Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang.
"El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu.
"Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan.
"Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dan asal tahu saja, Lintang capek banget. Sudah seminggu dia lembur, karena harus mengurus dokumen-dokumen proyek juga. Kantung matanya bahkan semakin menghitam. Elang tidak buta kan? Apa dia tidak tahu kalau Lintang sudah cukup kelelahan, dan sekarang malah disuruh datang untuk hal yang tidak jelas? Menungguinya?
"Terus?" tanya Elang santai. Satu dokumen selesai dia periksa. Lalu beralih ke dokumen selanjutnya.
"Kamu ngapain minta aku kesini?"
"Sekarang kamu ngapain?" tanya Elang balik.
"Duduk sambil liatin kamu."
"Yaudah, lanjutin aja."
Muka Lintang seketika memerah, geregetan tapi dia juga tidak tahu harus ngapain. Cuma cemberut, dan menuruti keinginan Elang itu. Lintang tidak pernah bisa menolak keinginan Elang nya itu. Elang nya? Iya, saat itu Elang adalah miliknya.
Tiga puluh menit berlalu, barulah dokumen terakhir selesai Elang periksa. Dia mendongakkan kepala, menatap Lintang yang ternyata sudah tertidur sambil duduk. Elang tersenyum kecil, perlahan langkahnya mendekati Lintang. Menarik salah satu kursi supaya bisa lebih dekat dengan Lintang. Dia elus lembut pipi Lintang, membuat siempunya pipi menggeliat, terbangun perlahan membuka mata.
"Udah selesai?" tanya Lintang serak, mengucek mata berusaha mendapatkan kesadarannya. Dia tertidur lagi rupanya? Ah memang brengsek Elang ini, selalu berhasil membuatnya tertidur.
Elang mengangguk, menarik pegangan kursi Lintang mendekat ke arahnya. Kali ini mata mereka saling beradu. Saat itu sepertinya jadi hal termanis di hidup Lintang. Saat itu Lintang pikir, Elang akan jadi Elangnya secara permanen.
Elang kembali mengelus pipi Lintang, lalu mengecup kening Lintang cukup lama. Elang meraih kedua tangan Lintang, dia genggam erat tangan mungil itu seakan tidak ingin melepasnya, "Nikah yuk?"
***
Lintang menggeliat, matanya perlahan terbuka. Samar-samar melihat seseorang tengah duduk di hadapannya. Lintang tersenyum kecut, bagaimana bisa dia melihat seseorang itu disini? Lintang menggeleng kembali memejamkan matanya, mengira kalau yang dia lihat itu cuma halusinasi. Tapi sial, baru saja dia berniat untuk tidur lagi, suara seseorang itu berhasil menyadarkan Lintang.
"Capek?"
Lintang membuka matanya seketika, jantungnya kembali berdegup cepat. Ah untuk apa sebenarnya itu. Kenapa harus berdegup cepat untuk orang di depannya ini? Kesal, dengan masih setengah nyawanya kembali dari alam mimpi, Lintang memutuskan untuk bangkit. Dia tidak mau lama-lama dekat dengan orang itu.
Tapi Lintang lupa dengan siapa dia berhadapan. Iblis satu ini memang bukan manusia kan? Sengaja orang itu menjegal kaki Lintang saat baru saja akan melangkah, membuatnya hampir saja terjatuh kalau orang itu tidak menariknya langsung. Orang itu menarik Lintang dengan cepat jatuh ke pangkuannya, mendekap Lintang dengan satu tangannya. Membuat Lintang dapat merasakan deru napas orang itu.
"Udah lama ya?" tanya orang itu lagi, menatap Lintang dari samping.
"Lepasin, El." Berontak Lintang berusaha melepas dekapannya. Iya, dia Elang Yudhistira, masalalu Lintang.
"Kangen."
Lintang menarik napas dalam, langsung bangkit begitu dekapan Elang mengendur.
"Apa tujuan lo kesini?" tanya Lintang tajam.
Elang diam sebentar, berdiri di belakang Lintang, "Kamu." Jawab Elang singkat. Elang sangat menyesal, kalau saja dia punya cara lain untuk melindungi Lintang saat itu. Kalau saja dia tahu sebegitu tidak mengenakkannya dibenci Lintang. Dia lebih memilih Lintang daripada mempertahankan gedung tua.
Lintang balik badan, tersenyum. Air mukanya berubah seketika. Dia tatap lekat manik mata yang tidak asing di ingatannya itu. Semuanya sudah berubah kan? Sekarang mereka hanya dua orang asing.
"Apa maksud lo? Ah iya, lo jadi konsultan gue disini? Oke, gue harap kita bisa kerjasama dengan baik sampai proyek selesai." Ucap Lintang dalam satu tarikan napas, "Lo bisa tunggu di ruang rapat. Satu jam lagi alat berat bakal robohin gedung ini. Gue harus ambil gambarnya dulu." Pungkas Lintang balik badan hendak menemui Saka, tapi lagi-lagi langkahnya harus dihentikan Elang paksa.
Elang menariknya lagi, membuat Lintang menabrak tubuh Elang, "Kamu tahu kan, aku selalu dapetin apa yang aku mau?" Nggak ada yang nggak bisa Elang dapatkan. Bahkan beberapa tahun lalu, Elang bisa mengalahkan Ali. Hanya saja ketololannya saat itu, yang membuatnya harus melepas Lintang.
Tidak butuh jawaban, Elang mengecup kening Lintang singkat sebelum pergi meninggalkan gedung. Hari ini cukup, dia harus kembali ke gedung tua. Ada masalah lain yang harus dia selesaikan sepertinya. Bumi baru saja mengiriminya pesan singkat.
***
Mood Saka sepertinya sedang jungkir balik. Baru beberapa saat lalu dia begitu senang, tapi sekarang sudah terjun bebas saat melihat Lintang target selanjutnya dikecup keningnya oleh orang yang entah siapa itu. Saka mengumpat sejadi-jadinya menaruh begitu saja kamera milik Lintang di depan pintu gedung. Dia segera pergi setelah Ali menelpon menyuruhnya datang ke ruangan.
Jadi disinilah Saka sekarang berada, ruangan terseram yang ada di Gajah Mada. Bahkan kepala sekolah tidak berani masuk ke dalamnya. Saat ada yang masuk ke ruangan Ali dan itu lebih dari 30 menit, tandanya ada hal yang salah dengan Gajah Mada. Dan kebanyakan pasti tentang murid-murid nakal sebangsa Saka. Sebelumnya Saka sudah meminta ijin untuk tidak ikut pelajaran ke guru pengajarnya.
"Dokumen yang lo dapet mana?" tanya Ali to the point.
Saka menyodorkan dokumen itu, mengenai keluarga black shadow yang kemungkinan besar telah menculik Tiara, Yachio Dragon salah satu mafia terbesar yang ada di negara ini.
"Ini semua pasti ada hubungannya dengan gedung tua kan bang?" tanya Saka menyelidik. Ali cuma menggidikkan bahu, membaca isi dokumen itu.
"Orang tua Tiara lah yang berusaha menghentikan aktifitas gedung tua. Dan mereka yang menculik Tiara, pasti yang ingin merebut gedung tua dari pemilik sahnya."
"Terus kenapa gue yang harus kena sih bang?" rengek Saka semakin kesal. Dia punya salah apa coba? Memang dia anak orang kaya. Orang tuanya punya perusahaan yang cukup terkenal. Dan kakak sepupunya bukan orang biasa, siapa lagi kalau bukan Eza yang punya banyak wewenang bahkan bisa membuatnya di DO dari Gajah Mada. Tapi Saka samasekali tidak punya niatan untuk berurusan dengan masalah seserius ini. Dia cuma remaja SMA yang punya hobi tawuran. Sudah itu saja! Sore itu Saka cuma penasaran dengan Tiara yang mukanya sembab saat dibonceng ojek. Karena seketika dia tahu kalau itu bukan tukang ojek biasa. Ada stiker lambang geng keluarga mafia yang sangat terkenal melekat di helm si pengemudi. Hanya beberapa orang yang mengetahui tentang hal itu. Saka mengikutinya, menghadangnya malah. Berusaha menyelamatkan Tiara. Tapi na'as ternyata dia masuk ke sarang buaya. Saka dihajar habis-habisan sampai tidak sadarkan diri. Tahu-tahu Saka sudah berada di rumah sakit. Dan keesokannya dia didatangi polisi.
"Lo cuma jadi kambing hitam bego!" ledek Ali beranjak berdiri, "Sekarang lo bisa balik. Tugas lo belajar yang bener. Dan jangan bikin masalah lagi. Ah iya, jangan pernah coba-coba tawuran." Omel Ali memasukkan dokumen itu ke tasnya. Dia berencana menemui Eza membahas masalah ini, kabarnya sore ini Eza kembali dari babymoon dengan adiknya.
"Tadi kan gue udah ijin nggak ikut pelajaran karena lo panggil, Bang." Rengek Saka memasang muka memelasnya tapi langsung bangkit berdiri balik badan meninggalkan ruangan begitu melihat Ali menatapnya datar tanpa bicara.
***
Saka duduk di bangku paling belakang pojok dekat jendela. Tidak ada teman sebangku. Dia lebih suka duduk sendirian. Sedangkan dua sahabatnya Iqbal dan Riko duduk di bangku depannya. Mereka terlihat serius sekali memperhatikan pelajaran. Duduk menghadap ke depan tanpa berkedip sedikit pun saat sang guru sedang menerangkan tentang integral. Iya, saat ini sedang jam pelajaran matematika. Tapi please jangan salah sangka. Jangan positif thingking dulu dengan mereka.
"Bu, tanya boleh?" Saka mengangkat tangannya, menarik kedua sudut bibirnya membuat matanya yang bening itu menyipit, manis.
"Iya silakan, Saka." Sahut guru itu balik tersenyum sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Saya masih bingung bu, perbedaan antara integral tertentu sama tak tentu, bisa dijelasin?"
Semua pasang mata sontak terarah pada Saka. Yang murid cowok kagum dengan keberanian Saka, bahkan ingin seperti Saka. Tapi yang murid cewek langsung ketus, kesal melihat tingkah si playboy itu.
"Geblek lo, modus!" cibir Riko terkekeh melempari Saka dengan kertas yang sudah diremas.
Saka cuma tersenyum memamerkan deretan giginya dan tetap menatap guru itu yang sudah sibuk menjelaskan. Guru matematika yang baru saja mengajar di Gajah Mada selama sebulan. Lulusan dari Universitas ternama dan usianya baru menginjak 25 tahun. Oke, sampai disini sudah jelaskan alasannya?
Tapi saat sedang asyik-asyiknya dia memperhatikan si guru muda itu, matanya teralihkan ke luar kelas. Dia melihat seseorang baru saja lewat di depan kelasnya. Seseorang yang baru saja membuat moodnya berantakan. Saka langsung berdiri, sekali lagi mengangkat tangannya, tapi kali ini dia memasang muka kesakitan sambil memegangi perut.
"Bu, saya ijin mau ke toilet perut saya sakit." Ucapnya buru-buru keluar tanpa menunggu jawaban. Karena dia memang tidak butuh jawaban, tidak diijinkan pun Saka akan tetap keluar dan menimbulkan kegaduhan dari dalam kelasnya. Mereka semua tahu itu cuma alasan Saka saat ingin membolos.
"Napa tuh anak?" tanya Riko ke Iqbal sambil melongok keluar.
"Sakit perut kan?" tanya Iqbal balik langsung dapat toyoran di kepalanya.
"Yaelah nih bocah, dia cuma alasan doang kan? Ngapain dia bolos, tumben jam matematika dia bolos!"
"Lagi sakit perut Riko, lo bego banget sih. Nggak denger Saka tadi ngomong."
"Lo yang bego, Saka nggak pernah sakit perut!"
"Nah itu tadi?"
"Ihh, gue pites juga nih anak!"
"Iqbal Riko! Maju ke depan!" bentakan guru matematika itu seketika membuat kelas hening.
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be