Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya.
Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya rencana sendiri untuk gedung itu, apa itu? Sampai saat ini cuma Ali yang tahu. Lintang hanya tahu kalau dia disuruh merenovasi ulang sebagai gedung serbaguna.
Terlalu asyik mengambil gambar, Lintang tidak sadar kalau ada motor lewat di sampingnya, dengan gesit tanpa Lintang bisa menghindar saat motor itu lewat, tangan kiri si pengendara merampas ponsel Lintang. Lintang terhuyung hampir jatuh.
“COPETTTTTT!” teriak Lintang panik mengejarnya. Lintang tidak habis pikir bagaimana bisa dia dicopet di sekolah, benar-benar SMA Gajah Mada sekarang tidak aman.
Lintang terus berlari mengejar, tapi langsung berhenti begitu sampai di gerbang sekolah. Napasnya ngos-ngosan heran menaikkan sebelah alisnya, kenapa si copet itu berhenti? Bukankah semestinya dia bisa pergi? Tidak ada satpam yang menghadangnya juga.
Masih ngos-ngosan Lintang menghampiri si copet itu, yang mengendarai ninja hitam dan pakai helm hitam. Lintang tidak bisa melihat mukanya. Tapi tidak butuh waktu lama, si pengendara itu membuka kaca helmnya, matanya tersenyum menatap Lintang yang kecapekan mengejar dirinya.
Dan Lintang langsung tahu siapa dia. Tangannya refleks memukul kepala cowok yang masih nangkring manis di motornya. “Buka helm lo! BUKA SEKARANG!” Bentak Lintang kesal menggoncang-goncang lengan cowok itu, sampai kewalahan.
Pasrah, cowok itu pun membuka helmnya, nyengir mengacungkan dua jari tangan kanannya membentuk lambang piece.
“Sabar atuh Kak, gitu aja marah-marah. Cepet tua lho ntar.” Ledeknya masih saja mengembangkan senyum, tidak peduli muka Lintang yang sudah memerah, marah.
“Saka! Ngapain sih lo. Lo mau bolos, hem?” selidik Lintang.
Saka mengangguk mantap, lagi-lagi nyengir. Lintang geleng-geleng, tidak habis pikir dengan bocah ingusan satu ini.
“Ah iya kak, mana kameranya, gue perbaiki sekalian.” Pinta Saka mengingatkan.
Lintang tanpa banyak pikir lagi karena kesal, menurut saja. Itu ide bagus, seenggaknya meski Saka ini preman nyebelin, dia punya rasa tanggungjawab juga. Mau bolos? Terserahlah, toh Lintang juga bukan emaknya. Biar jadi urusan Ali saja. Lintang mengambil kameranya dari tas punggung yang dia kenakan, langsung dia berikan ke Saka.
“Oke, gue bawa dulu. Kalo udah selesai, gue hubungi lo, Kak.” Ucap Saka setelah memasukkan kamera itu ke tasnya, kembali mengenakan helm dan melesat keluar gerbang.
Lintang menghela panjang, tersenyum menatap kepergian Saka begitu saja. Ah, kenakalan anak sekolah, preman sekolah, sosok yang dulu sempat selalu ditakuti Lintang. Sekarang saat usianya sudah bukan ABG lagi, melihat Saka, tidak lagi mengerikan. Saka bocah ingusan yang menyebalkan, yang merusak kameranya dan, sebentar Lintang berpikir, seperti ada yang janggal. Dia mengernyit, mencoba mengingat sesuatu. Ada yang aneh, kenapa Saka pergi begitu saja? Dan kenapa Lintang merasa ada yang hilang?
Lintang buru-buru membuka tas punggungnya, dia obrak-obrik isinya. Tidak ada yang hilang, masih lengkap kecuali kamera yang memang dibawa Saka. Terus apa? Lintang merogoh saku celananya, kunci rumah masih di saku sebelah kiri, lalu sebelah kanan? Mata Lintang melotot kembali emosi, ingat ada barang yang hilang dari saku celananya.
“SAKAAAAAA!!!!!”
Lengkap sudah kesialan Lintang hari ini. Kamera rusak. Dan sekarang Saka membawa ponselnya. Dia dikerjai preman sekolah nomor wahid, SMA Gajah Mada di hari pertamanya kembali.
***
Ini sudah masuk bulan ketiga. Dan gadis itu belum juga ditemukan. Polisi sudah mengerahkan detektif terbaik mereka untuk mencarinya. Tapi hasilnya nihil. Gadis itu hilang bak ditelan bumi. Bukan itu masalah sebenarnya sekarang. Ali tidak peduli dengan kasus itu. Dia bukan sukarelawan yang akan mencari gadis itu sampai ketemu. Dia tetap Ali si pengacara termuda, terhandal, ah tidak lupa tertampan yang ada di kota Bandung, yang hanya akan bekerja dengan bayaran tinggi. Tidak ada satu kasus pun yang gagal dia tangani, semua klien nya setuju akan hal itu. Itulah kenapa mereka yang memakai jasa Ali, tifak pernah merasa terbebani dengan biaya setinggi kelas pengacara yang tengah kondang di stasiun televisi saat ini.
Bukan berarti Ali tidak terkenal sampai masuk televisi. Ali juga terkenal, tapi dia tidak pernah mempublikasikan kasus yang dia tangani ke publik. Siapa kliennya, apa kasusnya, selalu tertutup rapat dari awak media. Kecuali kasus Miko dan Marcel beberapa tahun lalu. Kenapa? Cuma Ali yang tahu. Itulah persyaratan yang diajukan Ali.
Masalahnya adalah, saat ini kliennya lah yang dituduh sebagai tersangka penculikan gadis itu. Meski beberapa bukti yang dia terima belum bisa menjadikannya terdakwa, Ali tetap saja khawatir.Mobilnya melenggang di jalanan kota Bandung, kembali ke SMA Gajah Mada. Tiba-tiba dia teringat Lintang, seutas senyum mendadak terbit di wajah dingin Ali. Ali melihatnya lagi, akhirnya. Gadis yang pernah menyelamatkannya dulu. Ah, apa Lintang sudah menikah? Diam-diam Ali berharap belum. Kalaupun sudah mungkin Ali akan membuatnya menjadi janda? Ali tertawa keras sendiri, menertawai ide konyol yang jelas nggak masuk akal. Dia terlalu bahagia bisa melihat Lintang lagi. Ali rindu? Jelas iya. Ali suka Lintang? Mungkin.
Mobil belok ke kiri dari perempatan kawasan perkantoran yang nantinya akan menuju jalanan hutan sejauh kurang lebih dua kilometer, baru kemudian memasuki daerah SMA Gajah Mada. Dulu di jalanan ini, Ali pernah membonceng Lintang. Lintang hampir mirip dengan Bunga, pacarnya yang sudah lama meninggal. Mereka sama-sama lembut, tapi bisa jadi cerewet kalau emosinya dipancing. Dan satu hal lagi yang Ali suka dari Lintang, dia terlalu polos. Lintang tidak pernah bisa menutupi kalau dia juga menyukai Ali. Ali tahu betul itu.
Ali memang sudah tahu kalau Lintang yang akan merenovasi gedung SMA Gajah Mada. Ali langsung turun ke bawah saat melihat Lintang memasuki SMA Gajah Mada tadi pagi. Tanpa Lintang sadar, Ali sudah mengikutinya dari belakang. Langkah mereka sama-sama terhenti di depan UKS. Ali terusmengulum senyumnya, merasa lucu melihat tingkah Lintang.
Lintang terus mengawasi UKS itu, sesekali tersenyum dan akhirnya keceplosan memuji Ali.“Ali si kutub es paling mempesona!”
Tawa Ali hampir saja pecah, buru-buru dia tahan. Lalu kembali memasang muka dinginnya, menyahut ucapan Lintang, “Lo panggil gue?”
Sempurna sudah, puas Ali mengerjai Lintang. Lintang terlihat gelagapan, gugup berusaha berdalih. Poster Aliando yang terpasang tepat di samping UKS jadi sasaran Lintang. Lintang tidak berubah, dia tetap selalu gugup saat di dekatnya.
Mobil sampai di parkiran SMA Gajah Mada. Tapi mata Ali langsung menatapkesal pada area parkir murid. Motor Saka nggak ada, oke Saka kabur lagi. Bolos lagi. Ali turun dari mobil membuang napas kesal. Kalau sampai dia bolos tapi nggak memperbaiki kamera Lintang, Ali pastikan dia akan segera dapat hukuman.
Sambil berjalan menuju ruangannya dia mengetikkan pesan untuk Saka, dia nggak akan main-main lagi kali ini, mengingat kondisi sudah semakin genting. Ini bukan waktunya Saka bercanda.
Langkah Ali terhenti saat matanya menangkap dua sosok yang sangat dia hapal. Dua sahabat Saka yang sama-sama liarnya, Iqbal dan Riko. Mereka sedang duduk di kapsul taman belakang lapangan basket.
“Udah berangkat 15, sisa 12 masih di kelas, masih ada ujian, nggak bisa bolos.” Riko terlihat serius membaca pesan entah dari siapa.
“Oke, cukuplah. Kita nyusul nanti juga, inget masih ada kelasnya pak Joko. Bisa DO kalo ketauan kabur.” Timpal Iqbal kali ini.
“Saka kemana?”
“Udah berangkat duluan tadi.” Iqbal menyahut lagi.
“Langsung ke lokasi?”
“Ya iyalah bego, jangan-jangan lo nggak tahu juga lokasinya mana!” cerca Riko masih terus fokus dengan ponselnya.
“Ehhh, Erlangga kan?”
“Tuh pinter, lo masih ada kelas kan? Masuk sono, ntar kumpul di warung Bi Miun.”
“Warung?”
“Astagaaaa, lo tuh kalo punya ot---” terus saja mengomel, itu memang hobi Riko. Sambil terus mengotak atik ponsel, dia menoleh ke belakang hendak menjitak kepala cowok yang sedari tadi nimbrung pembicaraannya dengan Iqbal. Tapi langsung mencelos, keberaniannya luntur. Lidahnya ngilu, tidak tahu harus bagaimana lagi. Riko cuma bisa menepuk pelan bahu Iqbal yang belum menoleh ke belakang.
“Kenapa sih? Tumben langsung diem?” tanya Iqbal masih belum juga tahu keadaan tengah genting. Iqbal juga masih sibuk menyalin catatan fisika yang dia pinjam dari kelas lain. Riko terus menepuk bahu Iqbal.
“Apaan sih lo ah,“ Iqbal tetap tidak mau menoleh, catatan itu lebih penting daripada celotehan Riko yang mendadak berhenti.
“Bang Al udah balik?” ucap Riko akhirnya, beranjak berdiri.
Mereka memang preman sekolah, meski bukan jenderal perangnya. Tidak ada yang mereka takuti. Berkelahi di medan perang melawan cunguk-cunguk SMA Erlangga sudah jadi hal lumrah. Bahkan meski sudah ada aturan akan mengeluarkan murid yang kedapatan tawuran. Pasukan tempur SMA Gajah Mada tidak gentar. Tapi semenjak kepemilikan SMA Gajah Mada jatuh pada pengacara kondang di kota Bandung, semuanya berubah. Se tenar-tenarnya Saka sebagai pentolan nomor wahid, dia juga tidak bisa menentang. Ali Ferdiyansyah tak lekang oleh waktu, meski sudah tidak punya lagi gelar preman nomor wahid di SMA Gajah Mada.
Iqbal yang sadar ucapan Riko langsung berhenti menulis. Pelan dia taruh bukunya ke sembarang tempat di sampingnya. Lalu ikut berdiri balik badan, keringat dingin sudah sekarang dia.
Ali Ferdiansyah sempurna berdiri di depan mereka, melempar senyum yang mematikan, hanya beberapa detik saja. Kemudian ekpresi dinginnya kembali, menghujam dua murid bandel itu.
“Berapa tadi? 15? Dalam waktu 15 menit mereka nggak balik ke kelas, kalian berdua yang bakal di DO, gimana?”
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d