jawaban Riko. Dia maju, gabung ke meja Riko, "Siapa namanya?"
"Mana ada cewek yang mau dibonceng sama lo? Nggak usah banyak alesan deh. Udah-udah gue juga nggak butuh penjelasan dari lo. Gue butuh ganti rugi!" sahut Iqbal tetap nggak bisa menahan emosinya.
"Siapa Rik? Siapa cewek itu?" Saka kembali mengulang pertanyaannya. Sepertinya dia tahu siapa yang dimaksud Riko.
"Ya gue nggak tahu lah Ka, dia kelihatan panik gitu, nungguin bis nggak datang-datang. Pas gue di lampu merah dia nyamperin dan langsung duduk belakang gue, minta nebeng. Untung cantik kalo nggak ogah gue nolongin dia."
"SAKA!"
Teriakan itu kembali menyita perhatian. Kurang lima menit lagi istirahat selesai, tapi kantin masih tetap ramai. Kompak tiga sahabat itu menoleh ke arah siempunya suara. Mereka sama-sama terkejut. Dialah cewek yang mereka maksud.
"Itu cewek yang gue tanya kemarin ke elo, Ka." Kata Iqbal memberitahu.
"Itu cewek yang gue boncengin tadi. Iya, dia." Tambah Riko menunjuknya tetap dengan garpu yang ada di tangan.
"Itu cewek gue, bego!" sahut Saka paling terakhir, beranjak berdiri menghampiri gadis yang memanggilnya, "Hai, Lintang. Baru aja mau gue samperin." Sapanya tersenyum manis mengerlingkan mata, pesona sang penakluk cewek seantero Gajah Mada kembali beraksi
***
Lintang memang sudah bekerja di perusahaan kontraktor swasta. Gajinya besar? Entahlah, dia rasa gajinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jangan berpikir karyawan kontraktor itu pasti kaya raya. Catat ya! Yang kaya raya itu ya pemilik perusahaannya lah, sama karyawan yang pintar main uang. Lintang memijat keningnya, kepalanya mendadak pusing. Dia memilih duduk di teras minimarket setelah menyeduh mie instannya. Hari itu Lintang sedang tidak ingin pulang cepat. Pekerjaannya yang menumpuk, jam lemburnya yang tidak ada henti sejak sebulan terakhir benar-benar membuatnya penat bukan main. Melelahkan sekali, jadi dia memutuskan duduk sambil menikmati gerimis sore itu ditemani mie instan favoritnya, rasa ayam bawang.
"Permisi nak, apa ini benar kawasan dago?" suara itu mengagetkan Lintang. Lintang diam sebentar, mengamati sosok bapak tua yang sedang berdiri di depannya itu. Bajunya lusuh, basah karena kehujanan. Lintang buru-buru berdiri memapah bapak itu untuk duduk di depannya.
"Bapak kehujanan? Ini jauh pak dari Dago, bapak mau ke Dago?" tanya Lintang tapi diabaikan si bapak. Saat itu sepertinya dia kelaparan, menelan ludah menatap kepulan uap dari mie instan milik Lintang. Lintang tersenyum berdiri, kembali masuk ke minimarket, "Tunggu sebentar ya, pak."
"Waduh nak, merepotkan sekali. Tapi terimakasih banyak ya, nak. Dari tadi pagi saya belum makan. Nggak bawa uang juga." Lintang kembali dengan membawa satu cup mie instan yang sudah dia seduh. Juga secangkir kopi panas.
"Temenin saya makan pak. Nggak enak makan sendiri. Rumah Bapak di Dago?" tanya Lintang sekali lagi.
Bapak itu hanya mengangguk, dia lebih sibuk dengan mengaduk mienya lalu memakannya pelan.
"Kalau dari sini jauh pak. Naik bus juga sepertinya udah nggak ada yang arah kesana."
"Ah, ini nak bisa minta tolong?" Si Bapak tua itu mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lantas menyerahkan ke Lintang.
"Tolong buat apa Pak?"
"Tolong hubungin cucu saya, minta jemput saya ya. Pulsa saya habis, bisa minta tolong hubungin?"
Lintang mengangguk tersenyum, mengeluarkan ponselnya sendiri dari tas.
"Nama cucu Bapak siapa di ponsel?"
"Elang, Elang Yudhistira."
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah