Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu.
Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali.
Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah diantara perbukitan belakang kebun teh itu. Dua sekolah itu memang dulunya merupakan sekolah untuk warga desa sekitar, dan seiring berjalannya waktu akhirnya berubah menjadi dua sekolah swasta terunggul di Bandung, yang sangat diminati. Dan juga paling ditakuti, karena keduanya terkenal mempunyai murid-murid brandal. Sebut saja yang paling tua dan terkenal di jamannya Agus, bapak dari Raiya, lalu Ali, Eza, Wahyu, Dimas Miko, Marcel, Jodi dan yang paling terbaru dari SMA Gajah Mada adalah Saka Arya Putra.
Saka? Iya, dialah preman nomor wahid SMA Gajah Mada saat ini. Apa dia juga punya lawan? Sudah pasti. Ninja hitam Saka nggak langsung menuju SMA Erlangga, setibanya di jalanan hutan, dia masuk lebih dalam ke kawasan hutan, melewati beberapa tanjakan menuju gedung tua, tempat yang lebih menakutkan ketimbang dua sekolah itu, Gedung tua milik salah satu keluarga pendiri SMA Erlangga.
Saka menghentikan sebentar ninjanya di depan gerbang yang sudah dijaga dua bodyguard bertubuh besar, tegap berjas hitam. Tatapan mereka tajam saat Saka membuka kaca helmnya, sebentar berdiskusi lantas salah satu dari mereka membukakan gerbang untuk Saka.
Di dalamnya, lahan parkir outdor seluas sekitar 1000 meter persegi sudah penuh dengan puluhan mobil dan motor. Dan juga beberapa bodyguard yang menyebar di seluruh area parkir. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam kecuali mereka yang memang punya kepentingan. Saka memarkirkan ninjanya di tempat terdekat dengan pintu masuk.
Sebelum masuk, lagi-lagi dua bodyguard yang menjaga di pintu utama menggeledah Saka, mengeluarkan seluruh isi tasnya, menatap Saka menuntut penjelasan saat menemukan kamera di dalam tas Saka.
"Itu punya nona Lintang Fani Larasati, juga ponsel ini." Saka mengacungkan ponsel yang dia rampas dari Lintang tadi.
Lagi-lagi dua bodyguard itu berdiskusi, kali ini salah satu diantara mereka menghubungi seseorang. Memberitahukan kedatangan Saka juga dua benda yang dibawanya. Saka tersenyum kecut, tahu siapa si penerima telepon itu.
***
Delapan tahun bukan waktu singkat. Banyak hal yang dialami Lintang selama selang waktu itu tanpa Ali. Banyak orang yang ditemui. Entah ini berkah atau kesialan, sepertinya setelah dia berurusan dengan Ali dan Wahyu, Lintang harus berurusan dengan seseorang yang sama mengerikannya. Entah sampai kapan Lintang harus terus menerus berada dalam lingkaran setan itu.
Lintang menyeka peluh di keningnya. Ojek yang ditumpanginya berhenti tepat di depan gapura menuju bagian dalam hutan, yang jarang sekali dimasuki orang. Dia segera membayar tukang ojek dan mulai masuk ke dalam. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke tempat tujuannya kalau dengan jalan kaki. Seandainya tadi dia nggak melihat motor Saka masuk ke kawasan hutan ini, Lintang nggak sudi menginjakkan kakinya lagi disini, menuju Gudang Tua.
"Gue nggak mau!" Lintang menolak tegas permintaan cowok di depannya. Apapun yang terjadi Lintang tidak akan bergabung dengan anggota Gedung Tua.
Cowok itu mendengus kesal, melempar beberapa dokumen yang dia terima dari asistennya, "Lo adalah bagian dari kita, Lin. Gedung Tua akan berhenti tanpa tanda tangan lo."
Lintang tersenyum kecut menatap dokumen itu, "Mau berdiri atau nggak itu bukan urusan gue. Sejak Gedung Tua kerja sama dengan mereka, gue nggak sudi lagi ada disana. Gue udah bilang kan, itu nggak benar. Ini bukan seperti yang diharapkan almarhum kakek!"
Cowok itu meraup mukanya gusar, tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk Lintang.
"Gue emang bukan cucu kandung kakek, tapi kakek sudah mengamanahkan ke gue, supaya Gedung Tua dijadikan tempat yang lebih baik, jauh dari kekerasan, bahkan kalau perlu kakek minta gue buat menghubungi Ali!"
"CUKUP!" bentak cowok itu menggebrakkan tangannya di meja. Amarahnya menggebu, menarik kerah baju Lintang sampai terangkat sejajar dengannya. Menatap Lintang dalam-dalam, alisnya terangkat sebelah, "Jangan pernah sebut nama itu di depan gue. Lo mau tanda tangan atau nggak, Gedung Tua ini tetap akan ada!"
"Terserah!"
***
Mendadak hening saat Saka melangkah, mendekat ke ring tinju. Seruan riuh atas pertandingan yang tengah berlangsung senyap seketika. Semua mata tertuju pada Saka. Ada yang bertanya-tanya siapa bocah ingusan yang masih pakai seragam SMA ini, yang berani datang sendiri ke Gedung Tua sendirian. Tapi ada pula beberapa dari mereka yang sudah mengenal Saka, anak buah Ali yang saat ini tengah dicurigai sebagai penculikan putri dari salah satu pejabat negara.
Bukan, ini juga bukan pesta penyambutan Saka sang preman nomor wahid. Yang ada, Saka dengan kesadaran diri masuk ke mulut buaya tanpa pasukannya. Dia tidak punya waktu menunggu mereka datang. Tiara harus ditemukan, dia harus membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.
"Jadi apa yang lo bawa?" Bumi buka suara memakai sarung tinju yang baru saja diberikan asistennya.
Saka mengacungkan ponsel milik Lintang, lantas melemparnya ke arah Bumi. Gesit, tanpa mengenai muka Bumi, asisten yang sedari tadi mendampingi, menangkapnya. Memeriksa ponselnya, memastikan kalau itu memang punya Lintang.
"Iya Bang, ini memang punya Nona Lintang."
Bumi mengangguk, kembali beralih menatap Saka.
"Sekarang lo kasih tahu, dimana komplotan itu membawa Tiara?"
Lagi-lagi Bumi tersenyum, mendekat ke Saka menepuk kedua pipi Saka, "Santai Ka, lo kesini nggak bermaksud keluar dengan mudah kan?" Bumi menaikkan sebelah alisnya.
Saka menghembuskan napasnya kasar, kalau menuruti emosinya pengen banget dia menonjok muka Bumi sekarang. Tapi Saka juga tidak mau membahayakan nyawanya sendiri, saat ini puluhan senapan mengarah kepadanya dari atas. Satu saja gerakan Saka yang mencurigakan, gerakan yang nantinya akan merugikan Bumi, peluru otomatis meluncur ke arahnya dalam hitungan detik.
"Apa mau lo?" Saka mencoba negosiasi, seenggaknya sambil mengulur waktu, berhitung cepat menunggu pasukannya datang. Ah, Saka belum tahu kalau pasukannya yang sudah setengah perjalanan harus kembali karena ketahuan Ali.
Bumi menggidikkan bahu, menoleh ke asistennya. Si Asisten mengangguk, melempar dua sarung tinju ke Saka.
"Buat lo, gratis merasakan atmosfer arena ini. Jangan sia-siain kesempatan emas, Ka. Lo orang pertama, anak buah Ali yang berdiri disini."
"Jangan coba main-main sama gue, kalau sampai Tiara kenapa-napa, gue bakal..."
"Bakal apa Saka?" potong Bumi santai sudah kembali ke posisinya tadi, memasang kuda-kuda, mengangkat tangannya siap bertanding.
Saka memakai sarung tinjunya, juga segera pasang kuda-kuda, menatap tajam Bumi, seolah menegaskan bahwa dia bukan bocah ingusan yang mengkerut dengan ancamannya, "Gue juga bakal main-main sama Lintang. Ah, Lintang berharga banget buat lo kan? Gue denger Bang Al juga kenal Lintang. Lo nggak penasaran apa yang akan terjadi?"
"Oke, deal, jadi lo udah pilih pertaruhan apa untuk pertandingan ini kan?"
BAKKKK
Hantaman keras mengenai rahang Saka. Bumi tidak sedetik pun memberikan ruang gerak. Tapi sesekali Saka bisa berkelit, mencari kesempatan memukul bagian perut Bumi. Bumi terhuyung tidak sampai terjatuh, dia kembali mengincar muka Saka yang nggak dilindungi dengan tangannya.
Baku hantam diantara mereka terus terjadi, belum ada salah satu diantara mereka yang tumbang. Waktu sudah berjalan sepuluh menit. Seruan, umpatan bergemuruh memenuhi Gedung Tua ini. Sampai mereka tidak sadar kalau seseorang sudah datang. Berdiri di bawah ring tinju, membaca pesan yang ada di ponsel Saka yang dirampas penjaga tadi.
Dia mengambil dua karet di saku bajunya, lalu membuat tembak dari karet itu mengarahkannya ke Bumi, tepat dia tembakkan ke pipi Bumi.
"F*CK!" Bumi yang akan memberi serangan balik ke Saka langsung berhenti, mengelus pipinya yang kena jepretan karet, panas. Matanya menatap marah mencari-cari siapa yang berani usil menganggunya di Gedung Tua ini. Tapi raut mukanya berubah begitu mendapati si pelaku yang sudah nyengir melambaikan tangan ke arahnya. Ikut masuk ke ring tinju berdiri di samping Saka.
"Sejak kapan lo jadi pengecut tanding sama bocah ingusan?"
"Kak Lintang! Gue bukan bocah ingusan!" damprat Saka tidak terima, dia melotot marah menatap seseorang yang ada di sampingnya itu, Lintang Fani Larasati.
Lintang yang ditatap Saka lagi-lagi cuma nyengir, mengembalikan ponsel Saka, mengisyaratkan Saka untuk membaca pesan yang ada di ponselnya.
"Kenapa lo bawa-bawa Saka? Gue nggak sudi berurusan dengan Gedung Tua, B!"
Ganti Bumi yang tersenyum kali ini. Dia sudah lupa, kalau gadis yang ada di depannya baru saja lancang menembak pipinya dengan karet gelang. Gadis yang selalu memanggilnya dengan 'B'.
"Tapi lo udah kesini, Lintang."
"Kalo lo masih paksa Saka buat datang kesini, gue sendiri yang bakal suruh Bang Al buat hadapi lo!"
Bumi tersenyum kecut, melepas sarung tinjunya dan meraih handuk yang dibawa asistennya, mengusap keringat di muka dan sekujur tubuhnya. "Dia yang ajukan tawaran, bukan gue yang minta." Bumi menggidikkan bahunya.
"Balikin ponsel gue, B!"
Bumi menoleh ke asistennya, meminta asistennya untuk mengembalikan ponsel Lintang juga kamera miliknya.
"Kenapa lo harus lari ke Ali? Gue nggak akan paksa lo kesini Lin, tapi kenapa lo harus lari ke dia? Musuh bebuyutan gue?"
"Gue nggak pernah lari ke Bang Al!" elak Lintang, memang dirinya tidak pernah lari ke Ali. Boro-boro mau lari ke Ali, bertemu saja baru tadi pagi. Dan itu pun bukan karena Lintang mau. Lintang berpikir kalau Ali tidak akan mau lagi berurusan dengannya. Keberadaannya di SMA Gajah Mada adalah murni karena pekerjaan.
"Lo ada di SMA Gajah Mada, Lin!"
Lintang menghela napasnya jengah, terus kenapa? Kenapa kalau dirinya di SMA Gajah Mada? Ini hidupnya, kenapa semua orang selalu ingin ikut campur? Lintang kesal, meraih tas ransel Saka yang tergeletak di bawah lantas melemparnya ke Saka.
"Gue kerja B, kerja! Gue nggak punya hubungan apapun dengan Bang Al. Kecuali kalo lo paksa gue buat berurusan dengan dia! Ah, iya tadi kalian taruhan apa?" Lintang menatap Saka, teringat sesuatu tentang taruhan mereka berdua. Lintang sengaja mengalihkan pembicaraan supaya Bumi tidak terpancing emosi karena membahas Ali. Tidak lucu kalau tiba-tiba Bumi murka dan menyuruh penjaganya menembaki mereka berdua kan?
Saka yang ditatap Lintang kebingungan. Bukan bingung jawab pertanyaan Lintang, tapi dia merasa bersalah telah melibatkan Lintang dalam pencarian Tiara. Saka menggaruk tekuk lehernya yang tak gatal, ragu menjawab, "Eh, Bumi tahu siapa komplotan yang menculik Tiara, anak SMA Gajah Mada."
"Kasih tahu B, lo harus tepatin janji." Pinta Lintang mengingatkan.
Bumi yang memang selalu menepati janjinya, ogah-ogahan menarik tumpukan dokumen di kursi belakangnya, melemparnya ke Saka, kasar.
"Mereka punya markas di ibu kota, gue juga nggak tahu dimana tepatnya. Tapi disitu semua berisi tentang mereka, mereka keluarga black shadow. Sebelum lo cari tahu tentang mereka, gue rasa lo harus selidiki dulu tentang cewek itu." Jelas Bumi.
"Udah kan? Kita balik, Ka." Ajak Lintang segera menuruni ring, dia tidak bisa lama-lama disini, kalau sampai teman Bumi tahu, pasti Lintang tidak akan bisa keluar. Bukan cuma Bumi, tapi masih ada satu lagi seseorang yang bersikeras agar Lintang ada di Gedung Tua. Lintang berharap dia tidak akan bertemu dengannya lagi.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng