Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan.
Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas.
Elang Yudhistira, masalalunya. Ah, boleh kan Lintang menyebut Elang sebagai masa lalunya? Iya, Lintang mengenal Elang. Lintang sangat mengenalnya. Dan Lintang benci harus bertemu Elang lagi. Bahkan di SMA Gajah Mada? Tempat Ali? Lintang menggeleng keras, belok kanan menuju ujung koridor tempat kantin SMA Gajah Mada berada. Itu pasti ulah Bumi, Elang tahu dari Bumi tentang dirinya yang ada di Gajah Mada, dan sekarang pasti dengan sengaja Elang mengikutinya. Apa rencana Elang sebenarnya? Kalau itu ada hubungannya dengan Gedung Tua, Lintang tetap tidak akan menandatangani dokumen itu. Lintang akan memastikan kalau Elang tidak akan bisa memaksanya.
Langkahnya berhenti di depan pintu kantin. Ramai sekali, tiba-tiba saja ingantannya kembali ke masa lalu, sejenak lupa tentang Elang. Ah memang sekolah ini selalu sukses merebut perhatiannya. Dulu dia hanya melewati kantin ini tanpa pernah masuk ke dalamnya. Dulu Lintang terlalu takut, dia tidak mau terlalu dekat dengan Ali. Toh tujuan dia sekolah disini karena untuk hal yang tidak baik. Dia hanya bisa melihat sekilas Ali yang duduk di pojok kantin. Ali yang selalu terlihat serius mengerjakan tugas sekolah dan selalu ditemani sahabat-sahabatnya. Lalu terkadang dia juga sempat melihat Ali tertawa hanya karena celotehan adiknya, Aisyah. Lintang selalu menahan tawanya kalau melihat ada siswi yang berusaha mendekati Ali. Kalau boleh waktu diulang, Lintang tidak akan datang ke sekolah ini dan mengenal Ali. Punya kenangan tentang Ali seperti itu, bukanlah hal yang menyenangkan.
Mata Lintang mengerjap, menarik napas dalam-dalam masih terus menatap meja yang berada di pojok kantin. Mengatakan pada dirinya sendiri untuk kesekian kalinya kalau semua itu adalah masa lalu, semua sudah selesai. Tidak akan ada lagi cerita buruk tentang dirinya dengan Ali. Yang harus Lintang lakukan saat ini hanya fokus dengan pekerjaannya dan segera pergi dari sekolah ini.
"SAKA!" teriak Lintang, meski tidak terlalu keras, tapi berhasil membuat hampir seluruh murid yang berada di kantin menoleh ke arahnya, termasuk Saka yang duduk di pojok kantin.
Saka yang melihatnya langsung berdiri menghampiri, diikuti bisik-bisik murid khususnya kaum cewek Gajah Mada yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Siapa yang berani-beraninya memanggil Saka dengan berteriak selain Ali. Ah iya, Lintang belum tahu kalau Saka ini pentolan sekolah, preman nomor wahidnya Gajah Mada angkatan tiga tahun lalu.
"Hai, Lintang. Baru aja mau gue samperin." Saka nyengir mengusap pucuk kepala Lintang, berhasil membuat Lintang melotot murka. Beraninya bocah ingusan mengelus kepalanya? Di depan banyak orang? Bukannya memerah tersipu diperlakukan manis oleh sang preman tapi Lintang memerah karena pengen banget menonjok muka Saka yang ahhh iya memang ganteng.
"Lo, kena ..."
"Iya, gue tahu kok, yuk cabut!" potong Saka merangkul Lintang begitu saja mengajaknya keluar kantin meninggalkan kehebohan yang tak berhenti sampai nanti bel sekolah bunyi. Bahkan teriakan Riko dan Iqbal yang memanggil Saka tidak terdengar, ahhh cewek-cewek selalu histeris lebay saat malaikat Gajah Mada mulai melancarkan aksinya.
***
Saka tidak melepas rangkulannya dengan tetap menebar senyum seolah mereka ini pasangan baru di SMA Gajah Mada. Saka sengaja, dia ingin mengumumkan secara tidak langsung kalau Lintang adalah miliknya, hmmm akan menjadi miliknya. Lintang berusaha melepas rangkulan Saka. Tapi sial, Saka malah mempereratnya, membuat mereka seperti sedang berpelukan. Baru setelah sampai di gedung belakang sekolah, Saka melepas rangkulannya, nyengir menatap Lintang tanpa sedikit pun merasa bersalah meski sudah bertindak tidak sopan dengan yang lebih tua.
"Lo nggak waras hem?" tanya Lintang sinis menatap tajam Saka.
Saka menggidikan bahu, lalu mendudukkan Lintang di kursi yang biasanya dia pakai untuk tidur kalau sedang membolos.
"Iya gue tahu kak, lo cari kamera kan?" tanya Saka balik seolah tahu maksud Lintang tadi memanggilnya.
"BUKAN eh iya itu juga, tapi bukan itu yang gue maksud SAKA!" Lintang kesal sendiri, awalnya memang itu tujuannya mencari Saka. Lintang mengacak mukanya frustasi, sudah ada Elang yang tiba-tiba datang masih ditambah sikap tidak jelas bocah ingusan di depannya ini.
"Terus apa dong?" tanya Saka santai, sekarang sudah duduk di samping Lintang masih terus tersenyum, menikmati muka mungil Lintang yang sedang kesal karena ulahnya, menggemaskan.
"Pertama, ..." Saka mengangguk, pura-pura mendengarkan serius perkataan Lintang. "Lo panggil gue Lintang? Gue lebih tua dari lo, lo berani?" Saka mengangguk lagi, membiarkan Lintang melanjutkan, "Kedua, lo berani ngelus kepala gue? Gue lebih tua dari lo Saka!" Dan Saka tetap mengangguk. "Ketiga lo rangkul gue seenak jidat? Gue lebih tua dari lo, itu nggak sopan Saka!" Saka masih mengangguk.
Saka berdiri lalu sedikit mencondongkan tubuhnya di depan Lintang yang masih duduk, "Udah protesnya?"
Begonya, entah kenapa Lintang cuma mengangguk cemberut menatap Saka.
"Gue panggil lo Lintang, ya emang nama lo Lintang kan? Gue ngelus kepala lo? Abis lo manis sih. Gue rangkul lo? Astaga, sorry khilaf, gue pikir lo pacar gue. Eitt eittt, dengerin dulu gue ngomong ...," ucap Saka buru-buru saat Lintang akan mengayunkan tangan ke kepalanya, Saka menahannya dengan tangan kiri, lalu telunjuk tangan kanannya menyentuh kening Lintang, "Cuma umur doang Kak yang tua, gue nggak peduli. Lo tetap manis di mata gue. Tunggu ya, gue ambilin kameranya di kelas."
Sumpah demi apa, kalau Lintang punya kekuatan hulk, pasti dia akan berlari mengejar Saka yang sudah keluar gedung dan melemparnya ke luar Bumi. Lintang cuma bisa menelan ludah, menunda keinginannya untuk mengomeli Saka yang kurang ajar. Lintang terlalu lelah hari ini, jadi lebih memilih duduk saja menunggu Saka mengembalikan kameranya. Urusannya dengan Saka, lain kali saja.
***
Lima menit sudah berlalu sejak Lintang meninggalkan ruangan Ali. Cuma suara denting jam dinding di ruangan yang memecah sunyi. Tanpa dipersilakan Elang sudah duduk di kursi tamu, Ali tetap berdiri. Tatapannya datar, tidak bersahabat.
"Long time no see you Al, udah berapa tahun?" Elang buka suara, alisnya terangkat sebelah nampak benar-benar berpikir sudah sejak kapan mereka tidak bertemu. Iya Ali mengenal Elang.
"Lo sadar sekarang dimana?" tanya Ali balik mengabaikan pertanyaan Elang. Ali memang mengenal Elang, tapi mereka bukan teman. Sahabat yang jadi musuh? Tidak usah berharap. Musuh dari awal? Ali tidak pernah menganggapnya begitu. Hanya saja, Ali tidak ingin melihatnya, lagi. Saat itu seharusnya cukup untuk yang terakhir kalinya.
Elang tersenyum menopangkan kaki kirinya di atas kaki kanan, seolah kalau dia sama sekali tidak salah tempat, "Gue kesini bukan mau cari masalah, Al."
Ali masih diam, tatapannya tidak beralih sedikit pun dari Elang.
"Gue cuma sebagai konsultan aja. Dan itu nggak ada hubungannya sama lo." Elang berdiri menghampiri Ali.
Kali ini tatapan mereka beradu, iya memang Elang kesini bukan mau berurusan dengan Ali. Elang sudah mengumpat berkali-kali, bahkan menolak mentah-mentah ide Bumi untuk memintanya masuk ke Gajah Mada. Tapi demi Lintang, dia harus mau. Sekali lagi Elang tersenyum menepuk bahu Ali pelan sebelum meninggalkan ruangan, "Gue nggak akan bikin masalah sama Gajah Mada. Urusan kita udah selesai dari dulu Al."
***
Setelah sekian lama SMA Gajah Mada tenang, tentram, damai aman sentosa, akhirnya kehebohan terjadi pagi ini. Tepat di jam istirahat yang akan berakhir sepuluh menit lagi, hampir di seluruh koridor sekolah nampak ramai. Bahkan teriakan histeris yang lebay, benar-benar membuat Pak Joko selaku penegak disiplin kehabisan suaranya karena harus balas berteriak meminta murid-murid untuk masuk kelas.
Elang dengan tampang di atas rata-rata tanpa dosa turun dari lantai dua ruangan Ali, memakai kaca mata hitam, melewati beberapa koridor menuju gudang belakang sekolah, menimbulkan decak kagum, rasa penasaran, juga fans dadakan yang merapat dipinggir kanan kiri seolah sedang menyambut kedatangannya. Oke fix ini lebay, karena beberapa guru pada akhirnya ikut berjalan di belakang Elang, hendak mengantarnya atau mungkin menjaganya dari fans dadakan yang fanatik? Entahlah.
Elang menghentikan langkahnya tepat di ujung koridor, lalu balik badan melempar senyum mematikan kepada guru-guru yang mengawalnya itu.
"Terimakasih, pak, sampai disini saja, saya harus mengurus pekerjaan saya." Ucapnya lembut, sopan banget. Ah kalau saja mereka tahu siapa sebenarnya Elang. Pasti tidak akan ada yang sudi membuntutinya seperti itu. Membuntuti iblis? Yang benar saja.
Elang melanjutkan perjalanannya setelah guru-guru itu pamit kembali ke kantor. Suara riuh perlahan menghilang, gantinya hanya derap langkah sepatu Elang yang terdengar memasuki gedung.
Tidak butuh waktu lama, matanya berhasil menangkap sosok yang tengah duduk, tertidur. Wajahnya nampak lelah, sepertinya lagi-lagi dia kurang tidur. Elang merindukannya. Elang mengepalkan tangannya erat, menahan keinginannya untuk merengkuh tubuh mungil itu kepelukannya.
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi