Setahun yang lalu
Saka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.
Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng Saka ingin naik ke atas, tapi baru naik satu tangga, dia berhenti. Saka mendengar musik dari atas, lagu pop rock menghentak.
Saka tersenyum mendongak, "Permisi!" teriaknya. Tidak ada sahutan. Saka ulangi lagi. Kali ini lebih keras. "Permisiiiii!"
Baru musik berhenti. Saka penasaran. Siapa yang ada di atas sana, dan judul lagu apa itu? Saka baru pertamakali mendengarnya.
"Boleh nggak gue naik ke atas?" tanya Saka masih dalam posisi di tangga pertama.
"NGGAK BOLEH!" bentak suara dari atas. Saka sedikit kaget, mengerutkan kening. Berusaha mengintip dari bawah, siapa sebenarnya siempunya suara itu. Yang jelas, Saka tahu itu suara cewek, masih muda.
"Lo cewek?" tanya Saka lagi memastikan.
"Lo pikir?"
"Oke. Gue tadi denger lagu yang lo puter. Gue suka. Boleh tahu apa judulnya? Habis itu suer deh, gue langsung pergi!" Saka mengacungkan dua jarinya membentuk lambang 'piece' seolah cewek yang di atas akan melihatnya.
Hening sesaat. cuma terdengar suara angin bertiup. Benar-benar sepi saat itu.
"Kekuatanku-Rocket Rockers."
***
Saka mondar-mandir seperti orang kesurupan. Kalau kayak gini, aslinya si preman yang katanya mempesona kelihatan deh. Dan tidak ada pesonanya samasekali, apa karena dekat dengan Ali? Jadi pesonanya lenyap? Entahlah.
"Mau sampai kapan lo mondar mandir, hem?" sergah Ali jengkel juga. Dia jadi tidak bisa konsentrasi baca e***l dari kliennya.
Saka berhenti memilih duduk di kursi depan meja Ali lalu sedikit mendekatkan mukanya. Masih tidak percaya kalau cewek yang tadi kameranya dia banting itu usianya tujuh tahun lebih tua darinya.
"Lo yakin Bang?" tanya Saka lagi untuk yang ke 10 kalinya.
Ali tidak menjawab.
"Itu muka nggak tua, Bang."
Ali tetap tidak menjawab.
"Dia adek kelas lo? Alumni sini?"
Masih tidak menjawab. Ali berdiri mengambil berkas di tas hitamnya, menandatangani dokumen yang harus diserahkan ke kejaksaan nanti siang.
"Gue harus gimana, Bang?" rengek Saka lagi semakin gelisah.
"Lo beneran budek ya?" tanya Ali balik, tanpa menatap Saka.
"BANG AL!"
"Lo samperin dia sekarang, minta maaf, ganti kameranya atau gue keluarin sekarang dari Gajah Mada? Pilih mana?"
***
Di lain tempat kondisinya tidak jauh beda. Lintang juga mondar-mandir, bukan karena tidak percaya kalau Saka anak SMA Gajah Mada, tapi masih tidak percaya kalau Ali mengingatnya. Apa itu artinya Ali tahu kalau dialah yang bertanggungjawab mengerjakan gedung ini?
Lintang menghela napas panjang, kembali duduk di depan kantor Ali, menunggu. Entah siapa yang dia tunggu. Ali atau Saka. Sesekali Lintang cemas menatap pintu ruangan yang tertutup itu. Sudah setengah jam sejak Ali menyuruhnya untuk ikut dan menunggu di luar. Beberapa siswa yang lewat di depannya, menatapnya heran. Bertanya-tanya siapa Lintang? Kenapa bisa kenal Ali juga Saka? Kejadian di depan UKS juga di gedung tadi sudah tersebar ke seluruh pelosok SMA Gajah Mada tercinta. Termasuk ke para deretan cewek-cewek yang pernah jadi pacar Saka.
Dan saat ini salah satunya sudah berdiri di depan Lintang, Karin. Menyilangkan tangan di dada menunjukkan keangkuhan anak manja yang terkontaminasi sinetron Indonesia. Peran antagonis, jelas itu yang dia mainkan sekarang. Menatap dingin Lintang yang duduk saja tanpa berminat berdiri menanyai Karin. Kalau dipikir-pikir memang SMA Gajah Mada selalu menyisakan satu siswi yang memerankan antagonis. Mungkin tahun depan Ali akan menambah seleksi siswa baru dalam hal attitude.
"Lo murid baru?" tanya Karin yang seakan mengisyaratkan, 'Lo murid baru? Berani banget ngedeketin pacar gue?'.
Lintang pun harus kembali menahan tawanya. Akhirnya dia berdiri, syukurlah tinggi Lintang sejajar dengan Karin. Lintang mendorong mundur Karin pelan. Sontak membuat murid-murid di sekitar mereka terhenyak, beberapa berteriak kaget, kagum dan beberapa cuma diam mematung tidak percaya. Kok ada murid baru yang berani melawan Karin.
"Kenapa? Mau kenalan?" tantang Lintang tak gentar, berhasil membuat Karin geram. Mukanya memerah menahan kepalan tangannya untuk tidak menjabak rambut Lintang. Bukannya dia tidak mau, tapi Karin tidak akan melakukannya di depan ruangan Ali. Resikonya terlalu berat lah.
"Gue pacarnya Saka!" tandas Karin.
Lintang mengangguk, setuju. Setuju banget kalau cowok resek seperti Saka pacaran dengan cewek seperti Karin.
"Oke, terus?" Lintang menjawab santai.
"Jangan deketin dia."
"Oke, terus?"
"Kalau sampai lo deketin dia, gue bakal ...,"
"Bakal apa? Hem?"
Ada yang de javu dengan kisah Miko dan Raiya? Di saat Raiya diancam Mia karena dekat dengan Miko? Lintang kebetulan membaca kisah Miko dan Raiya yang dijadikan n***l. Lintang tersenyum lagi saat menoleh mendapati Saka sudah berdiri di sampingnya. Tanpa ijin menggandeng tangannya.
"Kok diem?" tanya Saka lagi tepat saat Ali juga keluar dari ruangan.
"Kalian mau jadi tontonan? Kalian pikir ini sedang syuting film?" timpal Ali memasukkan kedua tangannya di saku celana, sorot matanya yang tajam membuat beberapa siswa memilih membubarkan diri daripada kena ancaman DO dari sang pemilik sekolah. Tersisa mereka berempat.
"Ka ...," Karin memelas, mencoba merayu Saka yang beberapa hari lalu baru saja memutuskannya di depan umum.
"Iya?" Saka tersenyum tetap menggenggam erat tangan Lintang.
"Dia murid baru, Ka, kamu belum kenal dia. Ayo Ka, balikan."
Kali ini tangan Saka berpindah merangkul bahu Lintang. Membuat Lintang mau tidak mau terpaksa merapat. Lintang tahu ini cuma pura-pura, tapi nanti dia tidak akan lupa akan kasih pelajaran ke Saka karena berani merangkulnya dan satu lagi, Saka harus ganti lensa kameranya.
"Gue nggak mau tuh, gimana?"
Ali yang melihat adegan drama anak SMA itu tidak mau ambil pusing. Percuma, saat Saka sedang melancarkan aksinya sebagai playboy berusaha mengusir Karin dari hidupnya. Kenapa Saka memutuskan Karin? Dengan santai tanpa beban Saka jawab pertanyaan Ali seminggu yang lalu, "bosen".
Ali melewati mereka bertiga begitu saja, tapi dia tetap bisa menangkap sekilas tatapan Lintang untuknya. Lintang terus menatap punggung Ali yang menuruni anak tangga sampai hilang. Kalau saja berani, Lintang pengen banget teriak panggil namanya. Sudah lama, sudah delapan tahun Lintang menahannya.
***
"Iya, aman. Udah gue pastiin. Kali ini pasti bisa." Iqbal menguap lebar, tapi buru-buru ditutup mulutnya itu, kembali dia pejamkan mata melanjutkan mimpi indahnya yang berhasil menaklukan Karin mantan pacar Saka.
Tapi baru beberapa menit dia menguap. Kursi yang dia pakai untuk tidur di tendang seseorang. Hampir saja Iqbal terjatuh, kalau dia tidak segera bangun, berdiri. Iqbal meradang, emosi. Sumpah serapah meluncur mulus dari mulutnya, meski tahu siapa yang menendang kursinya itu.
"Lo ngapain sih, gue baru bisa tidur sekarang! Bisa nggak, kalo di sekolah nggak ganggu gue!"
"Lo masih bisa santai?" hardik Riko geram. Riko buru-buru mencari Iqbal saat tahu Saka kembali masuk ke ruangan Ali. Riko takut kalau rencana mereka untuk balas dendam ke anak-anak SMA Erlangga dilaporkan Saka.
"Emang ada apa?" tanya Iqbal garuk kepalanya yang tidak gatal. Kegiatan tidur pulasnya membuat dia tidak tahu kehebohan yang dibuat Saka.
"Saka ke ruangan Bang Al."
"Terus?" kelemotan Iqbal kembali kumat. Memang dia salah satu preman di Gajah Mada, tapi preman terlemot yang pernah ada di sejarah SMA besar ini.
Riko gemas, geregetan menarik kerah seragam Iqbal sampai dia berdiri.
"Lo bego atau gimana sih? Saka ke ruangan Bang Al, yang artinya besar kemungkinan Saka ngebatalin rencana kita buat balas dendam ke anak-anak Erlangga!"
Hening setelah Riko nerocos panjang lebar. Iqbal cuma menatap datar Riko, sekali mengedipkan kedua matanya. Mencoba mengumpulkan nyawanya. Sedikit susah memutar otak menanggapi laporan Riko.
"Saka ke ruangannya Bang Al?" tanya Iqbal setelah beberapa detik mereka saling diam.
Riko mengangguk geram, semakin tidak bisa tenang.
"Dan lo pikir dia mau ngebatalin rencana kita buat balas dendam?"
Kembali Riko menggangguk.
"Lo yang bego, Rik!" sahut Iqbal kesal kembali duduk hendak berbaring tapi tidak jadi karena melihat Saka sudah berdiri di belakang Riko.
"Iya, lo yang bego, Rik!" timpal Saka tersenyum menaikkan sebelah alisnya, membuat Riko sontak menoleh.
"Ka, lo ...,"
Iqbal terkekeh seketika. Kembali berdiri merangkul Riko kali ini. Sepertinya Riko tidak tahu rencana Saka.
"Lo pikir gue ngebatalin aksi kita? Gila lo, ya nggak lah. Gue mau memastikan kalo Bang Al nggak akan ganggu rencana kita buat balas dendam."
"Emang lo nggak tahu kenapa Saka ke ruangannya Bang Al?" kali ini nyawa Iqbal sudah terkumpul, jadi otaknya bisa lebih encer berpikir. Dia tahu semuanya, tentang insiden kamera yang dibanting Saka. Tadi setelah mengurus semua hal untuk aksi balas dendamnya nanti siang, Iqbal langsung menuju gedung belakang yang akan direnovasi, tepat saat Ali, Saka dan juga gadis yang punya kamera berkumpul. Ingat gadis itu, Iqbal langsung menatap Saka menuntut penjelasan. Jadi gadis itu usianya 7 tahun di atas mereka? Bagaimana bisa?
"Ka, Ka, sini bentar deh ...," Iqbal melepas rangkulannya dari Riko beralih menarik Saka untuk duduk di bangku yang tadi dia pakai untuk tidur. Riko mengikutinya menarik kursi lain, duduk di depan Saka dan Iqbal.
Saka mengambil satu batang rokok yang dia simpan di saku celananya, menyulutnya. Kebiasaan buruk memang, kalau sampai ketahuan Ali pasti langsung disita. Saka membuka satu kancing seragamnya paling atas, kebiasaannya kalau akan membicarakan hal yang penting, menurut mereka bertiga.
"Gue udah pastiin kalau sekarang Bang Al lagi ada di luar. Dia lagi ada sidang."
Iqbal dan Riko mengangguk, seksama mendengarkannya.
"Pastiin ntar, jam pelajaran terakhir kita bisa kabur dari sini, supaya sampai disana sebelum mereka pulang." Tambah Saka lagi.
Kembali Iqbal dan Riko mengangguk.
"Dan soal pasukan gimana Rik?"
"Beres bos!" Riko nyengir mengacungkan jempolnya.
"Eh bentar-bentar." Timpal Iqbal menarik kursi yang dia duduki sedikit mendekat ke Saka. Sumpah demi apa, dia itu penasaran banget dengan gadis yang usianya tujuh tahun lebih tua dari mereka. Saka cuma menaikkan alisnya sebelah masih terus menyulut rokoknya.
"Itu cewek seriusan lebih tua dari kita? Dia bukan murid baru?"
Hening. Saka tersentak, seperti teringat sesuatu.
"Cewek? Siapa sih?" sela Riko jadi ikut penasaran.
"Ka, dia siapa?" desak Iqbal lagi tidak mengacuhkan Riko. Sedang Saka langsung menepok jidatnya, iya dia benar-benar melupakan sesuatu. Kalau sampai Ali tahu tamat sudah riwayatnya.
Tanpa menjawab pertanyaan Iqbal, Saka langsung bangkit berdiri keluar gudang. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu lalu menoleh sebentar, "Gue duluan, kalian nyusul!"
***
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu