Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga.
Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu.
"Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah.
Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan.
"Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursinya mundur memilih berdiri menatap langit sore saat itu, "Itu tanggungjawab lo. Sekali lo ketahuan bahayain nyawa adek gue, gue nggak segan masukin lo ke penjara. Dan satu hal lagi, setelah hari ini, jangan pernah muncul di hadapan gue ataupun adek gue."
Karena jalanan menuju SMA Erlangga bukan kawasan perkotaan, mobil Ali mulus meluncur dengan kecepatan tinggi. Dia harus menghentikan tawuran jika memang itu rencana Saka. Ali butuh bantuan, dan kali ini yang jelas bisa membantunya cuma satu, sahabat terbadung yang mungkin sekarang sedang babymoon dengan istrinya di Eropa.
"Dimana?" sambungan telepon terhubung, terdengar suara adiknya yang tengah mengomel, entah apa. Pernikahan mereka memang didasari karena cinta, tapi siapa yang sangka punya suami mantan preman sekolah sekaligus aktor terkenal membuat adiknya selalu naik darah. Ya, dia Eza aktor yang tidak pernah hilang ketenarannya bahkan setelah dia menikah.
"Di hotel lah, Ai bentar ya, ini abang kamu telpon. Bentar, bentar. Ya, Al gimana?"
"Sorry ganggu, bisa kirimin anak buah lo ke Erlangga?"
Ali menepikan mobilnya, dia sudah sampai di perempatan jalan sebelum kawasan hutan. Ali keluar dari mobil, dari tempatnya berdiri terlihat ujung Gedung Tua yang ada di dalam hutan. Gedung Tua yang nampak seperti benteng Belanda tak terawat, siapa yang sangka kalau itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang berbahaya. Ali pernah sekali kesana setelah kelulusannya dari SMA Gajah Mada, negosiasi untuk menghentikan perseteruan SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga.
"Ngapain lagi sih? Saka bikin ulah lagi?"
"Maybe, dia nggak bisa bikin ulah lagi. Dia harus segera cari keberadaan Tiara sebelum benar-benar dijeblosin ke penjara sama orang tua Tiara."
"Astaga, oke nggak masalah. Lusa gue balik, kita urus bareng-bareng. Emang punya keponakan satu nggak ada beres-beresnya."
Ali tertawa, kembali masuk mobil, "Jadi udah mengakui nih kalo Saka itu keponakan lo?"
"Oh iya, gue lupa. Nggak jadi deh, gue nggak mau punya keponakan preman kayak gitu."
Sambungan terputus, setelah Ali meminta Eza mengirim sekitar lima pengawalnya. Ali mengumpat, sudah sepuluh kali panggilannya tidak dijawab baik Saka maupun Lintang. Bahkan baru saja nomor Lintang tidak aktif.
***
Sementara itu, saat Ali tengah panik menuju SMA Erlangga dan bahkan menunggu hampir satu jam di depan SMA Erlangga, Saka menghentikan motornya tepat di depan rumah kontrakan Lintang.
Saka melepas helmnya, membantu Lintang turun dari motor. Maklum untuk Lintang yang bertubuh mungil dibonceng motor besar milik Saka memang agak sulit.
"Ini rumah lo?"
"Kontrakan, masuk dulu, Ka."
Saka menaikkan sebelah alisnya tersenyum genit, mencoel hidung mancung Lintang gemas, "Ngapain? Wah jangan-jangan lo mau ngajak gue berduaan ya Kak, eits kita baru aja kenal lho, kok udah main dua-duaan aja sih?"
PLAKKK
Pukulan lumayan keras mendarat mulus di kepala Saka.
"Aduhhhh, sakit kak! Cewek main kasar itu nggak boleh tahu!" omel Saka cemberut mengelus kepalanya. Meski begitu dia turun juga, memasukkan motornya ke dalam setelah pagar rumah dibuka Lintang.
Lintang menghiraukan Saka, dia menyuruh Saka duduk di teras depan sedang dia masuk ke dalam sebentar, mengambil kotak obat.
Senja kali ini nampak jelas dari rumah Lintang. Semburat jingga menyelisip dari balik rimbunnya pohon mangga di halaman kontrakan Lintang. Saka tersenyum, dia suka sekali senja. Dulu selalu setelah pulang sekolah, pasti menghabiskan sorenya hanya dengan duduk di teras rumah sambil menunggu senja yang berangsur jadi petang. Saka menarik napasnya dalam, ingatannya sekali lagi harus kembali pada kejadian itu.
"Gimana lo bisa kenal Bumi? Lo tahu soal gedung tua juga?" sergah Lintang, duduk di sebelah Saka membuka kotak obat, hendak mengobati goresan-goresan di wajah Saka. Lintang putar tubuh Saka menghadapnya.
Saat ini, senja. Saat ini tidak ada pikiran atau bahkan perasaan apapun yang menjalar pada Lintang ketika dia terlalu dekat berhadapan dengan Saka. Lagi pula apa yang mau dia pikirkan duduk dengan bocah ingusan? Lintang menepikan rambut Saka yang menutupi keningnya.
Tapi beda. Saat ini, di benak Saka. Seketika dia terkejut, dia sudah lupa kalau beberapa jam lalu, dia sudah mencekal baju Lintang dan bahkan merusak kameranya. Entah apa yang dia dengar, Saka ragu kalau yang berbunyi kencang itu degup jantungnya sendiri tepat saat manik matanya menatap lekat wajah Lintang dari dekat. Bahkan untuk sesaat Saka tidak sudi percaya kalau Lintang tujuh tahun lebih tua darinya. Saka harus mencari logika yang tepat untuk menyalahkan pernyataan Ali tentang usia Lintang. Detik saat Lintang mengolesi keningnya dengan obat merah, naluri lelakinya sebagai playboy kembali muncul. Saka harus mempacari Lintang.
"Gue yang harusnya tanya, Kak. Gimana lo bisa kenal mereka? Bahkan lo dengan mudahnya masuk ke gedung tua." Saka membalikkan pertanyaan. Senyum liciknya kembali muncul. Target barunya kali ini adalah Lintang.
Lintang memasang perban di kening Saka, lalu kembali memasukkan obat merah dan sisa perban dalam kotak, "Kebetulan aja." Jawab Lintang pendek.
"Kebetulan?"
"Iya kebetulan." Lintang nyengir tidak berniat memberi penjelasan.
Baru Saka mau menuntut penjelasan, ponselnya berbunyi lagi, dan dia langsung mengumpat begitu saja. Ogah-ogahan mengangkatnya, "Gimana bang? Gimana gue mau tawuran kalo lo nyuruh mereka pada balik? Ya nggak jadilah. Gue? Ah iya, gue ke tempat lo sekarang bang, ada informasi baru." Saka menutup ponselnya, beranjak berdiri.
"Siapa? Ali?" tebak Lintang, masih saja Lintang gugup bahkan hanya dengan menebak.
"Siapa lagi, thanks kak, gue cabut dulu."
"Saka ...," panggil Lintang, menghentikan Saka menyalakan mesin motornya. Saka membuka kaca helmnya, matanya tersenyum saat kembali menatap mata mungil Lintang. Sungguh dia sangat suka senja kali ini.
"Jangan bilang Bang Al ya, gue ke Gedung Tua."
***
Seperti biasa, Saka selalu pulang sore. Dia selalu melewati jalan perkampungan, lalu berhenti di rumah pohon itu, lagi. Sejak setahun lalu, Saka sudah tidak pernah lagi mendengar lagu rocket rockers diputar dari rumah pohon. Saka selalu penasaran, siapa gadis itu. Kemana gadis itu? Setiap sore Saka selalu berhenti disitu, menunggu gadis itu datang.
Tapi sore itu berbeda, baru dia berhenti belum sempat turun dari motor, ojek online yang mengantar penumpang siswi SMA Gajah Mada melewatinya. Saka seketika terhenyak, kembali menyalakan mesin motornya, mengikuti ojek online itu. Ada yang tidak beres, Saka tahu.
Dan 24 jam setelah sore itu, media masa memberitakan tentang menghilangnya putri salah satu pejabat tinggi pemerintahan. Pukul 06.30 pagi, beberapa polisi mendatangi rumah Saka, membawa surat perintah untuk mengintrogasinya sebagai tersangka utama atas kejadian menghilangnya putri pejabat itu.
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya